DEVASENA | 28. Masih Ingin Bercanda?
Baca ini di waktu senggang, pikiran tenang, dipinggir kolam renang, sambil makan kentang, syukur sukur kalau banyak uang
Karena...bab ini sedikit berat. Dilan nggak akan kuat.
Happy reading ^^
=====
Sepanjang perjalanan pulang, Sena dan Sakti terdiam.
Kepala Sena masih penuh dengan apa yang dituturkan Ana. Paham sekali bahwa Ana tidak bisa melihat anaknya tumbuh besar, wanita itu tetap memilih mempertahankan anaknya.
Sena jadi teringat perilaku kucing yang tega membunuh anaknya sendiri ketika menilai anaknya tidak akan bisa bertahan hidup. Menyudahi kehidupan mereka, adalah salah satu bentuk kasih sayang induk kucing untuk tidak membiarkan si anak menderita lebih lama.
Tapi akan sangat keterlaluan jika menyamakan manusia dengan binatang yang tidak diberi akal oleh Tuhan.
" Kamu kepikiran apa?"
Suara Sakti menarik menyadarkan Sena. Gadis itu mengerjap, hanya untuk menyadari bahwa kini mereka tengah berhenti di bahu jalan dengan pemandangan kota malam hari terhampar indah di depan mereka.
Baru saja Sena hendak menjawab, ponselnya yang berada di dashboard berdering. Mengusap apapun yang ada di wajahnya, Sena meraih dan mendapati nama Danar di sana.
" Ya Pak?" Sena bertanya pelan.
Hening beberapa saat, kemudian Danar bertanya. " Kenapa suaramu begitu?"
Sena berdehem, " Nggak papa. Ada apa malam-malam telfon?"
" Oh...i-tu..." Danar menjeda, membuat Sena keheranan.
" Pak?"
" Ah, begini. Besok saya ulang tahun. Jadi saya minta kamu kosongkan sore kamu besok. Saya mau ajak makan—sama yang lain! Jangan khawatir!"
Sena mengerutkan kening. Sama sekali tidak paham mengapa Danar terlihat sangat panik.
" Ng...tapi Pak, besok saya masih ada agenda ngurusi Riskesdas—"
" Jangan khawatir, sudah saya bereskan."
" Ha?"
Jadi, pastikan besok malam kamu nggak ada acara. Oke, Dev? Selamat malam."
Dan begitu saja, sambungan terputus. Sena memandangi ponselnya dengan kerutan dahi yang semakin dalam. Kepala instalasinya memang kadang seaneh itu.
" Siapa, Na?"
" Pak Danar." Sena meletakkan ponselnya kembali di atas dashboard. Kemudian, ia memandangi sekitar untuk pertama kali.
" Ini di mana?"
" Bukit Permadani. Aku lihat kamu butuh menenangkan diri," jawab Sakti meraih jaketnya dari kursi belakang dan mengulurkannya pada Sena. Membuat seluruh pikiran Sena yang sempat tersela telfon Danar kini kembali lagi. Dan secepat itu pula, matanya kembali memanas.
" Jadi, kamu kepikiran apa?" tanya Sakti mencondongkan tubuhnya pada Sena yang bergeming sembari meremat jaket Sakti di pangkuannya.
Dia sedikit merutuki dirinya yang selalu terpancing untuk bercerita pada Sakti. Tapi dia tidak bisa. Kali ini, dia tetap saja terisak.
" Aku nggak ngerti," isaknya pelan. " Ini bikin aku bingung karena aku setuju sama Mbak Ana. Anehnya, ini juga bikin aku nggak paham sama diriku sendiri."
Sakti mengambil alih jaket yang sedari tadi hanya diremas Sena. Membentangkannya agar menutupi tubuh gadis itu di tengah angin malam yang masuk lewat jendela terbuka.
" Udah jelas keponakan kita nggak akan bisa bertahan lama, tapi kenapa tetap dipertahankan? Itu menyia-nyiakan sembilan bulan yang mungkin bisa lebih berharga untuk Mbak Ana. Dan kenapa aku lebih setuju kalau dia dipertahankan padahal aku tahu pasti apa yang harus dikorbankan, apa yang akan ditemui mereka nantinya! Aku tuh nggak paham Mas," tangis Sena.
" Karena kamu manusia, Na. Kamu punya perasaan," ucap Sakti pelan. " Hidup ini nggak semuanya berisi hal-hal yang menyenangkan. Tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Arga tahu sekali bahwa keadaan anaknya sangat sulit diterima. Tapi dia dan Ana berhasil memandangnya dari sudut yang berbeda."
Laki-laki itu mengulurkan satu tangannya, mengusap air mata Sena yang berlelehan di pipi.
" Aku yakin dulu Arga dan Ana nggak pernah kepikiran tentang keadaan ini. Tapi seperti kata Arga, keadaan ini adalah sebuah kemungkinan lain ketika Ana dinyatakan hamil. Kemungkinan lain yang berhasil mereka hadapi bersama-sama dengan cara yang luar biasa."
Sena mengangguk, setuju dengan kata-kata Sakti meskipun rasa sedih masih begitu memberatkannya. Dia sedih akan kondisi keponakan mereka yang bahkan belum lahir. Dia sedih akan Arga dan Ana yang bersikap begitu tegar. Dan dia sedih karena dia tidak bisa melakukan apapun untuk merubah keadaan menjadi lebih baik.
" Bayangkan saja Mas, mereka berusaha bersikap tegar selama sembilan bulan ini, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa ketika adek lahir kelak, mereka cuma bisa ketemu paling lama dua hari," isak Sena sesak. " Itu tuh..."
Sena hanya menarik nafas panjang ketika tidak mampu menemukan sebuah kata yang tepat untuk melepaskan rasa sesak di dada.
" Kamu tahu, aku juga menanyakan hal yang sama pada Arga tadi. Dan kamu mau tahu jawaban dia apa?"
Sena tidak menjawab. Sakti menoleh padanya sekilas sebelum menatap ke depan lagi.
" Mereka tahu, tapi mereka nggak pusing tentang itu. Daripada berpikir bagaimana akhirnya, Arga lebih memfokuskan diri pada rasa bahagia karena dirinya menjadi seorang ayah. Saat ini, meski hanya sampai sembilan bulan," ucap Sakti meraih puncak kepala Sena dan membelainya. " Sekali lagi, mereka bisa mengatasinya bersama-sama."
" Devasena Gayatri,"
Jarang sekali Sakti memanggilnya dengan nama lengkap. Sena menoleh, hanya untuk mendapati Sakti menatapnya dengan lekat tanpa senyum di bibirnya. Ia mencondongkan kepala ke arah Sena sementara tangan yang tadinya membelai puncak kepala Sena kini turun ke tengkuknya, menyila rambut dari salah satu pundak dengan jemarinya.
" Pilih bercanda atau serius?"
Sena yang tertawan akan tatapan Sakti, bergeming sejenak. Kemudian gadis itu mengalihkan pandangan sembari membasahi kerongkongannya.
" Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
" Apa kejadian tadi nggak memberitahu kamu sesuatu, Na?"
Sena memilih diam, memilih menolak untuk memahami kata-kata Sakti.
"Setelah apa yang kamu bilang waktu kita pulang dari stasiun, aku bisa menangkap bahwa kamu takut berkomitmen," ucap Sakti. " Ketakutan itu yang membuat kamu ragu untuk melangkah ke depan, meskipun kamu tahu kalau kita berdua sama-sama punya peluang menjalin hubungan."
Sekali lagi, Sena menyesali mulutnya yang saat itu lancar bercerita pada Sakti. Bodoh, kan?
" Dan apa maksudnya itu?" bisik Sena enggan.
" Devasena, kamu kira aku ini hidup sudah berapa tahun? Tingkahmu selama ini minta buat diseriusin, bukannya bercanda."
Sena takut. Iya, dia takut. Tapi kejadian tentang Ana dan keponakan mereka tadi memaksa Sena berpikir lagi tentang ketakutannya selama ini.
Sama seperti halnya dia, Arga dan Ana tidak pernah bisa meraba masa depan. Sena pun yakin, bahwa mereka tidak pernah berharap apapun selain bahagia. Tapi seperti apa yang Ana katakan bahwa dalam hidup, tidak semuanya bisa berjalan seperti yang mereka inginkan.
Ketakutan bukanlah alasan untuk tidak bangkit. Ketakutan bukanlah alasan untuk tidak melangkah.
Tapi tolong, ketakutan itu begitu merasuk ke dalam sumsum tulang belulang Sena sampai rasanya ketakutan itu akan menguasainya seumur hidup.
" Apa kita bisa memulai sesuatu, Na?" tanya Sakti pelan hingga Sena menelan ludah.
" Ayahku pilih meninggalkan Mama karena merasa lebih bahagia dengan perempuan lain. Bang Wira menganggap kalau hubungan dengan perempuan adalah hal main-main. Berkali-kali Dirga bilang kalau hanya aku perempuan yang dia sayang, tapi akhirnya dia selingkuh juga. Sekarang coba bilang sama aku, apa aku harus percaya kalau kamu bisa berbeda?"
" Aku bukan mereka."
" Aku tahu, Mas Sakti. Tapi mana bisa kamu pakai itu sebagai alasan?" ucap Sena menatap ke depan dengan putus asa. " Kasih aku satu alasan saja, bahwa kamu akan setia ke depannya. Aku sudah menyaksikan sendiri kalau hati bisa terbolak-balik dengan mudah. Kamu pikir bisa semudah itu percaya sama orang lain?"
Sena menguatkan dirinya untuk mendengar jawaban Sakti. Bersiap jika saja Sakti merasa tersinggung dengan pertanyaannya.
" Kenapa kamu menanyakan hal yang nggak perlu kamu tanyakan?" tanya Sakti membuat Sena menoleh. " Setia adalah salah satu hal wajib dalam sebuah hubungan. Aku berniat menjalin hubungan serius sama kamu. Itu artinya aku harus setia sama kamu."
Sena mendengus. Ia membuang wajah kembali menatap ke depan, " Percaya diri sekali."
" Karena sebuah hubungan memang harus seperti itu, Na," jawab Sakti sabar.
" Bisa saja kata-kata kamu beda di lain waktu," ucap Sena pahit. " Bagaimana bisa aku percaya kamu sementara dulu aku percaya Dirga hanya untuk dibohongi? Dulu, Dirga juga pernah bilang akan setia sama seperti kamu. Tapi nyatanya apa, Mas? Jadi kalau itu pembelaanmu, aku nggak bisa."
" Menurutmu aku akan begitu?"
" Siapa yang tahu?" tukas Sena dingin.
" Aku sadar jika setia adalah salah satu hal wajib dalam sebuah hubungan. Apa menurutmu aku akan begitu?"
Kekuatan dalam suara Sakti membuat Sena menoleh, hanya untuk mendapati laki-laki itu menatapnya dengan serius.
" Mungkin," jawab Sena.
" Atau tidak," kata Sakti.
Sena mendengus lagi, "Kamu percaya diri banget, Mas. Mana bisa aku percaya jika sebuah hubungan saja serapuh itu? Semudah itu untuk binasa? Nyatanya, sebuah pengkhianatan bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan. Lalu untuk apa repot-repot membangun hubungan dengan orang lain kalau pada kenyataannya hubungan itu mudah sekali sirna?"
" Kamu takut membangun hubungan dengan orang lain, Na?" tanya Sakti berusaha memahami kata-kata Sena.
" Apa masih perlu bertanya?" balik Sena dengan dingin. " Apa yang bisa menjamin sebuah hubungan bisa terus kuat? Nyatanya, hubungan memang serapuh itu. Kalau nggak serapuh itu, nggak mungkin ayah selingkuh di belakang mama dengan alasan ada orang lain yang lebih bisa mengerti dia. Nggak mungkin Bang Wira bisa semudah itu mencampakkan kekasih-kekasihnya, nggak mungkin—"
Sena menghentikan kata-katanya ketika rasa perih kembali tertoreh di dada.
" Nggak mungkin Dirga sebegitu mudahnya berbohong di belakangku, mengabaikan hubungannya denganku demi memenuhi keegoisannya dengan perempuan lain. Mereka dan entah berapa banyak manusia di bumi ini, melakukan sesuatu yang bikin aku berpikir kalau sebuah hubungan memang bisa serapuh itu hingga mereka melakukan sesuatu yang menjijikan seperti berkhianat."
Hening sejenak, hanya sebuah belaian ketika mereka berdua menatap satu titik yang sama nun jauh di depan sana.
" Hubungan bahkan bukan benda yang bisa kamu raba sesuka hati," celetuk Sakti kemudian. "Bagaimana mungkin kamu bisa menyebutnya rapuh?"
Tentu saja, Sena menoleh.
" Hubungan itu interaksi. Dia butuh dijaga, dia butuh dipelihara agar tetap ada. Dia adalah sebuah keadaan yang butuh subyek untuk tercipta dan berdiri. Maka seharusnya bukan hubungan yang kamu beri label rapuh, tapi orang-orang yang terlibat dengan keberadaan suatu hubungan itu sendiri. Mereka yang harus dipertanyakan daya dan upayanya demi menjaga hubungan itu tetap ada."
Sena bungkam kala Sakti menatapnya dengan tenang.
" Kamu salah jika menganggap sebuah hubungan adalah sebuah benda yang bisa menjaga eksistensinya sendiri. Kamu juga salah jika merasa takut dengan sebuah hubungan, Na. Sebuah hubungan hanya akan ada kalau dua pihak tetap mempertahankannya. Jika mereka rapuh, yang salah adalah pihak-pihak yang seharusnya menjaga dia untuk tetap utuh."
" Jadi maksud kamu aku juga ikut salah waktu Dirga selingkuh? Mama ikut salah waktu ayah selingkuh?"
Melihat lirikan tajam dari Sena, laki-laki itu tetap menatapnya dengan sabar.
" Apa kamu merasa sudah jadi pasangan yang sempurna buat Dirga?" tanya Sakti lembut. " Apa mamamu adalah pasangan yang sempurna untuk ayah kamu?"
" Tapi itu bukan alasan untuk selingkuh, Mas!"
" Betul sekali, Na. Itu bukan alasan untuk selingkuh. Karena kita manusia yang selalu penuh kekurangan dan diberi akal untuk bisa memperbaiki diri," jawab Sakti tersenyum. " Selingkuh bukan jalan keluar untuk apapun."
Sakti menyila rambut Sena ke belakang telinga.
" Arga dan Ana, apa kamu nggak lihat seberapa kuatnya usaha mereka untuk mempertahankan hubungan di tengah-tengah kondisi seperti ini? Kamu tahu mereka bisa saja berujung dalam kondisi saling menyalahkan, saling mengabaikan. Tapi nyatanya apa? Mereka berdua saling menguatkan," ucap Sakti pelan sembari menatap Sena. " Seperti itu sebuah hubungan, Na. Mereka perlu dijaga bersama."
Sena mengerjap, hanya untuk meloloskan beberapa butir air mata yang sudah tidak mampu lagi terbendung di pelupuk.
" Bagaimana kalau kamu sendiri yang nggak bisa jaga hubungan ini?" tanya Sena gemetar, " Bagaimana kalau nanti di tengah jalan, kamu merasa tertarik sama perempuan lain? Hm?"
" Aku mengajak kamu untuk serius seperti ini, itu berarti aku berniat menjaga hubungan kita, Na," jawab Sakti sabar. " Rasa tertarik itu normal, untuk kamu, juga untukku. Tapi itu hanya rasa yang lemah dan bisa hilang dengan mudah. Tapi orang yang tidak menjaga komitmen, membiarkan ketertarikan itu tumbuh menjadi sebuah rasa yang lebih besar hingga mengganggu hubungan yang seharusnya dijaga."
Tanpa bisa ditahan, gadis itu mendengus. Benar-benar berbeda. Orang lain tidak pernah berani mengutarakan kebenaran sefrontal ini di depan Sena. Mereka hanya akan berkata apapun yang membuat Sena percaya bahwa dia adalah satu-satunya perempuan bagi mereka.
Seolah-olah Sena adalah seorang dewi yang begitu dipuja. Seolah-olah dengan begitu, Sena akan luluh dan percaya. Nyatanya, seluruh laki-laki yang mengaku cinta pada Sena mengatakan hal-hal yang sangat hiperbolis, lalu ketika Sena menolaknya, satu minggu kemudian mereka sudah bersama wanita lain.
Rasanya dia ingin tertawa.
Dan Sena setuju dengan Sakti tentang rasa tertarik ini, karena demi apapun di dunia, bagi mereka yang sudah menikah pun rasa tertarik pada orang lain pasti tetap ada. Mengagumi parasnya, rambutnya, senyumnya, kecerdasannya, tingkahnya, kebaikannya, apapun itu. Karena memang sifat manusia untuk cenderung memberi atensi pada hal-hal yang menarik baginya. Tapi sampai batas mana ketertarikan itu dibiarkan ada, itulah yang terpenting dan membuat Sena bertanya-tanya. Namun kata-kata Sakti memberitahu Sena jika Sakti memahami itu, dia mengatakannya dengan jujur. Dia tahu bahaya yang mungkin ada, dan dia tahu apa yang harus dilakukannya.
Bukankah partner yang baik memang seperti itu? Paham bahaya di depan dan tahu cara mengatasinya?
" Tapi kalau suatu saat kamu jatuh cinta sama orang lain, semua omongan kamu sekarang cuma pepesan kosong."
" Sena, lihat sini, coba," pinta Sakti. Dengan enggan, gadis itu menoleh dan mendapati laki-laki itu menatapnya dengan penuh kesabaran.
" Na, suatu hubungan tidak hanya berisi rasa cinta saja. Suatu hubungan juga harus diisi dengan tanggung jawab, rasa saling percaya dan menghargai," lanjutnya. " Rasa cinta seperti itu, itu sebuah emosi. Ikatan psikologis yang merupakan naluri manusia untuk mencari pasangan dan melindungi pasangannya. Aku setuju rasa cinta bisa pudar, bahkan bisa hilang. Tapi bukan berarti tidak bisa dijaga. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaganya. Lewat quality time yang baik, misalnya."
" Wah, nggak pakai stereotip kalau cinta itu abadi?" dengus Sena membuat Sakti tertawa kecil.
" Dulu, mungkin aku berpikir begitu. Bukan, aku yakin semua orang pernah berpikir begitu pada awalnya. Menganggap cinta adalah sesuatu yang unbeatable, perkasa, everlasting, sampai banyak orang yang melewati batas-batas norma hanya karena alasan ini. Nyatanya, cinta memang hanya salah satu bentuk emosi. Sama seperti marah, benci, sedih, dengan efek yang lebih kuat hingga beberapa orang berkata bisa mati tanpa cinta. Tapi kita yang pernah terluka, tahu jika rasa cinta memang bisa pudar."
Iya. Bagaimana pudarnya rasa cinta itu untuk Dirga, Sena pun merasakannya.
"Rapuh, kan?" tukas Sena membuang wajahnya kala denyut nyeri hinggap di dadanya. " Tidak heran banyak yang berpisah karena alasan jenuh."
Mendengarnya, Sakti mengulum senyum.
" Rasa cinta selalu datang dengan menggebu. Kamu pasti setuju karena kamu pernah merasakannya. Tapi nantinya, dia akan berubah bentuk menjadi jenis ikatan yang lebih kuat dan lebih tenang, tapi bukan jenuh. Dia bisa mencapai keadaan yang menjemukan kalau pasangan tidak berusaha menjaganya. Cinta bisa pudar, karena mereka yang terlibat terlalu malas untuk menjaganya, memperbaharuinya, membuat momen-momen untuk mengobarkan lagi rasa cinta mereka. Tapi meskipun cinta bisa menjemukan, itu tetap bukan alasan untuk berkhianat."
Sakti memberikan Sena waktu beberapa saat.
" Bukan berarti kita bisa menganggap jika rasa cinta adalah hal yang rapuh. Dia hanya emosi, Na. Yang membuat dia rapuh atau kuat adalah orang yang terlibat. Kamu dan aku yang pernah terluka, tahu pasti jika cinta bisa mendatangkan rasa sakit. Hanya saja itu bukan sesuatu yang perlu ditakuti dan membuat kita ragu untuk melangkah, karena sama dengan betapa hebatnya rasa sakit yang bisa diberikan oleh rasa jatuh cinta, kita berdua juga tahu seberapa hebatnya rasa bahagia karena jatuh cinta. Terkadang, kita hanya lupa jika cinta bisa membuat bahagia, karena sakit terlalu terasa sampai nggak ada ruang bagi kita untuk pulih dari luka."
Sena bergeming. Gadis itu mengepalkan tangan ketika kebutuhan untuk menangis terasa begitu kuat.
" Jadi ketakutanmu selama ini tidak beralasan, Devasena," kata Sakti meneruskan. "Nggak ada yang namanya hubungan yang rapuh. Yang ada, manusia sendiri yang tidak berusaha menjaganya dan membuka peluang dirinya untuk berselingkuh. Seperti katamu, selingkuh itu pilihan. Nggak ada yang namanya selingkuh jadi sebuah ketidaksengajaan. Setiap manusia punya kesempatan untuk selingkuh, bahkan aku atau kamu sekalipun. Cuma pertanyaannya, apakah itu perlu? Kita punya pilihan untuk nggak melakukannya dan tetap menjaga hubungan dengan pasangan."
" Kalau ternyata kamu nggak bahagia lagi hidup sama aku?"
" Itu bukan alasan untuk selingkuh," jawab Sakti. " Bahagia itu diciptakan, bukan ditunggu."
" Lalu kenapa waktu itu kamu melepas Nath? Kamu bisa aja ceramahin dia tentang ini dan berusaha agar hubungan kalian tetap terjaga."
Hening sejenak, Sakti tersenyum samar.
" Karena berulang kali aku mengatakan itu, jawaban dia tetap sama," jawab Sakti. " Jadi, untuk apa dipertahankan? Sudah jelas dia tidak mau lagi mempertahankan hubungan itu denganku. Nggak ada alasan aku bertahan juga. Aku memilih untuk melepaskan, demi kebaikanku sendiri."
" Kenapa harus aku?" celetuk Sena kemudian. " Kalau hubungan memang harus dipelihara, kenapa Mas Sakti nggak cari perempuan selain aku? Tinggal memelihara hubungan dengan mereka, beres, kan?"
Sakti menghembuskan nafas untuk menambah kapasitas kesabarannya. Tidak ada yang mengatakan bahwa meyakinkan perempuan seperti Sena adalah perkara mudah.
" Karena aku maunya sama kamu."
Nada bicara Sakti membuat Sena kembali menoleh pada laki-laki itu. Sakti tersenyum.
" Aku tertarik sama kamu. Tapi untuk membiarkan diriku jatuh makin dalam sama kamu, aku memikirkan banyak hal. Kamu pasti paham, karena bagi kita yang pernah terluka, kita pasti cenderung berhati-hati untuk kembali menjatuhkan hati. Aku harus tahu kamu masih sendiri atau nggak. Bagaimana kepribadian kamu. Aku suka kamu yang penuh perhatian pada orang-orang di sekitar kamu. Aku suka cara kamu bicara, aku suka cara kamu cemberut, aku suka ngobrol apa saja sama kamu, itu dan masih banyak alasan lain yang nggak mungkin aku sebutkan satu-satu. Aku nggak mengkhianati siapapun dan aku nggak merebut kamu dari siapapun dengan jatuh cinta sama kamu. Jadi, ini nggak salah." Ucap Sakti, " Aku mau kamu. Itu cukup menjadi alasan aku pilih kamu di antara beribu perempuan yang berpotensi jadi pasanganku."
Sena hanya terdiam ketika Sakti beringsut mendekatinya hingga iris coklat tua itu terlihat lebih lekat.
" Alasannya cuma itu?" Jawab Sena mengerutkan kening.
Sakti tersenyum, kemudian mengangguk. " Sesimpel itu, kan? Karena aku memang mau kamu."
" Kalau suatu saat, ternyata kamu ketemu perempuan yang kamu inginkan lebih dari aku, yang lebih cocok ketimbang aku, apa kamu akan pergi?"
Sena tidak paham mengapa ia bisa terus mencerca Sakti dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan seperti ini. Tapi dia butuh tahu.
"Cocok atau tidak itu subyektif, Na. Kamu akan selalu ketemu kecocokan dan ketidakcocokan pada seseorang. Jadi, itu bukan alasan." ujar Sakti menawan Sena dengan pandangannya. " Apa kamu nggak dengar omonganku tadi? Cinta perlu dipelihara, bukannya dibiarkan."
" Kalau gitu, cinta cuma jadi sebuah tuntutan," cetus Sena dingin. " Jangan memaksakan cinta, Mas. Itu nggak akan menghasilkan hal yang baik."
" Bukan cinta yang menjadi tuntutan, Na. Tapi bagaimana cara kita mempertahankan hubungan ini bersama. Karena kalau aku sudah sama kamu, itu artinya kita butuh lebih dari sekedar cinta," ucap Sakti sabar. " Butuh jatuh cinta untuk memilih kamu. Tapi butuh lebih dari cinta agar kita bisa meneruskan hubungan. Kalau nantinya kamu menolak, aku hanya menganggap bahwa peluang kita untuk bersama memang nggak ada. Di titik itu, aku harus melepaskan kamu."
" Wah...Mas. Ini ancaman?" tukas Sena menyipit, membuat Sakti tertawa.
" Nggak, aku cuma berpikir realistis. Kasihan calon istriku kalau aku masih menyimpan rasa di masa lalu, kan? Dan kalau kamu berpikir realistis juga, kamu nggak akan menganggap perkataanku itu ancaman."
Sena mengerjap, " Ini...kamu tuh beneran pernah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya nggak sih, Mas? Memangnya bisa dilupakan segampang itu?"
Tawa Sakti semakin berderai, " Pernah. Aku pernah jadi manusia paling bodoh cuma karena Nath, kata Bayu dan banyak orang lain. Tapi menurutku, itu caraku mempertahankan hubungan kami. Karena aku nggak keberatan bertindak bodoh demi orang yang aku cintai dengan benar. Ketika hubungan kami berakhir, semuanya selesai. Cuma butuh waktu saja, tapi yang aku tahu, masa lalu nggak boleh mengganggu masa depan. Jadi, memang harus dilepaskan."
" Kenapa aku sedikit sakit hati, ya?"
Sakti hanya tertawa kecil hingga Sena mencibir.
" Di masa depan, kalau kamu udah nggak cinta lagi sama aku, kamu mau apa?"
"Kalau kita sudah memasuki sebuah hubungan, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memelihara rasa cinta Na. Dari hal yang paling sederhana saja, seperti sebuah kebersamaan yang pastinya bisa lebih kita punyai kalau kita sudah bersama nantinya, rasa itu pasti bisa lebih terjaga. Nggak pernah ada masa 'tidak cinta' kalau kita benar-benar mau menjaganya. Jadi itu semua tergantung kita, apakah mau atau tidak untuk memelihara rasa itu."
Saat itu juga, tanpa sengaja kata-kata Raras kembali hadir dari memori yang setengah terlupakan. Saat ketika ia masih menganggap gadis itu adalah sahabat terbaiknya.
" Ada yang pernah bilang sama aku kalau jatuh cinta itu kadang nggak masuk akal. Kalau suatu saat kamu jatuh cinta dengan wanita lain dengan alasan seperti itu, aku harus apa?" tanya Sena pahit.
Sakti menatap Sena dengan senyum sabar.
"Bagiku, Na, cinta bukan ketidaksengajaan. Cinta itu tahap kesekian dari sebuah rasa ketertarikan. Dia seperti hal lain yang bisa timbul karena sebab, dan seperti hal lain pula yang bisa binasa karena sebab," ujar Sakti. " Jangan pernah percaya kalau cinta itu bisa datang tiba-tiba, Na. Impresi pertama hanya ketertarikan semata, yang bisa hilang dengan mudah kecuali kita membiarkan diri kita terlarut dalam rasa ketertarikan itu. Coba dengar lagi kalimat kamu itu. Banyak orang mengatakan hal yang sama untuk membenarkan tindakan mereka. Jatuh cinta dengan pasangan orang lain, misalnya. Mereka membiarkan rasa ketertarikan itu membesar. Mereka membiarkan diri mereka berbuat tidak benar karena kalimat itu, bersembunyi di balik frasa 'jatuh cinta tidak mengenal akal', padahal Na, kita tidak selemah itu karena kita punya akal untuk mengimbangi perasaan."
Sejenak hening. Kemudian sama seperti beberapa waktu lalu, tiba-tiba saja Sakti sudah berada di depan Sena dan membuka pintunya hanya untuk mensejajarkan pandangan mereka. Menghantarkan angin malam yang membelai ringan helaian rambut Sena, juga rambut Sakti hingga selama sesaat, gadis itu berpikir jika manusia di depannya memang sangat manis.
" Jadi, kamu mau aku serius atau bercanda?" tanyanya lembut. " Karena pembelaanku memang hanya satu, aku bukan ayah kamu, bukan Wira, bukan Dirga. Aku Sakti Samudra, yang berusaha meyakinkan seorang Devasena Gayatri untuk menciptakan sebuah hubungan dan menjaganya bersama."
Sena menatap Sakti sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya.
" Na," panggil Sakti sembari menghapus air mata yang mengalir kembali di wajah Sena. " Sama seperti Arga dan Ana yang tahu betul ada kemungkinan lain tentang kehamilan Ana, harusnya kita juga tahu ada bahagia selain luka. Mau sampai kapan kamu berfikir bahwa hanya luka saja yang bisa dibawa sebuah hubungan?"
" Aku takut, Mas," kata Sena pelan. " Aku takut."
" Kamu pikir aku nggak takut? Hm?" tanya Sakti membuat Sena menoleh. Sakti menatapnya, dengan senyum samar seolah sedang mengingat sebuah luka, " Bisa saja suatu hari kamu pergi seperti Nath. Bisa saja suatu hari kamu justru menemukan orang yang lebih bisa membahagiakan kamu dan memutuskan bersamanya daripada denganku. Tapi aku memilih berani dan memulai semuanya sama kamu. Karena berdiam di tempat jelas tidak akan menghasilkan apa-apa. Tapi dengan melangkah, selalu ada dua kemungkinan. Kecewa, atau bahagia."
Sebuah kalimat yang diucapkan oleh orang yang juga pernah terluka. Tidak muluk-muluk, tidak perlu banyak rayuan. Hanya sebuah pemikiran yang membuat Sena akhirnya paham bahwa laki-laki ini juga tahu jika hubungan adalah hal yang penuh dengan ketidaksempurnaan.
" Apa aku bisa percaya sama kamu?"
Mendengarnya, Sakti kembali tersenyum.
" Aku nggak akan pernah bisa memaksa kamu percaya sama aku, Sena. Yang bisa aku lakukan adalah berusaha menjadi orang yang selalu dapat kamu percaya."
Sekali lagi, dia tidak menjawabnya dengan sebuah kepastian. Hanya menyodorkan sebuah kenyataan yang Sena tahu benar adanya. Dia tidak seperti laki-laki manapun yang Sena kenal. Anehnya, penjelasan Sakti justru membuatnya tidak bisa mengalihkan perhatian dari laki-laki itu.
Sakti menatapnya sejenak, kemudian berjongkok di depan Sena tanpa melepaskan pandangan hingga membuat Sena menunduk karena dirinya yang masih duduk di dalam mobil.
" Jadi, masih ingin aku bercanda?"
*TBC*
Kutepar 😵
Selamat sore, semoga selalu berbahagia ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro