Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 34. Bertemu Mertua

" Wah, pagi-pagi gini udah panas banget ya Mas."

Sakti menghentikan ciumannya, sedangkan Sena melepaskan jumper Sakti ketika suara Ana terdengar.

Arga menatap datar mereka berdua dengan kedua tangan berada di dalam saku jaket. Sementara Ana di sebelahnya memakai baju hamil terusan hingga ke mata kaki, juga terlapisi jaket. Berbeda dengan Arga, Ana menatap mereka dengan berbinar.

" Gimana kalau kamu pindah kontrakan aja?" tanya Arga melirik pada Sakti yang terlihat santai.

" Nggak perlu," jawab Sakti geli melihat reaksi Sena yang langsung bersembunyi di balik punggungnya dengan wajah padam. " Kita berangkat CFD dulu."

" Titip jambu air ya, Na. Kalau ada, sih," ucap Ana ceria.

Mendengarnya, Sena mencebik. Gadis itu menyambangi Ana dan membungkuk ke arah perutnya yang sudah semakin membesar.

" Kamu minta apa lagi selain jambu air?" tanya Sena lembut ketika gelombang sedih dan haru menerpanya bersamaan.

Ana terkekeh. Wanita itu meraih tangan Sena dan menempelkannya di perut, " Itu aja Tante."

Sena hendak menjawab ketika tiba-tiba saja, sebuah tekanan lemah terasa di telapak tangannya. Sena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat ketika matanya memanas.

" Safira."

" Hm?" Sena mendongak untuk menatap Ana yang berbinar.

" Namanya Safira. Cewek."

Sena menelan gumpalan besar di tenggorokannya, " Halo Safira. Tunggu Tante, ya. Nanti Tante belikan jambu air yang banyak."

" Siap, Tante! Udah sana berangkat!" tukas Ana menepuk bahu Sena dan meraih Arga yang tengah mengobrol dengan Sakti. " Ayuk Mas, nanti telat. Kita mau senam hamil dulu. Daaaa semuanya. Sakti, Sena dijaga! Awas kalau sampai ilang!"

Mendengarnya, pertahanan Sena jebol. Gadis itu membuang muka, namun tidak sebelum Ana tersenyum dan mengedip padanya untuk kemudian berlalu dengan Arga.

Sakti menatap Sena yang sekarang sibuk menangis dalam diam. Laki-laki itu menghirup nafas dalam, tidak mengatakan apapun selain mengusap puncak kepala Sena.

" Kalau gini aku harus ngehibur dengan cara gimana, Mas?" isak Sena. " Mending kalau Mbak Ana sedih, aku tahu apa yang harus aku lakuin. Lhah kalau ini...aku harus gimana? Sakit lihat senyumnya Mbak Ana."

" Senyum, Na," jawab Sakti. " Jauh di dalam sana, dia juga pasti sedih. Itu manusiawi. Tapi dia berjuang untuk menjadi kuat. Jadi, jangan pernah menangis di depan Ana atau Arga."

Sena menatap Sakti dengan cemberut, " Mas Sakti hatinya dingin."

Tentu saja, Sakti mengangkat alis. Namun laki-laki itu mendengus geli.

" Kalau begitu, tugas kamu bikin dia jadi hangat," celetuknya. " Hari ini ada acara?"

Sena mengusap pipinya dan menggeleng.

" Ketemu ayah ibu, mau?"

Gelayar ketakutan itu masih dirasakan Sena. Juga rasa berat hati dan keengganan familier yang selalu menahannya untuk tetap berdiam di tempat. Ia menatap Sakti beberapa saat, menyadari bahwa laki-laki itu hanya menunggu jawabannya tanpa pandangan menuntut.

Bukankah dia sudah memutuskan untuk tidak menahan diri?

" Oke," jawab Sena tersenyum. " Ayah Ibu suka apa? Nanti aku baiknya bawa apa?"

Sakti yang tersenyum lebar meraih tangan Sena. " Nggak perlu bawa apa-apa. Cukup dandan yang manis saja, biar ayah ibu tahu kalau calon menantunya cantik sekali."

Lagi, sebuah remasan hadir di dada Sena. Dia memang mencoba untuk melangkah, mencoba untuk menyingkirkan rasa berat itu. Tapi dia masih ketakutan jika Sakti mengangkat topik tentang keseriusan hubungan mereka. Bukan, bukan berarti Sena tidak senang Sakti mengungkapkan keseriusannya.

Dia hanya belum terlalu siap.

Seberani apapun dirinya, luka yang tertoreh masih membayanginya. Membuat Sena selalu takut jika nanti dirinya benar-benar tenggelam, tiba-tiba saja Sakti meninggalkannya.

**

Sena sudah wangi. Dia juga sudah rapi. Tapi dia masih berdiri hampir lima belas menit di depan cermin rias.

Dia tidak pernah se-nervous ini. Bahkan ketika harus bertemu tante Sofia –mama Dirga- untuk pertama kali, perkenalan mereka terlalu natural hingga Sena merasa sedang bertemu ibunya sendiri.

Sena menggigiti bibirnya, dengan canggung merapikan casual dress selutut  yang berwarna merah marun, dress kelima setelah Sena mengobrak-abrik lemarinya. Ia mengamati rambutnya yang separo ia ikat dan sisanya ia gerai hingga sepunggung. Tidak ada yang aneh, kan? Kira kira nanti dia harus bicara apa? Kira-kira bagaimana tanggapan mereka tentang dirinya? Bukankah penampilan adalah impresi pertama? Apa sekarang penampilannya terlalu kekanakan? Atau malah terlalu dewasa?

Suara mobil memasuki halaman menyadarkan Sena. Itu pasti Sakti, karena dia tadi pamit hendak keluar sebentar sebelum mereka berangkat. Sena menenangkan diri. Gadis itu meraih cardigan hitam dan mengalungkan sling bag di pundak . Ia cepat-cepat menyambar sebuah flat shoes hitam sebelum akhirnya keluar, hanya untuk mendapati Sakti tengah bersandar di depan tembok unitnya.

Laki-laki itu menoleh kala Sena keluar, melumpuhkan Sena dengan senyum manisnya. Kali ini, Sakti mengganti pakaian serba hitamnya dengan sebuah kemeja casual  lengan pendek berwarna biru yang dipadu dengan celana hitam. Oh, dan jangan lupakan jam tangan berwarna perak yang melingkar di tangan kirinya.

Sebuah ciuman di dahi menyadarkan Sena.

" Kenapa kamu harus secantik ini?" bisiknya sebelum menunduk dan menciumnya penuh kelembutan.

Ah, benar-benar...

Sena tidak bisa menahan tangannya agar tidak berkalung di leher Sakti dan menariknya untuk menghapus setiap jarak di antara mereka. Sebuah sambutan yang membuat Sakti tersenyum di tengah ciuman mereka. Laki-laki itu membelai pelan dagu Sena dan memperdalam ciuman, membuat jantung gadis itu semakin jumpalitan di tengah usahanya agar tidak terengah dan menikmati ciuman ini lebih lama.

Sepertinya Sakti belum berniat melepaskannya. Laki-laki itu malah meraih pinggang Sena dan menariknya mendekat, membuat gadis itu semakin terlena dan melupakan semuanya.

Ketika akhirnya Sakti menjauh, sesuatu dalam diri Sena meraung tidak terima. Gadis itu memejamkan mata, menyadari bahwa nafasnya tersengal hebat. Kalau Sakti tidak berhenti, mungkin Sena bisa pingsan saat itu juga.

" Kamu pendek."

Sena mendengus, " Biar!"

Sakti tersenyum samar melihat gadisnya mencebik, benar-benar membuat Sakti ingin menciumnya sampai nafasnya habis.

" It's cute, Na. I love it."

Gadis itu meraih kemeja Sakti agar laki-laki itu membungkuk dan merapikan kerah kemejanya. "Harusnya aku pakai wedges atau heels sekalian, ya?"

" Hmm, nggak perlu. Kalau kamu nggak bisa, aku saja yang kesitu. Gampang, kan?" ucap Sakti kembali mengecup ringan bibir Sena.

Sakti terkekeh geli ketika rona merah merambati wajah Sena dengan cepat. Lebih baik mereka segera berangkat sebelum Sakti menghabiskan waktu dengan mencium Sena seharian.

" Rumah ayah ibu dimana?" tanya Sena ketika mereka mulai melaju di jalan raya.

" Jauh," jawab Sakti. " Paling butuh tiga sampai empat jam. Kamu bisa tidur dulu, Na."

" Jam segini belum ngantuk, Mas," Tukas Sena. " Ayah sama ibu, mereka...gimana? Maksudku, aku harus apa?"

Mendengarnya, Sakti tersenyum, " Mereka nggak bakal gigit kamu, Sena. Just be yourself."

Sena memutar bola mata. Bukan itu yang dia tanyakan.

" Mas Sakti berapa bersaudara? Ayah sama ibu masih kerja? Kerja apa?"

Sakti menoleh, tiba-tiba tertawa geli.

" Kamu se-nervous itu, ya?"

Sena menekuk wajahnya. " Iya. Ternyata aku se-nervous ini."

" Segitunya pengin kelihatan baik di mata ayah ibuku? Takut nggak disetujui jadi mantu?"

Pertanyaan macam apa itu? Sena mendelik pada Sakti, yang semakin tertawa. Menyebalkan. Sakti terkadang memang bisa semenyebalkan ini. Sena meniup rambut yang beterbangan di wajahnya dan menoleh kembali ke depan, meninggalkan Sakti yang tengah tertawa. Sepertinya laki-laki itu puas sekali.

" Ayah dosen, ibu guru SMA," jawab Sakti membelai pelan puncak kepala Sena. " Dan aku anak tunggal."

Sena manggut-manggut. Dulu, dia pernah iri sekali dengan temannya yang anak tunggal. Tapi toh apa bedanya, Sena tidak pernah benar-benar merasakan punya saudara.

" Mbak Nathalie pernah ketemu?"

Entah mengapa, Sena mengajukan pertanyaan itu. Gadis itu melirik Sakti, ingin mengetahui reaksinya. Namun Sakti terlihat santai dengan fokus masih ke depan dan satu tangan membelai rambut Sena.

" Pernah."

" Oh."

" Kenapa?" tanya Sakti menoleh. " Merasa nggak spesial?"

Sena terdiam, lama. Karena pertanyaan Sakti sangat tepat, dan karenanya dia jengkel pada dirinya sendiri. Astaga, apa dia sedang cemburu?

" Aku nggak pernah main-main dalam mencari pendamping hidup, Na. Sekalinya seorang wanita jadi kekasihku, aku akan bawa mereka ke hidupku."

Sakti mengatakannya dengan tenang dan tegas meskipun bernada santai. Terkadang, Sakti yang begini agak mengerikan di mata Sena.

" Berarti, dulu sering ke rumah ayah ibu sama Mbak Nath?"

Sena bisa menangkap senyum samar Sakti di salah satu sudut bibirnya. Laki-laki itu menggeleng.

" Nathalie cuma pernah ke sana satu kali, karena dia wanita yang sibuk sekali," Jawab Sakti. " Kami jarang punya waktu bersama, bahkan ketika kami satu tempat kerja. Jam terbang Nath lebih padat ketimbang aku. Dalam seminggu saja, dia bisa terbang dua tiga kali ke luar negeri."

Sena terdiam, lama. Membuat Sakti menoleh padanya ketika mereka berhenti karena lampu merah.

" Sekali lagi, itu bukan alasanku nggak mempertahankan dia," ucap Sakti menepis pikiran Sena dengan sangat tepat. " Kita bisa bertahan selama tiga tahun dan aku nggak pernah menuntut Nath untuk menjadi orang yang bukan dirinya. Dia menyukai pekerjaannya dan aku menghormatinya."

Sena menatap Sakti yang berhenti bicara karena lampu berganti hijau.

" Kamu sudah tahu alasannya. Dan kalau kamu ingin memastikan apakah alasannya hanya itu, iya. Memang hanya itu." Sakti meneruskan.

Sena terdiam, kemudian ia beringsut mendekati Sakti dan menarik pelan tubuhnya agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di pipi laki-laki itu.

" Devasena, kamu nggak sadar kamu bisa bikin kita celaka?" Sakti terkekeh pelan.

Sena tertawa pelan, namun tidak menjawab kelakar Sakti. Gadis itu kembali bersandar di kursinya sendiri, mengamati jalanan di depan. Di depan sana, langit terlihat lebih kelam. Mungkin mereka akan bertemu hujan sebentar lagi. Sekarang saja dia sudah bisa merasakan hawa yang semakin dingin hingga gadis itu mengenakan kardigan untuk menutupi bahu yang terbuka. Hah, dengan cuaca seperti ini, hal yang paling Sena inginkan adalah bergelung di kasur berbalutkan selimut tebal.

Keheningan lama membuat Sakti menoleh ketika mereka berhenti lagi di lampu merah, kemudian tertawa kecil.

" Katanya nggak ngantuk," celetuknya geli sendiri sebelum beringsut dan mencium kening Sena. Ia meraih rambut yang beterbangan di pipi Sena, menyilanya di belakang telinga dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya.

Sena terlihat manis dan polos ketika tidur. Membuat Sakti bertanya-tanya seberapa jauh lagi dia bisa terjatuh pada gadis ini.

**

Suara klakson panjang dan memekakan telinga membangunkan Sena.

Terbelalak, gadis itu menoleh sekitar dan mendapati Sakti tengah menyipit melihat spion samping. Masih dengan jantung berdebar, gadis itu teringat bahwa mereka sedang dalam perjalanan ke rumah ayah dan ibu Sakti. Ia melihat jam di dashboard. Sudah cukup lama mereka di jalan. Pantas punggungnya terasa panas.

" Udah bangun?" tanya Sakti ketika mendapati Sena tengah merapikan rambutnya.

" Hm," jawab Sena. " Ini sampai mana?"

" Tinggal depan situ, kita turun," jawab Sakti tersenyum. " Udah siap ketemu?"

" Ng...udah," jawab Sena mendadak kembali berdebar.

Sena menoleh dan mendapati bahwa mereka tengah masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan minimalis yang sudah banyak berubah di sana sini, menandakan bahwa perumahan itu adalah perumahan lama. Sena bertanya-tanya, bagaimana perasaannya jika mobil ini berhenti di depan salah satu rumah, kemudian mereka disambut oleh sepasang suami istri yang sudah berusia tua, Sena harus bagaimana?

Dalam diam, laki-laki itu terus melaju hingga sampai di sebuah jalan buntu di gang perumahan paling belakang. Hanya ada tembok beton setinggi dua meter di sana, berhadapan dengan jajaran rumah terakhir yang berada di kompleks perumahan tersebut. Di situ, Sakti berhenti dan mematikan mesin mobil.

" Ayo turun," kata sakti menyadarkan Sena. Gadis itu mematuhi Sakti dan merapikan penampilannya. Matanya menyapu dengan gugup pemandangan di sekitarnya. Apakah rumah Sakti adalah salah satu dari beberapa rumah yang berjajar di depan mereka?

Sakti muncul dari sisi lain mobil dengan dua buah bungkusan di tangannya. Ia memberikan satu bungkusan itu untuk Sena.

" Ini apa?" tanya Sena mengerutkan kening sembari memeriksa bungkusan berplastik hitam itu.

" Oleh-oleh," ujarnya meraih tangan Sena dan menuntunnya untuk melangkah.

Sena mengira Sakti akan menuntunnya menuju salah satu rumah berwarna ceria yang berjajar itu. Namun ternyata mereka berdua berjalan menyusuri sepanjang pagar beton yang kini ada di sebelah mereka. Hingga akhirnya pagar itu habis dan mereka berbelok.

Saat itu pula isi perut Sena terbang entah kemana.

Tangannya meremas tangan Sakti, yang ia sadari terasa lebih dingin. Perempuan itu menoleh pada Sakti, namun Sakti hanya tersenyum.

" Ayo," ajaknya melewati gerbang pemakaman umum itu. Mendadak saja, ia jadi bisa menebak apa yang ada di dalam bungkusan yang tengah mereka bawa.

Suasana pemakaman begitu hening, membuat langkah mereka berdua terdengar lebih keras daripada seharusnya. Sepanjang jalan itu, Sakti sama sekali tidak bicara. Laki-laki itu hanya lebih mengeratkan tautan tangan mereka, dengan tangan yang semakin dingin.

Hingga sampai di sebuah nisan berukuran besar yang terbuat dari batu pualam, langkahnya terhenti.

Sandi Ginanjar & Kartika Rahayu

Dua nama itu bersanding dalam satu tempat, diikuti oleh waktu kematian yang sama, yaitu dua puluh empat tahun yang lalu.

Sakti melepaskan tautan tangan mereka dan berjongkok. Mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar nisan itu.

" Halo Ayah, Bunda."

Mendengarnya, dada Sena mendadak terhimpit sesuatu yang tidak kasat mata. Gadis itu menoleh ke arah Sakti yang kini tengah membuka buntalannya, sebuah buket bunga beraneka warna yang berbau harum untuk diletakkan di atas nisan.

" Sini," ucap Sakti meraih tangan Sena agar berjongkok di samping laki-laki itu.

Mengusap apapun yang ada di wajahnya, Sena membuka buntalannya sendiri dan menemukan seikat bunga putih yang tidak kalah harumnya. Ia meletakkannya di samping buket bunga dari Sakti. Ketika ia menoleh, ia mendapati Sakti tengah menengadahkan tangan dengan mata tertutup. Berdehem, Sena mengikutinya.

Beberapa saat setelah gadis itu selesai berdoa dan membuka mata, ia mendapati Sakti tengah menoleh ke arahnya dengan lekat.

" Cantik kan, Nda?" tanya Sakti tanpa melepaskan pandangan dari Sena, tapi Sena yakin bukan dia yang diajak Sakti bicara. Laki-laki itu menopangkan dagu dengan siku di lututnya.

" Tadi sebelum berangkat, dia bingung harus gimana kalau ketemu Ayah sama Bunda. Tahu nggak Nda, waktu itu dia kelihatan manis sekali."

Sakti masih menatap Sena seakan sedang menilai.

" Kira-kira kalau aku lamar buat jadi istriku, mau nggak, ya?" celetuknya serius.

Semburat merah langsung merambat di pipi Sena, membuat laki-laki itu tersenyum dan mengurai tangannya.

" Jangan sedih. Kita nggak kesini buat sedih. Aku ngajak kamu kenalan sama ayah dan ibuku," ucap Sakti menghapus air mata yang meleleh di dagu Sena. " Seperti yang kamu lihat, mereka meninggal dua puluh empat tahun lalu. Waktu aku berumur lima tahun."

Tenggorokan Sena masih terasa perih dan tercekat. Perempuan itu menyentuh sisi batu pualam yang terasa dingin di bawah jemarinya.

" Tanggalnya sama," Sena berbicara dengan suara parau.

" Hm. Kecelakaan pesawat." Sakti ikut menyentuh sisi batu pualam itu. " Meledak di atas laut. Jadi sebagian besar korban tidak ditemukan."

Tuhan, tolong. Apa laki-laki itu berniat cerita hal seperti itu di sini? Namun sepertinya Sakti terlihat biasa saja. Tidak ada raut wajah sedih ketika Sena menatapnya.

" Umurku masih lima tahun. Belum begitu tahu apa yang terjadi. Hanya kepikiran kalau Ayah dan Bunda pergi lama sekali, jauh dari waktu kepulangan mereka yang seharusnya. Saat itu aku merasa heran karena tiba-tiba saja Om Gibran, adik ibuku, datang dan mengurusi semua keperluan sekolah."

Pasti Sakti melihat nanar kengerian di mata Sena, karena laki-laki itu menangkupkan satu tangannya di sisi pipi Sena dan mengusapnya lembut.

" Aku masih ingat saat itu Om Gibran membangunkanku di tengah-tengah tidur. Kami berdua menuju rumah sakit dengan beliau yang tampak begitu tidak sabar. Dia masuk ke salah satu ruangan berbau aneh, sepertinya tergesa sekali sampai nggak sadar bahwa aku mengikutinya masuk."

Sakti menoleh kembali ke nama orangtuanya.

" Sebuah lengan hingga pundak dengan cincin milik Bunda yang tersemat di jari manis tangan kiri, dan bagian atas tubuh ayah yang aku kenal lewat jaket yang aku lihat waktu dia pamit. Terkoyak dan sebagian besar hilang karena terbakar, juga melepuh karena terlalu lama di air. Tapi mana mungkin aku salah, kan? Ada di atas bangku keramik warna putih, dialasi plastik hitam."

Rasa panas menyeruak di bola mata Sena, membuat pelupuk matanya jebol dengan air mata yang tumpah dengan deras. Sena menutup mulutnya, berusaha meredam isakan yang kini terdengar keras di keheningan.

Sakti menoleh ke arah Sena, tersenyum samar meskipun kedua manik matanya kini menggelap.

" Itu alasannya mengapa tengah malam dan rumah sakit terasa begitu mengerikan."

*TBC*

Haii, terima kasih untuk doanya yaa. Semoga kita semua senantiasa sehat dan bahagia 💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro