Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 35. Permintaan Sakti

WARNING!

cuma Warning aja, sih

*kabur*

=====

Dua puluh menit berlalu sejak mereka meninggalkan area pemakaman umum.

Kini, mereka berada di dalam mobil, masih sama-sama terdiam. Sakti membiarkan Sena memahami semuanya, sedangkan Sena sibuk dengan fakta baru yang diketahuinya tentang Sakti.

" Kalau gitu nggak perlu ke rumah sakit lagi, Mas."

Suara Sena memecah keheningan, membuat Sakti yang berkonsentrasi di jalanan tersenyum samar.

" Hal yang bikin takut adalah kenangan itu, Na. Bukan rumah sakitnya. Keberadaan kamu membuat kenangan itu tertumpuk sama memori yang lebih menyenangkan, karena setiap aku ke rumah sakit, aku selalu membayangkan ada kamu yang tiba-tiba berdiri di sampingku."

Sakti terkekeh ketika melihat rona merah di pipi Sena, membuatnya tidak tahan untuk tidak menyentuhnya.

" Terus, Mas Sakti..." Sena menghentikan pertanyaannya karena merasa gamang, namun dia ingin tahu semuanya tentang Sakti. " Mas Sakti sama siapa?"

" Sama Om Gibran, adik Bunda. Dia satu-satunya kerabat yang aku punya karena ayah anak tunggal dan kakek nenek udah nggak ada semua," jawab Sakti langsung. " Om Gibran mengambil alih hak asuhku. Dari beliau, aku kenal dunia komputer karena dia programmer. Setidaknya di siang hari. Malamnya, dia hacker, cracker, whatever you call it."

Sakti tertawa pelan seraya menatap ke depan, seolah sedang menerawang sesuatu.

" Dia meninggal di umurku yang ke delapan belas tahun. Nggak pernah nikah, karena ternyata dia tahu dia punya kanker paru-paru. Kapan-kapan, aku juga perlu mengenalkan kamu sama dia. Dia ayah kedua buatku."

Masih, nada bicara yang sangat santai. Padahal Sena sudah meremas dress-nya sedari tadi.

" Terus?"

Sakti menghirup nafas dalam.

"Aku balik ke rumah orangtuaku, berusaha sebaik-baiknya kuliah dengan sisa tabungan mereka. Buat tambah-tambah, aku kerja jadi designer freelance di salah satu kantor advertisement, kerja di percetakan juga walaupun cuma paruh waktu. Itu semua cukup buat biaya kuliah."

Sakti menoleh ke arah Sena, yang ternyata sudah menatapnya dengan muka yang basah penuh air mata.

" Kenapa nangis terus dari tadi, sih?" kekehnya geli. " Jangan sedih, Na. Itu kan dulu."

Mendengarnya, isakan Sena justru semakin keras.

" Terus...sejak kapan kerja di Aztec?" tanya Sena berusaha mengendalikan diri. Persetan dengan penampilannya. Dia tidak peduli lagi dengan air mata yang membasahi wajah atau ingus yang sedari tadi menghabiskan tisu di dashboard Sakti.

" Hm...tahun ini tahun ke lima, kalau mengesampingkan masa-masa aku jadi pegawai kontrak selama dua tahun," jawab Sakti ringan.

Tentu saja, Sena mengerutkan kening, " Tujuh tahun?"

" Bisa dibilang begitu. Aku jadi tenaga kontrak di Aztec sebelum lulus kuliah. Awalnya iseng saja, ternyata diterima. Dua tahun kerja kontrak, resmi jadi pegawai tetap di Jepang, lalu dipindah ke sini empat tahun lalu."

Sena mengamati Sakti yang masih mengemudi dengan tenangnya.

" Kamu hebat, Mas," Ucap Sena tersenyum. Kemudian, ia jadi teringat kata-kata Rafi yang menghakiminya di restoran beberapa waktu lalu. " Mas Rafi tahu tentang ini, ya? Pantesan waktu itu dia agak marah sama aku."

" Hm? Nggak, nggak ada yang tahu masa laluku selain kamu, Nath, Bayu dan beberapa orang lain," ucap Sakti mengerutkan kening.

" Masa? Mas Arga? Orang kontrakan? Mas Sakti kan sering malam-malam ngobrol sama Mas Gagah dan yang lain."

" Nggak juga," jawab Sakti. " Nggak ada alasan aku mengumbar hal-hal seperti itu, Na. Kalau kamu menolak aku ajak menjenguk mereka tadi, aku juga belum akan cerita ini sama kamu. Cuma kepingin tahu saja, mana orang yang berhak aku bagi masa laluku, mana orang yang cukup tahu aku yang sekarang."

" Mas, kadang aku ngerasa kamu itu mengerikan," dengus Sena.

Sakti tertawa, " Masa? Kamu takut?"

Melihat tawa Sakti, Sena tersenyum lagi. Ada sebagian dari dirinya yang bersyukur Sakti bisa sekuat itu.

" Nggak. Kamu tahu pasti apa yang aku takutkan, Mas."

Mendengarnya, Sakti menoleh pada Sena sekilas.

" Na, mau bahagia sama aku?"

Mau. Dia mau sekali berbahagia dengan Sakti. Bodoh kalau dia menolaknya. Tapi tolong, jawaban itu tidak bisa dengan mudah ia lontarkan karena rasa takut menyebalkan yang masih belum bisa benar-benar ia tepikan.

Melihat Sena yang masih terdiam, Sakti tersenyum. Laki-laki itu meraih tangan Sena dan membawanya ke pangkuan, menggenggamnya sementara satu tangan yang lain ada di kemudi.

" Kamu tahu apa yang aku pikirkan setelah Ayah, Bunda dan Om Gibran meninggal?"

Sena mengerjap, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran mengerikan yang menjajah otaknya tanpa disadari.

" Ng, takut sendirian? Bingung mau gimana?" Sena mengernyit. " Delapan belas tahun masih terlalu muda untuk bisa hidup sendiri di dunia."

" Memang masih terlalu muda. Tapi bukan berarti nggak bisa. Aku banyak ketemu teman-teman yang nantinya sangat berpengaruh di hidupku. Tapi bukan, bukan itu yang aku sadari setelah banyaknya kehilangan yang aku alami."

Sena menoleh bersamaan dengan Sakti yang menatapnya.

" Ternyata nggak ada manusia yang tahu umur, Na."

Sena mengedip, " Hubungannya?"

" Kamu tahu rata-rata umur manusia sekarang? 70 tahun, Na," celetuk Sakti. " Sebentar banget, kan? Aku cuma minta kamu temani aku di waktuku yang sedikit itu. Karena aku perlu bilang sama kamu, kalau aku nggak ada niat main-main di waktuku yang sebegitu sempit. Ada banyak hal yang perlu aku lakukan. Bahagia bersama, membimbing anak-anakku, memastikan keluargaku berkecukupan, jadi kakek yang baik, menabung amal buat di akherat nanti. Kadang aku merasa 70 tahun itu waktu yang sebentar."

Sakti menjeda kalimatnya kala dirinya tersenyum samar pada Sena yang menatapnya dalam diam.

"Di dunia ini, di waktuku yang sebentar ini, boleh nggak aku minta semua tentang kamu? ini kenapa kamu malah nangis, Na?"

Sakti justru tertawa kala Sena menangis lagi.

" Omongan kamu bikin aku takut, tau nggak Mas? Bawa-bawa mati segala," sergah Sena mengusap kasar wajahnya sendiri.

" Karena setiap manusia pasti mati, Na," ucap Sakti lembut, " And death is the best reminder, at least for me."

" Jangan ngomong yang aneh-aneh!" tukas Sena cepat. " Jangan ngomong gitu, aku nggak mau."

Sakti tergelak pelan. Laki-laki itu tidak menjawab karena sibuk menepikan mobil dan masuk ke halaman sebuah restoran di pinggir jalan. Sena melirik jam. Ternyata waktu makan sudah lewat beberapa jam lalu. Pantas saja dia merasa lapar.

Sakti mematikan mobil dan melepas seatbelt-nya sendiri sebelum membungkuk untuk melepaskan seatbelt Sena, membuat gadis itu membeku kala tubuh Sakti berada dekat sekali dengannya hingga aroma mint laki-laki itu memabukkannya. Setelah berhasil, Sakti menoleh ke arahnya hingga hidung mereka hanya berjarak satu senti.

Dan mendadak saja, dia tidak keberatan berada di posisi ini selama mungkin. Karena entah sejak kapan, terperangkap dalam tatapan manik mata coklat tua itu menjadi salah satu momen favorit Sena.

" Itu salah satu alasan kenapa aku nggak mau main-main. Kita nggak pernah tahu kapan Tuhan memanggil kita. Bisa saja sementara kita makan, ada gempa dan aku nggak selamat karena bangunannya rubuh. Atau ada orang yang ngasih racun di minumanku. Atau aku keselek-"

Menggertakkan gigi, gadis itu menangkup mulut Sakti agar tidak bicara lagi. Kekehan geli Sakti teredam di tangkupan, membuat telapak tangan Sena tergelitik. Sakti melepaskannya. Tatapannya melembut kala memandangi Sena dalam jarak yang sedemikian dekat.

" Tapi, kalau bisa, jangan dulu. Aku belum ngeklaim kamu jadi pasangan dunia akhiratku, soalnya," ucap Sakti mengecup ringan ujung hidung Sena. " Ayo makan."

**

Sena mengerutkan kening kala Sakti mengarahkan mobil ke sebuah gerbang yang menyembunyikan rumah megah di dalamnya.

Gerbang kayu kokoh berwarna coklat itu terbuka satu, menampakkan halaman luas yang membuat kepala Sena berputar.

" Ini rumah siapa?" tanya Sena mengerutkan kening.

" Hm, ini salah satu rumah temanku. Aku udah bilang sama kamu aku punya teman-teman yang berpengaruh di hidupku. Dia salah satunya," ucap Sakti menghentikan mobilnya di pelataran, dimana Sena menyadari terdapat mobil lain di sebelah mobil Sakti. Sena mengikuti Sakti menuju sebuah beranda dengan kolam ikan di salah satu sisinya, membuat Sena salah fokus akan ikan-ikan koi jepang yang coraknya sangat cantik.

Sakti membunyikan bel, tertawa kecil pada Sena yang termangu melihat ikan-ikan koi itu. Laki-laki itu mengusap tengkuk ketika pikiran gila untuk merengkuh Sena begitu menguasainya.

Ck. Bagaimana tubuh mungil itu bisa sedemikian mempesona dan enak untuk dipeluk-peluk?

" HAH! KAPTEN HOOK!"

" ANGKEL SATI!"

" Alexandra, sebentar-Sandra--"

Detik berikutnya, Sena berputar dan terkejut kala Sakti terjatuh ke lantai dengan tiga anak kecil mengerubuti dan duduk di atas tubuhnya. Satu-satunya anak perempuan dan terlihat paling kecil duduk di perut Sakti, menggelitiki pinggang Sakti hingga laki-laki itu tertawa sembari berusaha meraih salah satu anak kecil nan berisik itu. Tapi ketiganya berkelit sambil terbahak.

" Aidan! Kenapa berisik di depan? Lho Sakti, kapan sampai?"

Seorang wanita cantik muncul di ambang pintu. Perutnya yang membuncit terbalut dalam terusan ringan yang serasi sekali dengan kulitnya. Ia memandangi Sakti dengan berbinar.

" Aidan, panggil Ayah. Bilang ada Om Sakti, ya sayang," katanya.

Tiga anak itu langsung ribut.

" Tapi Bunda, kapten Hooknya jangan dibolehin pergi!" ucap si anak bermata coklat sembari berkacak pinggang.

" Aidan, Aidan, nanti bikin pedangnya dulu!" Seorang anak yang paling tua di antara mereka memberi usulan dengan semangat.

" Gaboleh pegi!" Si anak perempuan yang paling kecil ikut mendengus dan mengerucutkan bibir. Lalu ketika ia berputar, anak itu menyadari kehadiran Sena.

Si anak perempuan bermata biru jernih itu membuka mulut lebar-lebar.

" Tatie sapa?"

Serentak, mereka semua menoleh. Termasuk wanita hamil tadi.

" Bukan Tante Nath?" celetuk si anak paling tua dengan kening mengerut.

" Adam, temani Aidan panggil Om Dewa. Oke?" Cepat-cepat si wanita tadi mengambil alih.

Adam, si anak paling tua tadi menoleh pada si wanita hamil dengan penuh selidik, tapi ia mengangkat bahu dan segera berlari ke dalam.

Setelah ketiga anak itu menghilang, Sakti bangkit dan memutar bahunya yang bergemeretak.

" Mereka tambah berat," kekeh Sakti, kemudian ia menoleh pada Sena.

" La, ini Sena," ucap Sakti meraih Sena agar mendekatinya. " Sena, Nala. Dia udah aku anggap kakakku sendiri."

Wanita bernama Nala itu menatap Sena dengan berbinar. Sepasang mata berwarna coklat muda miliknya menyapu Sena dari atas hingga ke bawah. Kemudian, ia tersenyum.

" Ayo masuk. Nggak perlu malu-malu," katanya ramah.

Saat itu, seorang pria sedang menuruni tangga dengan satu tangan memegang ember kosong, tangan lain menahan si bocah perempuan bermata biru jernih yang sedang duduk di pundaknya. Di belakangnya, Adam dan Aidan mengikuti dengan melompati tangga dua-dua. Laki-laki tadi mengangkat alis kala melihat Sakti.

" Kapan sampainya?" tanyanya antusias mendekati mereka.

" Baru aja. Dari makam," jawab Sakti berjabat tangan dengan pria tadi. Laki-laki itu mengangguk paham dan menurunkan si balita bermata biru jernih untuk mengikuti kedua anak yang lebih tua darinya dengan sepasang kakinya yang mungil.

" La, masih ada jemuran?" tanyanya pada Nala. Nala menggeleng.

" Nggak ada. Makasih ya, Ayah. Sini embernya aku bawa ke belakang," pinta Nala hendak meraih ember tadi. Namun laki-laki itu menjauhkannya.

" Aku saja," ucapnya lembut sebelum mencium sisi kepala Nala, membuat Sena memalingkan wajah karena tiba-tiba merasa panas.

" De, ada tamu!" desis Nala berusaha menepikan jemari Dewa yang memerangkap dagunya.

Pria itu mengerling sekilas sebelum fokusnya berhenti pada Sena, seolah dia baru menyadari keberadaan Sena di sini. Sementara Sena langsung mengalihkan pandangan pada Sakti di sampingnya, yang memandangnya dengan geli karena reaksi canggung gadis itu.

" Kalau Sakti bawa dia ke sini, berarti dia bukan tamu," ucapnya mengulurkan tangan. " Dewa."

" Sena," Sena meraih jabatan tangan itu.

" Selamat datang di sini. Sakti, diajak duduk dulu." katanya sebelum meraih embernya kembali dan berjalan di samping istrinya, " Fabian belum balik?"

Nala menggeleng, " Belum. Padahal udah hampir satu jam. Reno dipanggil deh, De. Daripada sibuk mainan bathbomb di belakang."

Pria itu tertawa sebelum menunduk guna mencium puncak kepala istrinya, membuat Nala menggerutu entah tentang apa.

Sementara Sena sedari tadi mengedarkan fokus ke seluruh sudut ruang tamu yang maha luas ini, Sakti sudah duduk di sofa dan membolak-balik majalah di tangannya. Sena menyukai perabotan-perabotannya yang justru terkesan unik karena bentuk dan warnanya yang didominasi oleh warna hitam dan putih.

" Rumahnya bagus, ya? Kamu pingin rumah begini juga?" tanyanya antusias ketika Sena duduk di sampingnya.

Sena tertawa kecil, " Rumahnya besar sekali. Aku pasti bingung gimana cara ngebersihinnya."

Mendengarnya, Sakti ikut tersenyum. Ia menatap Sena dengan lembut, " Kan ada aku, Na. Kita bersihin sama-sama. Jadi, mau ya?"

Sena sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Maka ketika Nala muncul, gadis itu merasa terselamatkan. Karena jujur saja, obrolan mereka tadi benar-benar membuat jantungnya jumpalitan.

Sekali lagi, Sakti dan proyeksi masa depannya yang masih tidak mampu diimbangi Sena.

Nala datang membawa sebuah baki yang beberapa gelas minuman. Melihat perutnya yang membuncit lumayan besar, Sena berdiri dan meraih baki itu dari tangan Nala.

" Biar aku saja, Mbak," kata Sena. " Kembar, kah?"

Nala mengangkat alis dan mengelus perutnya, " Iya, kelihatan banget, ya?"

" Hmm, mungkin karena udah biasa," jawab Sena meletakkan minuman itu ke atas meja sebelum menghadap Nala lagi, yang menatapnya dengan antusias.

" Good. Bikin kue, yuk? Biar Sakti sama yang lain di sini," ucapnya meraih tangan Sena. Tentu saja, perempuan itu kebingungan.

" Eh...t-tapi..." Sena menoleh ke arah Sakti, meminta penjelasan. Namun laki-laki itu hanya tergelak.

" Turuti saja, Na. Nala kalau hamil sukanya bikin kue," Sakti mempersilahkan mereka berdua pergi dengan senyum di bibirnya.

Maka Sena tidak ada pilihan lain selain mengikuti Nala yang mencengkramnya dengan kuat. Ia menyeret Sena ke dapurnya, hanya untuk menemukan berbagai bahan untuk membuat roti di sana. Aroma manis memenuhi dapur, membuat Sena otomatis mencari oven dan menemukannya tengah memeram sesuatu.

" Bikin croissant?" tanya Sena ketika menemukan seloyang kue yang masih mentah di atas pantry.

" Iya. Anak-anak pada suka. Kita di sini saja. Biasanya para cowok ngomong tentang hal yang nggak kita paham. Kurang satu lagi, Ian. Tapi sepertinya dia baru akan pulang beberapa jam lagi," ucap Nala memeriksa oven. " Kamu koki?"

Sena menggeleng, menerima semangkuk telur dan mixer yang diulurkan Nala, " Dietitian."

" Oh, paham," jawab Nala segera. Namun seakan mengingat sesuatu, ia mengerutkan kening. " Sakti masuk rumah sakit?"

Sena menatap wanita cantik di depannya, mengambil kesimpulan bahwa wanita ini tahu masa lalu Sakti. Sena mengangguk.

Nala terdiam, kemudian seulas senyum tercipta di bibirnya, " Selama ini Sakti selalu telfon Dewa kalau sakit. Pernah kena demam berdarah sampai Dewa panik sendiri. Sekarang sepertinya kami harus kehilangan dia, karena dia pasti lebih milih ketemu sama kamu daripada jauh-jauh ke sini."

Mendengarnya, Sena menelan ludah dan memfokuskan diri mengocok mangkuk di depannya.

" Kamu kenal Sakti di mana?" tanya Nala kemudian.

" Satu kontrakan. Dia jadi tetanggaku."

Seakan teringat sesuatu, Nala menjentikkan jarinya. " Betul juga. Anak itu keluar dari GG nggak bilang-bilang. Tapi kenapa? Dia memang ngeyel banget, selalu nolak potongan harga--" Lalu ia menatap Sena dengan pandangan menilai, " Mungkin, dia bilang sama kamu ada yang salah dengan apartemennya? Pelayanannya? Fasilitasnya?"

Sena mengerjap. Dia agak tidak paham dengan pertanyaan Nala yang menurutnya tidak relevan.

" Sejujurnya, aku belum pernah tanya kenapa Mas Sakti pindah dari apartemen ke kontrakan kecil begitu," celetuk Sena agak merutuki kebodohannya sendiri. " Mungkin agar nggak satu tempat tinggal sama Mbak Nathalie. Mereka satu kompleks soalnya."

" Oh, Nath..." tiba-tiba saja Nala terkekeh geli. Ia melambaikan tangan sekedarnya pada Sena. " Nggak perlu cemburu sama dia. Dan aku yakin, alasan Sakti bukan karena menghindari Nath. Sakti bukan orang seperti itu."

Sena tersenyum. Tidak, dia tidak cemburu. Sungguh.

" Mbak Nala udah lama kenal Mas Sakti?" tanya Sena berkonsentrasi dengan pekerjaannya. " Waktu di makam tadi...Mas cerita."

Sena menelan ludah ketika sesuatu yang kasar menyangkut di tenggorokannya. Ia menoleh, hanya untuk mendapati Nala sedang menatapnya dengan senyum di salah satu sudut bibirnya.

" Aku kenal dia setelah menikah. Dia teman Reno dan Dewa cukup lama mengenalnya. Dia banyak membantu kami, apalagi waktu masalah si Marko dulu. Hanya saja, Sakti sering menghabiskan waktunya di luar negeri," Kata Nala. " Bagiku, dia sudah seperti adik sendiri."

Kalau teman-teman yang Sakti sebutkan memang sebaik ini, Sena tidak terkejut jika Sakti bisa bertahan.

" Aku berterima kasih karena kamu mau menerima ajakan Sakti ke makam." Nala berkata lagi. " Alasan dia agak aneh, kan?"

Sena hanya tersenyum samar. Saat itu, ia ingat perkataan si anak yang lebih tua, " Mbak Nath pernah kesini?"

Nala mengangguk, " Pernah. Sekali. Itupun tergesa pulang karena dia harus berangkat ke luar negeri." Nala menghembuskan nafas. " Aku nggak pernah mencampuri urusan pribadi Sakti. Tapi karena aku sudah menganggapnya adik sendiri, kadang aku bisa jadi sangat egois."

Sena menatapnya tidak mengerti, membuat Nala terkekeh pelan, " Singkatnya, aku lebih suka kamu daripada Nath. Paling nggak, kamu jago bikin kue."

Sena mendengus geli. Dia mulai nyaman dengan wanita ini. Tidak ada rasa canggung atau apapun. Rasanya justru seperti bertemu kakak perempuan yang tidak bisa diam karena sedari tadi Nala sibuk kesana kemari entah mengambil apa.

" Jadi, sudah berapa bulan?" tanya Sena mengalihkan perhatian ke arah perut Nala. Ada apa dengan dirinya? Mengapa akhir-akhir ini dia dikelilingi oleh ibu hamil?

" Tujuh," jawab Nala tersenyum. Saat itu, si anak bermata coklat, kalau tidak salah Nala memanggilnya Aidan, berlari masuk dan memeluk perut Nala.

" Nda, kuenya udah ada yang mateng?" tanya si anak dengan mata coklat yang baru disadari Sena mirip dengan warna mata Nala, meskipun jelas ia mewarisi garis wajah tegas ayahnya.

" Udah, tadi dibawa ayah ke luar. Coba tanya ayah," ucap Nala mengusap puncak kepala Aidan.

" Oh, okay!" ucapnya ceria. Saat itu ia mengecup ringan perut Nala. " Adek, jangan lama-lama di dalem, ya? Nanti Kapten Hook-nya keburu dimakan buaya-AHH BUAYA!!"

Aidan menunjuk ke arah laki-laki remaja yang baru saja melangkah memasuki dapur. Ia memakai jaket yang dibalut dengan selimut super tebal. Wajah dan hidungnya memerah, terlihat sekali sedang sakit.

Remaja itu menyedot ingusnya hingga berbunyi, membuat Aidan mengernyitkan dahi.

" Ih, buayanya kelamaan di air jadi pilek, iya kan Nda?" tawa Aidan sebelum berlari keluar dengan kecepatan super.

" Ayah!! Kata Bunda kuenya dibawa Ayah! Ayah, kok diumpetin? Aidan mau!" Suara Aidan berbaur dengan tawa ayahnya.

" LHOH, OM SAKTI MAU KEMANA?" Teriakan yang segera dikenali Sena berasal dari anak yang paling tua terdengar, diikuti langkah kaki cepat dan suara-suara ribut milik anak yang lain.

" GABOLEH PELGI! GABOLEH PELGI!" Suara imut si anak perempuan memenuhi ruangan.

" Om mau ke belakang sebentar, Sandra, sebe-" Terdengar suara debum pelan. " Kamu berat banget, ya?"

Segera saja terdengar suara tawa Sakti yang bercampur dengan ketiga anak lain. Membuat Nala dan Sena sama-sama mendengus geli.

Remaja tadi masih sibuk dengan ingusnya. Ia menatap Sena dengan matanya yang sayu, tampak tidak tertarik untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Ia berjalan mendekat, yang kemudian disadari Sena kakinya masih terbalut kaus kaki tidur, dan menyandarkan tubuh jangkungnya di punggung Nala.

" Dingin," keluhnya pelan dengan suaranya yang serak. Remaja itu semakin merangsek ke tubuh Nala yang lebih pendek darinya, menyembunyikan wajah di sela rambut Nala untuk mereguk kehangatan.

" Iya, masih panas gitu badannya. Udah minum obat?" tanya Nala berputar dan meraih dahi remaja itu. Dia mengangguk.

" Lala, aku mau bubur ayam," pintanya dengan sangat memelas. Saat itu ia melirik Sena. " Anak panti?"

" Iya, nanti aku buatkan. Dan kamu jangan lirik-lirik Sena. Nanti kamu nangis nggak dibolehin pinjam game-nya Sakti."

Mata merah sayu itu membulat. " Hah?! Bang Sakti pacaran sama anak sekolahan?"

" Dafa, language!" cetus Nala menyipit, sementara Sena tertawa.

" Nggak papa, Mbak. Udah biasa. Beneran," ucap Sena santai.

Dafa mengerjap dengan mulut melongo, " Jadi, bukan SMA, ya? Kuliah?"

Nala berdecak dan mencubit pelan pipi Dafa, " Udah sana istirahat lagi. Kamu kalau demam ngomongnya aneh-aneh. Tiduran di atas aja, Fa."

Mendengarnya, Dafa mendengus pelan, " Iya. Dari tadi trio beruang berisik banget. Aku bobok di atas ya, Lala."

Sepeninggal Dafa yang terseok meninggalkan dapur, suasana kembali hening.

"Itu tadi Dafa, adik iparku," kata Nala menjelaskan pada Sena. Sena mengangguk paham.

" Ramai, ya," ucap Sena menyukai atmosfer ceria di sini.

" Aidan, umurnya lima tahun. Kakaknya si kembar." kekeh Nala mengedik singkat ke arah perutnya, " Yang perempuan namanya Alexandra, keponakanku. Dan Adam yang paling tua itu anak pertama Reno. Hari Minggu begini, biasanya semua pada kumpul. Kurang Leon dan keluarganya, tapi mereka memang jarang bisa datang ke Indonesia."

" Umm..." Sena berusaha keras memahami kalimat Sena. Yang jelas, nama Leon sangat asing di telinganya.

" Sakti orangnya gimana, Na?" Tiba-tiba Nala bertanya dengan antusias.

" Eh...Mas Sakti baik," jawab Sena. " Kadang kalau marah ngeri."

Nala terkekeh, " Sakti itu orang yang nggak bisa marah. Kalau dia marah berarti hal itu memang bikin dia nggak suka. Hati-hati, ya. Dia marahnya jarang banget pakai fisik, tapi ngirim virus, ngobrak-abrik akun medsos orang, nge-hack sistem pemerintahan, swasta, apalah. Apalagi kalau udah gabung sama Reno. Duh, jangan sampai! Walaupun ngakunya udah pada tobat jadi black hat, tapi aku nggak percaya. Kalau suatu saat Sakti diem aja di depan komputer sambil nulis kode-kode nggak jelas, kamu tanya aja, Na. Siapa tahu dia kambuh."

Sena tidak tahu black hat yang dimaksud Nala itu apa. Tapi dia bisa sedikit membayangkan orang seperti Sakti mengacak-acak sistem komputer orang lain, terutama setelah ancaman Sakti tentang menghancurkan TeraMart. Tanpa sadar, Sena mengembungkan pipi. Melihatnya, Nala tertawa. Namun tawanya diinterupsi oleh seorang laki-laki dan wanita yang memasuki dapur. Alexandra, si balita bermata biru tadi berada di gendongan satu tangan laki-laki itu, yang segera Sena sadari juga mempunyai iris berwarna biru jernih.

Laki-laki itu berbadan tinggi, tegap dengan bentuk tubuh yang membuat Sena ingin sekali memintanya beradu gulat dengan Gagah. Sorot matanya tajam, ditambah jambang samar yang tumbuh di wajahnya, membuat Sena jadi agak gamang juga.

" Siapa?" tanyanya dengan suara besar, membuat Sena sadar jika dia adalah kehadiran yang asing di sini.

Nala memutar bola mata seraya menerima sekantung plastik dari si wanita. " Sena-nya Sakti. Sena, ini Fabian, adikku. Dan jangan begitu, Ian. Kamu membuatnya ketakutan."

Laki-laki itu menyipit, " Kekasih Sakti anak seko-"

Apapun yang hendak diucapkan Fabian, menghilang saat si wanita tadi menangkupkan tangan ke mulut Fabian.

" Halo Sena. Baguslah. Aku lebih suka yang ini daripada Nath. Rasanya kepingin ngejambak walau cuma lihat mukanya Nathalie," ucapnya tanpa menggubris lirikan Fabian.

" Dilla, kamu itu ya..." kekeh Nala membuat Dilla mendengus.

" Sakti harus tahu kalau dia terlalu baik buat cewek macam Nath," ucapnya tidak peduli. " Walaupun Kak Nala selalu bilang kalau itu urusannya Sakti, tapi tetap sajhh--"

Karena kini, ganti Fabian yang menangkupkan telapak tangan besarnya ke mulut si wanita, membuat mereka saling lirik hingga Alexandra bingung dan menangkupkan tangan ke mulutnya sendiri.

Tuhan, tolong, sejak kapan rumah bisa terasa sebegini menyenangkan? Karena, Sena sudah lupa kapan terakhir kali dirinya merasa bahagia berada di tengah-tengah keluarganya sendiri.

Nala tertawa, kemudian dia mendorong Fabian.

" Sudah sana keluar dulu. Aku mau lanjut bikin kue."

" Hm, Sandra juga belum makan, kan? Kenapa, sayang? Rebutan ayam sama Bang Aidan lagi?" tanya Dilla meraih Alexandra ke dalam pelukannya dan keluar dari dapur diikuti Fabian.

" Yang perempuan itu Dilla, adiknya Dewa. Mereka orangtua Sandra, aku yakin kamu bisa nebak itu dari mata birunya," kata Nala membuat Sena mengerutkan kening.

" Adik?" tanya Sena memastikan.

Nala sangat memahami pertanyaan Sena sehingga ia menjawab, " Ian adik angkatku."

" Oh..."

Nala meraih adonan yang sudah selesai dicampur Sena, kemudian memberikan senyum pada Sena.

" Dilla memang nggak pernah suka Nathalie, dan aku pribadi merasa kurang cocok dengannya. Tapi kalaupun Sakti memutuskan untuk menikahi Nath, aku tetap akan ikut berbahagia dan menerimanya sebagai bagian dari keluarga kami. Tapi Nathalie justru memilih pergi dengan cara yang, yah...agak menyakitiku juga," ucap Nala menghela nafas berat. " Kamu tahu Sakti sudah mengalami banyak kehilangan. Hal yang paling berbahaya bagi orang seperti itu adalah berhenti berharap. Jadi, aku berdoa semoga kamu bukan salah satu dari 'kehilangan' dia nantinya."

Nala tersenyum lembut pada Sena yang terdiam.

" Jangan merasa terbebani. Aku cuma mendoakan yang baik-baik saja. Ayuk dilanjut lagi!"

*TBC*



Kenapa tiba-tiba??!

Nggak juga. Ada beberapa breadcrumb sebelum chap. ini
😳😳😳

Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro