DEVASENA | 26. Tentang Hari Itu
" Izin berapa hari?"
" Tiga. Maaf mendadak."
" It's okay. Take your time, Dev," jawab Danar di seberang sana. " Perlu dijemput?"
Sena menghembuskan nafas pelan. Bagaimana bisa Danar mengajaknya bercanda di situasi seperti ini?
" Nggak perlu. Makasih. Saya tutup, ya."
Sena menutup sambungan mereka. Menatap sejenak pada layar ponselnya, ternyata ada tiga panggilan tidak terjawab dari Ana, dua belas dari Sakti dan beberapa panggilan dari yang lain.
Sebuah denyut menyakitkan tercipta di dada Sena. Namun gadis itu cepat-cepat mengabaikannya.
Pagi ini, pernikahan Wira dan Hestia diadakan. Bukan sebuah pesta pernikahan yang megah, mengingat kondisi Wira dan Hestia. Itulah mengapa Shinta sengaja tidak memberitahu Sena sebelum kemarin. Malah, jika bukan karena Wira yang ngotot ingin menggugurkan kandungan Hestia, mungkin Shinta tidak akan memberitahu Sena.
Sena sudah siap dengan kebaya putih dan sanggul anggun di kepalanya. Gadis itu menghembuskan nafas pelan dan berbalik, hanya untuk menemukan ibunya bersandar di kusen pintu. Shinta juga mengenakan kebaya, berwarna biru muda keemasan. Ia tersenyum, namun tidak mampu menyembunyikan raut lelah dan sedih di wajahnya.
" Ma..." panggil Sena yang tidak mampu membendung air matanya. Karena dari dulu, dia tidak pernah bisa melewatkan kerapuhan di balik bening mata Shinta. Dan itu menyiksanya.
Ia mendekati Shinta dan memeluknya. " Ayo ikut Sena aja, Ma. Nggak usah di sini."
Mendengarnya, Shinta terkekeh pelan. Wanita itu menepuk lembut kepala Sena.
" Bicara apa, sih? Mama kan masih kerja," jawab Shinta. " Gimana tadi malam sama kakak kamu?"
Sena menggeleng, " Sena nggak paham, Ma. Sena nggak tahu harus ngomong apa sama Abang."
" Kamu bilang sama dia, Na. Jangan sampai dia memaksa Hestia buat menggugurkan kandungan. Hestia itu anaknya baik, nurut. Dia sudah tertekan. Gara-gara ini, dia diusir dari rumah dan kakakmu nggak ada pilihan selain membawa dia kesini."
Shinta membelai anak rambut yang terjatuh di kening Sena.
" Kakakmu itu masih punya sisi lembut, sayang. Tolong kakakmu, Na. Bimbing dia pelan-pelan." Pinta Shinta.
" Apa bisa Ma? Bisa-bisa nanti Sena malah semakin benci sama Abang," Sena berkata jujur, yang dijawab Shinta dengan kekehan.
" Kamu gimana?" tanya Shinta mengalihkan perhatian. Wanita itu melepaskan Sena dan memegang kedua bahunya sebelum menyapu Sena dari atas hingga bawah. Senyum mengembang di bibirnya.
" Udah punya teman buat duduk di situ?" Shinta mengedik ke arah kursi pengantin. " Kapan mau dikenalin sama Mama?"
Namun Sena menggeleng ketika sesak itu semakin menjadi. Ia memeluk Shinta lagi, menyusupkan wajah ke tubuh mamanya.
" Sena nggak mau nikah," jawab Sena serak.
Shinta mengangkat alis.
" Semua laki-laki sama saja. Badra, Abang, Dirga."
Sakti
" Lain di mulut lain di hati," gumam Sena. " Sena sendiri saja. Sama Mama."
"Kamu itu ngomong apa, sih nduk? Banyak dari mereka yang nyatanya bisa setia sampai akhir."
Sena mengeratkan pelukannya, " Mana Sena bisa tahu, Ma. Mana bisa Sena tahu mana yang akan setia di masa depan? Yang Sena tahu, semua laki-laki bisa selingkuh kapan saja. Sena takut, Ma."
Shinta tersenyum samar. Ia melingkarkan tangannya di kening Sena, mendekapnya erat, " Pada waktunya nanti, kamu akan tahu kalau kamu nggak perlu takut dengan sesuatu yang belum tentu terjadi. Sekarang, bantu Mama memikirkan kakak kamu itu."
**
Pernikahan Wira dan Hestia berlangsung suram. Siapapun tamu yang datang pasti satu pemikiran ketika melihat perut Hestia yang sudah membuncit.
Dirinya toh biasa saja dengan gunjingan para tetangga, karena dari dulu keluarganya sudah menjadi topik hangat para tetangganya. Mulai dari perselingkuhan Badra, kelakuan Wira sampai kelakuan kekasih-kekasih Wira yang terkadang di luar adat. Itulah mengapa Sena ingin sekali mengajak Shinta pergi dari sini.
Hestia, anak itu terlihat bahagia. Karena belakangan Sena ketahui jika Hestia memang menyukai Wira. Dia teman Dara, dan dia mengenal Wira dari Dara. Yah, siapa sih yang tidak terpesona dengan Wira? Sungguh, kelemahan kakaknya hanya satu. Jika kelemahan itu hilang, Sena yakin dia akan berbangga karena mempunyai kakak paling sempurna di dunia.
Apa Hestia tetap akan memasang senyum selebar itu jika dia tahu apa yang ada di pikiran Wira? Meskipun saat itu, kakaknya juga tengah tersenyum seolah bahagia atas pernikahannya. Mungkin hanya Sena yang tahu betapa jahatnya niat Wira atas pernikahannya sendiri.
Tapi Sena bisa apa? Dia tidak mungkin mengatakan pada Hestia yang sebenarnya. Dia tidak mungkin jujur pada Shinta. Dia juga tidak punya kendali atas hidup Wira.
Dan sekarang, Wira dengan seluruh tindakannya mengukuhkan ketakutan Sena akan masa depan.
Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana masa depan itu akan terjadi. Sena tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan pasangannya nanti. Dan karena itu, dia ketakutan.
Sena memejamkan mata sebelum menoleh ke luar jendela kereta api, memandangi tanpa fokus siluet-siluet kabur yang berlarian seiring kecepatan kereta melewatinya dengan pongah.
Benaknya terlempar ke masa lalu. Masa dimana ia menemukan perselingkuhan Badra, perselingkuhan Dirga, kesakitan mamanya dan kesakitannya. Dia tidak akan pernah lupa ekspresi Shinta ketika Badra membawa Tia ke hadapannya. Membawa orang ketiga di hadapan istri pertama. Jika Sena berada di posisi Shinta, dia yakin dirinya akan memohon untuk mati saat itu juga.
Sena menghirup dengan payah ketika rasa sesak itu kembali datang.
Dia tidak akan pernah mampu mengerti mereka-mereka yang memilih untuk berkhianat. Apakah semudah itu mengabaikan janji yang bahkan diucapkan di depan Tuhan? Apakah semudah itu mengabaikan orang yang lebih dulu ada untuknya? Apakah semenyenangkan itu melukai orang lain? Apakah setidakmampu itu menolak berkhianat? Apakah yang baru semenarik itu hingga yang lama tidak terlihat?
Seluruh pikiran itu terlarut di benak Sena, menyesakinya seperti ratusan domba di dalam kandang. Parahnya, tidak ada satupun yang bisa terjawab. Dan karenanya, dia tersiksa.
**
Pukul dua dini hari, Sena baru saja keluar dari stasiun.
Sena perlu waktu beberapa menit guna menata diri di toilet. Wajahnya benar-benar berantakan karena terus menangis sepanjang perjalanan. Mengusapkan tisu di bawah hidungnya, Sena menarik koper seraya memeriksa ponsel. Kemarin Rafi memberitahunya bahwa dia akan menjemput Sena. Maka kini gadis itu celingukan mencari sosok Rafi. Ia sudah akan menghubungi Rafi ketika seseorang mendekatinya hingga membuat Sena terpaku.
" Mau apa?" Sena bertanya dengan dingin ketika jemari Sakti terulur ke arahnya.
Karena nyatanya, dia sedang tidak siap untuk menambah beban hatinya lagi. Benaknya sedang sibuk memikirkan keluarganya dan kehadiran Sakti serta segala beban yang laki-laki itu berikan sama sekali tidak membantu.
Namun laki-laki itu tidak menjawab. Mengabaikan Sena yang semakin menjauh, dengan santai langkah lebar Sakti selalu bisa mengejarnya. Lalu begitu saja, handle koper raib dari genggaman Sena.
" Mas, berhenti macam-macam! Aku mau cari Mas Rafi!" sergah Sena ketika Sakti memasukkan kopernya ke dalam bagasi.
" Aku yang jemput kamu. Rafi sibuk."
Dasar pecinta sapi!
Sena menggosok keras pelipisnya. " Kalau begitu aku pakai taksi saja!"
Sakti menghalau tangan Sena yang hendak meraih kembali kopernya, menariknya hingga jarak terkikis di antara mereka. Dalam temaram lampu di depan stasiun itu, tatapan tenang Sakti benar-benar membuatnya membatu.
" Kamu menghindar?"
Menghindar? HAHA!!
Itu benar, kata-kata Sakti menyadarkannya bahwa dia tidak perlu menghindar dari seorang tetangga.
Sena menghembuskan nafas keras dan menarik tangannya, berusaha menghalau adegan ciuman jahan—STOP! Sakti adalah tetangganya, dan kelakuan tetangganya bukanlah urusan Sena. Apapun yang tetangganya lakukan, Sena tidak perlu tahu dan tidak mau tahu!
Tapi sesaat kemudian, sesuatu yang hangat tertangkup di kepalanya. Gadis itu kehilangan nafas ketika lewat kaca mobil, dilihatnya Sakti tengah sibuk memasangkan sebuah topi rajutan berwarna merah muda dengan hiasan berbentuk beruang di salah satu sisinya.
" Dingin," ucapnya nyengir pada Sena lewat kaca mobil sembari memasang hoodie-nya sendiri. " Jangan khawatir, itu baru. Kemarin aku ke Dieng dan aku ingat kamu. Look, you're prettier."
Sena mengerjapkan mata kala matanya memanas. Gadis itu menoleh ke arah Sakti dan meliriknya tajam. Melihat cengirannya dan mengingat ciuman itu, rasanya Sena ingin sekali meninju lelaki jangkung di hadapannya ini.
" Apa kamu semudah ini bermain-main dengan orang lain di belakang punggung pasangan kamu?" Bisik Sena dingin, " Apa kamu nggak mikir perasaan Mbak Nath kalau dia tahu kamu di sini dan ngomong semua itu sama aku? Hm?"
Sakti menatapnya beberapa saat, kemudian menghirup nafas panjang dan menjentik pelan dahi Sena.
" Aku punya pembelaan. Tapi yang paling penting adalah, aku dan Nath bukan seperti apa yang ada di kepala kamu ini." ucap Sakti pada Sena yang menggosok dahinya keras-keras.
" Terserah Mas Sakti saja. Itu nggak penting buatku." Sena mendengus seraya membuka pintu mobil.
Tapi Sakti mendorongnya kembali hingga menutup.
Belum genap kesadaran Sena, tiba-tiba saja Sakti merengkuh tubuhnya dan memerangkap Sena dalam satu pelukan erat.
" Mas Sakti!" Seru Sena berusaha melepaskan diri. Namun yang ada, Sakti menahan tubuhnya dengan mudah. Laki-laki itu justru mempererat rengkuhannya, melarikan satu tangan menyusup ke pinggang sedangkan tangan yang lain menahan belakang kepala Sena.
Lalu tanpa permisi, tetangganya itu menenggelamkan wajah di pundak Sena, membuat seluruh tubuhnya terpaku kala nafas hangat Sakti menerpa kulit lehernya.
" Kamu yang sekarang maunya marah-marah terus, Na. Kalau aku jelasin sekarang, pikiran kusut kamu nggak mampu memahami penjelasanku." Bisik Sakti.
" Mas, lepas!" gertak Sena berusaha membebaskan kedua tangannya dari rengkuhan Sakti. Namun Sakti menggeleng kecil di pundaknya.
" Nggak mau," bisiknya lagi ketika pelukannya kembali mengerat hingga Sena menjadi sesak.
Sesuatu dalam suara Sakti menarik kembali ingatan Sena tentang benih yang beberapa hari ini terlupakan karena masalah Wira. Dia lupa jika laki-laki ini bisa mencuri perhatian Sena hanya dengan gingsul yang mengintip itu. Dia lupa jika sikap hangat Sakti berpotensi menghancurkan dinding beton yang selama ini dibangun Sena. Dia lupa jika intonasi tenang Sakti tanpa sadar mempengaruhinya.
" I really miss you Na," bisiknya lagi. " So, how's your day?"
Ah iya, dia juga lupa bahwa laki-laki itu bisa memancing keluar seluruh kegundahan Sena hanya dengan satu pertanyaan sederhana.
Harusnya menginjak saja kaki laki-laki tidak tahu malu ini! Tapi yang ada, sesak itu keburu meluap dan menenggelamkan seluruh akal yang dia punya.
Karena demi apapun, saat ini dia sedang sangat lelah.
" Bercanda saja, Mas Sakti. Bercanda saja." isak Sena ketika ketakutan itu mulai menguasai tanpa bisa Sena kendalikan.
" Iya, bercanda." Sakti mengusap belakang kepala Sena kala gemetar gadis itu bisa ia rasakan. " Aku bercanda. Jadi?"
" Aku benci Bang Wira." Bisik Sena tercekat ketika tangisnya nyaris meledak.
" Hm? Kenapa?" tanya Sakti dengan kelembutan yang menghancurkan pertahanan terakhir Sena.
Dan di depan stasiun, dengan Sakti bersandar di pintu mobil sembari memeluk Sena, gadis itu meluapkan semuanya. Tentang Badra, tentang Wira, tentang Dirga, tentang Raras, tentang semuanya.
Saat ini, detik ini, Sena memohon pada setiap senti tubuhnya, untuk mengenali Sakti hanya sebagai tetangga. Agar dia bisa menikmati pelukan ini tanpa rasa takut. Agar dia bisa menikmati kehangatan ini tanpa rasa resah. Agar dia bisa menikmati sentuhan ini tanpa rasa mencekam. Agar dia tidak perlu mencemaskan apa yang terjadi beberapa hari lalu.
Karena Sena harus mengakui, jika kehadiran laki-laki ini begitu menyenangkan.
**
Esok pagi setelah bangun tidur –yang hanya didapatkannya selama dua jam-, hal pertama yang dilakukan Sena adalah menelfon Shinta.
Shinta mengabarkan bahwa keadaan baik-baik saja. Wira mulai sibuk cari kerja, dan Hestia rajin membantunya di rumah. Sepertinya, dia akan jadi menantu yang baik, begitu kata Shinta.
Shinta. Mamanya adalah orang yang selalu melihat sisi positif dari semua hal. Padahal Sena tahu begitu banyak cibiran negatif yang dilontarkan lingkungan pada keluarganya. Tentang Badra, tentang Wira dan sekarang tentang ini. Tapi seperti karang di tengah lautan, mamanya tetap tegar dan tidak pernah terlihat terganggu.
Terkadang Sena tidak mengerti mengapa perempuan sebaik Shinta harus mendapatkan begitu banyak cobaan.
Tapi bukankah cobaan adalah fase penting yang menunjukkan kualitas seorang manusia?
Butuh beberapa saat bagi Sena terduduk di sisi kasur, menunduk guna meredam sejuta pikiran kusut yang sudah merundungnya pagi-pagi begini. Memutuskan bahwa dia tidak boleh terlalu lama larut dalam permasalahan, Sena berguling turun dari kasur. Hari ini adalah hari Minggu. Itu artinya, dia harus lari pagi ke alun-alun. Tidak ada alasan untuk mengabaikan kesehatan sendiri hanya karena ada masalah. Maka setelah melakukan beberapa gerakan untuk menaikkan mood-nya, gadis itu bersiap-siap.
Tiga puluh menit kemudian, Sena menutup pintu kontrakannya. Lima unit yang lain masih tertutup. Namun Sena tidak bisa mengabaikan pintu unit yang berada tepat di sampingnya.
Mengingat apa yang terjadi tadi malam, Sena mengutuk dirinya sendiri. Mana janjimu yang akan menumpas itu semua, Devasena?!
***
Sembari memandangi batu-batu berwarna yang silih berganti seiring langkah ringan ketika Sena berlari pagi itu, pikirannya melayang pada Wira. Suara lirih memenuhi pendengarannya lewat headset yang terpasang, namun pikiran gadis itu berada di tempat lain.
Keluarga Hestia benar-benar mencoret Hestia dari daftar keluarga. Maka beban ibu muda itu kini benar-benar jatuh di pundak Wira. Itu artinya, Wira harus cepat-cepat mempunyai pemasukan karena waktu persalinan Hestia semakin dekat.
Lagipula, dia sudah memikirkan ini sejak lama. Entah bagaimana caranya, dia ingin Shinta ikut tinggal bersamanya. Jauh dari lingkungan yang hanya bisa menggunjing tanpa bisa menguatkan. Jauh dari Wira yang bisa berpotensi membuat Shinta depresi. Jauh dari kenangan akan Bad--
Kebisingan menyeruak di telinga kanannya ketika bantalan headset itu terlepas. Sena menoleh, hanya untuk menemukan wajah Sakti di sana.
" AAAHH!!" seru Sena ketika salah satu kakinya terselip hingga tubuhnya terhuyung. Berdecak, Sakti menyambar cepat tubuh Sena sehingga gadis itu bisa menapak lagi dengan sempurna.
" Seingatku, kita sudah janji CFD-an bareng. Kenapa ini ditinggal?" kata Sakti menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku jumper dan menyamakan langkah mereka.
Sena menormalkan jantungnya sejenak sebelum menjawab, " Nggak, aku nggak pernah ngajak Mas Sakti CFD-an bareng."
Sakti tersenyum samar seraya mengamati Sena, " You look well. Tapi sepertinya perlu mentimun."
Sena mengerjap, kemudian mendengus ketika memahami maksud Sakti, " Mas Sakti juga. Kayaknya butuh lebih banyak daripada aku."
" Hmm, wajar saja. Aku nggak bisa tidur selama kamu pergi."
Sena membuang wajah ketika jantungnya melorot ke perut. Tetangga. Tetangga, oke? Tetangga yang penuh dengan gombalan mematikan—
"Aku benar-benar mengira kamu pergi gara-gara kejadian waktu itu sampai kemarin Rafi kasih tahu aku, Na."
Dan kenapa tetangganya yang penuh gombalan ini harus mengungkit kejadian laknat itu? Sekarang Sena jadi ingat saat Sakti menunduk dan menci—STOP!!
" Nggak. Lagipula kejadian itu nggak ada pengaruhnya buatku," tukas Sena tenang dan kembali berjalan, namun Sakti menahan lengannya.
" It wasn't me who kiss her, Na. It was her who kiss me."
Sena memutar bola mata, " Aduh Mas Sakti, udah aku bilang aku nggak peduli, kan?"
" But you do care," tepis Sakti pelan. " Kamu nangis."
" Itu nggak membuktikan apa-apa, oke? Sekarang, ayo sarapan. Karena lapar bikin otak jadi kurang waras," tukas Sena melepaskan cekalan Sakti, namun lagi-lagi Sakti menahannya.
" Kenapa kamu nangis?"
Sena menggaruk kepalanya keras-keras, " Emang iya aku nangis? Haha...Mas Sakti salah lihat, itu."
" Hampir saja kamu jatuh, itu maksudnya apa?"
God! Kenapa Sakti harus ingat sedetail itu?
" Ng...ponselku hampir jatuh. Yuk makan!"
Namun untuk yang ketiga kalinya, Sakti menahan Sena. Ia menunduk untuk menatap gadis mungil itu dengan lekat.
" Kamu ingin aku bercanda atau serius?"
Sena menghembuskan nafas keras.
" Mas Sakti itu ngomong apa, sih? Bercanda! Aku mau Mas Sakti bercanda sa—"
" Itu tadi kamu sebagai aku dan aku sebagai Nath," ucap Sakti menjauhkan bibirnya dari dahi Sena setelah mengecupnya dengan cepat. " Unfortunately, kamu menoleh ketika...our lips met. Tepat setelah dia bilang bahwa dia ingin kami kembali. Tapi aku nggak bisa, karena saat ini ada perempuan lain yang suka sekali membawa hatiku kemana-mana."
Sena memutar bola mata mendengar kata-kata Sakti.
" Aku punya banyak bukti yang menunjukkan kalau kamu nggak ingin aku bercanda, Na," ucap Sakti merapikan rambut Sena. " Tapi sepertinya aku nggak bisa buru-buru, karena sekarang aku paham badai apa yang ada di hati kamu."
Sena mengerjap, kemudian mendengus.
" Bercanda saja, Mas. Karena kamu nggak cocok serius," ucap Sena mengusap kasar bekas kecupan Sakti di dahinya. " Dan apanya yang mirip? Jelas-jelas aku lihat kalian ciuman. With those hands trapped her onto the wall. Please, jangan bohong."
Sakti mengangkat alis.
" Iya, kamu nggak salah lihat. Aku cuma mau nunjukkin bahwa aku sama sekali nggak tahu dia akan melakukan itu seperti halnya kamu yang nggak tahu aku akan cium dahi kamu. Dan tangan ini, " Sakti mengangkat kedua tangannya dan memainkan kesepuluh jemarinya," buat menahanku dari tarikan Nath yang terlihat kalap waktu itu. Tapi nggak mungkin kan ini tadi aku nyium bibir kamu? Atau kamu perlu reka ulang adegan yang benar-benar akurat? Aku nggak keberatan kalau itu bisa ngasih gambaran jelas ke kamu--"
Sena mendorong tubuh Sakti menjauh dan berjalan dengan langkah cepat.
" Siapa yang bisa menjamin kalau omongan kamu itu bener? Bisa jadi kamu sedang cari pembenaran," kata Sena dingin.
" Kamu perlu bukti? Aku bisa bawa semua CCTV yang membuktikan kalau pembelaanku benar. Kamu bisa lihat sendiri tabrakan -aku nggak akan menyebut itu ciuman- itu cuma terjadi sepersekian detik bersamaan dengan kamu yang menoleh tepat waktu," jawab Sakti melangkah di belakang Sena.
Sena mengertakkan gigi, setengah takut jika Sakti benar-benar menyodorkan CCTV apapun itu padanya. Karena jelas, alasannya untuk tidak percaya pada Sakti akan berkurang jika pembelaan Sakti adalah benar.
" Na, boleh nggak aku cium kening kamu setiap hari?" tanya Sakti ketika dirinya mengimbangi langkah Sena.
" Nggak!! Nggak boleh!" tukas Sena jengkel ketika secepat apapun Sena melangkah, Sakti selalu bisa mengimbanginya dengan satu langkah santai.
" But it's sweet, Na. Can I do it everytime I see you?"
"Nggak mau! Jangan dekat-dekat!"
" Serius atau bercanda?"
" Bercanda!"
" Bercanda atau serius?"
" BERCANDA!"
" Serius atau serius?"
" MAS SAKTI!!"
" Ya, Devasena?"
" I hate you!"
" Love you too. Diem, kan? Now give me your hand, we need a breakfast. Kamu nggak laper teriak-teriak terus dari tadi?"
*TBC*
Selamat malam mina-san. Selamat belajar untuk yang mau ujian
Semoga sukses ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro