DEVASENA | 25. Permintaan
Sena tidak pernah memahami kakaknya. Karena jelas, pemahaman mereka berbeda.
Maka ketika ia mendengar permintaan Wira, sekali lagi Sena menampar kakaknya dengan harapan dia tidak lagi merengek seperti seorang bayi. Namun Wira kembali menatapnya tanpa penyesalan sedikitpun.
" Berhenti ngomong gitu, Bang Wira, berhenti!" ucap Sena gemetar. "Hestia gimana? Dia...setuju sama pernikahan ini?"
Wira mengangguk enggan.
" Dia...sama Hestia, itu sebuah kesalahan." Wira memejamkan mata, " Hestia teman Dara, pacar Abang. Waktu itu di klub...Abang kira Hestia sama seperti perempuan lain. Tapi dia beda, Na. Dia kesana cuma karena penat, nggak pernah melakukan lebih dari minum. Abang nggak tahu, waktu kita berdua terlalu mabuk...itu terjadi gitu aja. Dia masih perawan dan ayahnya menuntut Abang buat nikahin dia."
Sena mengurut dahinya ketika kepalanya meledak sekali lagi.
" Nggak ada yang namanya 'terjadi gitu aja'. Memangnya apa yang Abang harapkan kalau masuk ke tempat kayak gitu, hm? Memangnya apa yang Abang harapkan setelah minum selain mabuk sama kehilangan akal? Kalau Abang tahu resikonya, Abang nggak akan pernah melangkahkan kaki ke tempat kayak gitu! Jadi nggak ada gunanya Abang menyesali keadaan, mencari-cari kesalahan kayak gini!"
Wira menunduk dalam-dalam. Air mata tampak deras menetes ke lantai dari dagunya. Sena melihatnya dengan sesak di dada. Demi apapun, dia sangat tahu kondisi Wira bukanlah hal yang butuh penghakiman seperti yang Sena lakukan tapi tolong, bertahun-tahun Sena mengingatkan abangnya, bertahun-tahun Sena berusaha memberitahu abangnya dan Wira tetaplah Wira yang menyukai kebebasan. Jadi ketika dia melihat Wira merengek seperti ini, apa Sena harus menghiburnya dengan kata-kata halus?!
Tangan Sena mengepal, berusaha menahan seribu kata setajam pisau dari ujung lidahnya. Gadis itu memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali.
" Ini...mungkin Tuhan ngasih teguran lewat ini. Harusnya abang bersyukur Tuhan nggak ngasih penyakit macem-macem sama Abang mengingat Abang yang segitu gemarnya tancap sana tancap sini! Kalau Abang tahu keadaan mereka yang dikasih penyakit sama Tuhan, abang mungkin akan bunuh diri saking menderitanya. Jadi Bang Wira, sekarang Abang harus berusaha jadi lebih baik, Bang. Berhenti main-main. Ditata hidupnya. Nggak perlu mikirin biaya dulu. Sena siap bantu sampai Abang punya kerjaan lagi."
Namun sepertinya, tidak ada satupun kata-kata Sena yang masuk ke telinga Wira. Laki-laki itu sibuk menggeleng.
" Aborsi. Suruh Hestia aborsi, Na. Semuanya selesai kalau anak itu nggak ada."
Sena tidak lagi bisa membendung air matanya sendiri. Gadis itu mendekati Wira dan menamparnya sekali lagi. Namun Wira bergeming. Laki-laki itu tetap menunduk.
Akhirnya, Sena bersimpuh di depan Wira. Gadis itu merengkuh kedua pipi kempot Wira, mengangkat wajah kakaknya hingga mereka berpandangan. Sena menatap lekat iris mata kakaknya, legam seperti miliknya. Dan Sena tahu bahwa mata Wira memang seindah itu. Gadis itu mengusap pipi Wira, menyayangkan keindahan yang kini justru tertutupi gurat yang belum semestinya ada.
" Abang sadar kalau Abang berniat ngebunuh orang?" bisik Sena tersendat sembari menatap kedua mata Wira yang memerah. " Di dalam sana, itu anak Abang."
Wira menatap Sena dalam diam, namun sebutir air mata tergulir di pipinya.
" Masih kecil, Bang. Tapi dia udah punya tangan, udah punya kaki, udah punya mata, telinga juga. Dia akan dengar kalau Abang bilang sesuatu. Dia akan tahu kalau itu suara ayahnya." Sena terisak, " dan di dadanya yang nggak lebih dari telapak tangan Abang itu, ada jantung yang berdetak. Dia hidup. Abang mau ngebunuh dia? Dia nggak salah apa-apa, dia nggak tahu apa-apa dan Abang mau ngebunuh dia hanya demi ego Abang?"
" Tapi Abang belum siap, dek," ucap Wira serak. Sena menggeleng pelan.
" Sena nggak percaya abang belum siap. Karena abang memang nggak pernah suka sama yang namanya terikat. Abang takut kebebasan Abang hilang, kan?"
Wira terdiam. Cukup menjadi jawaban bagi Sena.
" Apa yang abang harapkan dari kebebasan itu, Bang?" tanya Sena kemudian, berusaha dengan sangat, menembus kabut yang selama ini melingkupi pikiran kakaknya. " Beberapa tahun lagi kalau Abang udah tua, mulai sakit-sakitan, siapa yang bakal Abang mintai tolong? Cewek-cewek di klub? Jangankan sakit-sakitan, Abang melarat aja mereka udah nggak sudi deket-deket!"
Sena berusaha menguatkan diri. Gadis itu mengusap lembut pipi Wira.
" Sekarang, sebelum terlambat, perbaiki hidup Abang. Perbaiki semuanya," ucap Sena mantap, " Nikahi Hestia, cari kerjaan yang baik, rawat keponakan Sena. Dia titipan Tuhan. Abang tahu berapa banyak pasangan di luar sana yang belum dikaruniai anak sama Tuhan? Mereka melakukan berbagai cara hanya untuk bisa punya anak, Bang. Dan sekarang ketika Tuhan nitipin dia buat Abang, apa Abang bakal buang dia begitu saja? Siapa tahu kelak dia justru jadi anak yang bisa menyelamatkan Abang di masa depan."
" Tapi dia anak nggak bener, Na. Kita bahkan belum nikah, kita bahkan--" tukas Wira tergagap. Sena menggeleng pelan, begitu lelah akan Wira yang masih saja mencari pembenaran. Kentara sekali kakaknya terlihat putus asa. Padahal Wira tidak pernah terlihat selemah ini. Kakaknya selalu tampil sempurna, sehingga Sena cukup tahu kakaknya bukanlah laki-laki yang lemah dalam hal berpikir. Paling tidak, menggunakan logika.
Tapi sekarang, agaknya semua situasi ini menutupi kejeniusan laki-laki itu untuk berargumentasi.
" Yang nggak bener itu kamu sama Hestia. Lo punya sperma, Hestia punya ovum! Ketemu, jadi orang! Nggak benernya di mana? Ha?" hujam Sena kembali emosi. " Dia nggak salah apa-apa, Bang. Kalau lo nyalahin dia, berarti lo yang bego!"
Kali ini, Wira bungkam. Kembali, air mata menetes dari matanya.
" Sekarang, yang harus Abang lakuin adalah berdamai dengan kenyataan. Cukup Abang tahu kalau Tuhan masih kasih kesempatan Abang buat berbenah, jadi gunakan kesempatan itu baik-baik. Siapa tahu lima menit lagi Abang mati dan Abang belum sempat tobat, nggak nyesel?"
" Apa—apa harus nikah? Kita nggak bisa cuma, living together aja gitu, Na? Nikah itu terlalu mengikat. Kita tetap akan ngasih perhatian sama anak, Na," Wira mengatakannya dengan nada memohon.
Sena menggeleng, " Kasihan anak kamu nanti, Bang. Nikah itu bukan cuma status. Pernikahan juga melindungi keluarga kamu!"
Wira menghembuskan nafas berat.
" BULLSHIT!" Serunya tiba-tiba hingga membuat Sena terkejut. Laki-laki itu mengusap rambut dan wajahnya dengan kasar, kemudian ia menatap Sena dengan tajam.
" Abang kira pikiran kamu bisa lebih terbuka, Na. Tapi nyatanya kamu kolot kayak Mama." Wira tersenyum lagi. Senyum yang terlihat gelap dan jahat dengan kepedihan tersirat di matanya." Semua ini cuma tentang uang. Abang nggak punya uang, makanya orangtua Hestia bisa seenaknya ngancem Abang! Oke, kalau itu maunya kamu sama Mama. Cuma nikah aja, kan? Tinggal cerai, gampang. Yang penting nikah dulu buat—"
Sena menampar Wira sekuat tenaga hingga wajah laki-laki itu terlempar.
" Abang ngomong apa, sih? Hah? Masih mau mikir begitu?" desis Sena ketika cekikan di lehernya menguat.
Namun Wira hanya mengangkat bahu, mengabaikan pipinya yang mulai memerah karena tamparan Sena untuk kesekian kali. Laki-laki itu menatapnya dingin. Seolah jiwa yang ada di dalam sana sudah mati.
" Punya anak nggak begitu ngaruh ke gue. Badra aja bisa pergi dari Mama, kenapa gue nggak?"
Sesak. Sena sesak bukan main. Wira mengatakannya tanpa beban, seolah sedang mengomentari sesuatu yang tidak penting.
" Bang, lo bener-bener..." gumam Sena dengan mata berkaca. " Apapun keputusan lo, Bang, jangan pernah maksa Hestia ngegugurin kandungannya! Demi Tuhan, itu anakmu!"
" Memangnya lo berharap apa, Na? Laki-laki mana yang kuat hanya dengan satu wanita? Laki-laki mana yang nggak bosen tiap hari ketemu yang itu-itu doang? Hah! Lo pengen gue nikahin Hestia, oke! Lo pengen gue nggak ngegugurin anak gue, oke! Nggak ada masalah! Tapi lo juga nggak berhak ngelarang gue buat ngelakuin apa yang gue inginkan, Na. Ini masalah gue sama Hestia! Lo sama Mama nggak perlu ikut campur!"
Sena terhuyung satu langkah ke belakang. Karena tiba-tiba saja, dirinya takut menghadapi abangnya sendiri.
"Sena nggak bisa ngomong apa-apa, Bang, Sena—" Sena terisak keras sembari menatap Wira yang menghadapinya seperti setan bermata merah, " minta satu hal, jangan sakiti mama lagi. Kalau Sena dengar sekali aja mama nangis, Sena bawa mama pergi dari sini!"
Namun Wira hanya mendengus geli.
" It's in our blood, isn't it?" kekeh Wira tertawa lepas seperti orang gila. " Men and infidelity."
**
" Oh God, oh please! Oh God, oh no!"
Lamunan Sakti terusik oleh gumaman gila dari Bayu. Seketika itu juga Sakti memejamkan mata, menyadari bahwa sedari tadi ia hanya melotot pada paragraf yang sama.
" Sakti, kamu ketahuan...balikan lagi...sama Nathalie...bekas pacarmu o ow!" Bayu membungkuk dengan kedua sikunya bertopang di tepi meja Sakti, menahan dagunya dan mengedip-ngedip manja pada Sakti.
" Ketahuan CCTV?" tanya Sakti berat.
" Ya iyalah lo geblek! Ngapain nyosor-nyosor di lobi? Nggak bisa ditahan apa sampai kamar? Err, oke, nggak usah didengerin. Gue tahu siapa yang nyosor dan siapa yang disosor, kok."
Bayu segera menanggalkan ekspresi konyolnya ketika Sakti menatap dirinya dengan datar. Sebuah ekspresi setenang permukaan danau adalah ekspresi paling perlu diwaspadai dari seorang Sakti. Karena bisa saja saat ini dia sedang menyusun rencana memasukkan koding-koding laknat ke sosial medianya dan menghancurkan nama baik Bayu sebagai salah satu blogger terkenal hanya dalam satu kedipan mata.
Belum lagi ada yang berbicara, pintu ruangan terbuka. Menampakkan seorang wanita dengan setelan kerja profesional, berjalan ke arah mereka selevel para model victoria's secret. Seketika itu juga, Bayu yang merupakan satu-satunya orang selain Sakti segera melenggang keluar ruangan.
" Kamu belum pulang?"
Basa-basi adalah hal yang aneh jika keluar dari mulut seorang Nathalie. Namun Sakti hanya menatapnya dengan datar. Seraut kemarahan hadir di wajah tenang itu, tapi Nathalie sangat mengenal Sakti untuk bisa mengatakan bahwa Sakti adalah laki-laki dengan pengendalian diri nomor satu yang pernah dikenalnya. Maka dengan gemulai, Nathalie meraih sebuah kursi dan duduk di samping Sakti dengan kaki saling bertumpu.
" Keluar, Nath. Kamu bisa bikin Tirta salah sangka," ucap Sakti membuka kembali sebuah bendel yang berisi proposal proyek baru mereka.
" Jangan sebut namanya. Aku sedang membencinya!" tukas Nathalie. " Dan kamu, apa kamu nggak mau ngomong sesuatu tentang kejadian kemarin?"
" Untuk apa?"
Nathalie bungkam sejenak, " Apa kamu selalu sebodoh ini?"
Mendengar getar samar di suara Nathalie, akhirnya Sakti menoleh.
" Kamu mau bicara apa, Nath?" tanya Sakti akhirnya. Sepasang mata tenang itu menatap Nathalie dari balik kacamata oversized miliknya.
Nathalie membalasnya dengan tajam. Sungguh, ketenangan Sakti saat ini sangat mengganggunya.
" Aku nggak pernah benar-benar berselingkuh dengan Tirta," ucapnya pelan. " Aku nggak pernah benar-benar memilihnya. Kalau saja waktu itu kamu ambil diklat ke Singapura..."
" Tidak pernah benar-benar berselingkuh?" potong Sakti. " Nath, you erased every messages on purpose, you kissed him behind my back, you lied to me whenever you go with him. You lied, Nath. Hubunganmu dengan dia, sudah lebih dulu daripada tawaran diklat ke Singapura. Bagaimana bisa kamu jadikan itu sebagai alasan?"
Nathalie terdiam.
"Kamu mengakui semuanya di depanku. Apa kamu lupa?" sahut Sakti masih dengan ketenangan yang nyata, " Kamu akan selalu menemukan alasan untuk membenarkan tingkahmu, Nathalie Diomira. Akan selalu seperti itu. Tapi seperti yang kamu bilang, itu sudah satu tahun yang lalu. Apa lagi yang mau kamu bahas? Apa kamu masih mau bikin skandal lagi di kantor?"
" Karena aku merasa lebih nyaman dengannya, Sakti," kata Nathalie bertahan. " Dia lebih bisa mengerti aku."
" Look, he is better than you, Sakti. Aku lebih nyaman bersamanya. Dia lebih mampu mendukungku. Dia lebih mampu membahagiakanku. Jadi aku harap kamu tidak perlu membahas ini seperti anak kecil yang baru saja putus cinta. Kita sudah dewasa. Now, let me go."
Sakti terdiam sejenak kala ucapan Nath setahun lalu mintas di ingatan, kemudian kembali menekuri tulisan di tangannya.
" Kalau memang kamu merasa begitu," ucap Sakti singkat.
Karena mendebat orang yang membandingkannya dengan orang lain itu sangat tidak perlu. Sakti masih hafal apa saja kelebihan Tirta dibanding dirinya menurut Nath. Dia tidak perlu mendengarnya lagi.
" Sekarang tolong keluar, Nath. Kamu mengganggu."
Nathalie tertawa sarkatis, " Lihat! Sekarang kamu saja egois begini! Jadi jangan salahkan aku kalau aku cari orang yang lebih baik daripada kamu!"
Sekali lagi, Sakti menghembuskan nafas. Ia kembali menatap Nathalie.
" Apa kamu pernah dengar aku menyalahkan kamu?" tanya Sakti menawan Nathalie dalam tatapan tenangnya. " Kamu yang meminta kita berakhir. Aku mempersilahkan kamu pergi sesuai keinginanmu, Nath. Sekarang keluar dari sini. Jangan sampai Tirta berpikir macam-macam lagi."
" Sakti Samudra, you're the cruelest man in the world! Kalau kamu memang menganggapku seberharga itu, kamu tidak akan semudah itu melepasku!" bentak Nathalie hilang kendali.
" Terserah kamu, Nath," ucap Sakti datar dengan pandangan menyusuri kata demi kata.
" Apa kamu nggak pernah bertanya-tanya apa kurangmu sampai aku meninggalkan kamu?" Nathalie mengepalkan tangan. " Apa kamu memang sesombong itu?"
Sakti memejamkan mata. Akhirnya ia melepas kacamata dan memijit pangkal hidungnya. Sungguh, ocehan Nathalie membuatnya sedikit sakit kepala.
" Aku minta maaf kalau aku punya banyak kekurangan bagimu, Nathalie. Aku juga minta maaf bila aku tidak mampu membahagiakan kamu seperti yang kamu mau." kata Sakti kemudian. " Tapi di matamu, aku akan selalu punya banyak kekurangan. Aku bukan laki-laki yang bisa baca pikiran kamu, Nath. Kalaupun kamu memang ingin aku tahu kekuranganku, kamu bisa bilang. Kalau kamu merasa tidak lagi bisa bahagia denganku, kamu bisa bilang dan kita berpisah baik-baik. Apa harus lewat berselingkuh hanya untuk memberitahu bahwa aku punya banyak kekurangan? Ketika kamu memutuskan pergi karena ada orang lain yang lebih bisa membahagiakan kamu, apa aku harus menahan kamu? Apapun alasanmu, Nathalie, kamu sudah mengkhianati hubungan kita."
" Karena Tirta memang lebih baik daripada kamu! Dia mau berjuang demi aku! Dia mau berubah demi aku! Tidak seperti kamu yang begitu saja membiarkanku pergi dari hidup kamu tanpa ada upaya merebutku lagi! Kamu memang seegois itu!" hujam Nathalie dengan nada meninggi.
" Koreksi, Nathalie. Dia berjuang untuk merebutmu dariku. Dia berubah demi merebutmu dariku. Kamu membiarkan diri kamu terebut," ucap Sakti tenang. " Dengan kamu yang berpikir bahwa Tirta lebih baik daripada aku, kamu tidak akan pernah tahu usahaku untuk memperjuangkan kamu."
" Memperjuangkan, katamu? Aku tidak pernah melihat perjuanganmu untuk merebutku lagi, Sakti!" Geram Nathalie tidak terima.
" Karena aku memang tidak pernah berjuang untuk merebutmu. Aku berjuang untuk mempertahankan kamu. Ketika kamu tetap memilih pergi, perjuanganku berhenti." Sakti menjawab di bawah tatapan murka Nathalie.
" Iya kan! Kamu memang tidak pernah berjuang agar aku mau kembali lagi di hidupmu! Jadi harusnya kamu tahu jika Tirta lebih mau memperjuangkan aku dibanding kamu! Dia lebih baik dari kamu! Dia berusaha mendapatkanku!" hujam Nathalie.
Sakti benar-benar menghembuskan nafas panjang. Perdebatan ini tidak akan pernah selesai. Nathalie akan selalu menyalahkannya, mencari pembenaran akan perselingkuhannya. Dan Sakti cukup tahu jika meladeninya adalah hal sia-sia.
" Untuk apa aku menahan orang yang memang ingin pergi, Nathalie?" tanya Sakti akhirnya, " Jika Tirta memang memperjuangkanmu sebesar itu, kamu tidak perlu meminta tolong untuk menyadap ponsel Tirta. Just believe in him anyway."
Nathalie mengerjapkan mata ketika kata-kata Sakti melukai egonya. Namun ia bertahan. Wanita itu meraih kemeja Sakti hingga Sakti menoleh kembali padanya.
" Lupakan tentang Tirta sebentar saja. Seperti yang aku bilang kemarin, aku ingin kita kembali bersama, Sakti."
*TBC*
Btw, Wira is our badboy. Ada yang minat jadi pawangnya? 😍
Huehehe...happy weekend. Semoga selalu bahagia ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro