Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 24. Kegilaan Para Lelaki

Demam ini membuat Sena gila.

Lihat saja, sekarang dirinya sedang berdiri di ujung lorong, melihat ke arah punggung tegap laki-laki jangkung yang lagi-lagi berdiri di depan rak leaflet dengan kedua tangan disisipkan ke dalam saku.

Benar-benar. Dia baru tumbuh seujung kuku. Tapi mengapa rasanya sangat sulit dimusnahkan? Sena menggelengkan kepala, mengusir segala khayal yang beterbangan di otaknya dan berjalan mendekati Sakti.

" Mas Sakti ngapain di sini? Temannya ada yang sakit?" tanya Sena begitu mereka bersisihan.

Sakti menoleh cepat ke arahnya dengan sedikit terkejut. Kemudian ia tersenyum dan menghadap Sena, " Aku jemput kamu, Na."

Sena memandang Sakti beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan.

" Nggak perlu repot-repot, Mas. Memangnya Mas Sakti udah boleh pulang?"

" Aku pulang awal. Tadi aku antar kamu, aku juga yang jemput kamu."

Sena menghembuskan nafas pelan, kemudian akhirnya ia menoleh ke arah Sakti, " Sejak kapan di sini?"

Karena Sakti tidak mengirim kabar bahwa dia akan menjemput Sena. Sena juga tidak memberitahunya apakah dia pulang sesuai jam pulang atau tidak. Jadi sejak kapan laki-laki itu mengunggu?

" Belum lama. Jadi, pulang sekarang?"

" Hmm," ucap Sena merapatkan jaket di tubuhnya. Gadis itu melangkah lebih dulu, berusaha menjauh dari radiasi kehadiran Sakti yang begitu terasa baginya.

Tuhan, jika Sena bisa mengulang waktu, dia tidak akan mengizinkan dirinya terlalu dekat dengan Sakti. Dia tidak akan meminta bantuan Sakti akan laptopnya. Dia tidak akan menerima ajakan makan siang Sakti. Dia tidak akan melakukan apapun yang mempunyai hubungan dengan Sakti.

" Gimana keadaanmu?" tanya Sakti ketika mobil sudah menapak ke jalan raya.

" Mendingan," jawab Sena yang bersandar di kursi yang agak ia turunkan hingga punggungnya terasa lebih nyaman. Itu benar. Setelah makan siang super yang dibawakan Sakti tadi, dirinya merasa agak mendingan. Sena tidak kepingin tahu darimana Sakti tahu bahwa dirinya suka sup jamur dan waffle serta es selasih dari café di depan rumah sakit. Bisa-bisa jawabannya membuat Sena tidak tidur lagi.

" Tidur saja dulu. Ada perbaikan jalan di depan. Kemungkinan besar macet," kata Sakti seraya menangkup dahi Sena dengan telapak tangan.

Dan Sena yang tengah berada di ambang kesadaran hanya membiarkannya saja. Karena nyaman dan hangat terlalu menguasai hingga Sena enggan menepis tangan yang sedang menyentuhnya dengan lembut itu. Gadis itu menoleh pada Sakti, yang masih menangkupkan tangannya di dahi Sena sementara fokus laki-laki itu ada di jalanan.

Dari samping sini, siluet Sakti yang tidak berkacamata terlihat sedikit berbeda. Dia menyukai rambut Sakti yang sedikit acak dan rebah dalam posisi yang menarik, dia menyukai bagaimana pangkal hidung itu berlekuk sebelum timbul kembali demi membentuk tulang hidung yang lurus dan mancung, dia menyukai bagaimana sorot serius laki-laki itu kala fokus pada situasi di depannya, dia menyukai bagaimana lengan kemejanya tertekuk sedikit di atas pergelangan tangan, juga jemari yang menggenggam pasti roda kemudi itu. Dan dia juga menyukai rasa hangat di dahinya yang belum kunjung raib.

Sesaat, hanya sesaat sebelum ketidaksadaran merenggutnya, sebuah pemikiran melintas di pikirannya seperti sebuah komet yang melintasi langit hanya dalam sepersekian ratus detik.

Jika dia tidak pernah tahu rasanya patah hati, dia tidak akan berpikir dua kali untuk menjatuhkan hati pada laki-laki ini.

Pasti rasanya menyenangkan.

**

Sena terbangun ketika samar-samar ia mendengar suara klakson yang teredam. Gadis itu mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan fokus. Lalu ia tersadar jika ia masih berada di dalam mobil dengan jendela terbuka.

Hal pertama yang disadarinya adalah dia berada di sebuah pelataran luas, dan sendirian, hanya tertemani satpam di dalam biliknya dan beberapa mobil lain di kanan kirinya. Sakti sudah menghilang dari balik kemudi. Sena menegakkan diri, hanya untuk menemukan sebuah notes tertempel di kaca.

" Ada panggilan mendadak. Hanya sebentar. Tunggu, ya. Atau kalau mau, kamu bisa ke lantai empat. Aku ada di sana. Maaf. Kunci mobil ada di ranselmu."

Jadi dia berada di Aztec? Sena selalu mengagumi gedung Aztec yang terlihat bahkan dari jarak jauh. Dari lantai teratas rumah sakitnya, Aztec adalah satu-satunya gedung yang mampu terlihat dari sana saking tinggi dan warnanya yang mengundang pandangan. Dengan seluruh kaca yang hampir menutupi setiap sisi bangunannya, membuatnya seperti batu safir yang berkilau di bawah birunya langit. Didesain dengan gaya futuristik, sangat memanjakan mata dan membuat iri banyak pegawai berdasi, berharap mereka juga bisa menapakkan kaki ke bangunan ini barang sejenak saja.

Sena mengusap hidung kala aroma bahan bakar tercium olehnya. Tidak tajam, tapi cukup mengganggu. Sepertinya terlalu lama di sini juga tidak baik untuknya. Padahal dilihat dari jalan raya yang jelas-jelas ada di depannya, dia sedang tidak berada di arena parkir Aztec.

Sepertinya menunggu di lobi lebih baik daripada harus menghirup aroma bahan bakar di sini.

Tentang lantai empat dimana Sakti berada? Jika Sena ke sana, itu sama saja bunuh diri. Untuk apa dia ke sana?! Lebih baik di lobi saja, lebih sopan dan lebih aman.

Gadis itu kembali membaca notes tanpa bisa menahan senyum kecil bibirnya. Sakti pasti merasa enggan untuk membangunkannya, dan Sena berterima kasih untuk itu karena sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik. Ia memperbaiki penampilannya di kaca, mengirim pesan pada Sakti bahwa ia akan menunggu di lobi saja.

Matahari sudah siap kembali ke peraduan ketika Sena memastikan mobil sudah terkunci dengan aman. Kantor itu lengang. Bahkan lobi terlihat kosong. Kemudian, gadis itu mengedip pada salah satu foto yang terpajang di lobi. Sena menelengkan kepala dan terkekeh. Itu jelas-jelas Sakti. Berdiri di balik podium dengan balutan jas resmi dan kacamata bundarnya, membelakangi layar super besar yang berisi bahasa komputer yang jelas tidak dipahami Sena. Gambar itu diambil dari samping sehingga menampakkan siapa yang tengah dihadapi Sakti. Beratus orang, sebagian besar berwajah khas orang Jepang, sedang menyimak serius ke arahnya.

Ketika kata 'seksi' melintas di benaknya, Sena mengalihkan pandangan agar otaknya tidak bertambah gila.

Tidak seharusnya dia memberi label 'seksi' pada tetangganya!! Menggosok keras pelipis, Sena berjalan cepat menuju salah satu tempat duduk empuk di salah satu sisi lobi.

Namun langkahnya berhenti ketika sesuatu dari lorong sebelah kanan memasuki pandangannya.

Dan Sena membeku.

Sakti di sana, dengan kedua tangan di kanan kiri Nathalie hingga memerangkap Nathalie ke dinding, menunduk dan mencium Nathalie sementara tangan Nathalie berkalung di leher Sakti.

Sena terhuyung ketika dirinya mengambil satu langkah ke belakang. Langkah kakinya yang menghentak bergaung di lobi kosong itu. Membuat dua insan itu menoleh ke arahnya secara bersamaan.

" Na..." Sakti buru-buru melepas tangannya dan berjalan cepat ke arah Sena.

" Maaf, aku cuma mau duduk..." gumam Sena terbata. Namun ketika ia melihat warna merah tersamar di bibir Sakti, sebuah denyut menyakitkan hadir di dadanya hingga Sena berbalik dan berlari keluar.

Sena menelan ludah, memerintahkan kesadarannya tetap berada pada masa kini sementara memori usang berusaha mendera fokusnya hingga bayangan Raras dan Dirga mulai menari di hadapan Sena.

Dan secepat itu pula, pandangannya mengabur.

" Sena!"

" Sena, aku bisa jelaskan--" Sakti mengulurkan tangan pada Sena, namun gadis itu menghindar. Ia mengambil tasnya dari dalam mobil Sakti.

Karena kalimat 'aku bisa jelaskan' adalah kalimat sejuta umat peselingkuh, pembohong dan sejenisnya untuk mencari pembenaran akan tindakan mereka.

" Aku...pulang pakai taksi saja," ucap Sena menatap kemanapun selain kepada Sakti.

" Sena, kamu nangis."

Benarkah? Gadis itu mengusap pipinya dan menemukan air mata di sana. Tidak, tidak. Untuk apa dia menangis?

" Bukan," ucap Sena mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi.

" Sena—"

" Diterusin aja, Mas. Maaf aku mengganggu." kata Sena masih mencari kontak perusahaan taksi online dengan tangan yang mulai gemetar hebat. Cekaman rasa takut itu mulai menguasainya.

" Kejadian tadi menyakiti kamu."

" Haha, ngapain juga!" tawa Sena, " Jadi kalian balikan? Bagus, deh. Nggak perlu—Mas Sakti!"

Sena mengusap matanya dengan kasar dan mendelik pada Sakti yang merebut ponsel dari tangannya. Ia berusaha meraih ponselnya lagi, namun Sakti meraih tangan Sena dan menariknya ke dalam pelukan.

" Kamu itu maunya apa sih, Na?" bisiknya pelan di telinga Sena sembari mengeratkan pelukan, membuat waktu terhenti kala aroma mint melingkupi seluruh pori tubuhnya hingga membuat Sena sesak. Dalam sepersekian detik, pikiran gila gadis itu mendamba agar Sakti bisa menjelaskan apa yang telah terjadi hingga dirinya tidak perlu ketakutan seperti ini.

Tapi bekas lipstik di bibir Sakti sungguh mengganggunya.

"Ini apa-apaan! Aku bisa laporin ini sebagai tindak pelecehan!" seru Sena mendorong Sakti sekuat tenaga hingga laki-laki itu melepaskannya dan menyahut ponsel dari tangan Sakti.

" Untung saja aku lihat, kan?" kata Sena dengan gemetar yang mulai tidak mampu ia kuasai. " Hampir saja aku jatuh, Mas. Hampir saja!"

Sena berjalan cepat ke pelataran dimana ia melihat sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang. Gadis itu melambaikan tangan dan masuk ke dalam taksi dengan cepat tanpa repot-repot menoleh.

Sentuhan Sakti laksana berton-ton es batu yang disiramkan ke tubuh Sena. Begitu terasa dan membuatnya menggigil. Sena perlu mengerjap berkali-kali demi membawa seluruh kesadarannya kembali ke bumi. Dia perlu menghirup nafas sebanyak-banyaknya demi melepas ikatan sesak ini. Gadis itu mengusap keras kedua bahunya, berusaha mengusir dingin yang tiba-tiba saja melingkupinya. Dia ketakutan. Amat sangat ketakutan.

Untung saja dia tidak membiarkan tunas itu tumbuh semakin besar. Ketika Sakti mengatakan semuanya pada Sena, laki-laki itu terlihat sangat meyakinkan. Dalam baluran air mata yang tidak disadarinya, Sena tertawa pelan. Memaki diri sendiri kala serpihan kecil dirinya menaruh kepercayaan pada Sakti.

Sakti hanya manusia, dengan masa depan tidak teraba.

Bahkan ketika tunas itu masih sekecil ini, rasa sakit yang ditimbulkan sudah luar biasa menyakitkan. Gadis itu masih bernafas cepat melalui mulutnya, berusaha meredam perih yang terasa familier di dada.

Ponsel Sena yang ia lemparkan sembarangan di kursi mendadak berdering. Sena meliriknya dengan dingin, sangat yakin jika ia akan menemukan nama Sakti di sana. Namun dia justru menemukan nama Shinta.

Sena mengerutkan kening. Tumben sekali mamanya menelfon. Menenangkan diri, Sena mengangkatnya.

" Halo, Ma? Ada apa? Mama sehat, kan?" tanya Sena senormal mungkin.

" Sena, kamu bisa pulang, nak?" Suara ibunya bergetar, menandakan bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. Punggung Sena menegak, ketika dirinya diserang kepanikan.

" Mama kenapa?" tanya Sena segera.

" Sena, kamu bisa pulang, Nak? Mama—nggak ngerti lagi..."

Kata-kata Shinta terjeda oleh isakan yang tercipta, membuat seluruh kepanikan Sena terpusat pada Shinta.

" I-iya, Ma. Sena pulang sekarang. Mama...Mama kenapa? Mama sakit? Minta tolong Bang Wira--"

" Abangmu, nak...sini, kamu pulang sebentar saja...temani Mama."

" I-iya Mama. Mama jangan panik, oke? Sena langsung pulang!" ucap Sena tegas sebelum menutup telfonnya.

Gadis itu mengusap wajahnya dengan cepat. Sakti dan sebagainya tidak penting. Dia harus segera pulang. Wira. Ada apa dengan kakaknya?

Sebenci apapun Sena pada Wira, tetap saja Wira adalah kakaknya. Dia tetap merasa khawatir jika terjadi apa-apa pada Wira.

Sesampainya di kontrakan, ia meminta taksi tadi untuk menunggunya. Gadis itu segera mengemasi barangnya. Hanya butuh waktu sebentar sebelum Sena kembali keluar.

" Mau kemana?"

Sena menoleh, hanya untuk mendapati Sakti yang baru saja keluar dari carport. Laki-laki itu menyahut tangan Sena dan menatapnya tajam.

" Pulang," Sena menghempaskan tangan Sakti dengan keras dan menuju taksi.

**

Malam sudah semakin larut ketika Sena sampai di stasiun kampung halamannya. Gadis itu sudah memberitahu Wira, yang berkata akan menjemputnya. Tidak butuh waktu lama dia melihat Wira.

Atau begitulah yang ia kira.

" Bang Wira!" Sena terbelalak ketika ia memastikan apa yang tengah dilihatnya.

Laki-laki yang bersandar di dinding itu tersenyum.

" Halo, adeknya Wira yang paling manis," ucapnya sembari meraih koper dari tangan Sena. "Ayo pulang."

Namun gadis itu kehilangan kata-katanya. Alih-alih menyerahkan koper pada tangan Wira yang terulur, gadis itu mundur.

Karena Wirawan Hardiwinata yang dia kenal tidak seperti ini. Oh, jangan berpatok pada terakhir kali Sena pulang. Karena abangnya lebih memilih tinggal di apartemen dan bersenang-senang daripada menemui Sena yang pulang kampung.

Seperti tengah berhadapan dengan sesosok tengkorak, kulit yang tadinya sehat kini tampak menyusut ke sela-sela tulang, kusam dan kehilangan kesegarannya. Wajah yang tampan kini hanyalah sisa-sisa di ingatan ketika di hadapan Sena, wajah itu justru tampak mengerikan. Matanya cekung, kehilangan binar antusiasmenya, dan terdapat lingkaran hitam di bawah mata yang mencapai pipi. Pipinya pun kempot, tidak lagi berisi seperti dulu. Tubuhnya yang terbalut jaket itu tidak lagi berdiri tegap, namun sedikit membungkuk, seakan Wira kehilangan abs-abs yang dulu selalu ia jaga dengan pergi ke gym seminggu sekali. Rambut yang dulu selalu rapi dan terawat kini tampak kusut berantakan.

Kemana Wira yang selalu tampak mempesona hingga Sena membencinya?

Agaknya, Wira mengerti reaksi Sena. Karena lagi-lagi dia tersenyum.

" Di rumah saja. Ayo pulang, Mama udah nunggu dari tadi," kata Wira pada Sena yang mematung.

" B-bang Wira?" Masih saja, Sena ingin memastikan.

Gerakan Wira terhenti ketika menyadari suara Sena yang terpecah. Laki-laki itu sekali lagi menatap ke arah Sena.

" Iya, ini Abang, Sena. Devasena Gayatri. Adek Abang yang paling cantik, paling manis," ucap Wira dengan nada yang sungguh ingin membuat Sena menangis saat itu juga. Sebenarnya apa yang terjadi?

" Ke-napa?" cicit Sena mengerjap. " Abang kenapa?"

Wira terdiam sejenak, kemudian ia mengulurkan tangan untuk menyentuh puncak kepala Sena.

" Nanti saja di rumah," ujarnya pelan. " Kamu jadi tambah cantik."

Yakin seratus persen! Ini bukan kakaknya! Wirawan Hardiwinata tidak pernah memujinya barang sedikitpun. Laki-laki itu bahkan tidak pernah tersenyum penuh kehangatan seperti yang baru saja dilakukannya.

Namun akhirnya, Sena membiarkan Wira meraih kopernya. Laki-laki itu bahkan menggandeng tangan Sena. Sesuatu yang tidak pernah Wira lakukan.

Selama ini, mereka tidak pernah sedekat itu sebagai saudara. Mereka bahkan tidak pernah ada waktu bersama. Wira selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Kehidupan Wira terlalu tak tersentuh bagi Sena. Dia tidak pernah paham dengan teman-teman Wira. Dia tidak pernah paham dengan cara Wira menikmati hidupnya. Mereka tidak saling mengganggu, tidak saling mencampuri urusan yang lain.

Meskipun demikian, Wira adalah orang yang paling murka ketika Dirga menyakiti Sena. Dia menghajar Dirga sampai anak itu nyaris pingsan. Sesuatu yang bagi Sena biasa saja, karena toh kakaknya tidak jauh berbeda.

Bungkam. Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan ke rumah.

Sena diserang kepanikan. Sebenarnya ada apa dengan keluarganya? Selama ini Shinta selalu berkata semua baik-baik saja jika Sena menelfonnya. Mamanya bahkan selalu bercerita aktivitasnya seharian dengan penuh antusias, membuat Sena bersyukur bahwa mamanya bisa kembali menjalani hidup dengan baik.

Mereka sampai di rumah. Rumahnya. Rumah yang membangkitkan sejuta kenangan bagi Sena. Namun bukan itu yang membuat Sena terpaku.

Sebuah tenda berwarna putih dengan aksen merah telah berdiri di pelataran rumahnya. Lengkap dengan beberapa kursi berukir yang tersusun rapi di bagian depan, dihiasi rangkaian bunga meriah di atasnya.

" B-bang, siapa yang mau nikah?" tanya Sena takut-takut. Namun Wira tidak menjawabnya. Saat itu, seorang perempuan muda muncul dan membukakan pagar bagi mereka. Sena hanya akan berasumsi dia pembantu Shinta sebelum ia menyadari perutnya yang membuncit.

Seketika itu juga, seluruh udara terenggut dari paru-parunya.

Kakaknya bergeming. Ia fokus menjalankan mobil menuju garasi. Sampai di sana, dia menurunkan seluruh bawaan Sena dan menuntun Sena ke dalam rumah. Sena menurut saja, karena saat ini, pikiran Sena terlalu penuh dengan asumsi-asumsi negatif.

" Mama!" Sena segera menghambur ke arah wanita separuh baya yang sangat Sena rindukan. Shinta tersenyum dengan mata berkaca. Ia memeluk Sena dengan erat.

" Mama kenapa kurusan?" Isak Sena tidak bisa lagi membendung air matanya. Namun kemudian, ia mendengar Shinta terisak di bahunya.

" MA?" seru Sena. " Mama kenapa?"

Shinta hanya menggeleng dan terus memeluk Sena.

" Bang, jelasin sama Sena," pinta Sena tajam ketika Wira muncul diikuti perempuan tadi. " Ada apa ini? Dia siapa?"

" Besok aja, Na. Ini udah malam," pinta Wira melirik pada Shinta yang masih memeluk Sena dengan erat.

Namun Sena menggeleng, " Abang pikir Sena bisa tidur? Mending sekarang jelasin ada apa, Bang? Kenapa Mama nangis gini? Demi Tuhan, ini ada apa?!"

Dilihatnya Wira melirik perempuan tadi, yang kini menunduk sembari memeluk perutnya.

" Ma..." panggil Wira pelan. " Ayo duduk dulu."

Seperti menunggu sebuah vonis di persidangan, Sena duduk dengan Shinta menggenggam erat tangannya. Sementara Wira dan perempuan tadi duduk berhadapan dengan mereka. Tidak ada yang memperdulikan larutnya malam atau hujan yang mulai membasahi tanah. Yang dipikirkan Sena saat ini adalah apa yang tengah terjadi di keluarganya.

" Besok abang nikah."

Saat itu, Shinta berdiri.

" Bilang semuanya sama adikmu. Mama ke dalam dulu," ucap Shinta dengan nada dingin yang tidak pernah Sena dengar keluar dari mulut mamanya.

" Ma..."

Namun Shinta melepaskan tangan Sena dan masuk ke dalam. Sena menelan ludah sejenak, kemudian kembali menoleh pada Wira.

" Abang mau nikah, oke," ucap Sena gemetar. Tidak sulit menyusun keping teka-teki sementara sedari tadi ada perempuan hamil yang mengikuti kemanapun Wira pergi. " Sama dia, kan? Umurnya berapa?"

" Hestia. Namanya Hestia Maharani. Dua puluh tahun," ucap Wira mengepalkan kedua tangannya yang saling bertaut. Ia mengusap rambutnya, tampak frustasi. " Ayahnya minta Abang nikahin dia. Tapi Abang nggak punya uang, Na."

Sebentar.

Seorang Wirawan Hardiwinata tidak punya uang? Oh iya, dia punyanya investasi, sih.

" Abang dipecat dari perusahaan lima bulan lalu. Abang—Hestia, kamu ke dalam dulu," ucapnya tertekan pada Hestia. Wanita itu mengangguk dan masuk ke dalam.

" Abang dipecat? Tinggal cairin semua emas Abang, beres. Bikin aja pesta pernikahan yang megah," ucap Sena dingin.

" Kamu nggak paham, Na. Abang bener-bener nggak punya uang. Seluruh investasi Abang udah habis. Acara besok itu pakai tabungan terakhir Abang," ucap Wira frustasi. " Nikah? Gue? God please! This shitty marriage is not me!"

Sungguh. Sena ingin sekali menampar kakak laki-lakinya ini.

" Lo itu gila apa gimana sih, Bang? Lo tiap malem tebar benih sana sini, lalu sekarang lo nyesel?" bisik Sena dingin. " Udah gue bilang dari dulu-dulu, Bang Wira! Sekarang ketika ada kejadian kayak gini, lo nyesel? Lo kaget?"

Wira mengacak rambutnya dengan kekuatan yang semakin besar. Lalu, laki-laki itu menatap Sena dengan tajam meskipun kedua matanya memerah.

" Nggak, gini. Abang...mau minta tolong sama kamu. Karena cuma kamu yang tahu masalah begini, Abang butuh orang dalam...Tolong kasih Hestia pil penggu—"

PLAK

" LO GILA!" Hujam Sena melotot pada Wira.

" IYA, GUE EMANG UDAH GILA!" seru Wira menatap Sena nyalang, "Bilang sama mama, Abang nggak akan pernah nikah! Bilang sama Hestia gugurin anak itu! Itu bukan anak Abang! Rumah sakit pasti salah!"

Sena mencengkram rambutnya sendiri, frustasi.

" Brengsek lo Bang!" hardiknya gemetar. " Brengsek banget! Brengsek banget!"

Untuk sesaat, seluruh kosa kata Sena hanyalah kamus yang berisi segala makian untuk Wira. Gadis itu menutupi wajahnya beberapa saat, berusaha menjernihkan pikiran meskipun saat ini beratus iblis tengah membisikkan kata-kata jahanam di telinganya.

Perlahan, Sena membuka mata. Hanya untuk mendapati Wira yang menjambak rambutnya sendiri dalam gestur yang sangat frustasi. Sena menelan ludah yang terasa kering, kemudian gadis itu kembali duduk.

" Rumah sakit," celetuk Sena gemetar. Namun gadis itu berusaha menguasai diri. " Lo udah tes DNA?"

Wira mengangguk, hanya untuk menyadarkan Sena bahwa laki-laki itu menangis.

" Mahal," Wira berkata serak. "Bujuk Hestia buat menggugurkan kandungannya. Kasih dia pil atau apalah. Karena gue nggak akan pernah mau nikahin dia."



*TBC*

Ini napa cewek-cewek gue pada suka nampar sih? 😒

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro