Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 36. Si Wanita Lain

" Mas, kamu beneran pernah nge-hack sana-sini?"

Sena benar-benar tidak bisa lagi menahan pertanyaannya. Dia ingin tahu seberapa berbahaya laki-laki yang berada di sampingnya ini.

Sakti mengangkat alis, "Nala cerita?"

Sena terperangah, lalu beringsut ke tepi kursi menjauhi Sakti. Tapi, Sakti malah tertawa melihatnya.

" Dulu. Untuk orang-orang sepertiku, hal seperti itu tantangan, Na. Pengetahuan cuma-cuma yang nggak akan habis sampai kapanpun. Anggap saja jiwa muda yang rasa ingin tahunya masih tinggi. Apalagi Reno, dia senior yang sedikit cuek sama peraturan. Semakin sulit sistem keamanan, aku semakin merasa tertantang," kekeh Sakti. " Tapi, sekarang udah nggak lagi, karena aku sadar pekerjaan yang satu itu bahaya untuk orang-orang di sekitarku. Resikonya terlalu berat. Kecuali ada hal-hal mendesak kayak kasus Marko dulu, aku baru ikut turun tangan."

Sena tidak tahu dan tidak peduli siapa itu Marko! Memangnya dia siapa sih? Seistimewa apa sampai Sakti harus ikut turun tangan? Kalau tidak salah, tadi Nala juga sempat menyebutnya.

Yang sedang ia pikirkan saat ini adalah dia harus waspada jika ada konten aneh di media sosialnya. Seperti ajakan menikah yang terpampang jumawa di beranda Sena karena ulah Sakti, misalnya.

" Jadi, gimana menurut kamu?"

Sena mengerjap dan menoleh, " Hm? Apanya?"

" Dewa, Nala, Reno, anak-anak," ucapnya hangat. Melihatnya, Sena ikut tersenyum kala mengingat hari ini.

" Mereka baik. Aku suka di sana. Ramai," kekeh Sena. " Aku nggak ingat kapan terakhir kali aku, abang, ayah dan ibu menghabiskan waktu bersama. Kayaknya udah lama banget. Jadi, agak canggung aja waktu ketemu suasana keluarga yang hangat begitu. Nggak heran Mas Sakti betah di sana."

Mendengarnya, Sakti tersenyum. " Kita bikin suasana kayak gitu sama-sama, mau?"

Tentu saja, Sena sangat memahaminya. Namun gadis itu hanya tersenyum salah tingkah. Sepertinya, Sakti juga memahaminya karena laki-laki itu mengalihkan perhatian.

" Dua minggu lagi ulang tahun kantor dan kita ada hajatan. Aku boleh ajak kamu?" tanya Sakti ketika mereka sudah hampir tiba.

" Acaranya di mana?"

" Di kantor saja, di salah satu lantai."

Sena mengerucutkan bibir, mengingat-ingat agendanya dua minggu ke depan. Kemudian mengangguk.

" Sure."

" Thank you, Na," bisiknya berterima kasih seraya mencium lembut puncak kepala Sena. " Thank you for this day, too. Kamu cantik hari ini."

Gadis itu ganti beringsut untuk mencium pipi Sakti sebelum menyahut sling bag-nya, " Thank you for sharing your world with me. Night, Mas Sakti."

" Hmm...sleep tight, mine," ujar Sakti menciptakan semburat merah yang sempurna di pipi Sena. Membuat laki-laki itu terkekeh geli kala Sena memutar bola mata dan keluar lebih dulu.

Fokus Sakti mengikuti sosok Sena yang menyambangi Gagah dan Arga yang mengobrol di luar. Gadis itu masih secantik tadi pagi, dengan rambut terurai lembut lengkap dengan dress merah yang dibalut dengan cardigan.

Mematikan mobil, laki-laki itu melipat kedua tangan di atas kemudi dan bertopang dagu di sana. Berlama-lama mengawasi gadisnya lewat kaca spion samping dengan seulas senyum hangat di ujung bibir.

**

Pagi Sena dikejutkan oleh berita bahwa keponakan Sena sudah lahir. Shinta memberinya nama Laksmita dan mengirimkan fotonya pada Sena. Bayi perempuan mungil itu tengah menguap dengan mata terpejam, mengirimkan gelombang haru yang menenggelamkan Sena hingga gadis itu tersenyum dengan mata yang berkaca.

Tapi, suasana melodramatis itu terpotong oleh suara berisik di pintu depan. Sena yang memang hendak berangkat segera membuka pintu,lalu mendapati wajah Rafi mendongak di depan ambang pintunya.

" Na, tolong, dong. Gue lupa terus mau beli dasi instan!" pinta Rafi dengan satu tangan mengulurkan dasinya yang terkalung longgar sementara tangan yang lain memegang tali sepatu. Seperti biasa, Rafi tidak pernah mengawali hari dengan penuh ketenangan sampai Sena lelah sendiri.

Menghela nafas panjang, gadis itu menyahut dasi Rafi. Tapi jemarinya hanya meraih udara kosong karena saat itu tangan lain sudah mengambil alih dasi Rafi lebih cepat.

" Mas gue ke—chekikh! Ohhok!" Rafi memekik ketika Sakti menyimpulkan dasinya dan menyerut dengan ketat.

" Mas Sakti--"

Namun Sakti mengabaikan Sena. Dengan senyum samar, laki-laki jangkung itu melonggarkan dasi Rafi.

" Udah rapi," ucap Sakti datar sembari menautkan kedua tangan di belakang. " Kenapa? Butuh bantuan di tali sepatu juga?"

Rafi menatap Sakti dengan mulut ternganga, kemudian mendengus keras. " Doh yang cemburu! Nggak! Gue mau berangkat!"

Dengan kesal, Rafi menalikan sepatunya sebelum melangkah pergi.

" Besok lagi kalau butuh bantuan pakai dasi, kamu bisa minta bantuanku, Fi," kata Sakti pada Rafi yang menjauh. Laki-laki itu hanya melemparkan tangannya ke udara sebelum meraih tas ranselnya dengan kasar.

" Apa coba Mas?" celetuk Sena mengunci pintu unitnya sendiri.

" Kamu cuma boleh naliin dasiku, Na. Jangan yang lain," ucap Sakti membungkukkan badan, yang disadari Sena tergantung dasi yang terpasang longgar di lehernya.

Sena mendengus, antara geli dan tidak percaya akan tingkah Sakti.

" Rapi gini. Ada acara apa?" tanya Sena memenuhi permintaan Sakti untuk menalikan dasinya.

" Ada kunjungan dari pusat. Hari ini mungkin bakal padat," kata Sakti menikmati wajah manis Sena. " Kamu beneran nggak mau berangkat bareng? Jarang-jarang kita bisa berangkat di waktu yang sama, Na."

" Mas Sakti, nanti aku pulangnya yang bingung mau gimana."

" Aku antar. Aku bisa izin," ucap Sakti mantap. Sena menghembuskan nafas sabar dan merapikan rambut Sakti.

" Jangan. Nanti kalau penting, gimana? Malah susah sendiri, kan?"

" Nggak, aku nggak susah."

" Mas Sakti, jangan gitu."

Sakti menghembuskan nafas sabar, kemudian mengecup ringan bibir Sena dengan tangan tetap bertaut di belakang.

" Tapi aku masih kangen kamu," bisiknya membuat Sena terpaku pada manik coklat itu.

Untuk beberapa saat, gadis itu menggigit bibirnya. Menyerut simpul dasi Sakti, Sena berjinjit dan balas mencium Sakti.

Tentu saja, Sakti terkejut. Tautan tangan di belakang punggungnya mengerat. Namun sepertinya gadis ini senang sekali menghancurkan dinding pertahanan Sakti dengan ciuman malu-malu penasaran miliknya. Maka dengan sangat tidak menyesal, Sakti mengurai tautan tangannya agar bisa meraih pinggang Sena dan membawa ciuman mereka semakin dalam.

Sakti membiarkan Sena memimpin ciuman. Mengikuti dengan sabar pagutan canggung gadis itu. Sesekali, menggodanya sejenak hingga gadis itu merintih dan mencengkram dasi Sakti lebih erat. Sakti selalu suka suara rintihan Sena di telinganya. Terdengar seperti sebuah permintaan dan penyerahan diri yang terasa murni. Membuatnya harus ekstra sabar kala nafasnya mulai memberat hingga cengkraman jemarinya di tubuh Sena mengerat.

" Ah, Ana bener. Pagi-pagi udah panas gini. Mas Gagah, jadi kangen kamu," suara Yolla menginterupsi keduanya hingga Sakti melepaskan Sena dengan sebuah pagutan ringan di bibir bawahnya.

Mereka berdua menoleh, hanya untuk mendapati Yolla sudah bersiap untuk melakukan pull up di ventilasi seperti biasanya. Ia melirik mereka dengan seringai menggoda.

" Terusin aja, biar aku cepet keringetan saking panasnya," ujar Yolla disertai tawa.

Sena bersembunyi di balik badan Sakti untuk bercermin. Terlihat sekali pipinya merona hingga merah padam. Gadis itu mengerucutkan bibir, menyesali tetangga-tetangganya yang sangat usil.

" Memang Gagah pergi kemana?" terdengar suara Sakti bertanya.

" Biasa, tugas lembur di pelabuhan," jawab Yolla santai. " Sena sayang, pesan rujak kayak biasa, ya. Yang banyak jambu airnya. Kemarin udah dihabisin Ana."

Setelah meyakinkan diri bahwa penampilannya rapi, gadis itu menyembulkan kepala dari balik badan Sakti dan mengacungkan jempol, membuat Sakti menepuk pelan puncak kepalanya.

" Yakin nggak mau bareng?"

Sena menggeleng, " Aku masih harus ambil jilidan di fotokopian sana. Hati-hati ya."

Sakti tersenyum samar dan menyila rambut Sena ke belakang telinga sebelum melakukan ritual rutin yang selalu ia lakukan jika Sena hendak berangkat, yaitu mencium dahi Sena.

" Kamu juga hati-hati."

Sena menghirup nafas panjang sembari menatap punggung jangkung itu menuju carport. Mengabaikan godaan-godaan Yolla yang semakin gencar, dia menyadari bahwa kini dirinya mulai terbenam jauh ke dasar lautan ketika keinginan untuk bersama Sakti menjadi sebuah doa yang terapalkan tanpa sadar dalam setiap detiknya.

**

Sena mengayuh sepedanya dengan letih. Benar-benar, kelakuan Danar semakin tidak bisa ditebak. Seharian ini, dia mengurung Sena di ruangannya untuk merapikan berkas-berkas yang entah bagaimana jadi begitu berantakan.

Kata Danar, itu karena akreditasi.

Dengan wajah kuyu, kaki pegal, rambut lepek yang keluar dari sanggulan serta seluruh badan lengket karena keringat, gadis itu membuka gerbang kontrakan dan menuntun sepedanya memasuki pekarangan.

Gadis itu mendapati Ana dan Rafi tengah duduk di bangku halaman. Tapi mereka tidak berdua. Begitu Sena menyadari siapa yang menemani obrolan mereka, langkah Sena berhenti.

" Itu udah datang, kita tinggal dulu."

Sena bisa mendengar Ana berkata sebelum tersenyum padanya. Sedangkan Rafi menatapnya seolah ia baru saja melihat Sena untuk pertama kali.

Meskipun sudah dua tahun berlalu, Sena tidak mungkin salah mengenali orang yang pernah berarti di hidupnya. Gadis itu sesempurna terakhir kali Sena bertemu dengannya. Tinggi dan langsing dengan penampilan yang sangat dia sekali. Sebuah tanktop putih ketat terlapisi kemeja flanel merah dipadu dengan celana jeans sebatas tengah paha, menampakkan kaki seksi yang berujung pada sneakers putih. Ia menatap Sena beberapa saat, kemudian menyapanya dengan mata berkaca.

" Gimana kabarmu, Na?"

" Kamu cerita apa sama tetangga-tetanggaku?" tanya Sena dingin tanpa bisa menahan diri.

Raras mengangguk dengan berat, " Mereka tanya, aku nggak nyangka mereka tahu tentang Dirga. Jadi, aku pikir mereka tahu masa lalu kam-kita. Jadi, ya. Aku cerita tentang...dulu. Tentang aku yang jahat sama kamu. Maaf."

Pantas saja Rafi menatapnya demikian.

" Dirga nggak ada di sini," ucap Sena masih dengan nada dingin yang sama.

" Aku cari kamu, Na. Bukan Dirga."

Sena mendengus tidak percaya.

" Kita bicara di dalam saja," ajaknya berusaha mengenyahkan rasa tidak aman yang mulai menggerogotinya dari dalam.

Dari sudut matanya, dilihatnya Saras mengikutinya dengan canggung. Sena mengabaikannya. Gadis itu mempersilahkan Raras duduk sebelum menghilang ke dapur dan kembali lagi dengan segelas sirup dingin.

Masih berseragam kerja, gadis itu duduk di hadapan Raras.

" Jadi, kenapa kamu ke sini?"

Raras mencengkram clutchbag-nya kuat-kuat ketika menghadapi Sena yang begitu dingin.

" Na..." Raras berdehem, " Dirga sakit."

Sena menunggu.

" Kemarin kecelakaan di tempat kerja. Patah tulang lengan atas dan luka robek di perut yang cukup parah. Dia bahkan sampai butuh transfusi karena kehilangan darah banyak, Na."

" Apa hubungannya sama gue?"

Raras mengerjap.

" Sena, apa lo nggak kasihan? Dia baru siuman kemarin sore dan kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah nama lo. Dia pengin ketemu lo, Na. Tiap hari, dia cuma mikirin lo. Dari dulu, Na. Lo pasti tahu waktu lo tahu tentang...kita," Raras menjeda sejenak ketika raut Sena menjadi begitu dingin, " itu hari dimana Dirga mau mutusin gue tapi...tapi guenya yang nggak terima, Na. Gue terlalu sayang Dirga. Gue terlalu nggak bisa nglepasin dia. Jadi...jadi itu bukan salah dia. Bukan sepenuhnya salah dia."

Sena terlalu lelah menyanggah pendapat seperti itu. Memangnya dipikir Dirga itu robot? Memangnya dikira Dirga itu manusia yang tidak punya akal? Bagaimana bisa ada orang yang berkata Dirga tidak ikut andil meskipun Raras-lah orang pertama yang menggodanya?

" Dia masih sayang lo, Na. Kenapa lo nggak bisa lihat ketulusannya dia selama ini? Dua tahun dia cari lo kemana-mana dan setelah ketemu, lo justru bertingkah kayak gini padahal dia tulus menginginkan lo balik sama dia."

Sebentar. Apa Raras baru saja menyalahkannya?

Sena memejamkan mata, mati-matian membayangkan Sakti agar rasa benci itu tidak menyeruak dan menguasainya.

" Itu bukan urusan gue, Ras," ujarnya.

Bibir bawah Raras bergetar, sedetik kemudian tangis perempuan itu merebak.

" Sena, maafin gue," isak Raras. " Gue seneng banget bisa ketemu lo di sini. Gue nggak ngerti harus gimana lagi buat ketemu lo. Gue nggak tenang sebelum lo maafin gue, Na. Apa yang terjadi antara gue sama Dirga, itu masa lalu, Na."

" Gue udah maafin lo, Ras," ujar Sena menghirup nafas berat. " Dan bener, itu juga cuma masa lalu."

" Itu bukan salah Dirga, Na. Itu salah gue, sepenuhnya salah gue. Waktu pertama lo ngenalin kita, gue suka sama dia! Gue iri sama lo! Itu salah gue, salah gue jadi tolong lo temui Dirga, Na. Dia sekarat!"

Datar, tanpa iba sedikitpun, Sena masih menatap Raras yang menangis sambil meremas celananya erat-erat.

" Gue nyesel," Bisik Raras sesenggukan. " Selama dua tahun lo pergi, gue sama sekali nggak bisa fokus sama hidup gue. Gue udah ngehancurin sahabat gue sendiri."

Sena mengurut pangkal hidungnya. Tuhan, dia lelah lahir batin.

" Gue mohon, Na. Datang. Dirga nyariin lo terus," pinta Raras dengan sangat memelas.

Sena menggeleng dengan tegas. Melihatnya, Raras menangkup mulutnya.

" Lo masih suka Dirga, kan, Ras?" celetuk Sena. " Gue lihat status lo yang terakhir, lo sedih waktu lo tahu Dirga ke sini nyari gue. Jadi, nggak perlu, Ras. Lo cuma perlu berjuang ngedapetin Dirga."

" Tapi Na, Dirga maunya lo. Na, please...nggak ada perempuan buat Dirga selain lo. Kasih dia kesempatan kedua, Na," mohon Raras. " Iya, gue emang masih cinta Dirga, tapi gue nggak bisa lihat dia sakit begini. Jadi Na, tolong, tolong Dirga Na. Dia bisa gila."

" Nggak perlu hiperbolis, Ras. Dirga nggak akan mati tanpa gue," ucap Sena cepat. " Lo kesini cuma mau ngomong itu?"

Raras terbungkam. Dia hanya menatap Sena dengan air mata berlinang selama beberapa saat.

" Sejak kapan lo jadi cewek berhati dingin gini?" bisiknya.

Sena mendengus, " Tolong, Ras. Jangan bikin drama di sini. Nggak ada gunanya Dirga minta gue balikan atau lo yang minta gue kasih kesempatan kedua sama Dirga. Lanjutin aja hidup lo, nggak perlu punya alasan nggak bisa fokus sama hidup lo segala. Kalaupun memang lo nggak fokus sama hidup lo, lo tahu pasti itu bukan salah gue."

Dilihatnya Raras menelan ludah.

" Lo...udah ada penggantinya Dirga, Na?" bisiknya. " Sampai lo nolak Dirga sebegitu besarnya. Lo tahu sendiri lo menolak cowok yang punya segalanya dan tulus jatuh cinta sama lo kan, Na? Apa lo berharap ada orang yang sempurna sampai dia nggak pernah melakukan kesalahan? Kenapa lo selalu fokus sama kesalahannya Dirga tanpa mau ngelirik sedikitpun usahanya buat balikan sama lo? Lo tahu TeraMart terbaru dia bangun buat siapa? Buat lo! Buat masa depan kalian!"

Sena menatap datar pada Raras yang memandangnya tajam.

" Dan lo cemburu sampai bawa-bawa itu di depan gue."

Raras terdiam, namun Sena bisa melihat dengan jelas bagaimana sorot mata itu mengabur lagi. Dan itu cukup bagi Sena.

" Kalau gitu lo rayu aja Dirga kayak dulu. Apa susahnya buat lo? Dulu waktu masih ada gue kayaknya gampang banget buat lo. Sekarang gue udah pergi, harusnya itu jadi lebih gampang, kan?"

" Dirga masih inget lo terus, Na. Di pikirannya, di hatinya, dia selalu mikirin lo!" ucap Raras frustasi. " Lo pikir selama ini gue nggak berusaha bikin Dirga lupa sama lo? Hah? Tapi apa? Selalu dan selalu, nama lo yang disebut dia sampai telinga gue panas. Gue capek, Na. Gue capek berjuang! Gue capek terjebak di masalah kita bertiga. Sekarang gue cuma mau Dirga bahagia dan gue tahu bahagianya Dirga itu sama lo. Jadi tolong, kasih dia kesempatan kedua."

Agaknya, wanita itu memuntahkan seluruh isi hatinya pada Sena saat ini. Gadis itu memukul-mukul dadanya dengan sesak sembari menatap Sena dengan pandangan memohon.

" Sekali aja, Na. Sekali aja, dan gue jamin lo akan hidup bahagia. Anggap aja kemarin adalah kesalahan yang dibikin Dirga karena dia manusia. Dia berusaha memperbaiki itu. Dia bahkan udah merencanakan masa depan sejauh itu sama lo. Kalau lo nggak percaya, Na, dia udah beli rumah buat kalian berdua. Dia cowok baik-baik, Na. Dia laki-laki yang pantas lo kasih kesempatan kedua!"

" Begitukah?" tukas Sena dingin, terlalu dingin hingga Raras terdiam. " Ini bukan tentang kesempatan kedua, Ras. Tapi tentang gue yang emang nggak mau balik sama Dirga."

" Tapi kenapa?" sergah Raras putus asa. " Dia benar-benar pingin balik lagi sama lo, Na. Apa lo masih terbebani sama rasa benci lo, iya?"

" Gue emang masih benci sama Dirga. Tapi bukan itu alasannya," kata Sena. " Tututan lo nggak masuk akal. Apa ada yang bilang kalau gue harus kasih Dirga kesempatan kedua cuma karena dia menyesal dan memperbaiki diri?"

Raras bungkam.

" Nggak. Nggak ada yang mengharuskan gue kayak gitu. Ini hidup gue. Seluruh keputusan, ada di tangan gue. Hidup gue nggak berhenti cuma gara-gara Dirga nyakitin gue. Jadi harusnya Dirga juga tahu kalau gue nggak akan pernah nunggu dia buat memperbaiki diri. Lo bilang itu semua sama Dirga. Berhenti ganggu gue."

" Tapi, Na..." bisik Raras mengusap pipinya. " Dia benar-benar pingin lo balik lagi sama dia. Dia menderita."

Sena terdiam sesaat.

" Gue nggak bisa. Harus berapa kali lagi gue bilang?"

Raras menelan ludah ketika gadis di hadapannya ini selayaknya batu yang keras sekali.

" Dia udah mempersiapkan masa depan buat lo, buat kalian. Apa lo bakal menyia-nyiakan itu, Na? Dia cowok yang bertanggung jawab, sampai sebegitu memikirkan kalian berdua! Lo harusnya bersyukur masih begitu dicintai sama cowok setulus itu!"

" Nggak, gue nggak merasa bersyukur," tepis Sena dingin. " Yang ada gue merasa keganggu."

" Lo itu emang hati batu banget!"

" Bagus, kan. Jadi gue nggak mati waktu lo nusuk gue dari belakang."

Seleret rasa tidak terima melintas di wajah Raras. Namun perempuan itu kehilangan kata-kata. Saat itu, sebuah ketukan terdengar di pintu, membuat dua wanita itu menoleh bersamaan.

" Baru ada tamu? Maaf mengganggu," tanya Sakti tersenyum samar setelah Sena mengizinkannya masuk. Laki-laki itu masih memakai setelan jas tadi pagi. Ia membawa dua buah bungkusan. Satu ia letakkan di depan mereka, satu lagi ia tahan sebelum mendekati Sena.

" Aku pulang, Na. Salad buah. Tadi kebetulan lihat," ucapnya lembut seraya mengusap puncak kepala Sena dan menuju dapur untuk menaruhnya di kulkas.

" Silahkan dilanjut," katanya ramah sebelum melangkah keluar.

Sena menatap Raras, yang sepertinya mulai merangkai sebuah kesimpulan di balik wajahnya yang terkejut.

" Itu pacar lo sekarang?" tanya Raras lamat-lamat.

Sena, yang mengeluarkan dua bungkus salad buah dari bungkusan mengangguk singkat. Kemudian, ia mendengar Raras mendengus.

" Pergi dari Dirga, really?" dengusnya lagi seraya menatap Sena dengan penuh selidik. " Jangan membodohi gue, Na. Gue tahu betul siapa lo. Lo cuma cari cowok yang punya sifat kayak Dirga."

Gadis itu mengedik ke arah salad buah.

" Bawain lo camilan, ngelus kepala lo, kata-katanya lembut, it is so Dirga," ejek Raras. " Dan biar gue tebak, dia selalu kasih lo ciuman di dahi setiap pagi."

Diam Sena sudah menjawab pertanyaan Raras. Dan karenanya, perempuan itu tertawa tidak percaya.

" Lo itu belum bisa ngelupain Dirga. Lo cuma lari, Na. Kebencian lo itu cuma buat menutupi perasaan lo yang sebenarnya." kekeh Raras. " Jadi daripada lo sama cowok nggak jelas, mending sama Dirga aja yang nyata-nyata udah kasih bukti kalau dia serius sama lo. Gue tebak, cowok tadi cuma bisa manis di bibir doang."

Raras menerima Salad buah yang diulurkan Sena.

" Aku kenal kamu, Na. Nggak ada yang bisa merubah masa lalu, termasuk waktu dimana kita masih saling percaya. That's why, I know you more than yourself. You still in love with Dirga, behind that hateful face."

"Gue cari orang yang bikin gue nyaman," ucap Sena sambil lalu.

" Siapa yang tahu masa depan, Na? Lo nggak bakal tahu apa yang laki-laki itu lakuin di masa depan. Tapi Dirga, dia jelas-jelas tahu rasanya waktu lo pergi. Dia jelas-jelas menderita dibenci sama lo dan dia jelas-jelas berusaha ngedapetin lo lagi tanpa menahan diri. Tanpa gue harus jelasin, lo juga tahu mana di antara keduanya yang bakal ngejaga lo sepenuh hati."

Raras memutari meja di antara mereka agar bisa berhenti tepat di hadapan Sena. Gadis itu merengkuh Sena dalam pelukannya.

" Masa lalu nggak pernah melepaskan lo atau Dirga dengan mudah, Na. Suatu saat, lo akan tahu kalau kembali bersama adalah hal terbaik setelah melewati luka."

*TBC*

kucinta padamu namun kau milik

sahabatku dilema hatiku andaiku bisa

berkata sejujurnya 🎶

(Raras's Themesong)
😌😌😌

Selamat sore semua, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro