Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 30. Stick Keju

1/8/2024

Haii, sorry for missing a day and jumping for next chapter. Ibu saia baru saja kecelakaan, dan saya langsung ke Yogyakarta dari Bandung. It was like a blink of an eye, jadi saia nggak sempat copas backup story devasena chapter 29. I am so sorry. Sena tetap akan update seperti biasa, tetapi untuk chap 29 mungkin skip duli sampai saia balik ke Bandung. So sorry, hope you still enjoy the story. Happy reading 💕

====

Tidak tenang,

Itulah yang dirasakan laki-laki berusia akhir dua puluh sembilan tahun itu. Sedari tadi ia hanya mondar mandir di kamarnya seraya mengerling ke arah ponsel yang tergeletak begitu saja di atas kasur.

" Namanya Sakti, Pak Danar. Dia pacar saya."

Saat itu, dia ingin sekali menginterogasi Sena. Namun kesibukan di luar kota sangat menyita waktunya hingga membiarkan satu minggu terlewati dengan pikiran yang tidak tenang. Dia memang sering menelfon gadis itu untuk memantau keadaan di rumah sakit. Tapi dia tidak punya keberanian menanyakan pertanyaan maha penting yang saat ini mengacaukan akalnya.

Mengusap kasar wajahnya, laki-laki itu meraup dompet, ponsel dan jaket sebelum keluar kamar.

" Lho Nar, mau kemana? Ada Jenny di luar. Mama baru saja mau panggil kamu." Latifa mengerutkan kening kala melihat anaknya keluar kamar dengan tergesa sembari membawa jaket.

" Ma, Danar ada hal penting," ucapnya mencium kedua pipi Latifa.

" Terus Jenny?" hardik mamanya tidak suka. " Mana ada orang yang meninggalkan tunangannya waktu dia udah di sini, Nar? Sapa dia! Apapun itu, nggak ada yang lebih penting dari Jenny. Sekarang ke depan! Temui calon istri kamu!"

Danar bisa gila. Lagi-lagi, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Namun rasa sayang pada Latifa membuat Danar mematuhinya. Menenangkan diri, laki-laki itu akhirnya keluar dan mendapati Jenny sedang duduk bersila kaki di sofa ruang tamu.

Wanita itu menoleh kala Danar muncul. Sebuah senyum tercipta di wajahnya. Agaknya setelah dia berusaha melepaskan Danar, dia tidak lagi merasa begitu tertekan. Hanya perlu menunggu waktu yang tepat sebelum dia mengatakan semuanya pada Latifa dan orangtuanya. Begitu yang Danar dengar dari Jenny.

" Jen, ikut aku." Danar meraih tangan Jenny dan menariknya keluar dengan tergesa. Tentu saja, Jenny terkejut.

" Nar, kita mau kemana? Aku perlu ngomong sama kamu tentang papa--Danar!" tanya Jenny berusaha menahan langkah Danar. Namun laki-laki itu terlihat begitu gelisah. Maka Jenny memilih bungkam dan naik ke mobil begitu Danar membukakan pintu untuknya. Tanpa kata, Danar menutup pintu dan memutari mobil untuk kemudian duduk di kursi kemudi.

Jenny hanya bisa menatap cemas pada Danar ketika laki-laki itu memundurkan mobil dengan raut wajah yang serius. Sedikit tidak sabar, Danar menginjak pedal gas hingga Jenny terlempar ke belakang.

" Danar, kamu kenapa? Ada apa?" tanya Jenny memperbaiki posisi duduknya.

Namun Danar masih terdiam. Dengan pandangan keras, laki-laki itu mengemudi dengan tidak sabar hingga beberapa kali beradu klakson dengan pengemudi lain.

" Danar, ini bukan kamu. Kamu kenapa?" tanya Jenny berusaha membuat Danar bicara. Ia membelai bahu laki-laki itu, terasa tegang. Sebenarnya ada apa?

" Nar, kalau mau mati, mati aja sendiri. Aku belum mau mati!" seru Jenny ketika Danar menyalip sebuah truk tronton bergandeng dengan kecepatan super. Wanita itu mencengkram dadanya kuat-kuat seraya melotot ke depan.

Begitu Danar sudah berhasil mendahuluinya, agaknya kekalapan Danar sedikit mereda karena adrenalin yang baru saja ia lakukan. Danar mengusap rambutnya dengan kasar.

" Maaf Jen," ucapnya pada Jenny yang jelas-jelas memiliki trauma berkendara dengan kecepatan tinggi, " Aku...bodoh sekali. Setelah selama ini aku menyangka...harusnya aku tahu aku nggak boleh menunda-nunda."

Jenny berusaha mencerna racauan Danar dengan susah payah. Tidak, dia tidak mengerti satu kata pun. Namun pertanyaannya harus disimpan, karena wanita itu sibuk menegang di kursinya kala Danar lagi-lagi memacu mobil dalam kecepatan yang tidak manusiawi di jalanan ramai.

**

Sena bersila di depan rak buku Sakti dengan komik di pangkuannya. Gadis itu memakai kaus lengan pendek yang dipadu rok sepanjang lutut.

Sedari tadi, ia mengamati Sakti yang tengah sibuk menyiapkan kardus dan segala macam hal guna membungkus salah satu komputer miliknya. Laki-laki itu memakai kaus oblong dengan celana pendek selutut. Sekali-sekali, perhatiannya akan beralih ke layar komputer. Ia mengetikkan sesuatu di sana, hanya untuk kembali lagi menyiapkan gunting, selotip dan segulung besar bubblewrap yang menggoda Sena untuk diinjak-injak dengan gemas.

Tidak butuh waktu lama bagi Sena untuk menyadari bahwa komputer adalah dunia Sakti. Tapi Sena tidak mengeluh, sungguh. Dia menyukai sosok Sakti yang terlihat serius ketika sedang mengutak-atik komputer, bermain game atau mengerjakan salah satu desain freelance-nya. Konyol memang, tapi Sakti yang seperti itu terlihat manis dan bisa diandalkan di saat bersamaan.

Sena terkekeh kecil kala Sakti berjongkok dengan kedua tangan menari di atas keyboard sementara fokusnya terpaku pada layar di depannya. Dalam diam, gadis itu bangkit dan melangkah keluar. Namun Sakti meraih tangan Sena yang melangkah di belakangnya tepat waktu.

" Mau kemana?" tanyanya menoleh. Ia menatap tajam pada Sena di balik kacamata bundarnya.

" Ambil camilan," jawab Sena geli sembari melepaskan cekalan Sakti. " Sebentar, ya."

Sakti menatapnya sejenak, kemudian mengusap ringan punggung tangan Sena yang ada di genggamannya.

" Perlu bantuan?" tanyanya.

" Hng--nggak," jawab Sena terbata.

Melihat penampilan Sakti malam ini saja dirinya sudah empot-empotan. Laki-laki itu melepaskan tangan Sena, membiarkan Sena keluar dari ruangan Sakti yang mendadak jadi panas. Setelah beberapa waktu berlalu, Sena jadi tahu kalau kelakuan Sakti berpotensi membuatnya kena serangan jantung di saat-saat tidak terduga.

Kontrakan kosong, karena Rafi dan yang lain sedang sibuk dengan acara malam minggunya masing-masing, termasuk Ana yang sudah keluar dari rumah sakit beberapa waktu lalu dan merengek pada Arga untuk makan kepiting di salah satu restoran seafood.

Gadis itu kembali ke ruangan Sakti dengan semangkuk penuh stick keju. Tadi siang, Kanya yang membuka usaha makanan ringan kiloan sedang menjadikan ahli gizi seruangan sebagai tester.

" Serius banget," ucap Sena duduk di sebelah Sakti dan menyipit ke arah layar, yang menampilkan platform toko online yang asing bagi Sena. Ia meletakkan mangkuk stick keju di antara mereka berdua. " Ini yang bikin temanku. Dicoba, menurutku enak lho, Mas."

Perhatian Sakti teralihkan. Mematuhi Sena, laki-laki itu mengambil beberapa stick keju dan mencobanya.

" Hm, enak," ujarnya dengan pipi menggembung. Sena tertawa pelan, kemudian lanjut mengamati apa yang ada di layar Sakti.

" Jadi gimana?" tanya Sena menyipit di gerai toko yang dibuka Sakti. " Z-tron? Dia juga punya semacam olshop gini, ya?"

Sakti mengangguk, " Khusus elektronik saja. Jadi lebih mudah kalau mau jual beli barang-barang elektronik."

" Termasuk kulkas? Mesin cuci gitu?"

Mendengarnya, Sakti tertawa. Jemarinya terbang ke rambut Sena, menyilanya dengan lembut ke belakang telinga.

" Itu masuknya perabot rumah tangga, Na. Ini elektronik tingkat atas. Sparepart komputer seperti layar, CPU, dan sebagainya. Juga perangkat gaming eksklusif macam VGA, joystick, headphone, keyboard. Susah nge-handle kalau scope-nya terlalu luas."

Tentu saja, Sena menelengkan kepala dan mengamati Sakti dengan lekat. Laki-laki itu agaknya menyadari Sena yang memandangnya, karena ia mengangkat alis.

" Kenapa?"

Sena mengerjap, kemudian menggeleng. Sakti terkekeh dan mencium sisi kepala gadis itu.

" Masih jam segini, Na. Kamu udah ngantuk?"

Sena mengalihkan perhatian ketika panas merambati wajahnya. " Belum. Jadi, udah buka lapak? Udah upload gambar juga? Udah ada yang berminat?"

" Ada tiga," jawab Sakti kembali fokus ke layar. " Tapi ada baiknya ditunggu sampai besok."

" Ng..." Sena menyipit ketika ia melihat-lihat gambar yang di-upload Sakti. " Kenapa ada yang dilingkari warna merah? Itu maksudnya apa?" Sena mendekatkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.

" Cacat." Sakti menjelaskan sembari mengedik layar komputer yang hendak dijualnya. " Pixel mati."

Sena mengerutkan kening. Ia menoleh ke arah layar komputer yang hendak dijual Sakti. Keadaannya menyala karena Sakti baru saja membedahnya luar dalam. Tapi Sena tidak akan pernah tahu ada pixel mati di layar jika Sakti tidak memberitahunya. Bahkan ketika Sena mendekati layar sebesar 32 inchi itu, dia tetap tidak menemukan pixel yang mati hingga beberapa saat kemudian. Itupun dengan hasil matanya terasa pegal saking berkontraksi dalam level maksimal.

" Nggak kelihatan. Orang juga nggak akan keganggu. Pixel matinya nggak lebih besar daripada kepala semut gitu," komentar Sena menoleh lagi ke arah gambar yang di-upload. " Tanpa Mas Sakti bilang, orang nggak akan sadar."

Sena menjejalkan sebatang stick keju ke mulutnya, mengulumnya dengan main-main di antara bibir ketika gadis itu sekali lagi menyipit ke layar, mereka-reka jika dirinya jadi calon pembeli, apakah dia akan keberatan dengan dead pixel itu seandainya Sakti tidak mengatakan--

Dan Sena yakin, jantungnya meledak saat Sakti menelengkan kepala hanya berjarak kurang dari lima senti dari wajahnya. Karena seluruh atensi Sena saat ini tengah membeku pada manik mata coklat tua yang menatapnya dengan tenang.

Bunyi renyah pelan terdengar kala Sakti menggigit putus stick keju itu, membiarkan satu senti stick keju tersisa di luar bibir Sena yang terkatup kaku.

" Kamu mau aku jadi pembohong?" tanya Sakti santai. Terlalu santai hingga Sena merasa tadi hanyalah khayalan gilanya. Tapi stick kejunya yang berkurang adalah sebuah bukti yang hakiki.

Sena terbatuk kala geligi dan otot tenggorokannya mendadak tidak bersinergi. Membuat Sakti tertawa pelan dan mengambilkan segelas air minum untuknya. Sena meminumnya, mendelik pada Sakti yang tertawa semakin keras sambil menepuk pelan kepalanya.

" Nggak, aku nggak mau," jawab Sena berusaha menetralkan debarannya. Demi apapun, Sakti memang berbahaya.

" Aku kan cuma bilang kalau kemungkinan besar banyak orang yang nggak sadar sama kecacatan itu. User juga nantinya mungkin nggak akan pernah keganggu."

" Terganggu atau nggak, tetap saja pixel mati itu jadi sebuah kecacatan produk. Sekecil apapun cacat di barang dagangan kita, calon pembeli tetap harus tahu," ucap Sakti meraih sebatang stick keju dan memainkannya persis seperti Sena, membuat gadis itu semakin kesal saja.

" Meskipun harganya turun jadi setengah?" tanya Sena mengalihkan perhatian agar tidak menyahut stick keju yang bermain di bibir Sakti seolah sedang menggodanya.

Sakti meliriknya, kemudian senyum geli terulas dari sudut bibirnya. Akhirnya ia menelan sang stick keju tidak tahu diri itu sebelum meraih sejumput rambut Sena yang tergerai dan memainkannya di antara jemari.

" Sembilan juta tanpa beban rasa bersalah lebih baik daripada dua belas juta hasil berbohong, Na," ucapnya lembut. "Itu lebih berkah. Mana mau besok aku kasih kamu dan anak-anak kita uang yang nggak bener?"

Jelas sekali Sakti tahu kelemahan Sena. Membuang muka, Sena berusaha meredam rona merah yang menjalar cepat di wajahnya. Sakti tertawa. Dengan pelan, ia menarik dagu Sena agar kembali menatap padanya.

" Jangan terlalu manis kalau kita cuma berdua saja," ujarnya sebelum mencium dahi Sena dengan singkat. " Aku terusin ini dulu, ya?"

Sena jadi bertanya-tanya siapa yang terlalu manis di sini.

Dengan seluruh bulu kuduk yang masih berdiri, Sena mematuhi Sakti. Ia kembali duduk di depan rak buku, yang kali ini diberi alas kasur tipis oleh Sakti sehingga Sena tidak kedinginan. Bahkan, ia menyediakan selimut, yang masih terlipat rapi di kaki kasur karena belum digunakan Sena.

Iya, Sakti memang tiba-tiba sering nyeletuk tentang 'istri dan anak-anak' di sela obrolan ringan mereka. Sebuah bahasan yang tidak mengejutkan karena Sakti berkata bahwa hubungan mereka memang serius. Tapi sampai sekarang, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Sena. Membuat gadis itu selalu menghindar jika Sakti sudah membahas tentang masa depan meskipun itu hanya bercanda saja.

Sebut saja, ketakutan tidak hilang semudah itu.

Dia menyayangi Sakti, itu tidak diragukan lagi. Tapi untuk yakin tentang hubungan mereka ke depan, Sena masih belum bisa. Rasa curiga itu masih mendominasi. Rasa takut itu masih ada. Rasa takut tidak beralasan yang terkadang membuat Sena menangis sendirian di malam hari karena sudah merasa jahat pada Sakti, laki-laki yang kini terlihat manis sekali dengan pipi menggembung dan sedang menghadap ke arah komputer.

Ibarat menyelam tanpa peralatan, Sena masih terombang-ambing di permukaan laut, dimana dirinya berada pada zona nyaman untuk bisa tetap mencari oksigen. Dia tidak berani menyelam lebih dalam, karena dia takut tidak bisa menyelamatkan diri tepat waktu hingga akhirnya terus tenggelam ke dalam kegelapan tak berujung.

Rasa takut itu sangat menyiksanya.

Mengerjapkan mata yang mulai memanas, Sena berusaha fokus pada kelanjutan cerita komik yang tadi dia baca. Berusaha mengalihkan perhatian pada cerita seorang biksu cilik yang harus menguasai empat elemen sekaligus.

" Kenapa suka baca komik?"

Suara Sakti membelah keheningan. Sena terlonjak karena Sakti berbisik tepat di telinganya, membuat komik di tangannya terlempar dan jatuh di depan mereka. Sakti terkekeh pelan sebelum meraih komik itu dan meletakkannya kembali ke pangkuan Sena.

" Maaf," ujarnya sembari merebahkan diri dengan kepala di depan kaki Sena yang bersila.

Dengan santai, laki-laki itu menekuk salah satu kakinya dan menatap Sena yang masih tergugu. Laki-laki itu meraih kedua tangan Sena dan menempelkannya di kanan dan kiri pipinya. Menghantarkan sebuah rasa hangat yang segera menyebar ke seluruh tubuh Sena.

Sena menelan ludah ketika merasakan keengganan akan sentuhan mereka, karena sekarang dia menyadari jika setiap sentuhan Sakti selalu terasa menyenangkan, menenangkan dan beresiko membawanya jatuh semakin dalam. Dipandanginya sejenak manik mata coklat tua itu, setengah mencari kekuatan untuk melawan ketakutannya. Sena mengusap pelan pipi Sakti dengan ibu jarinya, membuat laki-laki itu tersenyum samar dan menggenggam lebih erat tangan Sena. Seolah menguatkannya.

" Kenapa kamu nggak baca novel-novel romantis saja? Biasanya cewek suka yang seperti itu, kan?"

" Haruskah?" Sena yang membungkuk di atas wajah Sakti mengangkat alis. Laki-laki itu mengangkat bahu dan mengulurkan tangan untuk menyibak rambut Sena yang terjatuh di sisi wajahnya.

" Karena aku selalu ragu tentang hubungan dua tokoh itu nantinya," jawab Sena menikmati garis wajah Sakti. " Apa iya mereka bisa langgeng sampai maut memisahkan? Nyatanya apa yang diceritakan di dalam novel cuma penggalan kehidupan mereka saja."

Sakti menatap Sena sejenak, kemudian berkata, " Masih berpikir seperti itu?"

Terbungkam, Sena mengangguk. Sakti menyentuh dahi Sena dengan ujung jari telunjuknya.

" Kalau begitu, disini kamu tinggal membentuk sebuah mindset bahwa mereka akan bahagia selamanya."

Sena mengernyit, " Apa iya akan seperti itu? Kita nggak pernah tahu masa depan si tokoh."

" Ada dua hal di masa depan dua tokoh itu. Berpisah atau bersama selamanya. Kenapa harus menduga bahwa mereka akan berpisah kalau kita bisa memilih memikirkan mereka bisa bersama selamanya?"

" Karena, mungkin saja itu yang terjadi," jawab Sena pelan.

" Atau nggak," ujar Sakti. " Pasti ada alasan mengapa mereka bisa bersama. Aku memilih memikirkan si tokoh mampu mengatasi setiap permasalahan dan tetap bersama daripada sebaliknya. Bukannya itu malah bikin kamu depresi?"

Sena mengerucutkan bibir, membuat Sakti tersenyum sabar.

" Na, di dalam sini," ucap Sakti sembari memutar lembut ujung jemarinya di dahi Sena. " adalah pusat kesehatan jiwa kamu. Jadi kamu harus mengisinya dengan hal-hal yang baik, termasuk prasangka-prasangka yang baik. Karena seperti yang kamu tahu, kalau selain luka, akan selalu ada bahagia. Paham?"

Sena mengangguk pelan.

Sakti tersenyum samar. Dari dahi Sena, ia menyelusurkan jemarinya ke tengkuk gadis itu. Membawanya hingga Sakti bisa mencium lembut dahi Sena sebelum melepaskannya lagi.

" I do love you, Devasena," bisiknya membuat Sena terpaku. Untuk sesaat, Sena yang malang hanya bisa menatap Sakti tanpa bisa bicara apa-apa.

" Hidungnya masih sakit?"

Sakti menatapnya sejenak, kemudian tersenyum dan menggeleng, " Karena kamu, aku jadi nggak kehabisan darah."

Sena memutar bola mata dan menjapit hidung Sakti dengan jemarinya hingga laki-laki itu mengaduh.

" Kamu nggak bakalan anemia cuma gara-gara itu. Tapi, aku penasaran, sih. Mas Sakti kejedug apa sampai berdarah sebegitu banyak? Aku sampai kaget. Untung tulangnya nggak kenapa-kenapa. Cuma memar doang."

Sakti terkekeh. laki-laki itu mengusapkan ujung hidungnya di telapak tangan harum Sena.

" Beneran mau dengar?" tanya Sakti kemudian. " Ditinju Tirta."

"HAH??" seru Sena terperangah, " Kenapa??"

Sakti tersenyum samar, " Karena dia berfikir aku mendekati Nathalie. Gara-gara kejadian di lobi itu pada awalnya."

Sakti bisa merasakan sentuhan Sena menjauh darinya. Maka laki-laki itu menghirup nafas panjang.

"Kenapa, Na?" tanya Sakti menahan jemari Sena.

Sena menelan ludah kala rasa sesak menguasai rongga dadanya. Namun gadis itu menggeleng.

"Na?" Panggil Sakti lagi. "Kenapa?"

Sena terdiam, namun menggeleng lagi. Karena dia tidak mau Sakti mengira dia mencurigainya. Meskipun saat ini, sebuah pemikiran menyelusup ke dalam otaknya. Mengatakan jika Sakti tidak akan dipukul sekeras itu jika lelakinya ini tidak berbuat salah.

" Duh kasihan," gumam Sena berusaha mengenyahkan awan buruk di kepalanya. Ia sembari menyentuhi hidung Sakti dengan jari telunjuknya. Ia mendekatkan wajahnya agar bisa mengamati hidung Sakti dengan lebih jelas. " Nggak retak kan, ya? Nggak kok. Kalau retak pasti bentuknya beda."

Sakti tertawa pelan mendengar gumaman Sena, menikmati sentuhan gadis itu sembari menahan diri untuk bangkit dan mengecup sepasang bibir yang sedari tadi bergerak dengan begitu menggoda.

" Jadi begini kelakuan kamu di rumah?"

Sakti dan Sena menoleh bersamaan kala mendengar suara dingin dari luar. Danar berdiri tepat di depan ambang pintu Sakti, bersedekap sembari menatap mereka dengan tajam.

Sena menegakkan badan bersamaan dengan Sakti yang bangkit dari hadapan Sena.

" Pak Danar? Kenapa kesini malam-malam begini?" tanya Sena menyambangi Danar. Saat itu, dia melihat Jenny yang berjalan dengan tergesa ke arah mereka.

" Hai, Na!" sapa Jenny dengan senyum canggung di wajahnya. Sena mengerutkan kening. Ia memandangi Jenny dan Danar bergantian.

" Ng, maaf, ponselnya saya tinggal di kamar. Ada hal penting apa? Mari ke tempat saya saja."

Namun Danar bergeming. Laki-laki itu menatap Sakti dengan mata yang memerah sebelum kembali menunduk untuk menatap Sena.

" Kenapa sepi?" bisik Danar dengan nada dingin yang tidak mungkin diabaikan Sena. Tentu saja, Sena mengerjap. Bingung dengan kelakuan aneh atasannya ini.

" Yang lain sedang pergi. Tinggal saya dan Sena yang ada di sini." Sakti memilih berdiri di samping Sena dan menjawab pertanyaan Danar dengan lancar. " Ada yang mau dibicarakan? Silahkan masuk."

" Kenapa kamu ceroboh sekali, Dev? Bisa-bisanya hanya berdua saja malam-malam begini?" geram Danar.

" H-ha?" Sena terperangah. " Maksudnya apa—"

" Itu, Na. Kita kesini mau minta fotokopian CCTV dari kamu. Soalnya cuma kamu yang punya!" Suara Jenny menginterupsi. " Jadi, masih punya?"

Sena mengedip beberapa kali, kemudian mengangguk.

" Silahkan masuk dulu. Di luar dingin," ucap Sakti mempersilahkan keduanya masuk ke dalam kontrakan.

Danar menggeram, geraman yang hanya didengar oleh Jenny. Wanita itu menyahut tangan Danar agar mengurai sedekapnya dan memaksanya masuk ke dalam demi sopan santun.

" Maaf kita nggak ngabari kamu dulu," kata Jenny menyelamatkan situasi. Ia menatap ke arah Sena yang tengah duduk di seberang ruangan sembari menghadap sebuah layar komputer. Gadis dengan rambut tergerai itu menoleh dan tersenyum.

" Nggak papa, Bu," jawabnya sebelum beralih pada laki-laki jangkung yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Jenny memalingkan wajah ketika dadanya berdenyut nyeri. Dia tidak bisa menyalahkan Danar jika laki-laki itu menyukainya. Sena memang semanis itu.

" Mas, kemarin aku taruh di drive ini. Kok nggak ada?" tanyanya pelan.

Mendengarnya, laki-laki jangkung itu menyipit dan membungkukkan badan agar bisa melihat lebih jelas. Membuat gadis mungil itu terkurung sempurna dalam naungannya ketika kedua tangan laki-laki itu menopang di tepi meja.

Seluruh tubuh Danar menegang.

Sebuah gestur yang tidak lolos dari Jenny, membuat wanita itu akhirnya memahami apa yang membuat Danar bertingkah seperti ini.

Jenny membelai lengan Danar, menyuruhnya untuk tetap tenang. Danar menoleh gusar ke arahnya, yang dibalas Jenny dengan pelototan maha galak hingga Danar mendengus dan memalingkan wajah.

Bahkan Danar tahu jika Sena tinggal di sini. Jenny terkekeh dalam hati. Walaupun dia berkata akan melepaskan Danar, tapi rasa tidak bisa semudah itu dibuang. Dia masih bisa merasakan denyut kecemburuan ketika melihat perhatian Danar untuk Sena, seperti malam ini.

Jenny menghembuskan nafas dan mengamati tempat dimana dia berada. Dia tidak terlalu mengenal Sena untuk tahu dimana gadis itu tinggal. Tapi dia yakin meskipun tinggal di kompleks kontrakan, Sena bukanlah tipe gadis yang akan memenuhi ruangan dengan sparepart komputer dan kabel-kabel hitam yang teronggok di salah satu sisi ruangan. Ia mengamati lebih jauh, hanya untuk menemukan sebuah gantungan baju yang diisi oleh celana khaki model laki-laki, jumper hitam yang sudah pasti akan menenggelamkan tubuh Sena dan sebuah topi hitam dengan logo seekor ular berkepala tiga yang berwarna hijau.

Tidak sulit menyimpulkan bahwa unit beraroma mint maskulin ini adalah milik laki-laki jangkung itu. Laki-laki yang tampaknya akrab sekali dengan Sena. Tidak heran asap mengepul dari ubun-ubun Danar.

" Ini," Sena menyodorkan sebuah flash disk beberapa menit kemudian. Dengan senyum ke arah Sena, Jenny menyodok keras punggung Danar, memaksa laki-laki itu untuk bersikap pantas.

Dengan berat, Danar meraih flashdisk itu dari tangan Sena.

" Maaf sudah mengganggu." Ucap Danar singkat seraya melirik pada Sakti yang berdiri di belakang Sena, terlihat santai sekali meskipun sepasang mata itu mengawasi Danar dengan tenang.

Sena mengangkat bahu, " Nggak masalah. Aku kira ada masalah gawat lagi macam yang dulu itu."

Jenny tertawa canggung. Perutnya masih saja merasa terlilit jika diingatkan tentang kejadian syok anafilaktik itu.

" Kamu pacar Dev?" celetukan gamblang Danar membuat Jenny bungkam. Bisa dilihat mata laki-laki itu semakin memerah meskipun ia menatap Sakti dengan tegas.

"Bukan. Calon suami."

Sakti tertawa geli pada Sena yang melotot sebelum mengusap ringan puncak kepala gadis itu.

" Aku pulang dulu," tiba-tiba Danar berucap sambil keluar dengan langkah cepat, meninggalkan Jenny yang menghembuskan nafas lelah.

" Kita pergi dulu, ya. Makasih," ucapnya sopan dan menyusul langkah Danar hingga mereka hilang dari pandangan.

" Ada-ada aja. Aku kira kan masalah serius!" Sena berdecak seraya kembali bersila di atas kasur tipis dan meraih komiknya, meninggalkan Sakti yang masih bergeming menatap keluar. Setelahnya, laki-laki itu bersila di samping Sena dan meraih tangan Sena untuk ia tempelkan di pipi.

" Itu tadi tunangan bos kamu?" tanyanya.

" Bu Jenny? Iya." Sena terkekeh, sedikit canggung ketika Sakti menyusurkan jemarinya di pipi laki-laki itu. " Mungkin mereka habis dinner. Sweet banget, kan? Masa anak-anak instalasi masih mengira ada apa-apa antara aku sama Pak Danar sementara dia selalu romantis gini sama Bu Jenny?"

" Devasena Gayatri?"

" Iya Sakti Samudra?"

" Kamu sadis."

" H-ha?"

" Tapi nggak papa. Kamu memang harus sadis, kecuali denganku."

" Apa coba Mas? Aku nggak ngerti!"

Sakti menatapnya beberapa saat, kemudian meraih mangkuk stick keju dan mengambil satu. Melihatnya, Sena terbelalak dan menutup mulutnya dengan kedua tangan.

" Coba kamu makan kayak tadi, nanti aku kasih tahu."

" Nggak mau!"

" Buka mulutnya coba, Na."

" Nggak! Jangan dekat-dekat, Mas!"


*TBC*

Stick keju 😌😌

 

Selamat malam, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro