DEVASENA | 23. Bercanda Saja
" Ha. Ha. Ha. Lucu," tukas Sena singkat.
Sakti menghela nafas dalam, kemudian ia menepikan mobilnya di bahu jalan. Jelas, ini bukan pembicaraan ringan yang bisa dilakukan sambil mengemudi.
Sena mengerutkan kening, " Kenapa berhenti?"
" Karena aku serius." Sesuatu dalam suaranya membuat Sena menoleh kembali ke arah Sakti. Laki-laki itu tengah menatapnya, lekat.
" Mau mencobanya denganku?" tanya Sakti lagi, dengan ketegasan yang membuat Sena tidak mampu lagi mempertahankan ketenangannya.
Demi apapun, Sena sedang mencoba memunguti serpihan dunianya yang baru saja terkena supernova. Dia tidak siap dengan serangan apapun yang mungkin terjadi!
" Bagaimana?" tanya Sakti lagi pada Sena yang menatapnya tanpa berkedip.
" Mencoba apa? Mas Sakti ngomong apa, sih?" ucap Sena menghindar.
" Mencoba hubungan ini. Kamu dan aku, dengan komitmen," ucap Sakti tidak berminat menurunkan keseriusan dalam pandangannya meskipun ia tetap menatap Sena dengan tenang.
Gadis itu tertawa pelan, berusaha mengusir sesuatu yang mulai merangkak naik ke dadanya.
" Mas Sakti bercanda." Sena memalingkan wajah ke luar jendela dimana kegelapan melanda.
" Aku nggak bercanda, Devasena." Didengarnya Sakti bicara. " Aku merasa cukup mengenal kamu untuk bisa menilai bahwa aku ingin mencoba hubungan yang lebih serius dengan kamu. Jadi bagaimana kalau kita mencoba? Karena sepertinya aku nggak bisa menahan lebih lama untuk mengatakan ini sama kamu."
Sena mengerjap kala disadarinya matanya memanas. Saat itu juga Sena memalingkan wajah.
" Berhenti bercanda, Mas. Nggak lucu," ucap Sena pelan.
" Sena, hadap sini, Na. Aku sama sekali nggak bercanda." Sakti berkata lembut. " Kamu tahu kenapa aku minta kamu temani tadi? Karena nanti ketika aku bilang aku suka kamu, nggak ada lagi keraguan di hati kamu tentang aku sama Nath."
Sena menggeleng. Gadis itu masih menatap ke luar jendela.
" Jangan. Tolong bilang kalau kamu cuma bercanda, Mas."
Sena mengatakannya dengan sesak. Tidak, Sakti tidak boleh seperti ini.
" Nggak lucu, tau nggak?" Sena mengatakannya dengan bibir bergetar. " Bilang kalau kamu bercanda."
" Na..."
Namun Sena menggeleng. " Jangan, Mas. Itu bercanda, kan? Iya, kan? Kali ini candaanmu nggak lucu!"
Hening. Sakti sama sekali tidak menyahut. Yang justru didengarnya adalah suara pintu yang terbuka dan menutup kembali. Kemudian tiba-tiba saja, Sakti sudah berada di depannya dan membuka pintu Sena hingga mereka berhadapan.
Laki-laki itu menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku jumper, menatap Sena yang menangis bahkan tanpa gadis itu sadari.
Sakti mengeluarkan satu tangannya dari saku dan mengusap pipi Sena. Membuat gadis itu terpaku pada Sakti.
" Kamu mintanya aku bercanda atau serius?"
" Bercanda!" ucap Sena tersadar. " Bercanda saja. Aku nggak mau Mas Sakti serius!"
Iya, bercanda saja. Karena demi apapun, saat ini setiap senti tubuh Sena sedang dilanda ketakutan yang amat sangat.
Dia takut dengan sorot lembut Sakti yang memandangnya.
Dia takut dengan sentuhan hangat Sakti di pipinya.
Dan dia takut dengan rasa familier yang membuat jantungnya berdebar tidak tahu diri di dalam rongga dada. Karena jelas konklusi kedua yang ia dapatkan lebih mengerikan daripada konklusi yang pertama.
Sakti menghela nafas panjang. Lalu laki-laki jangkung itu membungkuk hingga wajah keduanya sejajar. Kini ia membebaskan kedua tangannya untuk menghapus aliran air mata yang mengalir dalam diam.
Sena bisa merasakan kedua telapak tangan Sakti menangkup pipinya. Besar, hangat dan menentramkan, dengan Sakti yang tidak menatap kemanapun selain tepat pada manik mata Sena. Mengirimkan denyut menyakitkan yang merobek dada gadis itu serupa pisau tumpul.
Tangis Sena semakin keras.
" Kalau begitu, aku bercanda," katanya dengan senyum samar terulas di bibirnya. " Tolong, jangan nangis lagi."
**
Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Gadis itu terpejam, namun tidak tidur. Karena, rasa takut itu masih sangat menguasainya.
Meskipun banyak orang yang bilang dia seperti anak kecil, sekonyol apapun dia, pada kenyataannya seorang Devasena Gayatri mempunyai usia mental seorang wanita dua puluh lima tahun. Tidak akan ada yang bisa menampik itu.
Maka tidak mungkin dia tidak mengenali rasa familier yang sedang ia rasakan.
Karena dulu, rasa itu pernah ada untuk Dirga.
Ternyata dia salah. Bukan Sakti yang menjadi penyebab semua kekusutan hati Sena belakangan ini, tapi dirinya sendiri, yang entah sejak kapan menganggap seorang Sakti Samudra berbeda.
Konklusi kedua yang lebih mengerikan daripada konklusi pertama yang tidak sengaja ia terka.
Karena Sena tahu dia bisa mengabaikan semua laki-laki di dunia ini, semuanya, kecuali jika dia juga terjatuh dalam lubang yang sama.
Dia pernah merasakan rasa itu, dan dia tahu betapa kuatnya rasa itu mempengaruhi hati manusia. Dia takut dengan kekuatan maha besar yang bisa tercipta. Bahagia tak terkira, obsesi tak terkira, pun sakit yang juga tak terkira.
Bodohnya, Sena bahkan tidak tahu sejak kapan jempol kakinya tergelincir dalam lubang penuh luka itu.
Ketakutannya tidak sesederhana itu, karena Sena tidak hanya takut untuk jatuh cinta.
Dia lebih takut pada masa depan yang tak mampu teraba manusia. Karena tidak ada satupun manusia yang menjamin apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak ada yang bisa menjamin pasangannya akan setia selamanya karena Sena tahu sekali, hati manusia sangat bisa terbolak-balik.
Dirga dulu pernah berjanji jika Sena adalah satu-satunya.
Badra dulu pernah berjanji dan bersumpah dalam ikatan suci pernikahan, tapi tetap, itu tidak mencegahnya berkhianat.
Lihat? Janji dan sumpah hanyalah sebuah kata. Bagaimana bisa Sena memberikan seluruh hidup dan matinya dalam genggaman manusia hanya karena dia bersumpah?
Bagaimana jika nantinya Sena sekali lagi tenggelam dalam rasa itu, terlena dalam indahnya rasa yang katanya bisa membuat bahagia, lalu ditinggal untuk mati beku seperti dulu?
Karena sakit yang ditinggalkan tidak main-main. Ada kalanya, Sena hanya ingin terdiam seperti boneka dan membiarkan waktu menelan dirinya. Ada kalanya, Sena sempat menganggap seluruh hal di dunia ini tidak penting dibanding rasa sakit yang membuat seluruh selnya berdarah-darah.
Rasanya dikhianati memang sesakit itu. Semenyiksa itu.
Maka, jangan.
Sena tidak boleh jatuh cin—apalah itu namanya! Dia tidak mau! Lagipula, dia yakin ini bukan cin—terserah! Ini hanya efek karena laki-laki itu punya perangai berbeda dengan laki-laki lain yang pernah dikenal Sena.
Dan Sakti juga tidak boleh jatuh cin—whatever itu padanya. Tidak boleh. Sakti hanya boleh jadi tetangga saja!
Karena semuanya akan jadi lebih sulit bagi Sena jika Sakti benar-benar jatuh cin—damn no! itu. Maka lebih baik, jika Sakti bercanda saja, kan?
Lebih dari itu semua, Sena sama sekali tidak percaya tubuhnya berkhianat. Sejak kapan ia merasa laki-laki itu berbeda? Sejak kapan jantungnya berulah hanya karena dia menatap sorot tenang di balik kacamata bundar itu? Sejak kapan ia merasa nyaman dengan kehadiran laki-laki itu? Sejak kapan---
Sena menangkupkan punggung tangan di matanya yang terpejam, menghembuskan nafas panjang dan merasa bahwa dia benar-benar gila.
Apapun itu, segala rasa ini harus segera berhenti. Karena Sena tidak akan pernah mau terseret lagi dan kembali hancur untuk kesekian kali.
Mengambil keputusan, Sena bangkit. Dia tidak boleh membiarkan dirinya melantur kemana-mana. Gadis itu meraih tali rambutnya dan menalikannya dengan cepat.
Cara paling ampuh untuk menenangkan pikiran adalah bersih-bersih. Kapan terakhir kalinya dia membersihkan ruangan dari depan sampai belakang, hah? Ah, dan dia juga harus memasak pesanan Ana. Bukankah ini saat yang tepat?
**
"....NA! DISURUH MBAK ANA SARAPAN BARENG!! NAAAA WOY BUKA PINTUNYA DONG!! LAPER NIH!"
Suara Rafi bagaikan guntur di langit biru. Kesadaran Sena terkumpul, membuat gadis itu perlahan membuka kelopak matanya yang terasa berat. Sungguh, seluruh tubuhnya terasa seperti habis dipukuli.
Pantas saja, karena Sena tertidur meringkuk di lantai ruang depan dengan merangkul gagang pel. Membiarkan dinginnya lantai menjadi alas semalaman dan kini sendinya berbunyi mengerikan. Ia memandangi sekeliling, pada ember kosong dan pada pel yang masih kering. Jadi ternyata, dia ketiduran sebelum sempat mengepel rumah.
Mengusap apapun yang ada di wajahnya, Sena berdiri dengan linglung dan tersandung ember kosong hingga terguling.
" NA?? KENAPA?"
Just get lost!
Menggaruk pipinya dan menyeret pel, Sena berjalan terhuyung ke pintu dan membukanya.
" Mas Rafi berisik!" gerutu Sena dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya. Gadis itu menggaruk puncak kepalanya, menuju pojok ruangan dan bergelung lagi di sana.
" Katanya lo masak brongkos, ya? Kata Mbak Ana dia pingin kita makan bareng. Jadi—lhoh, Na? Lo sakit?" tanya Rafi cemas ketika dilihatnya Sena bergelung dengan bibir pucat.
" Ngg...Mas Rafi jangan berisik! Makan aja, aku masih mau tidur," gumam Sena berguling hingga dahinya menempel di tembok. Dingin dan nyaman. Gadis itu memejamkan mata, bersiap tenggelam dalam kelamnya alam ketidaksadaran lagi ketika sebuah telapak tangan menempel di dahinya.
" Ck!" Sena menepisnya cepat, " Mas Rafi! Jangan ganggu! Aku butuh tidur! Pusing ini!"
" Kamu sakit kenapa tiduran di lantai?"
Demi mendengar suara itu, mata Sena langsung terbuka lebar. Sena menoleh dan mendapati wajah Sakti bernaung di atasnya, memandanginya dengan raut khawatir dan setengah emosi.
Langsung saja, jantungnya meledak.
Sena bangkit dan menjauh dari Sakti secepat mungkin dengan tatapan nanar.
" Kamu juga demam," ujarnya lagi mendekati Sena dengan tangan terulur. "Kenapa? Kurang tidur?"
Tanpa peringatan, seluruh bulu kuduk Sena berdiri kala hidungnya mulai terancam oleh aroma mint dari Sakti. Gadis itu melompat berdiri, tidak peduli pada ember yang bergulingan di lantai atau pel yang terjatuh di tengah ruangan. Ia berlari ke kamar dan mengunci pintunya.
" Lah, kenapa Na? Lo nggak ikut sarapan?" tanya Rafi. " Lhoh, kok dikunci? Lo kenapa, sih?"
" Aku mau istirahat! Jangan diganggu!" tukas Sena menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Dia menggigil. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdebar tidak manusiawi kala ketakutan melandanya tanpa ampun.
Dia takut pada Sakti, pada tatapan laki-laki itu, pada suara laki-laki itu, pada sentuhan laki-laki itu, pada perhatian laki-laki itu...dia takut pada apapun yang berhubungan dengan Sakti.
" Sena mana?" terdengar suara Ana memasuki ruangannya. " Ha? Sakit?"
" Sakit? Sena bisa sakit?" timpal suara Arga.
" Na, kamu sakit? Demam, ya?" Suara Yolla menimpali. " Mas, tolong ambilkan obat penurun panas di laci paling bawah. Sena nggak mungkin punya. Dia kan anti obat-obatan gitu!"
" Hmm. Tumben anak itu sakit. Biasanya juga penyakit yang takut sama dia," kekeh Gagah.
" Buka gih, Na. Ayo ikut makan dulu!" seru Rafi menghentakkan handle pintunya dengan berisik.
Sena merengek. Dia cuma butuh tidur sebentar saja sebelum harus berangkat kerja! Dia tidak bisa menghadapi pasien-pasiennya dengan kondisi kepala pening seperti ini!
" Na, buka, deh. Sebenernya kenapa, sih?" pinta Ana cemas.
Menghembuskan nafas yang terasa membakar lubang hidungnya, Sena bangkit. Langsung saja pandangannya bergoyang seperti terombang-ambing di atas lautan. Sena memejamkan mata sejenak untuk membuat dirinya lebih fokus.
Terhuyung, gadis itu berdiri dengan berbalut selimut.
" Sebentaaaar saja," gumam Sena ketika ia membuka pintu dan menemukan semuanya berdesakan di depan pintu. Gadis itu mendekatkan ibu jari dan jari telunjuknya.
" Cuma sebentar. Aku butuh tidur. Habis ini aku harus berangkat kerja."
" Izin saja."
Sungguh, Sena ingin sekali menutup telinganya kuat-kuat demi menghalau suara yang satu itu.
" Iya, izin aja. Lo pucet banget, Na," ucap Yolla menempelkan telapak tangannya di dahi Sena. " Kan demam."
" Aku mau tidur." Pinta Sena memelas.
"Izin aja, oke? Atau ntar gue yang datang ke rumah sakit lo!" pelotot Rafi membuat Sena mendengus.
" Iya iya, ntar aku izin. Udah ya, aku mau tidur dulu. Silahkan dinikmati. Semoga nggak salah masukin bumbunya, hehe..." ucap Sena mengayunkan pintunya. Namun Sakti menahannya. Laki-laki itu menatapnya tajam.
" Jangan dikunci," ujarnya membuat Sena ingin sekali berlari pergi.
" Iya, jangan dikunci," pinta Ana lagi. " Kita nggak ganggu kamu lagi. Nanti kalau butuh apa-apa, bilang ya."
Ana membelai pundaknya dengan sayang, yang diangguki Sena dengan senyum lemah. Perempuan itu menarik pintu Sena hingga tertutup, meninggalkan Sena sendirian dalam keheningan kamarnya.
Dirinya butuh tidur. Sekarang rasanya tidak lagi seperti berada di lautan, namun sebuah palu serasa menggedor-gedor tengkoraknya hingga kepala Sena hampir pecah.
Tapi dia tidak bisa.
Karena kini, dia kewalahan menepis kesimpulan menggetarkan yang selama semalaman dia coba tepikan.
Sejak merasakan sakit luar biasa karena perkhianatan bertubi yang diterimanya, Sena menjadi kebas dengan segala bentuk rayuan makhluk bernama lelaki. Membentuk sebuah pertahanan tak kasat mata, dia tidak pernah membiarkan dirinya sebegitu mudah terbawa perasaan. Seluruh omong kosong yang ditujukan pada Sena hanya tergelincir begitu saja karena toh, hatinya sudah lama mati. Hingga akhirnya sebuah dinding tercipta begitu tinggi, tebal dan kokoh.
Maka, dunia Sena terasa aman.
Tapi Sakti berbeda, pikir Sena mengeratkan pelukannya pada guling. Laki-laki itu menapaki zona nyamannya perlahan tanpa Sena sadari. Ia melakukannya dengan sangat halus. Ini bahaya.
Dia tidak boleh terlarut terlalu jauh. Dia tidak boleh jatuh cinta, karena jatuh cinta hanya akan mendatangkan luka.
Dia tidak mau.
Karenanya, apapun itu, semuanya harus berhenti sampai di sini.
Rasa itu masih kecil, berupa benih. Bisa dibunuh. Maka itulah yang harus Sena lakukan. Membunuh apapun rasa berlebih pada Sakti.
Sakti Samudra hanya tetangganya. Tetangganya yang baik.
Jadi seharusnya dia tidak menghindarinya, kan?
Maka gadis itu turun dari tempat tidur dan menuju ruang depan dimana semua tetangganya berkumpul seraya mengelilingi sarapan. Selain sayur yang ia buat, disana juga sudah ada tumis kecombrang, nasi yang mengepul, setoples krupuk dan bermacam-macam gorengan yang pasti dibawa oleh yang lain.
" Loh, Na? Nggak jadi tiduran?" Yolla menoleh begitu Sena menampakkan diri dengan selimut berbalut di tubuhnya.
Sena menggeleng pelan. Gadis itu menyeruak di antara Yolla dan Gagah, membuat keduanya menoleh pada makhluk berambut kusut dan berbalut selimut itu.
" Na, di sebelah Sakti itu masih longgar," Gagah memberi saran.
Sena menggeleng. " Mbak Yolla anget. Aku butuh yang anget-anget."
Mendengus geli, Gagah akhirnya pindah ke tempat longgar di samping Sakti.
" Lo udah izin belum? Apa perlu nanti gue mampir ke kantor lo dan minta izin dari bos lo?" tanya Rafi dari seberang.
Sena menggeleng, " Aku masuk."
" Na, kamu kayak orang mabuk gini mau masuk?" celetuk Yolla cemas. " Mending di rumah aja. Aku hari ini nggak ada jadwal, jadi aku temenin. Gimana?"
Sena tersenyum lemah dan menggeleng, " Ada kerjaan penting, Mbak."
" Ikut Sakti aja. Bisa pingsan di jalan itu kalau pakai sepeda," celetuk Arga mengedik pada Sakti.
" Nggak—"
" Aku antar. Sepedamu masih di supermarket. Nanti malam kita ambil."
Sena menghembuskan nafas dan akhirnya menatap Sakti. Namun seluruh suaranya lenyap kala mendapati laki-laki itu mengawasinya dengan lekat.
Musuh itu jangan dihindari, tapi dihadapi. Jadi sekarang, seharusnya Sena tidak berlari. Dia harus bisa berdiri tegak dan membuktikan bahwa dia bisa menganggap laki-laki di sampingnya ini sebagai tetangga.
Hanya sebagai tetangga.
**
Oke.
Ini lebih mengerikan daripada menjadi salah satu peserta uji nyali.
Di sana, Sena bisa melambaikan tangan jika melihat penampakan yang menakutkan.
Tapi di sini, Sena harus melambai pada siapa? Yang ada justru dia akan dikira orang gila.
Dan sepertinya, pikiran yang melantur menandakan jika dia memang sudah gila.
Sungguh, sudah hampir sepuluh menit mereka berada di dalam mobil. Selama itu pula Sena berusaha meredakan gedoran di dadanya. Tapi bukannya mereda, jantungnya justru semakin berlompatan dengan ceria.
Pernah terjebak dalam lift macet? Seperti itulah yang dirasakan Sena. Panik, mencekam, menakutkan dan membuatnya ingin menangis.
Tidak. Sakti hanya bercanda.
" Kalau begitu, aku bercanda. Jangan nangis lagi."
Sakti bercanda. Harus bercanda.
" Kamu yakin baik-baik aja?" Tanya Sakti memecah keheningan yang melanda.
" Hmm," jawab Sena menghindari tatapan Sakti. " Udah nggak sepusing tadi. Maaf merepotkan."
" Kamu nggak pernah merepotkan, Na."
Lebih baik, dia tidak berkata apa-apa lagi. Menggertakkan gigi, Sena menoleh pada Sakti yang memakai kaus hitam dilapisi kemeja flanel berwarna abu-abu, sedang mengemudi dengan tenang seperti biasa. Sepertinya laki-laki ini tidak terganggu sama sekali.
Membuat Sena jadi bertanya-tanya apa Sakti mempermainkannya tadi malam.
" Nanti makan siang bareng, mau? Aku lihat tadi kamu nggak sempat bawa bekal. Makanan habis semua, kan?"
" Mas Sakti itu beneran fobia rumah sakit nggak, sih? Kok kayaknya biasa aja keluar masuk ke sana," celetuk Sena mengerutkan kening.
Mendengarnya, Sakti tersenyum samar, " Sekarang kayaknya nggak terlalu takut. Jadi gimana? Makan siang bareng?"
Akhirnya, Sena mengangguk. Karena seperti yang dia bilang tadi, bahwa dia tidak punya alasan untuk menjauhi tetangganya.
" Sweet girl. Have a nice day, Sena. Kalau ada apa-apa, kasih tahu aku, oke?" pintanya ketika dia menepi. Sena mengangguk lagi, kali ini dengan seulas senyum tipis.
" Have a nice day, Mas Sakti," katanya menutup pintu dan menunggu Sakti pergi seperti biasa.
Namun demikian, Sena justru mengerutkan kening ketika Sakti menurunkan kaca jendela hingga mereka berhadapan.
" I love the way you call me, Na. " katanya lembut. " You're beautiful as always. See you when I see you."
GOD!!
**
Seharusnya setelah apa yang Sakti katakan tadi pagi, dia tidak menerima ajakan makan siang dari laki-laki itu.
Sena sudah biasa mendapatkan gombalan-gombalan Danar yang bahkan bisa lebih laknat dari apa yang Sakti katakan tadi pagi, dan dia selalu menganggapnya angin lalu.
Bukannya justru menggigil seperti sekarang ketika ia kembali mengingat ekspresi Sakti saat mengatakan kalimat mengerikan itu.
" Dev? Kamu sakit?" Danar yang melihat Sena tersungkur dengan aroma minyak kayu putih menguar di udara langsung mengambil kesimpulan.
" Pusing saja Pak. Nggak papa," jawab Sena menegakkan badan.
" Kamu demam? Udah minum obat?" Tanya Danar semakin cemas. Sena menggeleng malas.
Danar memeriksa jam tangannya. Sudah hampir makan siang.
" Dev, kamu mau makan apa? Siang ini makan bersama, bagaimana?"
Sena menggeleng lagi. Jujur saja, saat ini dirinya lapar, tapi pusing membuatnya malas bergerak. Dia bahkan tidak yakin jika bisa memenuhi janjinya dengan Sakti. Dia sedikit menyesal karena tidak membawa bekal. Seluruh makanan yang ia persiapkan tadi pagi tandas oleh ibu hamil yang sepertinya nyidam apa saja.
" Saya mau tidur saja Pak. Maaf," Kata Sena halus sembari menahan pandangannya yang berputar hebat.
Danar menatapnya sejenak, kemudian menghembuskan nafas dan meraih kepala Sena untuk mengusapnya dengan lembut, " Panggil saya kalau butuh apa-apa. Kalau sudah nggak tahan, bilang sama saya. Saya antar."
" Pak Danar, tolong jangan ngomong seenaknya. Nggak enak kalau didengar Bu Jenny, kan?" tukas Sena sedikit kesal karena omongan Danar makin hari makin ngawur.
Danar mengerjap, namun tidak berkata apa-apa.
"Saya cuma pusing. Masih bisa kasih edukasi buat pasien-pasien bandel." ucap Sena lemah seraya mengacungkan kedua ibu jarinya.
Danar berdecak sebelum menjentik jemari Sena, " Jangan bikin saya khawatir terus, Dev. Bilang sama saya kalau kamu nggak kuat. Kamu punya ponsel, sekali-sekali gunakan itu untuk menghubungi saya," kata Danar tegas sebelum menepuk singkat puncak kepala Sena dan berbalik keluar bilik.
Sena mendengus sebal pada Danar. Danar atasan yang baik dan sangat memperhatikan anak buahnya. Tapi di mata Sena, kebaikannya justru bisa membuat Jenny tidak nyaman. Apa Danar tidak pernah sadar itu?
" Na, lo oke?" Kanya melongok ke biliknya. Sena mengangguk.
" Gue mau tidur sebentar aja. Pusing banget," ucap Sena pada Kanya yang mengangguk paham. Sepeninggal Kanya, Sena mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan pada Sakti bahwa dia meminta maaf karena tidak bisa menemani Sakti makan siang.
Hanya itu, tanpa alasan.
Karena dia harus segera mencabut benih di dalam hatinya. Dia harus berhenti merasa tidak biasa.
Tiga puluh menit kemudian, suara berisik di depan membuat Sena batal memasuki gerbang ketidaksadaran. Sontak, ia langsung bisa merasakan kepalanya berdenyut nyeri.
" Dududuh... ," keluh Sena memijit kepalanya dengan kesal.
" Sepertinya baru tidur..."
Didengarnya suara Kanya berkata pada seseorang. Beberapa saat kemudian, kursi di depannya berderit pelan. Menandakan seseorang tengah duduk di sana.
Sena membuang nafas. Atasannya ini benar-benar keras kepala. Tidak bisakah ia melepaskan Sena barang sebentar saja? Akhirnya Sena mengangkat kepala dengan berat.
" Pak, sebentar saja, saya per—"
Kalimat Sena tertelan begitu melihat wajah tanpa kacamata Sakti tepat berada di depannya, sedang mengamatinya tanpa ekspresi dengan tangan bersedekap dan bersandar di kursi.
Sena langsung menyentakkan tubuhnya hingga kepala gadis itu menghantam dinding dengan keras.
" Aduh Ya Tuhan... ," rintih Sena menunduk dalam-dalam sembari mengusap bagian belakang kepalanya.
" Kamu kenapa, Na?" Didengarnya suara Sakti mendekat dan ikut mengusap belakang kepala Sena.
" Mas Sakti ngapain di sini? Ini bukan sekedar lobi rumah sakit. Nanti kalau kambuh lagi gimana?" desis Sena menyingkirkan tangan Sakti dengan sopan. " Aku udah kirim pesan, apa nggak sampai?"
Sakti mengamatinya sejenak, kemudian meletakkan bungkusan di hadapan Sena.
" Aku baik-baik saja, Na. Kamu yang nggak baik-baik saja." katanya pasti sembari membuka bungkusan yang menguarkan aroma sedap. "Kalau kamu nggak bisa datang ke aku, aku saja yang datang ke tempatmu. Lihat? Kita punya banyak cara untuk bertemu."
*TBC*
Night, my dear 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro