Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 31. Si Kepiting Raksasa

Jika menduga Sena sudah tidak bermimpi buruk lagi, maka dugaan itu salah.

Pagi ini, untuk kesekian kalinya, gadis itu terbangun dengan jantung berdetak cepat dan keringat dingin membaluri tubuhnya.

Dia tidak pernah menyangka mimpi itu akan jadi seratus kali lebih mengerikan ketika Sakti dan Nathalie menggantikan tempat Dirga dan Raras.

Suara itu, sentuhan itu, dan dirinya yang merasa mati untuk kesekian kali.

Sesuatu menghalangi langkah Sena, membuat fokusnya tertarik paksa pada masa kini. Dalam sepersekian detik, ia menyadari Sakti tiba-tiba saja berdiri menghadap dirinya, kedua tangan di dalam saku dengan posisi agak membungkuk. Belum sempat ia bertanya, sebuah suara debug terdengar cukup keras.

Sena memekik dan melongok ke belakang Sakti, kemudian melihat sebuah bola basket memantul menjauh. Sena memeriksa jumper belakang Sakti yang kini ternoda lumpur di bagian punggung. Iya, tadi malam hujan turun sehingga tanah alun-alun menjadi lumpur di beberapa tempat.

Gadis itu mendongak pada Sakti dan menatapnya cemas, " Mas, kotor."

Sakti yang sedari tadi tidak melepaskan pandangannya pada Sena hanya mengangguk pelan.

" Nggak papa," gumamnya, " Kamu kepikiran apa?"

Seketika itu juga Sena jadi teringat lamunannya yang terputus. Dia pasti begitu tenggelam dalam lamunannya hingga tidak menyadari ada bola basket yang mengarah kepadanya. Gadis itu menelan ludah sembari membalas tatapan Sakti, yang menelisik namun tetap terlihat tenang.

Bagaimana bisa mimpi jahat itu menghantui hidupnya ketika saat ini saja, Sakti bertingkah manis begini? Sena mengalihkan pandangan dan meraih jumper  Sakti sebelum memintanya berbalik.

" Nggak papa, makasih. Jumper-nya dilepas aja Mas. Basah nanti punggungnya," ucapnya pelan sembari mengurangi bekas lumpur dengan sapu tangan. Matanya memanas dengan cepat ketika rasa bersalah menerpanya. Sena cepat-cepat mengerjap sebelum menepuk pelan Sakti, memberitahu laki-laki itu bahwa dia sudah selesai.

" Makasih, ya," katanya tersenyum sebelum membungkuk dan mencium dahi Sena cukup lama, membuat gadis itu meremat sapu tangannya erat-erat.

" Hari ini ada acara apa?" tanya Sakti setelah melepaskan jumper-nya, menyisakan dirinya yang hanya terbalut kaus hitam tipis berlengan pendek yang tampak basah karena keringat.

" Nggak ada, di rumah aja. Mas Sakti ada acara?" tanya Sena menyeret Sakti agar duduk di bangku kosong terdekat.

" Sebenarnya, udah lama aku ada rencana ngajak kamu ketemu ayah ibuku. Tapi tiba-tiba saja ada acara mendadak."

Mendengarnya, dada Sena seperti melorot. Gadis itu mengamati kedua kakinya, menolak membalas Sakti yang jelas-jelas menunggu jawabannya.

" Oh..." Hanya itu respon Sena. " Acara apa?"

" Kantor. Mungkin sampai sore."

" Minggu-minggu begini?" tanya Sena mengerutkan kening.

" Hmm. Tinjauan ke klien, biasanya."

Sena mengangguk singkat. Saat itu ponsel Sena yang ia letakkan di antara mereka berbunyi, membuat keduanya menunduk bersamaan.

Sebuah nomor tidak dikenal, namun Sena punya firasat buruk.

" Nggak diangkat? Siapa tahu penting." Sakti bekata ketika Sena membiarkan panggilan itu berhenti sendiri.

" Atau sama sekali nggak penting," tukas Sena tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Sakti mengamati gadisnya sejenak, kemudian mengambil kesimpulan.

" Dirga?"

Sena menghembuskan nafas keras. Raut wajahnya tertekuk. Jelas ini bukan obrolan yang ia inginkan di pagi minggunya. Saat itu, ponsel kembali berdering karena panggilan dari nomor yang sama.

Sakti meraihnya dan menerima sambungan.

" Sena?"

Sakti melirik Sena, yang membuang muka.

" Ada apa?"

Hening sejenak.

" Siapa?"

Sena bisa mendengar nada Dirga yang berubah jadi lebih emosi. Geram, Sena meraih ponselnya dan memutuskan sambungan.

" Begitu dan masih pantas ditanggapi?" desis Sena mengantongi ponselnya. " Cuma akan capek sendiri, Mas. Sia-sia meladeni Dirga."

Sakti menatap Sena beberapa saat, " Masih sebegitu benci, ya?"

Mendengarnya, Sena berpaling. Tidak perlu bertanya, Sakti sudah tahu jawabannya.

" Na, hadap sini," pinta Sakti.

Dengan enggan, Sena mematuhinya. Gadis itu menatap Sakti meskipun wajahnya tertekuk kesal. Melihatnya, Sakti tersenyum samar. Laki-laki itu meraih tangan Sena.

" Yang boleh ada di sini," ucapnya mengarahkan telunjuk Sena ke kening Sena, " dan di sini," kini ia mengarahkan telunjuk Sena ke dada gadis itu, " cuma aku. Jangan sampai kamu membenci Dirga atau siapapun sampai-sampai dia menyita ruang hati kamu seperti ini. Aku bisa cemburu."

Raut tidak terima terbaca di wajah Sena. Sakti tertawa.

" Jadi, kalau dia telfon, angkat dan bicara sewajarnya. Oke?" Pinta Sakti, " Kecuali kalau dia mau ketemu kamu, aku harus ikut."

Sena mengangkat alis, sementara Sakti hanya mengulum senyum sembari menata rambut Sena.

" Karena sepertinya, mantan kamu itu agak berbahaya," komentarnya dengan secercah nada yang membuat Sena mengerjap. Namun gadis itu mengangguk.

" Iya, nggak papa. Gitu aja."

Sakti tidak berkata apa-apa. Laki-laki itu hanya meraih tangan Sena dan menggenggamnya erat-erat di pangkuan. " I do love you, Na. Really, really love you."

Sorot hangat dari manik mata coklat tua dan seulas senyum itu menawannya sesaat. Sena menghirup nafas yang mendadak sesak. Gadis itu menggigit bagian bawah bibirnya, berusaha menarik tangannya dari genggaman Sakti.

" Ayuk sarapan. Jam segini udah mulai ramai."

**

Hari minggu selalu identik dengan bersih-bersih dan menelfon Shinta seharian.

Tapi mendadak saja ajakan Rafi membuat semuanya berubah. Entah sedang ketiban durian runtuh, tiba-tiba saja laki-laki itu mengajaknya pesta kepiting di restoran yang akan membuat dagu Sena terjun bebas.

" Sekali aja, Na. Gue kepingin banget gara-gara kemarin lihat instagramnya Mbak Ana," rengek Rafi bergulingan di lantai ketika Sena sedang mengepel. " Lo juga nggak ada kerjaan, kan? Mas Sakti pergi sama temen kantornya dan gue udah minta izin pinjem mobilnya. Katanya kunci ada di lo. Jadi beres."

" Duh Mas, tapi itu tuh restoran yang nggak manusiawi. Bisa ludes tabunganku makan di sana sekali," gerutu Sena menyodok Rafi dengan pel agar menyingkir.

" Gue yang traktir!" ucapnya pasti sembari duduk bersila. " Sekali ini, gue akan berbaik hati nraktir lo. Apa gunanya nyimpen duit kalau nggak dipakai?"

Sena menepuk dahinya keras-keras. Sepertinya penyakit jomblo kronis sudah mengambil alih akal sehatnya.

" Tapi nggak di sana juga kali, Mas. Aku nggak mau nantinya kamu nyesel terus nyalah-nyalahin aku yang makan banyak. Padahal situ yang traktir."

" Gampang. Tinggal minta ganti sama Sakti," ucap Rafi tertawa melihat pelototan Sena. " Na, lo nggak lihat kepitingnya segede gaban? Capitnya aja berdaging gitu. Uwoooh Na, please pleasee!! Bisa nggak tidur semalaman kalau gue nggak makan itu hari ini! Lo boleh pesen apa aja, oke? Yang penting lo duduk sama gue biar status jomblo gue tersamarkan. Menyedihkan banget makan di restoran mahal sendirian. Oke, Na? Tapi, lo ngomong dulu sama Mas Sakti."

Satu jam kemudian, Sena yakin jika dirinya semurah makanan yang tengah dihidangkan di depannya.

Rafi menatap semua hidangan dengan lapar seperti orang yang tidak makan selama satu abad. Ia menggosokkan telapak tangannya, bingung mau mulai darimana. Sedangkan Sena mengernyit, sangsi bahwa mereka berdua bisa menghabiskan seluruh hidangan ini.

Restoran ini adalah salah satu restoran yang ada di Bukit Permadani, sebuah kawasan di dataran tinggi dengan suguhan pemandangan yang sangat indah. Tapi Rafi benar. Kepiting yang jadi menu utama memang terlihat lezat dan mewah. Pantas saja di hari Minggu begini restoran ini dijejali pengunjung yang rata-rata datang dengan mobil-mobil mewah.

" Enak, kan?" Rafi nyengir dengan mulut penuh daging kepiting.

Sena mendengus geli, namun mengangguk juga.

" Kapan-kapan, ajak Mas Sakti ke sini. Dating yang agak romantis, gitu. Masa iya malem Minggu seringnya di kontrakan doang," tukasnya melanjutkan makan.

Sena memutar bola mata, " Esensi kencan itu apa? Kebersamaan, kan? Jadi nggak masalah dimana saja asalkan bareng-bareng."

" Di kontrakan nggak ada spot buat pamer di instagram." Rafi menyindir. " Nggak kepingin gitu foto-foto yang background-nya salju?"

Sena menatap Rafi dengan datar meskipun jemarinya sibuk meraih daging gemuk sang kepiting. "Buat apa kencan di tempat bagus kalau ujung-ujungnya sibuk cari spot buat posting di instagram sampai perhatian yang seharusnya ada justru diabaikan? Bahkan kalau cuma skype-an buat yang LDR, aku tetep menganggapnya lebih esensial dibanding jalan-jalan nggak jelas."

" Aw, lidahmu setajam pisau cukurku, Na," dengus Rafi. " Tapi nggak papalah sekali-sekali ngajak Mas Sakti makan di sini. Lumayan, makanannya enak."

Perut Sena geli ketika Rafi memainkan alisnya. " Jangan deh. Nggak bagus buat kelangsungan hidup."

Rafi tersedak. Ia buru-buru meraih minumannya sebelum melotot pada Sena.

" Ha!" Tukasnya seraya mengacungkan jari telunjuk yang berkilat penuh minyak pada Sena, " Kalau lo khawatir sama isi dompetnya Mas Sakti, lo salah! Gue jamin lo ajak dia tiap hari ke sini juga lo tetep sejahtera sebagai nyonya Samudra! Astaga Sena, lo itu...nggak pernah tanya apapun sama Sakti apa gimana? Coba, lo tau nggak sebelum ini dia tinggal di mana? Kantornya mana? Jabatannya apa? Ha?"

Sena mengerjap.

" Mas Sakti kerja di Aztec. Programmer," ucap Sena tidak merasa bahwa pengetahuannya kurang.

" Terus? tempat tinggal dia sebelum ini? Keluarganya? Lo nggak nanya?!"

" Ng...harus, ya?"

Rafi menghembuskan nafas panjang, " Lo tuh sayang nggak sih sama Sakti? Sebegininya nggak kepo? Heran gue sama cewek macam lo yang tenang-tenang aja walau bumi kena supernova. Terus kalau lo ngobrol sampai malem berduaan aja di unitnya Sakti itu ngapain?"

Sena mengerucutkan bibir sementara kedua tangannya sibuk memecah cangkang kepiting.

" Banyak. Kita cerita hari itu ngapain aja. Kadang aku baca komik, Mas Sakti nge-game. Kadang aku ada tugas, Mas Sakti bantu. Mas Sakti bukan tipe cowok yang aneh-aneh."

Tanpa sadar Rafi menggosok keningnya dengan tangannya yang penuh minyak, membuat Sena berdecak dan cepat-cepat menghapusnya dengan tisu.

" Memang kenapa? Penting, ya? Aku belum merasa perlu tahu tentang itu," celetuk Sena kembali duduk dan menyantap makanannya.

" Pantes aja waktu itu Sakti sampai ngira lo masih anak SMA. Untung dia sabar. Lagipula, anak SMA kadang lebih kepo ketimbang lo," gerutunya. Kemudian ia menatap Sena dengan gemas. " Wahai Devasena Gayatri, Mas Sakti itu punya unit apartemen di GG alias Grey Garden Land!"

Sena mengedip.

" Ng, terus?" tanya Sena mengerutkan kening. " Banyak orang yang punya apartemen di sana juga aku biasa aja."

Rafi sepertinya berusaha menekan keras-keras rasa frustasinya.

" Berarti makan di sini tiap hari juga nggak ngefek apa-apa buat dia, Na. Duh!" Rafi kesal sendiri.

" Oh, itu maksudnya," celetuk Sena terkekeh pelan. " Walaupun dia orang paling kaya nomor satu di dunia, makan beginian tiap hari juga nggak sehat. Yang ada kena kolesterol tinggi, hipertensi terus sakit jantung."

" Duh amit-amit Ya Tuhan. Ngomong sama lo apa-apa dihubungin sama kesehatan," sergah Rafi lelah.

" Ya habisnya Mas Rafi ngomong seolah makan di sini tuh suatu tuntutan," ujar Sena. " Kalau nggak mau debat sama aku, mending diem aja, oke?"

Menghembuskan nafas keras untuk kesekian kali, Rafi menatap Sena dengan tidak puas. Iya, dulu dia mengira Sena masih bocah setara SMA. Tapi begitu dia mengenalnya lebih dekat, dia tahu jika pemikiran gadis itu tidak bisa diremehkan.

" Bu Sena!"

Sebuah suara membuat Rafi dan Sena menoleh.

" Bu Sena? Hm, sounds weird," gumam Rafi mengawasi seorang gadis luar biasa cantik dan modis sedang mendekati mereka dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya.

" Laila?" celetuk Sena begitu mengingat wajah gadis ini. " Wah, kamu makin cantik saja."

Laila Ghivara, salah satu pasien Sena yang menderita anorexia dan bulimia sekarang terlihat lebih sehat. Wajahnya lebih bersinar dengan pipi yang berisi dan kulit putih mulus tanpa mata panda. Ia memakai midi dress ketat yang dibalut dengan cardigan merah. Rambutnya terurai anggun hingga ke pinggul dan sebuah stiletto setinggi sepuluh senti menghiasi kaki jenjangnya.

" Kemarin aku karantina di Jepang, jadi nggak sempat cari Bu Sena. Nggak tahunya ketemu di sini," ucapnya angkuh sembari duduk di salah satu kursi kosong. Ia mengernyit kala melihat Rafi yang terbengong dengan tangan dan mulut yang berlepotan minyak. Kemudian menoleh pada Sena dengan antusias.

" Bu Sena sering ke sini? Nggak takut gendut makan seafood?" ujarnya menatap Sena dari atas sampai bawah dengan pandangan yang sangat membuat risih hingga Sena mencondongkan tubuhnya.

" Ada yang kepingin," kedik Sena pada Rafi. " Laila, ini tetanggaku, Rafi. Mas, ini Laila, salah satu klienku. Dulu."

Laila mengibaskan rambutnya, " Halo Mas Rafi. Aku Laila."

" Eh...halo Ila," balas Rafi bingung. Sena dan Laila mengernyit.

" Kok Ila?" tanya Laila tidak terima.

" Nama kamu Laila. Manggil Ila aja biar nggak kepanjangan," jawab Rafi yang masih mengamati Laila dari atas sampai bawah.

" Kamu ke sini sama siapa?" tanya Sena.

" Oh, sama kru fotografer. Itu masih pada pesen makanan," jawab Laila mengedik ke belakang.

" Kamu model?" tanya Rafi kemudian. Laila mengangguk dengan sombong.

" Bu Sena, boleh makan ini?" tanya Laila menunjuk sepiring kerang yang terbuka.

Sena mendengus geli, " Boleh, Laila. Yang perlu kamu ingat cuma kata-kata ibu dulu."

" Serius, Na. Lo cocoknya jadi adeknya dia," celetuk Rafi bergidik.

Gadis berbandana merah itu mencibir. Ia sudah akan membalas kata-kata Rafi ketika sebuah suara menginterupsi mereka untuk kedua kalinya.

" Sena, nggak nyangka ketemu di sini."

Detik itu pula, suasana menyenangkan yang dirasakan Sena mendadak sirna.

**

Satu-satunya yang membuat Sena menyetujui ajakan Dirga adalah karena Sakti.

Maka, di sinilah dia, di balkon lantai dua khusus bagi pelanggan eksklusif dengan interior berupa tirai acrylic  yang sekaligus berfungsi menciptakan sekat demi menjaga privasi antar pelanggan. Meskipun demikian, sekat itu tidak mengurangi keindahan view yang disajikan dari balkon restoran ini.

Tidak banyak pelanggan yang ada di balkon ini. Selain patokan harga yang berbeda karena lebih privasi dan suguhan view yang lebih tinggi, kebanyakan pengunjung mengutamakan suasana keluarga nan ramai yang butuh space luas seperti di lantai bawah, lantai tempat Rafi berada. Selain mereka, hanya ada dua pasang muda mudi di masing-masing sudut, tersamarkan oleh tirai yang terayun lembut karena belaian angin.

" Itu tadi tetanggamu, kan?" tanya Dirga membuka percakapan.

Gadis itu menelan ludah. Dia benar-benar menahan diri agar tidak berlari kembali ke bawah dan menyeret Rafi pulang. Dia teringat kata-kata Sakti bahwa rasa benci ini seharusnya bisa ia enyahkan.Karena Sakti benar, ada saat dimana kebencian itu begitu menguasainya hingga seluruh fokus Sena terpaku pada Dirga dan rasa sakit.

Terlalu enggan membuka mulut, gadis itu mengangguk.

Dirga menatap Sena dari samping, karena gadis itu menolak memandangnya.

" Kamu mau datang di acara pembukaan cabang TeraMart yang baru?" tanya Dirga berusaha mengalihkan pembicaraan. " Kamu bisa pilih barang apa saja yang kamu mau."

Sena mengepalkan tangannya di pangkuan. Namun gadis itu tidak mengatakan apa-apa.

" Sena?" panggil Dirga dengan suara yang mulai bergetar. " Kamu minta aku melakukan apa agar kamu mau memaafkan aku?"

" Pergi jauh dariku, Ga," timpal Sena singkat. Ia menoleh pada Dirga, menatap laki-laki yang memakai kaus Polo berwarna putih itu. " Pergi, jauh. Jangan ganggu aku lagi dan pada waktunya nanti, aku sepenuhnya akan memaafkan kamu."

Dirga menggeleng. Laki-laki itu tergelak lemah, " Mana bisa aku jauh dari kamu, Na? Sampai kapanpun, aku akan memperjuangkan kamu."

Sena menghela nafas panjang.

" Percuma, Ga. Aku sudah sama orang lain."

Hening. Sena bisa melihat keterkejutan di mata Dirga. Namun laki-laki itu tidak bereaksi selain memandang Sena dengan emosi yang menggelegak.

" Dia yang tadi pagi angkat ponsel kamu dengan lancang, iya?" bisiknya dingin.

Sena memalingkan wajah, " Kamu nggak perlu tahu."

" Si laki-laki berkacamata aneh yang ada di kontrakanmu itu? Laki-laki yang hanya bisa menyewa kontrakan sempit begitu? Mau dikasih makan apa kamu?" hujamnya marah.

Maka, Sena menatap Dirga dengan kebencian tidak terhingga. Beginikah watak laki-laki yang dulu ia cintai? Astaga, Sena benar-benar buta.

" Itu bukan urusan kamu. Jangan pernah aku dengar kamu ngomong begitu lagi, Dirga Rajendra," kata Sena dingin sembari menahan kepalannya agar tetap di pangkuan.

" Itu sudah pasti jadi urusanku, Na. Karena sudah jelas, aku lebih bisa membahagiakan kamu dibanding dia. Jangan hidup di dalam mimpi, Na. Mau makan apa kamu kalau sama dia? Cinta saja?"

" Kamu tahu bicaraku benar, Sena." Dirga berkata masih dengan emosi ketika Sena hanya terdiam dengan tatapan menghujam, " Kamu hanya mencari pelarian saja. Karena aku masih yakin kalau kelakuanmu ini hanya karena rasa benci yang nggak bisa kamu atasi. Di dalam sana, masih ada kita. Dan aku nggak akan menyerah untuk itu."

Nada tegas penuh emosi itu, Sena sangat mengenali intonasi suara Dirga jika sedang marah. Laki-laki itu bukanlah orang yang gampang emosi, namun jika sesuatu miliknya diusik orang lain, Dirga bisa sangat lupa diri. Sena tidak akan pernah lupa bagaimana wajah Kemal yang dihajar Dirga hanya karena Kemal menemui Sena untuk mengembalikan dompetnya. Batinnya tertawa pedih ketika dulu, dia sama sekali tidak mampu meraba karakter Dirga.

" Ngomong sama kamu bener-bener bikin capek, Ga. Terserah saja kamu mau ngomong apa. Yang jelas, jangan ganggu aku lagi."

Begitu saja, Sena berdiri dan melangkah menjauh karena dia tidak yakin bisa menahan diri mendengar Dirga yang merendahkan Sakti. Sejak kapan Dirga gemar sekali merendahkan orang lain?

Ah...peselingkuh memang semudah itu merendahkan orang lain. Sederhana saja. Jika dia bisa menghargai orang lain, dia tidak akan pernah mau berkhianat.

Gadis itu bangkit dengan gusar. Tapi tiba-tiba saja, sebuah cengkraman kuat menarik Sena dan melingkupinya dengan sebuah dekapan.

" Dirga! Lo...lepas!" seru Sena berusaha melepaskan pelukan erat Dirga yang memerangkap kedua tangannya. Namun Dirga bergeming. Laki-laki itu justru menumpukan dagunya di pundak Sena.

Sungguh, Sena sangat ingin menghajar Dirga saat ini juga.

" Aku kangen peluk kamu kayak gini, Na," bisiknya lirih. " Aku kangen kamu. Please, kembali."

Dengan cepat mata gadis itu memanas. Dia tidak suka sentuhan ini.

Sekuat tenaga, Sena mendorong Dirga hingga laki-laki itu terhuyung. Ia berusaha melepaskan cengkraman Dirga di pergelangan tangannya, namun tentu saja dia kalah kuat dibanding laki-laki bertubuh dewasa seperti Dirga.

Dengan kilatan emosi di matanya, Dirga membawa Sena kembali mendekat. Laki-laki itu menyelusupkan jemari di tengkuk Sena,

Dan mencium bibir gadis itu.

Seluruh udara terhempas dari paru-paru Sena. Jantungnya berhenti berdetak. Gadis itu terkejut luar biasa hingga seluruh ototnya mati rasa.

" Just think about me, Na. Only me. God, I love your lips," bisik Dirga berat dengan fokus berkabut ke arah bibir Sena. "I will never let you go, Na. Hanya butuh waktu saja sebelum kamu bisa melepaskan rasa benci kamu dan menyadari perasaanmu yang sesungguhnya. Jadi aku akan memberimu waktu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Na. Aku masih Dirga milik kamu. Selamanya akan seperti itu. Aku pergi dulu. Makanannya dihabiskan ya, sayang."

Persetan apapun yang dikatakan Dirga, Sena sama sekali tidak mampu mencernanya. Gadis itu terlalu terkejut hingga ketika kesadaran menghampirinya, hal yang ia lihat hanyalah balkon kosong dengan angin yang bertiup kencang.

Sena mengusap kasar bibirnya, berusaha mengenyahkan rasa berat yang tertempel di sana.

Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali hingga kulit tipis di bibir gadis itu mengelupas, rasa itu masih saja tertempel di sana seperti sebuah minyak beradhesi tinggi.

Memuakkan.

Menjijikkan.

Hingga aroma anyir tercecap di ujung lidah, Sena masih mengusapnya dengan kekuatan yang semakin besar.

Lalu begitu saja, air mata Sena mulai mengalir.



*TBC*

Dirga datang. Yang kangen yang kangen 😄😄

Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro