DEVASENA | 33. Hukuman Sakti
Pilih salah satu. Menurut kamu, mana yang paling berat?
Bilang 'I Love You' sama aku,
Atau cerita tentang ciuman kamu tadi siang?
======
Detik pertama ketika Sena memahami pesan Sakti, seluruh tubuhnya mati rasa.
Seperti ada sesuatu yang membetot jantungnya untuk keluar paksa dari rongga dada, gadis itu merasa dunia berhenti.
Lalu begitu saja, hatinya mencelus tanpa bisa ditahan hingga terasa luar biasa sakit.
Sakti tahu.
Selama sisa sore dimana mereka bersama, Sakti tahu jika Sena menyembunyikan sesuatu.
Sena pernah dibohongi, dan rasanya sakit sekali.
Ponsel Sena terjatuh ketika gadis itu segera berlari keluar. Tidak diperdulikan lagi bagaimana penampilannya saat ini, yang dia tahu, dia ingin melihat Sakti.
Sena ingin tahu apakah Sakti marah padanya,kecewa padanya.
Ingin tahu apakah Sakti masih menyayanginya seperti dulu.
Ingin memahami apakah Sakti masih akan berkata 'I love you'.
Mendadak, rasa takut mencekamnya dengan begitu mengerikan. Karena Sena sendiri tahu, jika sebuah kebohongan bisa merusak sesuatu.
Sena mengetuk pintu Sakti, tanpa peduli bahwa malam tengah mencapai puncaknya. Tidak perlu ketukan yang kedua kali, pintu itu langsung terbuka.
Laki-laki jangkung itu muncul, dengan kaus hitam dan celana selutut yang tiba-tiba sangat dirindukan Sena.
Melihat Sakti yang mengerutkan kening dengan penuh kekhawatiran, tangan Sena terkepal. Padahal Sakti sebegini peduli. Mengapa dia masih bisa jahat pada laki-laki sebaik ini?
Namun Sakti tidak memandangnya dengan tatapan menuduh. Tidak ada apapun di manik mata coklat tua itu selain kekhawatiran yang nyata. Sejenak setelah kerutan di dahinya menghilang, sepertinya dia tahu bahwa Sena sudah membaca pesannya. Tapi dengan tenang, seulas senyuman terlukis di bibirnya. Diraihnya tangan Sena untuk masuk sebelum ditutupnya kembali pintu agar hawa dingin tidak ikut masuk.
Sakti duduk di sebuah kursi bundar dengan Sena berdiri di antara kedua lututnya yang terbuka. Laki-laki itu menunduk, menunggu sembari memainkan jemari Sena yang ada di genggamannya.
" Mas..." panggil Sena sesak kala Sakti tidak juga buka suara.
Sakti mendongak dan menatap Sena. Mengapa Sena baru menyadari jika Sakti punya warna mata yang bagus?
" Hm?"
Untuk sesaat, gadis itu tidak mampu berkata apa-apa. Yang dilakukannya hanya satu. Mencari jejak kemarahan di manik mata Sakti. Namun Sena tidak menemukannya. Laki-laki itu masih menawan pandangannya dengan tenang.
Membuat Sena makin takut saja.
" Kamu...tahu?" tanya Sena lagi dengan mata yang semakin memanas. Sakti menatapnya sejenak, kemudian tersenyum tipis, sangat tipis. Dan Sena tahu kekecewaan tersemat di sana.
" Bukit Permadani," ujarnya kembali menunduk untuk mengusap punggung tangan Sena. " Kebetulan aku tadi juga makan siang di sana. Di balkon, lebih tepatnya. Tepat di samping restoran yang kamu kunjungi."
Hening kembali. Laki-laki itu jahat sekali, membiarkan Sena menatap rambutnya sementara dia menunduk dan sibuk dengan jemari Sena.
" Kamu bukan satu-satunya yang pernah terluka Na," ujarnya kembali menatap Sena " Ada banyak hal yang melintas di kepalaku waktu lihat kalian siang tadi. Aku cuma nunggu kamu cerita, untuk tahu seberapa jauh kamu menganggapku di hubungan ini."
Sakti tidak mengatakannya dengan nada menuduh, sungguh. Namun justru itu yang membuat Sena gemetar hingga ke ubun-ubun.
" Say, Na. Aku harus apa agar kamu merasa nyaman bilang semua kesakitan kamu sama aku? Aku kurang bikin kamu nyaman, ya?" tanyanya pelan.
Gadis itu hanya menggeleng dengan air mata berdesakan di pelupuk mata. Saat ini, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Sakti tanpa bisa berkata apapun.
Mata laki-laki itu memerah dengan cepat. Namun Sakti tidak mengatakan apa-apa. Ia justru mengulurkan tangan dan mengusap air mata Sena, membuat gadis itu semakin sesak saja.
" Aku tahu siapa yang memaksa. Aku tidak salah paham, Na," ucap laki-laki itu. " Yang membuat aku kecewa adalah kamu yang menyimpannya sendiri, padahal ada aku di sini. Kamu nangis, kamu nggak berani lihat aku, bibir kamu berdarah, tanpa berfikir untuk berbagi denganku. Aku nggak akan menghakimi kamu, Na. Cuma satu, cerita sama aku. Apalagi tentang hal seperti sore tadi. Itu bukan hal yang pantas disembunyikan,"
Sakti menjeda kalimatnya.
" kecuali kamu memang sengaja bermain di belakangku."
Tuhan, mengapa saat ini lututnya lemas sekali?
" Kamu tahu awal dari pengkhianatan itu apa, Na? Berahasia. Menyembunyikan ketidaknyamanan kamu. Menyembunyikan kegelisahan kamu. Menyembunyikan masalah-masalah kamu. Akhirnya kamu terbiasa menyembunyikan sesuatu dariku," ucap Sakti lagi. " Aku bukan laki-laki yang bisa baca pikiran kamu, yang bisa tahu seluruh hal yang kamu lakukan, yang kamu rasakan, aku nggak bisa. Aku butuh kamu bercerita semuanya sama aku, Na. Di hubungan seperti ini, aku nggak pernah setuju dengan kalimat berbohong demi kebaikan. Yang ada hanya menunda kebohongan. Jadi, seperti yang kamu tanyakan sama aku, apa aku bisa percaya sama kamu?"
Sakti mengatakannya dengan intonasi biasa. Seperti intonasi yang digunakannya ketika bercakap-cakap dengan Sena. Tapi mengapa di telinganya saat ini seolah Sakti sedang mengadilinya?
Jadi begini rasanya diadili? Rasanya tidak dipercayai?
Sakti benar. Sena bukan satu-satunya orang yang pernah terluka. Dia dan Sakti punya luka yang sama. Luka yang membuat mereka sensitif terhadap sesuatu bernama rahasia.
" Bilang, Na. Apa gunanya kamu menyembunyikannya?" pinta sakti lagi. " Agar aku nggak sakit hati? Agar aku nggak sedih? Apa itu membantu?"
Dan dengan begitu, isakan Sena pecah.
Perlahan, Sena mengangguk hingga membuat air mata menetes dari dagunya. " I-tu, juga karena aku jijik."
Sena menarik tangannya dari genggaman Sakti, namun Sakti menahannya. Laki-laki itu justru menggenggamnya erat sembari menawan pandangan Sena, membuat gadis itu menangis makin tidak tentu.
" Aku jijik sama diriku sendiri. Rasanya, aku nggak rela disentuh Dirga. Bikin aku merasa kotor kemana-mana. Bikin aku merasa udah berkhianat sama kamu, Mas."
" So tell me everything, Sena. Kenapa harus disembunyikan sementara kamu menderita begini? Sampai bibir kamu berdarah begini?" kata Sakti.
Melihat Sena yang sedemikian terisak, Sakti memejamkan mata dan menunduk.
Masih terpampang jelas di layar komputer serangkaian koding rumit yang ia ciptakan dalam kemarahannya. Menarik sisi Sakti dari masa lalu dimana seorang Sakti Samudra mampu menghancurkan sistem raksasa seperti menginjak seekor kecoa. Satu detik, hanya satu detik jika Sena tidak mengetuk pintu, bisa dipastikan saat ini koding itu sudah memporak-porandakan seluruh sistem TeraMart di Indonesia.
Dia tidak bisa tidur. Menyadari bahwa Sena menyembunyikan sesuatu darinya membuat perasaan laki-laki itu tidak tenang. Walaupun dia tahu apa yang terjadi, beribu pikiran negatif menyerbunya seperti Conficker yang menginfeksi sebuah perangkat lunak, karena kebohongan adalah sesuatu yang menakutkan baginya.
Sakti menghirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum membuka mata.
" Jangan nangis Na," ucap Sakti menyeka air mata Sena. " Maaf."
Sena menggeleng, " Mas Sakti nggak salah. Aku yang salah. Harusnya aku nggak nyembunyiin itu dari kamu. Maaf."
Melihat gadisnya seperti ini, Sakti justru sakit sendiri.
" Jangan diulangi lagi. Cerita sama aku semua yang bikin kamu sakit, Na," pinta Sakti menarik Sena mendekat dan merengkuh gadis itu dalam pelukannya.
Sena mengangguk cepat seraya membalas pelukan Sakti hingga bisa dirasakan remasan gadis itu di kaus tipisnya. Isakan Sena sungguh mengganggu telinganya, membuat Sakti memeluknya lebih erat sebagai bentuk permintaan maaf.
" Maaf, Na. Maaf. Sudah, jangan nangis lagi," bisiknya. " Suatu saat kalau kamu juga merasa kecewa sama aku, bilang Na. Jangan asal pergi. Aku mungkin tanpa sadar bikin kamu kecewa."
Laki-laki itu mengatakannya dalam sebuah bisikan, terdengar pedih dan terasa nyeri di ulu hati. Membuat Sena menyadari jika Sakti tengah mengatakan ketakutannya. Demi apapun, laki-laki ini juga pernah terluka dan dengan bodohnya Sena mengabaikan itu.
"Sudah aku bilang kalau hubungan itu harus diperjuangkan kedua belah pihak, kan? Itu artinya, kita butuh bicara. Ya?"
Sena mengangguk lagi di pundaknya, membuat Sakti memejamkan mata. Laki-laki itu menyelusupkan wajahnya di sela rambut Sena yang terurai, menghirup aroma gadis itu dalam-dalam untuk meredam ketakutannya. Wangi dan menenangkan.
Tapi itu belum cukup.
Kecupan laki-laki itu berpindah ke garis pipi Sena, ke dahi, kemudian ke hidung perempuan itu.
Sena tidak berani memandangnya. Gadis itu hanya memandang satu titik di dada Sakti dengan gemetar yang tidak kunjung usai meskipun jemarinya masih mencengkram kaus Sakti erat-erat. Isakan masih terdengar sesekali di wajah sembab yang merona itu.
Cantik. Bahkan dengan wajah sembab seperti ini, gadisnya masih saja cantik. Sebuah helaan nafas berat lolos dari bibir Sakti.
Satu tangannya menangkup sisi pipi Sena, menyentuh ujung bibir Sena dengan ibu jarinya. Masih bisa dilihatnya sisa-sisa luka yang ada di sana. Membuat kemarahannya pada Dirga menyeruak tidak tertahankan.
" Boleh, Na?"
Mendengarnya, Sena menatap manik mata coklat tua itu, menangkap kegelisahan serta kemarahan yang teredam dengan sempurna.
Maka Sena mengangguk, dengan tergesa. Karena dia ingin mengenyahkan rasa jijik itu dari bibirnya, dari tubuhnya.
Dan ini Sakti. Saktinya.
Hal terakhir yang dilihat Sena sebelum menutup mata adalah bulu mata Sakti yang lurus dan panjang. Remasan jemari Sena di kaus Sakti kian mengerat kala laki-laki itu akhirnya menyapu bibir Sena dengan kelembutan yang mengejutkan.
" Jangan dikira aku nggak marah lihat kamu disentuh laki-laki lain, Na," bisik Sakti berat. " Aku marah. Marah sekali."
Sakti menyatukan bibir mereka kembali, dengan tekanan yang lebih besar.
" Aku seperti lihat noda di sesuatu yang hanya milikku," Bisiknya sebelum mulai memagut bibir Sena, membuat tubuh gadis itu gemetar tidak terkendali kala sebuah sensasi mulai menyengat ujung-ujung syarafnya.
" Jangan sampai aku lihat dia menyentuh kamu lagi, atau TeraMart bisa hancur dalam semalam."
Setelahnya, Sakti menangkup wajah Sena, menahannya ketika laki-laki itu membelai belahan bibir Sena. Sena terkejut hingga ia membuka mata, namun sepertinya Sakti belum selesai. Laki-laki itu melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disangka Sena, membuat Sena refleks menjauhkan diri dari sengatan rasa asing ini. Namun rengkuhan Sakti di pipi menahan Sena.
Seolah waktu terhenti ketika Sakti juga membuka mata tanpa memisahkan pagutannya, menatapnya dengan pandangan yang tidak mampu Sena cerna. Laki-laki itu semakin memiringkan kepala dan kembali menutup mata.
Maka Sena tahu bahwa Sakti sedang menghukumnya.
Sena membeku, seluruh ototnya terkunci, seolah seluruh tubuhnya sedang membiasakan diri dengan sentuhan Sakti untuk pertama kali. Sena ikut menutup mata, sepenuhnya berkonsentrasi pada apa yang tengah diberikan Sakti padanya. Mengenali sapuan dan kehangatan laki-laki itu, memaksa menerima berjuta ledakan yang mampu memecahkan jantungnya menjadi serpihan.
Lalu ketika sebuah gelayar hangat menelannya bagai gelombang, gadis itu hancur.
Selama ini, dia tidak pernah memikirkan hal seintim ini. Melihat adegan ciuman di televisi, membacanya di novel atau membayangkannya saja, Sena merasa jijik sendiri karena itu membuat dia teringat akan pengkhinatan Dirga.
Sekarang dia tahu mengapa Sakti tidak ingin Sena terlalu larut dalam kebencian. Saat ini saja, Sena menyadari bahwa sebagian dirinya menolak sentuhan Sakti. Penolakan yang diakibatkan dari rasa sakit atas kenangan masa lalu, ketika dirinya menyaksikan sendiri bagaimana cara Dirga menyentuh Raras. Namun kali ini, Sena berusaha menyingkirkan memori laknat itu dan mengisi setiap relung pikirannya dengan sentuhan Sakti. Membuat seluruh indranya mengenali setiap lembut sapuannya, hembusan nafas hangat di pipinya, dan rengkuhan kuat lengan yang kini mengurung pinggang Sena.
Lucunya, keinginan untuk memisahkan diri yang tadi ia rasakan kini tidak ada lagi. Karena segera saja, ia mulai menginginkan kehangatan ini berlangsung lebih lama.
Dalam kelenaan yang entah sejak kapan, samar Sena merasakan nafasnya yang tersengal. Dia tidak bisa mengambil oksigen dengan baik sementara dirinya kewalahan mengikuti tempo Sakti yang semakin tidak terbaca. Desah lirih keluar dari bibirnya ketika sesuatu mulai mengaduk-aduk perut dan membuat kepalanya ringan. Dia berusaha mempertahankan cengkraman di bahu liat laki-laki itu, sementara pada saat yang bersamaan seluruh tubuhnya seakan berubah jadi tak berisi. Rasanya mendebarkan, sesak dan panas. Panas yang menyiksa sampai tubuhnya terasa terbakar.
Seperti sebuah antitoksik yang disuntikkan dalam laju darahnya, rasa aneh gara-gara kelakuan laknat Dirga perlahan sirna seiring sentuhan Sakti di kulitnya. Berganti dengan jejak panas yang terasa membara hingga membuat seluruh permukaan kulitnya meremang.
Tapi ketika nafasnya terputus cukup lama, Sena tahu mereka harus segera berhenti.
" Mas—" Sena terbata dengan tangan menepuk pipi Sakti, berusaha menarik fokus laki-laki yang masih asik dengan kegiatannya.
" Ng..." Sena merintih ketika Sakti tidak juga melepaskannya. "Ma—s...na-pas...hhh."
Gerakan Sakti terhenti meskipun masih berpagutan. Sena bisa mendengar nafas berat laki-laki itu sesaat sebelum melepaskannya.
" Amateur."
Laki-laki itu tersenyum samar kala melihat Sena yang menghirup nafas banyak-banyak.
Sena menggertakkan gigi seraya mendelik padanya, " Iya, memang belum pernah. Kecewa?"
" Aku senang kamu seamatiran ini," ucapnya lembut mengecup kembali bibir Sena dengan ringan, "I only kiss the woman I love, Na. I love you."
Sena sudah akan berkata sesuatu ketika Sakti kembali memeluknya dan menyusurkan bibirnya di leher dan pundak Sena, berusaha mengusir jejak imajinatif dari sentuhan Dirga di kulit halus itu tanpa menyadari bagaimana efeknya bagi seorang Sena. Karena belum selesai Sena mengatur nafasnya, kini nafas gadis itu terhenti berkat sapuan bibir Sakti di kulit yang belum pernah terjamah oleh siapapun. Segera saja rasa geli yang memabukkan merajai perutnya, membuat Sena meremat erat pundak Sakti sambil menggigit bibir bawahnya.
" I love you too, Sakti Samudra."
Bibir sibuk Sakti berhenti. Kulitnya masih meremang gara-gara kelakuan Sakti barusan. Namun gadis itu membalas tatapan Sakti tanpa keraguan.
" I love you too," ulang Sena berusaha menelaah sorot mata Sakti yang tampak lebih kelam dari biasanya. " Masih marah?"
Sakti tidak menjawab. Laki-laki itu meraih tangan Sena dan mengalungkan di lehernya. Kemudian merengkuh pinggang Sena dan menariknya mendekat hingga Sena kembali merasa hancur.
" Masih. Aku perlu menghapus sesuatu. Berulang kali," bisiknya sebelum meraih tengkuk Sena dan menciumnya lagi.
Sena menyukai bagaimana mereka terlihat saat ini. Dengan Sakti duduk sembari melingkarkan lengan di pinggangnya, serta Sena yang berdiri seraya mengalungkan tangan di leher Sakti.
Dan Sena tidak tahu berapa lama lagi dia harus berada dalam rengkuhan Sakti. Yang dia tahu, dia ingin Sakti menyingkirkan segala macam rasa aneh yang melekat di tubuhnya. Dia ingin Sakti menggantinya dengan sesuatu, seperti ini. Ketika sentuhan Sakti terasa sangat menyenangkan di kulitnya.
Dan Sena menyukainya.
Dalam euforia memabukkan itu, secercah kesadaran Sena memperingatkannya akan bahaya yang mungkin ada.
Namun Sena memberanikan diri menepikan seluruh ketakutannya. Dia ingin mencoba benar-benar jatuh sekali lagi.
Pada laki-laki ini.
**
" Kenapa masih naik sepeda?"
Sena yang saat itu keluar dari parkiran pegawai menoleh. Danar terlihat baru saja keluar dan bersandar di mobilnya seraya bersedekap.
" Hm? Biasanya juga saya naik sepeda," ujar Sena mengamati atasannya. " Pak Danar sakit? Wajahnya kusut, gitu?"
Danar yang sudah rapi dengan setelan kerja rumah sakit menghembuskan nafas kasar dan mengacak rambutnya.
" Nggak diantar pacarmu?" tanyanya mengabaikan pertanyaan Sena.
" Oh...nggak. Ngapain juga? Nanti susah kalau mau kemana-mana," jawab Sena kembali berjalan menuju koridor. Danar berjalan di sampingnya.
" Dulu dia rajin antar jemput kamu. Kenapa sekarang beda?" tanya Danar dengan nada selidik yang tidak luput dari perhatian Sena.
Sena memutar bola mata, " Masa? Seingat saya, saya diantarnya kalau memang perlu diantar saja. Biasanya juga saya naik sepeda. Lagipula kalau pulang bareng, selisih waktu kita terlalu lama. Jam pulang Mas Sakti kebanyakan malem."
Tolong, telinga Danar risih kala Sena menyebut laki-laki itu dengan panggilan tertentu. Dan kenapa gadis itu tahu sekali jam pulang pacarnya?!
" Ya nggak papa dong. Bisa kan dia izin dulu buat ngantar kamu pulang terus balik ke kantor lagi?"
Sena menggaruk lehernya. Sebenarnya bosnya ini kesambet apa?
" Nggak, saya yang nggak ngebolehin," tukas Sena.
Danar mendengus, " Kenapa? Bukannya cewek suka diperlakukan begitu?"
Siapa saja, tolong jelaskan pada Sena ada apa dengan Danar hari ini!
" Harus, ya?"
" Ya harus!" jawabnya dengan nada tinggi hingga Sena terkejut. " Itu bukti kalau dia sayang sama kamu! Cinta sama kamu!"
Sena berhenti. Untung koridor ini sepi karena hanya menuju ruang jenazah.
" Pak Danar kenapa?" tanya Sena akhirnya.
Danar mengusap kasar wajahnya, " Saya cuma mau memastikan kalau pacarmu itu memang cinta sama kamu! Terus sekarang ini apa? Kenapa dia ngebiarin kamu naik sepeda sementara dia berangkat pakai mobil ke-hmph!!"
Racauan Danar berhenti kala sebuah tangan menyekapnya dari belakang.
" Maaf, Na. Jangan didengerin." Jenny muncul dari balik bahu Danar dan tersenyum kaku pada Sena.
Sena mengerjap, masih terpukau dengan kekuatan tangan Jenny yang menahan pemberontakan Danar. " Ng, oke. Lagipula Pak Danar, mana bisa antar jemput dijadikan patokan? Rasa sayang nggak sedangkal itu."
Sena tersenyum pada keduanya dan mohon diri menuju ke ruangan lebih dulu.
Setelah memastikan jika Sena benar-benar menghilang dari pandangan, Jenny melepaskan Danar yang sudah berhenti meronta. Laki-laki itu hanya memandangi punggung Sena yang menjauh.
" Gimana aku nggak cinta sama dia Jen, gimana aku nggak cinta?" bisik Danar merana.
Jenny menghembuskan nafas panjang sebelum menjitak keras kepala Danar.
**
Sena mengusap pelipisnya kala dirinya sedang melaksanakan tugas di pagi hari. Dirinya masih tidak mengerti kelakuan ajaib Danar. Memangnya kenapa kalau mereka tidak pulang pergi bersama? Sakti sering berangkat lebih siang daripada dirinya dan pulang lebih malam daripada dirinya.
Memangnya masih perlu antar jemput ketika setiap berangkat, Sakti selalu menciumnya?
" Masih pagi Na. Mikir apa sampai segitunya?"
Sena tersadar dan menoleh. Tenyata aplusan sudah selesai saking lamanya Sena berdiri di lobi bangsal.
Sena menggeleng, " Nggak papa."
Oka yang melihatnya terdiam, lalu tersenyum. " Aku putus sama Hana."
Sena mengerling sekitar sebelum menatap Oka lagi.
" Jangan bahas itu di waktu kerja, Mas," kata Sena pelan meskipun saat ini dirinya ingin sekali menonjok laki-laki yang ada di depannya.
Oka menghirup nafas dalam. " Cuma sebentar. Jadi nggak papa. Aku cuma mau bilang kalau kamu benar. Setelah beberapa waktu, aku sadar kalau aku cuma menyakiti Hana. Perasaanku ke dia, itu semu. Itu kenapa aku minta putus. Seperti katamu, nggak seharusnya aku menjadikan Hana pelarian."
Sena menatap Oka beberapa saat sebelum mengangguk canggung. " Semoga berhasil. Maaf."
" Jangan minta maaf. Aku nggak semerana itu. Yah, sekarang nggak terlalu, maksudnya," tukas Oka menunduk seraya memainkan kakinya. Namun Sena masih bisa melihat kekecewaan ketika Oka kembali menatapnya meskipun laki-laki itu memaksakan seulas senyum. " Ngomong-ngomong, selamat ya. Kanya bilang kalau kamu udah punya pacar. Grup perawat angkatanku jadi lumayan heboh."
Oka mengatakannya, mungkin dengan maksud bercanda. Namun sesuatu yang tersirat dalam nadanya membuat Sena terdiam sesaat. Gadis itu mengangguk seraya menulis sesuatu di clipboard. Ah, sangat tidak nyaman terjebak dalam situasi seperti ini.
*TBC*
Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro