DEVASENA | 3. A Dietitian
Sudah hampir satu setengah tahun dirinya bekerja sebagai Dietitian atau Ahli Gizi. Ah, sebuah profesi yang jarang diketahui khalayak banyak, cukup membuat Sena meringis ketika dia mengatakan profesinya pada orang awam. Kebanyakan, langsung menebak bahwa pekerjaannya berada di dapur.
Dia ahli gizi. Dia Dietitian. Seorang pakar gizi yang bertugas mengatur diet untuk membantu penyembuhan pasien. Tentu saja dia banyak berkutat dengan makanan. Tapi tidak memasak. Memasak adalah tugas pramusaji. Tugasnya adalah menetapkan menu dan memastikan keadaan pasien-pasiennya semakin membaik dengan aturan diet yang dia berikan. Mengatur menu makan bagi penderita stroke, pasien hemodialisa, pasca operasi dan sebagainya. Itu adalah tugasnya sebagai ahli gizi yang bekerja di rumah sakit.
Masih asing? Well, Sena tidak mempermasalahkannya.
Pagi Sena di rumah sakit diawali dengan memencet fingerprint di Instalasi Gizi. Kemudian duduk di bilik kerjanya yang berada di pojok sendiri untuk memeriksa agenda kerja hari ini. Sedikit cemberut ketika hari ini dia harus menggantikan Galuh untuk rapat.
Mengambil sebuah clipboard, gadis itu berdiri dan merapikan penampilannya sebelum keluar untuk mulai berkeliling ke setiap bangsal yang menjadi jadwalnya bulan ini, mencatat jumlah pasien dan mencatat diet yang harus diberikan berdasarkan data rekam medis pasien, juga mengadakan kunjungan kepada pasien baru.
" Pagi, Sena."
Sena yang saat itu sedang berada di bangsal bedah mendongak kala sebuah suara menyapanya.
" Pagi juga Mas Oka," balas Sena tersenyum pada Oka, salah satu perawat di bangsal bedah. Oka mendekati Sena, menyipit pada file rekam medis yang sedang ditekuri gadis itu.
" Oh iya, ini pasien baru masuk tadi malam. Apendisitis." Oka membantu Sena membaca tulisan dokter yang susahnya mengalahkan soal Ujian Kompetensi.
" Ka, tunda dulu mepetnya. Aplusan gih!"
Sena dan Oka menoleh, hanya untuk mendapati salah seorang perawat lain berkacak pinggang.
" Emaknya Baahubali, gue culik dulu Okanya buat aplusan. Habis itu serah mau situ apain." Roni menyeret Oka menuju ruang perawat, membuat Sena tertawa pelan dan melanjutkan membuka file rekam medis pasien yang lain.
**
Konsultasi gizi terjadwal berlangsung di bilik konsultasi gizi. Kliennya adalah mereka yang mempunyai keluhan gizi maupun pasien yang sedang menjalani rawat jalan dan perlu perhatian pada aspek nutrisinya seperti diabetes dan hipertensi.
Disinilah Sena sekarang. Duduk sendirian di bilik berukuran 3x4 meter di sebelah ruang konsultasi dokter penyakit dalam, merapikan leaflet yang bertebaran di mejanya sebelum akhirnya menghidupkan mesin penghitung nomor antrian.
Semuanya berjalan lancar, hingga sepasang suami istri masuk dengan wajah sang istri yang terlihat mendung.
Sena mengerutkan kening dan sekali lagi memeriksa data rekam medisnya.
" Atas nama anak Lio Saputra?" Sena memastikan. Kedua orang itu mengangguk, sementara sang ibu menatap Sena dengan penuh harap. Sena menghirup nafas dalam sebelum menyunggingkan senyum sopan.
" Ada keluhan? Lio sudah boleh pulang, kan?" tanya Sena basa-basi. Untuk kasus seperti ini, dia selalu menghadapinya dengan hati-hati.
Keduanya mengangguk, kemudian sang perempuan bicara.
" Dokter menyuruh kami kesini," ucapnya penuh harap. " Lio bisa sembuh, kan? Itu alasannya mengapa kami disuruh kemari, iya, kan?"
Sebuah pertanyaan yang sering Sena dapatkan. Dan malangnya, jawaban Sena harus berbeda.
Sena berdehem sebelum menunduk untuk membaca lembar rekam medis paling baru.
" Gagal Ginjal Kronis. Dokter Hendra menjadwalkan hemodialisa dua minggu sekali," ucap Sena pelan. " Saya yakin, beliau sudah menjelaskan kondisinya kepada anda."
Air mata sang ibu merebak. Ia mengeratkan genggamannya pada sang ayah yang juga terguncang meskipun berusaha agar terlihat tegar.
" Tapi kenapa...Lio masih tujuh belas tahun. Darimana dia bisa kena sakit ginjal?" sahut sang ibu, pertanyaan yang sama ketika Sena mengunjungi mereka untuk pertama kalinya.
" Gagal Ginjal terjadi karena ginjal sudah tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai alat penyaring berbagai sampah dan racun di tubuh kita, bu. Ada banyak sebabnya. Bisa karena infeksi, bisa juga karena kondisi lain." Sena menjelaskan dengan sangat berhati-hati pada setiap suku katanya. " Dik Lio ini punya kebiasaan konsumsi yang kurang baik. Berdasarkan catatan saya, dik Lio sering minum minuman berenergi, suplemen, juga mengkonsumsi mi instan hampir setiap hari dengan jumlah rata-rata lima sampai enam bungkus."
Wanita itu menatap Sena nanar, kemudian terisak lagi.
" Tapi itu kan makanan dan minuman yang aman! Itu bukan alasan!" seru wanita tadi nyaris hilang kendali.
" Kandungan natrium dalam darah Lio tinggi sekali. Itu, bisa disebabkan karena pola konsumsi Lio yang tinggi Natrium dan zat-zat berlebihan yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam tubuh..."
Sena berhenti ketika sang ibu terlihat lemas di tempat duduknya.
" Dokter pasti sudah menjelaskan kepada anda," Sena berdehem. " Disini, kita akan membahas pola makan Lio untuk ke depannya. Ibu dan bapak boleh bertanya apapun kepada saya terkait masalah pola makan untuk Lio. Satu hal yang harus dipegang, kurangi konsumsi garam. Itu artinya mengurangi konsumsi makanan instan, suplemen, minuman berenergi, apapun yang mengandung bahan pengawet..."
" Nggak mungkin!" Tiba-tiba sang ibu berteriak histeris. " Lio masih muda! Mana bisa dia menderita penyakit berat seperti itu? Dokter pasti salah!! Anda pasti salah!!"
Sena harus mundur cukup jauh ketika sang ibu menyapu meja Sena dengan beringas, membuat berkas-berkas dan rak-rak jatuh berantakan di lantai.
" Cukup!" Suara menggelegar sang suami terdengar. Ia memeluk istrinya. " Cukup, Bu! Itu kondisi Lio sekarang! Apa gunanya kamu menolak kalau dokter sudah bilang begitu? Kamu lihat keadaan anak kita, kan? Yang harus dilakukan sekarang adalah memberikan yang terbaik untuk anak kita! Bukannya malah bertingkah seperti ini!"
Sena memfokuskan diri pada leaflet ketika sang ibu mulai menangis di pelukan suaminya.
" Sekarang, kita dengar apa yang Mbak ini bilang, itu yang terbaik untuk Lio. Itu cara kita merawatnya," ujar sang suami membelai punggung istrinya. " Jadi, kita dengarkan, ya? Jangan sampai Lio makan yang aneh-aneh lagi."
Sang ibu mengangguk, membuat Sena tersenyum penuh pengertian. Sena berusaha menguasai diri agar tetap bisa menjelaskan leaflet di depannya di tengah kekalutan dan rasa tidak terima yang masih kentara dari ibu Lio.
Bukan hal baru, batin Sena sembari menjelaskan. Akhir-akhir ini, mereka yang masih muda bahkan sering menderita penyakit degeneratif. Penyakit yang biasanya hanya menjangkiti orang tua. Lio bukan satu-satunya anak di bawah dua puluh tahun yang menderita gagal ginjal karena konsumsi yang salah. Sena sudah banyak bertemu dengan mereka.
Sebuah ironi ketika para orangtua menatap penuh harap padanya, menunggu Sena mengatakan bahwa anaknya bisa sembuh seperti sedia kala.
Tapi mereka harus menahan kecewa, karena penyakit yang bernama gagal ginjal kronis tidak pernah bisa sembuh kecuali dengan transplantasi ginjal. Dan Sena paham bagaimana pedihnya hati para orangtua ketika menyadari masa depan anak mereka harus begitu suram hanya karena kebiasaan makan yang salah.
Iya. Kebiasaan makan. Hal sederhana yang bisa membawa dampak luar biasa bagi seorang manusia.
**
Selepas orangtua Lio keluar, Sena langsung memijit pelipisnya. Gadis itu menepuk pelan pipinya.
" Cheer up! Cheer up!" Sena tersenyum dan merapikan seluruh berkasnya yang berantakan di lantai.
BRAK!!
Sena menoleh ketika pintu ruangannya dibuka dan ditutup dengan sangat kasar. Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun –Sena tahu dari rekam medisnya- berperawakan kurus mendekati Sena dengan langkah menghentak sebelum bersedekap tepat di hadapannya.
" Lama banget gue nggak dipanggil-panggil!" desisnya dingin.
Sena mengamatinya sejenak. Gadis itu memakai sebuah terusan ketat berwarna kuning cetar yang menampakkan bahu dan separo pahanya. Rambutnya yang berwarna coklat sepanjang bahu berombak dan tampak halus. Wajahnya sarat dengan pulasan make up hingga kedua alisnya terlihat kelewat sempurna, meskipun demikian, bulatan hitam di bawah matanya tidak bisa disembunyikan.
" Laila Ghivara?" tanya Sena kembali duduk di kursi dan membaca rekam medisnya.
Gadis tadi mendengus. " Iya, itu gue! Cepetan, gue buru-buru! Kenapa gue kudu kesini, sih? Situ dokter aja bukan!"
Luar biasa! Dulu waktu dia seusia anak ini, apa dia setengil itu?
" Silahkan duduk." Sena menawarkan." Kamu di sini karena dokter mengirim kamu ke sini. Di sini, diagnosis kamu adalah Anorexsia dan Bulimia sampai terkena Gastritis dan diopname selama satu minggu."
Sena mengangkat kepalanya hanya untuk menerima pandangan super datar dari Laila.
" Sekarang, mulutmu masih pahit? Kerongkongan masih perih?" tanya Sena mengamati Laila. Laila menyipit.
" Memangnya salahnya apa sih? Daripada gue gendut terus kena obesitas, iya kan?" salak Laila.
Sena mengerucutkan bibir dan mengangguk kecil.
" Iya, dan sekarang dengan tubuh kamu yang sekecil lidi gini lambung kamu teriritasi, anemia ringan dan amenore," celetuk Sena. " Kamu udah nggak datang bulan berapa lama? Lima-enam bulan?"
Laila sedikit terkejut. Gadis itu mengedip beberapa kali sebelum menjawab dengan suara pelan.
" Enam," jawabnya lirih, " Enam bulan."
" Dan kamu nggak takut?" tanya Sena. " Kamu perempuan dan haid kamu berhenti sebegitu lama, kamu nggak takut?"
Kentara sekali Laila bergerak gelisah. Meskipun demikian, raut angkuh masih menghiasi wajahnya. " Apa hubungannya nggak datang bulan sama nggak makan? Itu beda acara!"
Sena menghembuskan nafas, berusaha sabar.
" Dengan kamu yang membatasi asupanmu sampai tingkat ekstrim, itu artinya tubuh kamu kekurangan nutrisi. Kamu mulai ini sejak kapan? Satu tahun terakhir menurut catatan. Itu artinya, kamu kena kekurangan gizi kronis sampai-sampai pola menstruasi kamu terganggu. Tubuh kamu nggak punya apa-apa cuma untuk memproduksi sel darah dan hormon. Sederhana memang, tapi akibatnya bisa sebegini parah."
Laila bungkam. Sena menunduk lagi, membaca catatannya.
" Sarapan satu buah apel, siang salad buah, malam setangkup roti tawar," celetuk Sena, " dan ketika kamu kelaparan, kamu makan layaknya orang yang nggak makan selama setahun, terus kamu muntahkan lagi. Itu sebabnya kerongkongan hingga lidah kamu lecet semua kena HCl dalam waktu lama."
" Nggak ada pencapaian tanpa rasa sakit," dengus Laila menghindari hujaman Sena.
" Untuk kasus ini, rasa sakitmu lebih ke arah merugikan untuk hasil yang nggak seberapa. Hasilnya apa? Sesuatu yang tadinya sehat sekarang jadi sakit. Itu berarti perilaku kamu salah," jelas Sena. " Kamu mau kurus? Di mata saya, kamu kelihatan sakit, bukannya ideal."
Laila mengerucutkan bibir sembari menggerutu pelan. Ia melirik ke arah Sena.
" Terus gue harus ngapain? Ibu juga pasti ngurangin makan, kan? Nggak mungkin bisa selangsing itu kalau nggak ngurangin makan!"
Sena tersenyum. " Saya mengatur pola makan saya, bukannya mengurangi. Lagipula kalau kamu belum tahu, yang membentuk tubuh itu bukan hanya banyak sedikitnya makanan yang masuk ke dalam tubuh kita, tapi juga aktivitas yang membakar kalori. Kamu mau saya ajari diet yang benar? Saya jamin, ini nggak menyiksa kamu."
Sena tersenyum kecil ketika Laila menatapnya dengan sedikit berbinar. Ia meraih leaflet dan membukanya di depan Laila.
" Diet itu artinya mengatur asupan sesuai kebutuhan tubuh, bukan semata-mata mengurangi asupan tanpa takaran," jelas Sena sabar. " Kamu nggak perlu menahan lapar buat kurus. Kamu masih muda dan aktivitasmu tinggi. Cukup makan sesuai kebutuhan kamu dan olahraga."
Laila mendengus.
" Gue sibuk kuliah sama kerja! Nggak sempat olahraga!"
Sena mengangkat alis. " Cukup sisihkan satu jam dari dua puluh empat jam waktu kamu untuk olahraga, itu udah cukup. Nggak perlu berjam-jam, nggak perlu ke gym. Kalau kamu butuh referensi, cari video di internet."
Sena mengamati bagaimana Laila menunjukkan penolakannya dengan bersedekap.
" Hanya satu jam. Kamu bisa ke mall berjam-jam. Apa salahnya mengambil satu jam untuk diri kamu sendiri? Bukannya kamu bilang nggak ada pencapaian tanpa rasa sakit? Di sini, kamu cuma berkorban satu jam buat tubuh kamu sendiri. Bukan buat orang lain, tapi buat kamu. Apa masih keberatan?"
Laila menggigiti bibirnya. Wajahnya masih menyiratkan ketidaksukaan, namun ia meraih juga leaflet di depannya.
" Ibu kecil," celetuk Laila tiba-tiba membuat Sena mengembangkan hidungnya. " Tapi tubuhnya bagus."
Mendadak, mata Laila jatuh pada sesuatu yang membuat Sena merasa risih.
" What a waste. Ibu jadi model aja, sayang badan bagus dianggurin. Gue bisa bawa ibu ke agensi gue, pasti langsung dipertimbangkan," ujar Laila mengamati Sena dari atas sampai bawah dan berhenti tepat di dadanya.
Sena langsung menyilangkan tangannya di depan dada dan sedikit mencondongkan tubuh. Ada apa dengan remaja jaman sekarang?
" Makasih, tapi saya nggak tertarik," desis Sena.
Tanpa diduga, Laila tertawa.
" Ibu juga olahraga?" tanya Laila dengan antusias.
Sena menatapnya sejenak, kemudian mengangguk.
" Setiap hari?" tanya Laila sanksi. Sena mengangguk lagi. Laila mengerucutkan bibir sebelum menyipit untuk membaca leaflet di tangannya.
" Kalau kamu mau, saya bisa bawakan video senam saya," kata Sena mengurai tangannya dan meraih buku catatannya. " Ada yang mau ditanyakan lagi?"
" Rumah ibu dimana?"
Tentu saja, Sena mengernyit.
" Kita bisa ketemu di sini saja," tolak Sena halus. Laila mendengus kecewa.
" Kalau di sini, gue kudu bayar," celetuknya bersedekap. " Gue kan masih pingin tanya-tanya seputar diet. Gimana kalau tiba-tiba dorongan buat diet ekstrim itu datang lagi? Asal ibu tahu, ya, kehidupan model itu nggak mudah!"
" Saya yakin, apalagi sekarang kamu punya mata panda gitu," komentar Sena tenang mengabaikan Laila yang terbelalak. Sena menulis sesuatu pada secarik notes, kemudian menyerahkannya pada Laila.
" Kamu bisa cari saya di situ," kata Sena. " Ada yang mau ditanyakan lagi?"
Menerima secarik kertas dari Sena, gadis itu tersenyum lebar hingga Sena menelengkan kepala. Dia berani bertaruh jika sebenarnya gadis itu manis. Hanya saja saat ini pipinya yang kempot dengan kantung mata menghitam membuatnya terlihat sakit.
Laila menggeleng. " Kapan-kapan, gue ganggu ibu."
Sena mendengus geli dan mengangguk kala Laila pamit keluar dari ruangannya.
Sena menghembuskan nafas panjang ketika pintu ruangannya kembali tertutup. Laila adalah tamunya yang terakhir. Gadis itu meraih rekam medis Laila dan menyandarkan punggungnya di punggung kursi, kemudian ia terkekeh sendiri.
Laila adalah contoh kehidupan masa kini, ketika makan saja bisa dipesan lewat jari. Menawarkan sebentuk pola hidup yang malas bahkan hanya untuk bergerak. Maka tidak heran jika penyakit obesitas sudah menjangkiti anak-anak balita, membuat mereka berperawakan bundar dan punya dagu kembar. Lalu ketika masyarakat mulai mencibirnya, dia akan tertekan dan berusaha untuk menurunkan berat badannya dengan berbagai cara.
Obat pelangsing, Anorexia, Bulimia, sedot lemak dan yang lain.
"Sena!"
Sena melonjak tinggi dari kursinya.
" Astaga Mas! Aku belum mau mati muda!" sergah Sena pada Oka sembari mencengkram dadanya yang berdentum kencang.
Oka nyengir salah tingkah. Laki-laki yang semula melongokkan kepala di pintu kini masuk ke ruangan Sena.
" Kenapa? Mas Oka mau konsultasi gizi membentuk perut eightpack?" canda Sena merapikan kertas-kertas di mejanya. Oka tertawa canggung, kemudian duduk di hadapan Sena.
" Nggak perlu, aku udah punya," jawab Oka singkat. " Aku...mau ngomong sesuatu, Na."
Sena menghentikan kegiatannya, kemudian menatap Oka dengan kening berkerut.
" Malam minggu...kamu ada acara?" tanya Oka gugup.
Gadis itu menatapnya beberapa saat, berusaha menguasai dirinya yang tiba-tiba gemetar.
" Nggak ada. Memangnya kenapa?"
" Bagus! Aku mau ngajak kamu keluar. Nggak sendirian, ada Roni sama Maya juga." Oka meringis. " Gimana? Nggak jauh, kok. Cuma anak-anak perawat lagi pingin ke restoran laut yang baru buka itu. Kamu...mau?"
Lagi-lagi, Sena menatap Oka. Tidak, jangan.
" Oke."
Binar di mata Oka tidak mungkin dilewatkan Sena. Laki-laki itu tertawa gugup, kemudian berdiri sembari mengacak rambutnya.
"Cuma mau bilang itu aja. Tadi aku cari kamu dan dibilang kamu masih di sini. Jadi...see you when I see you."
Sena mengangguk lagi, mempersilahkan Oka keluar dari ruangannya dan membuat Sena kembali ditelan keheningan.
Bukan sekali dua kali Sena menghadapi situasi seperti ini. Untuk itu, dia cukup tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tapi Sena tidak bisa.
Dia belum bisa.
Dia tidak akan pernah bisa.
*TBC*
Footnote :
Aplusan : Pergantian jaga/pelimpahan wewenang dari petugas sebelumnya kepada petugas yang menggantikan.
Leaflet : Media bantu berupa lembaran cetak tertulis dan dilipat. Banyak ditemui di lobi-lobi kantor sebagai media informasi yang praktis.
Anorexia Nervosa /Anoreksia Nervosa : Gangguan makan yang ditandai dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan normal, ketakutan berlebih terhadap penambahan berat badan, sehingga penderita akan mengurangi asupan makan tanpa takaran.
Bulimia : Penderita akan makan banyak makanan demi memuaskan nafsu makan yang tidak terkontrol, lalu memuntahkannya kembali.
Amenore : Berhentinya periode menstruasi
Hope you enjoy ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro