Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 27. Sebuah Kemungkinan Lain

Setelah kejadian yang membuat Sena jantungan beberapa hari lalu, gadis itu sebisa mungkin menjauh dari radiasi makhluk bernama Sakti Samudra. Karena kini dia mengakui jika laki-laki itu terlalu tangguh untuk diabaikan.

Itu...

adalah pemikiran Sena hingga satu detik sebelum pesan Sakti mendarat di ponselnya untuk mengajak makan siang bersama.

Ini salah, salah sekali.

Seharusnya Sena menjauhi Sakti. Tapi jika dia bertingkah demikian, bukankah justru menegaskan jika benih itu kini justru tumbuh menjadi tunas?

Jika dia ingin biasa saja, seharusnya dia berusaha bersikap apa adanya bila Sakti ada di dekat Sena. Bukan menjauh, bukan canggung, apalagi blushing.

Sena hanya perlu memposisikan Sakti seperti Rafi, Arga, Gagah, Danar atau siapapun laki-laki yang ada di sekitarnya. Tidak perlu menjauh, karena Sena ingin memaksa hatinya merasa biasa saja jika ada laki-laki itu di sekitarnya.

Tapi itu sulit.

Karena ketika dia melihat senyum Sakti siang ini, Sena menyadari jika Sakti sudah mulai menggenggam rindunya.

Dan ini bahaya.

"Memangnya lo berharap apa, Na? Laki-laki mana yang kuat hanya dengan satu wanita? Laki-laki mana yang nggak bosen tiap hari ketemu yang itu-itu doang? Hah!"

Kata-kata Wira melintas di benak Sena, membuat gadis itu mengalihkan pandangan dengan cepat.

" Jadi, kamu mau makan di mana?" tanya Sakti membukakan pintu lobi dan membiarkan Sena berjalan lebih dulu, seperti biasanya.

" Enaknya dimana?" jawab Sena tenang.

" Hmm...masih agak awal untuk makan siang. Gimana kalau kita pergi ke kafe atas di Bukit Permadani sana? Pemandangannya bagus, Na."

Mendengar nada antusias itu, sungguh membuat Sena tergoda untuk menoleh. Benar saja, dengan kedua tangan di dalam saku dan lengan kemeja yang sedikit tertekuk, Sakti menatapnya dengan senyum.

Manis sekali.

Sena mengerjap. Sejak kapan Sakti jadi manis begini?

Tapi jika dipikir-pikir, sebenarnya laki-laki itu cukup atraktif. Sakti mempunyai hidung mancung, walaupun tidak semancung artis-artis Korea, tapi bentuk hidung itu sangat pas dengan wajahnya. Tatapan laki-laki itu tenang, dibingkai bulu mata yang lurus dan panjang. Dan jangan lupakan gingsul yang mengintip kala Sakti nyengir, membuat senyumnya tampak manis, ramah, hangat dan menambah sisi atraktifnya. Masalahnya adalah, Sena tidak pernah tahu sejak kapan hal-hal kecil itu bisa jadi sangat menarik di matanya.

Lagi-lagi, Sena membiarkan pikirannya menjadi gila tanpa disadari. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan dan memikirkan tawaran Sakti. Kafe atas, dan membiarkan hati Sena tersiksa lebih lama di kafé yang katanya punya pemandangan bagus itu?

Tidak. Kali ini, Sena harus memberi garis tegas.

" Umm, apa nggak terlalu jauh? Aku masih ada kerjaan dan takutnya molor. Gimana kalau yang biasa saja?"

Sakti mengangguk. Sama sekali tidak keberatan, " Kamu mau yang mana? Yang ada es selasih favorit kamu atau waffle favorit kamu? Or maybe, the one with crispy fried fries? Aku ingat terakhir kali kita kesana, kamu nambah dua kali."

Sena mengerjap ketika kalimat Sakti sangat mengganggunya. Sejak kapan perhatian-perhatian kecil seperti ini melemahkannya?

" Mulai besok, kayaknya aku nggak bisa makan bareng Mas Sakti lagi," kata Sena. " Besok aku makin sibuk karena rumah sakit udah mulai akreditasi."

Mendengar itu, Sakti menoleh ke arah Sena.

" Kalau begitu aku yang datang ke sini."

Sena menelan ludah dan menggeleng, " Nggak perlu, Mas. Aku bawa bekal sendiri. Nanti nggak kemakan."

" Sena," panggil Sakti hingga membuat Sena menatapnya. " Apa kamu sedang menghindar?"

Sejelas itukah?

Sena menggeleng. Sakti yang melihatnya, tersenyum samar.

" Sayang sekali. Karena kalau kamu menghindar, itu artinya kamu minta diseriusi."

Persetan apapun namanya, yang jelas saat ini Sena harus menarik garis tegas antara Sakti dan dirinya. Sakti hanya tetangganya, dan dia tidak pernah makan siang sebegini sering dengan tetangganya yang manapun.

**

Sore itu, Sena baru saja memencet presensi pulang ketika ia mendapat telfon dari Arga. Terkejut, Sena melempar ponselnya ke dalam tas dan berlari ke sebuah bangsal. Gadis itu membuka pintunya dengan kelewat tidak santai.

" Mbak Ana!" seru Sena membelalak saat melihat Ana terbaring di atas tempat tidur sudah lengkap dengan baju pasien dan infus di tangannya.

" Sena?" Ana mengerutkan kening ketika melihat dirinya. " Kamu, kenapa di sini? Tahu darimana?"

Sena tidak segera menjawab. Gadis itu mendekati Ana dan mengamatinya dari atas sampai bawah. Jantungnya masih bertalu.

" Mas Arga bilang Mbak Ana tadi sore kepleset, terus ada...darah. It—itu beneran?" tanya Sena takut-takut.

Ana mengerjap, kemudian wanita itu tersenyum.

" Iya, tapi Mas Arga lebay, deh. Kata dokter tadi nggak papa," ujarnya seraya mengelus perut yang tengah mengembang semakin besar.

" Mbak, beneran Ya Tuhan, jantungan aku," gumam Sena memegangi dadanya. " Itu—dedeknya nggak papa, kan?"

Ana menggeleng lagi, masih dengan senyuman di wajahnya.

" Mas Arga mana?"

" Oh, dia harus ke kantor sebentar. Mungkin karena itu dia telfon kamu buat nemenin," jawab Ana. " Ya sudah, kamu di sini dulu. Udah makan? Tuh ada roti dibawain masmu. Banyak banget sampai emoh-emoh aku ngeliatnya."

Sena mendengus geli. Namun gadis itu mendekati Ana dan membelai dahinya.

" Beneran nggak papa kan, Mbak?" Tanya Sena masih saja cemas. Perdarahan ketika hamil itu jelas sesuatu yang perlu diwaspadai.

Ana berdecak, " Nggak papa, Tante. Keponakanmu ini kuat. Coba sini pegang, biar besok nggak kaget kalau hamil."

Sena tertawa canggung. Namun ia membiarkan saja Ana membimbing tangannya hingga menyentuh kulit perut Ana.

" Gimana rasanya?" tanya Sena masih membiarkan tangannya berada di atas perut Ana.

" Hamil?" kekeh Ana memandangi perutnya dengan berbinar." It's amazing, Na. Ada kehidupan yang kamu bawa."

Mendengarnya, gelombang haru menghantam Sena hingga mata gadis itu memanas. Sepenuh hati dia menyadari, hanya beberapa senti dari telapak tangannya di kulit Ana, ada sebuah kehidupan yang menunggu untuk meraih bahagianya di dunia. Sedikit banyak, dia teringat Hestia dan keponakannya. Berdoa setulus hati jika Wira akan benar-benar menjaga mereka.

" Kamu kapan nih? Beneran nggak mau sama Sakti?"

Sena menarik tangannya.

" Kok Mbak Ana tau?"

Ana mengangkat alis. Senyum jahilnya mengembang.

" Mbak tadi nebak saja. Nggak taunya kamu yang jawab sendiri," ucapnya memberi Sena pandangan yang menyebalkan, " Kapan? Gimana? Kamu terima?"

Sena lupa jika Ana adalah orang yang sangat rajin menjodoh-jodohkannya dengan siapapun itu. Seharusnya dia bisa menebak jebakan ini dengan mudah.

" Nggak gimana-gimana," jawab Sena meraih roti di atas nakas.

Ana tergelak. " Kamu itu sebenarnya kenapa sih, Na? Nggak mau cerita sama Mbak?"

Sena menggeleng pelan dengan fokus membuka bungkus roti kismis di tangannya.

" Masih pingin menikmati kesendirian aja."

" Jangan lama-lama. Makin hari cowok yang menikmati kesendirian juga berkurang. Bisa-bisa kamu dapet sisa doang."

" Itu bukan alasan, Mbak!"

Ana hanya tertawa.

" Kenapa Mbak Ana bisa langsung nyeplos tentang Mas Sakti? Bukan Mas Rafi atau—siapapun lah. Emang dia bilang apa sama Mas Arga?"

Ana menggeleng. Ia menatap Sena dengan berbinar.

" Sakti nggak bilang apa-apa. Tapi Na, kelihatan banget kalau dia tertarik sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka."

Sena memutar bola mata, " Mana bisa aku percaya? Mbak lupa sama cewek yang mabuk tempo hari itu? Itu mantannya Mas Sakti, lho. Standar model gitu. Besar kemungkinan mereka balikan."

Kali ini, mata Ana membulat.

" Beneran? Si cewek yang nyosor Sakti itu mantannya? Waah! Pantes!" serunya heboh.

Sena mencibir.

" Padahal kalian berdua itu lucu lho, Na. Yang satu kayak angka satu, yang lain kayak tanda koma. Kan imut banget kalau jalan bareng."

" Mbak, ini...beneran aku ternistakan. Aku nggak sependek itu—maksudnya, nggak pendek-pendek banget, kok," gerutu Sena. Memangnya separah itu jika Sena hanya setinggi dada Sakti?

Tawa Ana diinterupsi oleh panggilan masuk di ponselnya. Dari rona wajah Ana, dia bisa melihat jika panggilan itu berasal dari Arga.

" Oh, iya Mas. Sena masih di sini. Oke, nanti aku sampaikan. Iya, hati-hati, daaaah."

Sena hanya mengamati Ana sembari mengunyah rotinya.

" Kata Mas Arga, dia udah dalam perjalanan ke sini. Dan kamu pulang bareng Sakti karena hari udah malam."

Sena berdecak lelah, " Mas Arga seneng banget nyuruh aku bareng Mas Sakti."

Ana mengangkat bahu, " Yang ada kamu yang seneng dijemput Sakti."

Sena menggeleng keras-keras, " Nggak, sama sekali nggak! Aku bia—"

" Eh Sakti! Kapan sampainya?" sapa Ana memandangi ke belakang Sena.

Demi mendengar itu, Sena melompat dari kursi dan berputar. Matanya nyalang mencari-cari sosok jangkung itu.

" Oh, bukan seneng, sih. Tapi deg-degan," tukas Ana, membuat Sena sadar bahwa dia baru saja dikerjai ibu muda ini, lagi.

**

Sebuah suara samar-samar memenuhi rongga telinganya.

Sena mengerjap, berusaha menangkap cahaya dengan retina yang baru saja bersapa dengan dunia nyata.

" Kebiasaan, Na. Tidur nggak ngerti tempat. Merasa bersalah sama Sakti jadinya."

Itu suara Arga, yang dilihat Sena sudah duduk di seberang lain tempat tidur Ana sembari menggenggam erat tangan Ana.

" Ng? Aku ketiduran?" gumam Sena mengangkat roti kismis dari tangannya dengan malas. " Ini pasti ada obat tidurnya."

" Sakti, kamu masih suka cewek yang model-model gini? Kacau banget," tukas Arga lagi membuat Sena mendengus.

" Ini tuh namanya apa adanya," tukas Sena bangkit dan menyipit pada Sakti yang duduk di sebelahnya.

" Nggak masalah. Dia manis." Sakti melancarkan serangan tingkat dewa seraya menoleh pada Sena disertai senyuman lembut, membuat Sena harus mengalihkan perhatian agar tidak kejang di tempat.

" Kan, tetangga memang harusnya pengertian," ucap Sena meraih tasnya.

" Yakin cuma tetangga, Na?" goda Ana membuat Sena memutar bola mata. Ia mengerling pada Sakti yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pancingan Ana.

" Iya, tetangga yang baik banget. Udah yuk? Udah ada Mas Arga, kita pulang. Nanti diusir sama Resi karena bukan jam besuk, kan?" celetuk Sena memeriksa jam tangannya sebelum mengecup pipi Ana. " Cepat pulih, ya. Aku dikabari kalau ada apa-apa."

Mengabaikan kekehan menggoda dari Ana, Sena keluar lebih dulu disusul Sakti. Gadis itu menelengkan kepala, berusaha mengenyahkan rasa pegal di sekujur tubuhnya. Gara-gara akreditasi itu, dirinya harus sering lembur hingga kurang tidur. Gadis itu mengusap wajahnya, tidak terlalu tertarik pada Sakti yang sedang menerima telfon di sebelahnya.

" Kenapa, Nath?"

Sena mengerling ke arah Sakti.

" Udah aku taruh di meja kamu."

" Nggak ketemu. Kamu tolong ke sini sebentar aja. Itu laporan penting."

" Aku nggak bisa. Besok pagi saja."

" Ya Tuhan Sakti. Ini masalah kerjaan-"

" Kamu tahu betul ini bukan masalah kerjaan, Nath. Aztec nggak akan hancur cuma gara-gara laporan evaluasi itu terselip entah dimana. Walaupun aku yakin harusnya ada di meja kamu."

" Sakti, please. Jangan begini."

Terdiam sejenak, Sakti menghembuskan nafas panjang.

" Besok," ucapnya sebelum mematikan sambungan.

" Jadi, nggak perlu curiga, kan?"

Suara Sakti mengurai kerutan di dahi Sena, membuat gadis itu tersadar bahwa sedari tadi ia mengawasi ponsel Sakti dengan ketat.

" Sampai di loudspeaker segala?" dengus Sena yang baru saja sadar bahwa Sakti mengaktifkan loudspeaker sehingga Sena bisa mendengarnya. Apa dia tahu Sena langsung tertarik begitu Sakti mengucapkan nama Nathalie?

" Karena kalau nggak, di kepala kamu ini berseliweran hal-hal yang salah," ucapnya mengetuk pelan kening Sena.

" Ada hal-hal yang berseliweran di kepalaku, Mas. Tapi nggak salah," ucap Sena pasti. " Sebentar, Mas."

Sena berhenti di depan meja lobi yang dijaga oleh seorang perawat perempuan bernama Resi.

" Resi, aku mau lihat rekam medisnya Mbak Ana. Ada?"

" Ada Mbak," jawab Resi sebelum mengedik ke arah Sakti yang berdiri di belakang Sena dengan kedua tangan di dalam saku, melongok ingin tahu pada map yang sedang dilihat Sena.

" Gantinya Mas Rudi?"

" Dia tetanggaku," tukas Sena singkat membolak-balik file hingga catatan yang terakhir. Sebuah catatan dari dokter, foto USG—

Serasa sesuatu meremat jantung Sena kuat-kuat.

Setelah beberapa detik berlalu dengan matanya melotot pada foto USG, gadis itu kembali membaca seluruh catatan dari atas sampai selesai. Kemudian, ia membalik halaman catatan kontrol Ana pada beberapa minggu sebelumnya.

" Kenapa?"

Tidak. Sena bahkan tidak bisa menangkap suara Sakti dengan baik. Saat ini, dentuman di dadanya begitu terasa hingga rasanya dunia sedang gempa. Seluruh tubuhnya meluruh kala ia menatap pada Resi yang ternyata sudah menatapnya sejak tadi.

" Ini...nggak bener," sergah Sena gemetar. Gadis itu menutup rekam medis dengan keras dan menyorongkannya pada Resi.

Resi mengamatinya sejenak, kemudian tersenyum. Senyum sedih yang sarat akan keprihatinan.

" Nggak salah, Mbak. Dokter udah memeriksa beberapa kali dan hasilnya tetap sama."

Mendengarnya, air mata Sena merebak.

" Sena, kamu kenapa?"

Sakti mengikuti Sena yang kembali ke bangsal Ana dengan cepat. Ia membukanya, hanya untuk menemukan Ana menangis di pelukan Arga, yang tengah menenangkan Ana meskipun kedua matanya kini memerah. Tidak ada raut tenang seperti terakhir kali Sena melihat mereka beberapa menit lalu.

" Lhoh, kenapa? Ada yang ketinggalan?"

Ana yang terkejut mengurai pelukannya pada Arga. Ia menghadapi Sena dan Sakti, berusaha menghapus apapun yang ada di wajahnya meskipun jelas sekali kesedihan sedang bergelayut di sana.

Bibir bawah Sena bergetar. Tanpa suara, gadis itu menyambangi Ana dan memeluknya erat.

" Aku udah lihat rekam medisnya," bisik Sena pelan ketika air mata meleleh dari pelupuk mata, " Mbak Ana, kenapa nggak cerita? Kenapa dipendam sendiri kayak gini? Hah?"

Hening sejenak, kemudian Ana tertawa pelan. Tawa yang sarat akan kepedihan.

" Mas, ke depan dulu sama Sakti. Aku mau bicara sama Sena," ucap Ana sembari membelai lengan Sena yang melingkar di lehernya. Sena tidak peduli, ia sibuk meredakan dentum ketakutan yang saat ini melanda setiap sel tubuhnya.

" Sini duduk dulu," ucap Ana. Sena menggeleng. Sungguh, ia ingin memberi kekuatan pada ibu hamil ini.

" Sena, sini duduk dulu. Memangnya kenapa, sih? Aku nggak papa, lho," kekeh Ana membuat sebuah pasak tertancap di dada Sena. Namun Sena mematuhinya. Dengan terisak, gadis itu mengurai pelukannya dan duduk di samping tempat tidur Ana.

" Kok nangis, sih?" tanya Ana geli. Ia mengusap bahu Sena, menenangkannya.

" Mbak Ana," rengek Sena. " Mbak Ana."

Ana menghembuskan nafas panjang. Ia menatap Sena dengan tenang, namun Sena masih bisa menemukan jejak kesedihan di sana.

" Berhenti nangis, Sena. Nanti keponakan kamu dengar. Nggak malu?"

Mendengarnya, tangis Sena justru semakin menjadi.

" Se—sejak kapan Mbak Ana tahu kalau adek— ," sungguh, lidahnya kelu hanya untuk melanjutkan. " Kalau adek—"

Suara Sena terpotong oleh isakan yang menyeruak dari kerongkongannya. Dia tidak bisa bahkan hanya untuk mengejanya.

Anensefali. Sena mengingat dengan jelas catatan dokter di rekam medis tadi. Juga, foto USG yang mendukung.

Ana tersenyum, ringan. Ia meraih tangan Sena dan menyentuhkannya ke perut. Melihatnya, Sena menangkupkan tangan ke mulutnya, berusaha menahan raung yang nyaris keluar dari tenggorokan.

" Waktu pemeriksaan bulan lalu," ucap Ana dengan lembut dan penuh kasih. Tidak ada sesal sama sekali.

Mendengarnya, Sena tidak bisa lagi menahan diri.

Anensefali. Sebuah kelainan pada janin dimana ujung tabung syaraf gagal menutup sehingga janin tidak mempunyai batok kepala. Sena pernah membaca kasusnya, namun ia tidak pernah bertemu langsung dengan kehamilan seperti ini. Yang Sena tahu dari kasus yang pernah ada, harapan hidup paling lama janin anensefali hanya 48 jam setelah dilahirkan.

" Dokter...nggak bilang apa-apa, Mbak?" tanya Sena lama setelah isakannya mereda. Ia mengelus perut Ana.

Ana tersenyum, " Bilang." Ucapnya menggenggam erat tangan Sena. " Dia juga bilang kalau Mbak punya pilihan menggugurkan dia karena keadaannya yang demikian. Itu yang kamu tanyakan, kan?"

Bagaimana bisa Ana berkata dengan begitu tenang?

Sena mengangguk pelan. Iya, dia tahu. Pada kasus anensefali, biasanya dokter akan menawarkan alternatif itu ketika janin masih berusia muda.

" Mbak tahu, kemungkinan dia bertahan setelah dilahirkan sangat kecil. Tapi apa itu harus jadi alasan untuk kehilangan dia?" tanya Ana lagi. " Bahkan kalau memang hanya sembilan bulan, aku terima, Na. Dia anakku. Anakku sama Mas Arga. Mana mau aku kehilangan dia kalau bukan karena kehendak Tuhan? Hm?"

Mendengarnya, Sena terisak lagi.

" Kamu tahu, Na? Apa yang Mbak rasakan ketika pertama kali Mbak dengar berita itu dari dokter? Mbak rasanya pingin mati," ucap Ana membuat Sena menggenggam erat tangannya. " Tapi lambat laun Mbak paham, kalau di hidup ini, nggak semua hal bisa terjadi seperti yang kita inginkan. Mungkin untuk saat ini, Tuhan cuma kasih Mbak kesempatan menyapa anak pertama Mbak selama sembilan bulan. Bahkan kalau cuma satu hari, itu udah cukup, Na. Itu udah cukup."

Senyum Ana masih bertahan, tapi air mata menetes di sudut matanya.

" Jadi jangan berpikir kalau Mbakmu ini sedih, Sena. Mbakmu ini bahagia karena sekarang, di perut ini, ada jantung yang berdetak. Kadang, dia gerak lho, Na. Dia nggak ada bedanya sama aku atau kamu. Dia anak Mbak."

Sena benar-benar harus mengendalikan dirinya. Gadis itu mengangguk kuat-kuat.

" Iya, dia anaknya Mbak Ana. Keponakannya Sena," ucap Sena mengelus lembut perut Ana dengan isakan, " Mbak Ana kuat sekali, ya?"

Mendengarnya, aliran air mata di ujung mata Ana semakin deras. Namun wanita itu tetap tenang.

" Karena menurutku, sedih bukan jalan keluar Na," ucap Ana mengusap wajah Sena dengan sayang. " Detik pertama aku tahu aku mengandung, aku seneng banget. Aku udah berandai-andai kalau dia perempuan nanti, aku mau dandani dia biar jadi cantik. Kalau cowok, dia pasti mirip Mas Arga. Hidungnya nggak mancung-mancung amat tapi ngegemesin, dagunya lancip, rambutnya agak kriwil, begitu. Ketika dokter kasih tahu keadaan dia yang seperti itu, aku sedih, Na. Tapi lalu apa? Menyetujui saran dokter buat menggugurkan dia?"

" Waktu itu aku sama Mas Arga diam lama banget. Sampai akhirnya aku sadar jika keadaan anak kami ini salah satu kemungkinan lain ketika aku hamil. Dengan atau tanpa keadaan itu, dia tetap anakku. Nggak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan sebesar itu walau aku tahu mungkin aku cuma bisa sama dia selama sembilan bulan."

Bagaimana Ana bisa berkata setenang itu? Setegar itu? Selembut itu? Sementara Sena yang mendengarnya saja merasa seluruh hatinya mati rasa.

" Nggak ada yang tahu selain kamu, mungkin juga sama Sakti. Jadi, nggak perlu bilang ini sama yang lain, ya? Ini bukan keadaan yang perlu ditangisi. Aku aja bahagia, masa kamu nggak sih, Tante?"

*TBC*

Anensefali/Anensefalus sudah dijelaskan Sena ya, kalau belum jelas bisa search di gugel

Selamat siang semuanya, semoga selalu berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro