Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 32. Tersiksa Rahasia

" Lo. Tega. Ninggalin. Gue. Sama. Alien. Dari. Pluto."

Rafi menghirup nafas panjang, kemudian menghembuskannya dalam bentuk kalimat paling menyebalkan yang pernah Sena dengar.

" Lo nggak ngerti apa yang dia obrolin waktu lo ninggalin kita berdua, hah? Dia bilang pakaian gue udah ketinggalan jaman! Siapa peduli! Ini kaos yang beliin mama gue! Dia bilang harusnya gue gondrongin sedikit rambut gue biar nggak mirip preman di pangkalan, lah apa urusannya dia?! Dia bilang harusnya sandal gue bukannya sandal murahan kayak gini! SIAPA PEDULI WOY!! SANDAL MAHAL BIKIN LECET NGGAK ADA GUNANYA!!" seru Rafi kalap dengan mata nyalang menatap jalanan di depan.

" Dan lo tahu yang paling bikin gue pingin ngelakban mulutnya dia itu apa? Dia bilang gue makan kayak anak kecil! Belepotan sana sini sampai ke telinga!" dengus Rafi kesal. " Gue, makan kepiting mewah baru satu kali ini dan gue udah diceramahin cabe-cabean mateng gitu, mimpi apa gue semalem Ya Tuhan? Sumpah! Ngerusak kenikmatan aja itu bocah!"

Rafi mengatur nafasnya. Bisa-bisanya gadis cantik itu berubah jadi begitu menyebalkan hanya karena beberapa kalimat yang keluar dari mulut pedasnya?

" Lo kenapa sih, Na? Bibir lo masih pedes?" tanya Rafi mengerutkan kening ketika melihat Sena yang tidak henti-hentinya mengusap bibir sedari tadi. " Oh iya, tadi sama Dirga gimana? Setan, gara-gara cabe mateng itu gue jadi nggak bisa naik barang sebentar. Tau-tau aja gue lihat Dirga lewat di depan gue."

Sena hanya menggeleng. Saat ini, dia sedang berusaha kuat agar air mata tidak terjatuh dari pelupuk matanya. Bisa-bisa Rafi akan memberikan pertanyaan menyulitkan.

" Na, kenapa sih? Mulutnya gatel habis makan seafood?" ujar Rafi mulai cemas. Laki-laki itu menahan tangan Sena yang sejak tadi tidak henti mengusapi bibirnya. " Sampai berdarah gitu, Na. Jangan diterusin. Ntar diobati di kontrakan aja."

Mendengarnya, Sena menahan kedua tangannya di pangkuan dan menggeleng lagi.

" Nggak papa, Mas," bisik Sena pelan. " Aku cuma...agak nggak enak badan aja. Pingin cepet-cepet sampai rumah."

Rafi mengerjap, " Hm, diajak ke restoran mewah aja lo sakit, Na. Sepertinya kamu nggak cocok jadi nyonya Samudra."

Sena mengabaikan kalimat Rafi. Saat ini, dirinya sedang kacau. Dia butuh berada sendiri di dalam kamarnya. Dia butuh menenangkan diri.

Namun hal pertama yang ia lihat ketika mereka memasuki halaman adalah Sakti dan seorang laki-laki asing berkacamata sedang duduk di kursi panjang yang ada di halaman. Mereka berdua menoleh ketika Rafi dan Sena tiba.

Mata Sakti langsung menangkapnya, tapi Sena mengalihkan wajah. Sena berkaca di spion, memastikan keadaannya terlihat baik-baik saja hingga Sakti tidak akan menanyainya macam-macam.

" Temannya Mas Sakti?" Tanya Rafi ketika ia dan Sena menyambangi mereka berdua. Sena melihat laki-laki asing itu mengangguk, namun ia tidak bisa mengabaikan tatapan Sakti yang mengarah kepadanya sedari tadi.

" Ini Bayu," ucap Sakti sekenanya ketika melihat luka di bibir gadis itu. Sakti meraih tangan Sena dan menariknya mendekat sebelum menyentuh bibir Sena dengan tangan yang lain. " Ini kenapa? Kenapa berdarah begini?"

Sesak. Dada Sena sesak. Sesuatu mulai merangkak naik dan menyesaki pelupuk mata. Dia tahu dirinya bisa bercerita apa saja jika Sakti sudah mengeluarkan kalimat sakti  itu, apalagi ketika Sakti menatapnya dengan raut wajah khawatir. Maka Sena memilih bungkam beberapa saat demi menenangkan diri.

" Nggak papa, ini...mungkin cuaca," jawab Sena melepaskan pegangan Sakti dari tangannya dan beralih ke arah Bayu, si pemuda berkacamata. " Halo Mas Bayu."

Bayu tampak mengamatinya sejenak, kemudian tersenyum, " Kalau dia nggak ngasih tahu umur kamu, aku bakal nyangka Sakti pedofil."

Sena memaksakan senyum sopan meskipun bibirnya kini mulai bergetar. Gadis itu memberanikan diri menatap netra Sakti, " Aku ke dalam dulu, ya."

" Na," Sakti menahan lengan Sena. " Kamu sakit? Nanti malam mau makan apa? Aku belikan."

Laki-laki itu jelas khawatir padanya, membuat Sena semakin merasa jahat saja.

" Aku masih kenyang gara-gara kepiting raksasa, Mas Sakti. Belum minat makan apa-apa. Aku istirahat saja," ucap Sena sembari mengurai jemari Sakti dari lengannya. " Aku ke dalam dulu, semuanya."

" Beneran, umurnya dua lima?" celetuk Bayu dengan pandangan masih ke arah punggung Sena yang menjauh dengan cepat.

Rafi mendengus geli, " Sulit percaya, ya? Sering-sering ngobrol aja."

Bayu menoleh ke arah Rafi dan mengangkat alis.

" Dia bukan tipe cewek yang bisa bikin jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi sekalinya suka sama dia, kayaknya semua cowok jadi bego," Rafi melirik Sakti dengan gugup. "Aku cuma pengamat aja. Sena terlalu sederhana, sama sekali bukan tipeku. Jadi Mas Sakti, nggak perlu ngebajak sosmedku."

Dengan fokus masih pada punggung Sena, Sakti tertawa pelan.

**

Yang ditemukan Sena ketika dirinya selesai mandi adalah Sakti yang sibuk dengan laptopnya, bersila di lantai beralaskan kasur tipis di ruang depan. Dengan kaus hitam lengan pendek yang dipadu celana selutut, laki-laki itu terlihat serius sekali menekuri laptop Sena.

Sena segera masuk ke kamar, memastikan matanya tidak bengkak karena menangis hampir setengah jam di kamar mandi.

" Udah selesai?" tanya Sakti ketika Sena duduk di sebelahnya. " Kenapa nggak langsung tidur?"

" Mas Sakti kenapa di sini?"

" Hm, aku ingat beberapa program yang belum aku install di laptop kamu. Cuma beberapa aplikasi sederhana. Daripada kayak kemarin waktu kamu butuh tapi aku lembur di kantor, kasihan kamu, kan?"

Tolong, apa sekarang matanya berubah jadi spons yang bisa diperas kapanpun? Gadis itu berpaling dari Sakti yang terlihat serius dengan laptopnya. Lalu, tiba-tiba saja tangan hangat Sakti menangkup dahinya.

" Agak panas," ucapnya mengamati Sena yang masih terbungkam. " Aku bawa laptop kamu saja, ya? Sana tidur, nanti telfon kalau kamu kepingin makan sesuatu."

Dengan membawa laptop Sena dengan kedua tangannya, Sakti bangkit dan membungkuk untuk mengecup lembut dahi Sena.

" Get well soon, Na," ucapnya tersenyum samar sebelum berbalik.

Belum lagi melangkah, Sakti berhenti ketika jemari Sena menahan ujung kaus hitamnya.

" Di sini saja."

Sena pasti sudah gila. Tapi saat ini, dia tiba-tiba saja merindukan keberadaan Sakti. Dia rindu suaranya. Dia rindu tawanya. Dia rindu ketenangan yang dihadirkannya. Karena demi apapun, saat ini dia sedang dicekam rasa bersalah yang amat sangat.

Sakti menatapnya beberapa saat tanpa ekspresi, kemudian tersenyum.

" Sure," ucapnya kembali duduk bersila dan meletakkan laptop Sena di sampingnya. Ia meraih bantal kecil di ujung kasur dan meletakannya di samping kiri. " Tidur sini."

Dan Sena menurutinya tanpa banyak bicara. Gadis itu meringkuk dan memejamkan mata, berusaha mereguk rasa nyaman dari kehadiran Sakti di sampingnya. Lalu ketika sebuah pijitan lembut mendarat di keningnya, Sena membuka mata.

Dengan satu tangan kiri sibuk di kepalanya, tangan kanan bermain di laptop Sena dengan lincah. Untuk sesaat, Sena hanya memandangi Sakti yang serius memandangi laptopnya tanpa memperdulikan apa yang tengah laki-laki itu perbuat di sana. Karena sekarang, dia benar-benar menahan diri agar tidak menangis. Gadis itu beringsut semakin mendekat, membuat Sakti akhirnya menoleh.

" Kenapa gelisah sekali?" tanyanya mengangkat alis.

Sena menggeleng dan menelan ludah, sengaja menghindari pandangan Sakti dengan berfokus pada benang yang mencuat di jahitan celananya.

Menghela nafas panjang, laki-laki itu mematikan laptop Sena dan mencurahkan perhatian penuh pada gadisnya dengan bersila menghadap Sena.

" Sepertinya pacarku nggak berniat tidur. Gimana kalau kita cerita saja?" ucap Sakti tanpa menghentikan pijitan lembutnya. "Hari ini aku punya banyak cerita."

Sena melirik Sakti.

" Apa?"

" Yakin mau dengar? Aku nggak mau kamu nantinya keram perut karena kebanyakan tertawa."

Sena mendengus geli, " Sebegitunya?"

" Hmm, jadi mau dengar?"

Pertanyaan Sakti membuat Sena gemas hingga gadis itu telentang agar dapat langsung menatap wajah Sakti yang tengah membungkuk di atasnya. Bisa dilihatnya laki-laki itu menarik salah satu ujung bibirnya.

" Apa?" tanya Sena penasaran.

Sakti tidak segera menjawab. Laki-laki itu justru menunduk dan mencium dahi Sena.

" Ada syaratnya," katanya menatap Sena seraya memijit pelipis gadis itu. " Aku minta semua cerita kamu hari ini. Gimana?"

Sesaat, jantung Sena berhenti. Sebuah pemikiran melintas di otaknya, pemikiran bahwa Sakti mungkin saja mengetahui kejadian tadi siang.

Namun Sena segera menepis pemikiran itu. Rafi tidak tahu, maka tidak ada jalan bagi Sakti untuk mengetahuinya, kan?

Tersenyum, Sena mengangguk.

**

Hening yang memekakan menekan kedua gendang telinga Danar.

Di depan matanya, gelembung kecil terangkat ke atas, menandakan bahwa paru-parunya menjerit minta oksigen. Laki-laki itu mendongak, ke arah cahaya tersamar sembari berkutat melawan derasnya arus agar dirinya tidak terhempas ke bebatuan. Sesekali, arus bawah menariknya ke sana kemari, membuatnya semakin kesulitan mempertahankan tubuhnya agar tidak kian tertelan gravitasi.

Sekuat tenaga laki-laki itu menjejak air, kemudian sebuah lengan menariknya kuat-kuat.

" Lo kenapa, hah? Bisa-bisanya nggak konsen pas di tikungan tadi?!"

Suara tajam itu milik Erik, teman kuliah Danar. Ia berkacak pinggang dengan nafas tersengal, kemudian mengetuk helm oranye yang dipakai Danar.

" Baru kali ini lo jatuh setelah ratusan kali kita rafting," kekeh Erik menerima dayungnya kembali. " Akhirnya."

Danar tidak menjawab. Laki-laki itu sibuk menata fokusnya setelah jatuh gara-gara manuver tidak terduga tadi. Yah, sebenarnya dia saja yang tidak menduganya. Pikirannya sibuk dengan hal lain.

Danar mendapat satu pagi paling kacau selama hidup hampir 30 tahun. Untuk pertama kalinya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya terus saja menoleh ke belakang, ke arah Sena dan laki-laki itu. Terus seperti itu sampai-sampai kedekatan mereka berdua terbayang di pelupuk matanya. Hingga akhirnya dia menerima ajakan Erik dan kawan-kawan yang lain untuk arung jeram di salah satu medan paling berbahaya di Indonesia. Tanpa kata, pagi itu juga dia terbang ke pulau seberang.

Danar butuh pengalih perhatian agar tidak jadi gila.

Danar meraih dayungnya lagi, berusaha berkonsentrasi pada terjalnya medan mereka kali ini. Erik sudah mulai berteriak lagi, memberi instruksi pada yang lain agar mereka bisa lewat di antara bebatuan dengan selamat. Danar berusaha menarik diri pada realita, namun adegan dimana Sena membungkuk di atas Sakti yang berbaring sungguh merusak otaknya. Pikiran liarnya membayangkan apa saja yang bisa terjadi di balik rambut Sena yang terurai bagai tirai itu.

Menumpahkan seluruh emosinya, Danar mencengkram dayung kuat-kuat dan membawa mereka menjauh dari sebuah batu besar.

Setelah hampir tiga jam mereka menakhlukkan medan, rombongan Danar sampai juga pada pos terakhir. Tawa terberai di teman satu timnya, sukacita karena mereka akhirnya bisa mencicipi lagi lonjakan adrenalin setelah hampir setahun tidak pernah bertemu.

Namun Danar tidak merasakan euforia itu. Ia melepas helmnya dan menyugar rambut dengan kasar. Sesuatu masih membara di dadanya. Mungkin rafting satu kali lagi, atau justru climbing saja?

" Nar, lo nyuruh Jenny ke sini?" tepukan di pundak Danar membuatnya menoleh pada Erik.

Danar menggeleng seadanya, " Ngapain gue nyuruh dia ke--"

Sebuah tamparan keras di pipi menghentikan kata-kata Danar. Laki-laki itu berbalik nanar, hanya untuk menemukan Jenny berdiri di depannya dengan mata berkaca.

" BODOH!" teriaknya kencang hingga telinga Danar berdengung. " Kamu bikin Tante Latifa khawatir setengah mati, tau nggak? Apa-apaan kesini tanpa kabar-kabar, Nar? Kamu itu gila, ya?"

Danar berkedip, berusaha mencerna pemandangan yang ada di depannya hingga tidak menyadari bahwa Erik dan yang lainnya menepi diam-diam.

Jenny, iya, itu Jenny yang berdiri di depannya. Setelan pakaian berbahan ringan membalut tubuh gadis itu meskipun saat ini ia mengenakan jaket jeans yang tidak dikancingkan. Sebuah backpack ukuran sedang bertengger di punggungnya, menggembung penuh entah berisi apa. Sebuah topi traveling berwarna coklat lumut pemberian Danar bertahun lalu menutupi kepala Jenny yang menggelung rambut ke dalam topi hingga menampakkan lehernya.

" Kamu bayangin, pagi-pagi Tante Latifa telfon aku, nangis sambil bilang kamu nggak ada di kamar!" desis Jenny membelalak. " Aku harus tanya sopir kamu! Harus tracking destinasi kamu di bandara! Harus telfon Fauzan cuma untuk tahu ternyata kamu rafting di sini! Seluruh jadwalku aku cancel gara-gara ini, Danar Prasetya! Sekarang kamu ngapain di sini, sampai bikin tante kalang kabut, Nar? Gara-gara Sena, iya? Ga—"

Kata-kata Jenny terputus kala tiba-tiba saja Danar menariknya ke dalam pelukan.

" Habis ini tracking, yuk?" bisik Danar pelan seraya menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Jenny.

Karena ketika dia melihat Jenny, dia akhirnya tahu apa yang ia butuhkan. Dia butuh sahabatnya yang sempat menghilang gara-gara masalah konyol tentang pertunangan. Melihat Jenny berpenampilan seperti ini, Danar jadi ingat masa-masa mereka yang dipenuhi kegiatan tracking, hacking, rafting atau apapun, karena mereka berdua mempunyai hobi yang sama. Dengan putus asa, dia mengiba pada wanita di dalam pelukannya. Pada sahabatnya, bukan tunangannya, untuk menyelamatkan Danar dari dirinya yang mungkin saja bisa pecah tak bersisa.

**

Syaraf-syaraf Sena meraih kesadarannya.

Dalam keheningan, gadis itu membuka mata hanya untuk mendapati langit-langit kamarnya. Dengan kepala yang masih terasa berat, Sena membawa dirinya duduk di atas kasur.

Sena mengerutkan kening. Apa mungkin Sakti yang memindahkannya kemari? Karena seingat dia, dia sedang tiduran di samping Sakti. Dia ingat bahwa saat itu dia tengah bercerita tentang kepiting raksasa Rafi yang membuat Sakti tertawa.

Dia juga bercerita bahwa dia bertemu Dirga, minus adegan jahanam itu.

Sena memejamkan mata ketika mengingatnya. Dia ingat dia harus mempertahankan intonasi suaranya agar Sakti tidak curiga. Padahal yang ada, saat itu dia ingin menangis keras-keras dan pergi jauh karena dia tidak bisa menatap mata Sakti.

Bahkan sekarang saja, bagian tubuhnya yang bersentuhan dengan Dirga terasa kotor dan tercemar. Membuat Sena ingin menggosokkan amplas keras-keras di kulitnya dan memotong bibirnya agar rasa berat ini bisa enyah dari dadanya.

Sena menggelengkan kepala ketika matanya mulai merebak. Dia sangat merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu dari Sakti. Tapi dia tentu saja tidak akan mampu mengatakannya.

Saat itu, ia melihat sebuah nampan dengan sepiring waffle banana split berada di atas meja rendah di samping kasurnya. Sena mengernyit. Gadis itu beringsut ke tepi kasur dan menemukan sebuah sticky note tersemat di nampan.

" Kapanpun kamu bangun, kamu makan. Tadi kamu ketiduran sebelum sempat makan malam."

Sena tergugu sejenak. Gadis itu menyentuh waffle-nya. Sudah dingin. Tentu saja, ini sudah hampir tengah malam.

Sena menatap waffle tanpa minat. Dia sedang merasa jahat sekali. Menghembuskan nafas keras, gadis itu kembali membanting tubuhnya di kasur.

Sebenarnya apa yang dia harapkan? Sakti jelas-jelas memperlakukannya dengan baik. Tapi justru itu yang membuat Sena tidak nyaman, karena Sena tahu dia belum bisa melakukan hal yang sama untuk Sakti. Terkadang, dia sangat benci pada dirinya yang begitu menahan diri. Seperti ada sebuah selubung yang mencegahnya benar-benar membuka diri pada Sakti, karena sekali saja Sena membukanya, itu artinya Sena membuka seluruh akses bagi Sakti untuk menyakiti dirinya. Itu sama saja bunuh diri.

I do love you, Devasena.

Dia juga merasakan hal yang sama untuk Sakti. Tapi setiap kali Sakti mengatakannya, yang ada ketakutan itu justru semakin merajalela. Dia takut tenggelam oleh rasa manis dan nyaman yang Sakti tawarkan untuknya. Tenggelam di dalam rasa yang memabukkan tanpa bisa dikendalikan, lalu akhirnya terluka. Terjerumus dalam lubang tanpa jalan keluar untuk meringkuk dan meratap dengan menyedihkan.

Sena mendesah kala matanya memanas.

Dirga membuat semuanya semakin memburuk. Sekarang Sena tidak ragu jika Dirga memang sudah gila. Laki-laki itu seperti hantu yang membayangi setiap langkah Sena, membuatnya teringat kenangan-kenangan buruk hingga Sena selalu merasa takut.

Sekali lagi, gadis itu menahan keinginan untuk mengambil gunting dan memotong bibirnya sendiri.

Sena menghembuskan nafas dan menghapus air matanya. Tidak apa-apa, rasa laknat karena kelakuan Dirga akan luntur seiring waktu tanpa Sakti harus tahu.

Sena menoleh ke arah waffle-nya. Meskipun dia ketakutan, tapi rasa hangat tetap menguasainya setiap kali Sakti memperlakukannya dengan manis. Rasa hangat yang begitu menggoda Sena untuk datang, meraba dan merasakannya. Tapi layaknya orang yang hanya berdiri di ambang pintu, Sena begitu takut untuk masuk dan terbalut dalam kehangatan itu.

Menghirup nafas panjang, Sena meraih ponselnya untuk berterima kasih pada Sakti meskipun ia yakin sekali itu sia-sia karena saat ini tengah malam. Namun hal yang ia temukan ketika layarnya hidup adalah sebuah pesan dari Sakti.

Mamas Sakti

Pilih salah satu. Menurut kamu, mana yang paling berat?

Bilang 'I Love You' sama aku,

Atau cerita tentang ciuman kamu tadi siang?

*TBC*


Selamat hari minggu semuanya, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro