Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 22. Supernova

Sakti dan Sena,

Keduanya mematung begitu turun dari mobil.

" Ng...itu Mbak Nathalie, kan?" Sena mengangkat telunjuknya pada seorang wanita yang berdiri di depan pintu unit Sakti, menatap mereka berdua dengan tajam. Matanya memerah dengan rambut yang banyak terlepas dari gelungan. Salah satu tangannya menenteng stiletto berwarna kuning keemasan, senada dengan longdress tanpa lengan yang terbalut ketat di tubuhnya.

Yolla dan Rafi berdiri di dekatnya dengan cemas, mewanti-wanti setiap gerakan karena kentara sekali wanita itu sedang mabuk. Sedangkan Ana berdiri agak menjauh, mengelus perutnya sembari menatap Nathalie dengan khawatir.

" Wah, aku penasaran gimana cara Mbak Nathalie jaga berat badannya. Jangan-jangan dia mantan model." Sena mengomentari penampilan wanita di depannya dengan sangat serius.

" You're more beautiful, Na."

Hanya itu, dan kini Sena membeku.

" Ini kenalan kamu?" tanya Yolla menunjuk Nathalie. " Katanya dia kenal kamu."

" Dia rekan kerjaku," ucap Sakti berjalan mendekati Nathalie.

" Oh kirain. Heran, tiba-tiba aja dia nyelonong masuk dan manggil-manggil nama situ," tukas Rafi agak canggung.

Agaknya Nathalie menyadari bahwa lelaki yang sedang mendekatinya adalah Sakti. Wanita itu berlari dan menubruk Sakti.

" Sakti...tolong pu-hik-kul Tirta... ," racau Nathalie terbata dengan air mata mengalir deras dari sudut matanya. " Dia...brengsek! Hik...Manusia paling ja...hik...hat!"

" Nath..." Sakti berusaha melepaskan cengkraman Nathalie dari jumper-nya, " Berhenti, kamu kenapa bis-"

Karena sepertinya Nathalie sangat tidak rela dengan penolakan Sakti. Dengan kasar, wanita itu meraih bagian depan jumper Sakti hingga laki-laki itu membungkuk.

Dan menciumnya.

Rasa sakit menyengat di dada Sena. Gadis itu seketika berbalik badan, menatap pagar hitam di hadapannya dengan nafas yang tidak teratur.

" SHITT SHITT!" seru Rafi terkejut, sedang dua yang lain terlalu terpana dengan kelakuan Nathalie.

" Nath!" Sena mendengar Sakti setengah membentak. Namun kemudian, yang terdengar adalah isakan Nathalie.

" Udah...cium kamu, kan?" Nathalie meneruskan dengan terpatah. " Se-hik-karang turuti ak-hik-ku kayak biasa-hik-nya...Sakti Samudra!!"

Sungguh, Sena tidak ingin melihat adegan apa yang tengah berlangsung di belakangnya saat ini. Mungkin saja Nathalie sedang terisak di pelukan Sakti.

" Diselesaiin dulu aja, gih. Nggak Mas Sakti nggak Sena, temannya pada nggak beres semua," gerutu Rafi berjalan ke unitnya.

" Eh, kalau gitu aku tinggal aja," Yolla berbicara. " Kayaknya ini pembicaraan pribadi."

" Ah iya," Sahut suara Ana. " Sena, gimana titipan tadi-"

" Aku antar pulang," suara Sakti mengaburkan kata-kata Ana, " Ayo, Nath!"

Sebuah sentuhan mendarat di bahu Sena, membuat gadis itu menoleh dan mendapati wajah Ana tengah tersenyum padanya. Ia menyahut kantung plastik paling kecil dari tangan Sena.

" Ayo ke dalam," ajak Ana lembut.

Memandang Ana sama saja dengan membiarkan dua orang itu masuk dalam pandangan Sena. Karenanya, Sena sangat bisa melihat bagaimana Nathalie terisak keras di pelukan Sakti sembari menyisipkan wajah dalam-dalam ke dada laki-laki itu.

" O-ke..." Sena menjawab dengan gemetar yang tidak mampu ia mengerti.

Gadis itu berdehem, berjalan di belakang Ana sembari menahan diri agar tidak mencuri pandang pada sepasang manusia yang tengah berpelukan itu. Agaknya, Laki-laki itu sibuk membelai kepala belakang Nathalie dan berbisik pelan. Mungkin membisikkan kata-kata penghiburan.

Sena mempercepat langkah.

" Sena,"

Sena berhenti, begitu juga Ana ketika Sakti memanggilnya tanpa menoleh.

" Maaf, tapi aku butuh Sena menemaniku untuk mengantar Nath pulang," terus Sakti lagi.

Ana menatap mereka bertiga selama beberapa menit, kemudian tersenyum, " Tentu. Tumis kecombrangnya bisa minta tolong Yolla saja."

" Nggak perlu," ucap Sena cepat sembari berputar untuk menatap punggung Sakti, yang terlihat membungkuk karena rengkuhannya pada Nathalie. Sena menghirup nafas dengan susah payah. " Itu, mungkin kalian butuh privasi."

Tidakkah Ana bisa menebak bahwa mereka mempunyai hubungan istimewa? Please, dengan posisi berpelukan seperti sepasang gurita, mana mungkin ada orang yang salah menilainya? Dan sekarang Ana justru membiarkan Sena terjebak di antara dua orang yang mungkin saja masih terjebak dengan rasa masa lalu?

Yang benar saja!

Lagipula, Sena jelas perlu menjauh dari Sakti ketika sebuah konklusi lain menghantamnya tanpa ampun.

Konklusi lain yang membuatnya sadar jika konklusi pertama bukanlah masalah sebenarnya.

Karena baru saja dia menyadari, jika rasa sakit yang saat ini menguasainya bukan karena konklusi pertama.

Seperti tertimpa sebuah planet ketika bumi yang dipijaknya telah hancur lebih dulu, seluruh dunia Sena mengalami supernova.

Bodoh! Sena bodoh!

" Devasena,"

Itu tadi Sakti. Memintanya dengan suara pelan yang langsung membuat Sena pecah berantakan.

Ana menepuk pundak Sena, " Sana gih. Tetangga minta tolong, itu."

Tidak! Tidak! Dia butuh memenangkan diri! Dia butuh berpikir jernih!

Namun Ana sudah masuk ke dalam unitnya sendiri, meninggalkan Sena yang berdiri dengan penuh kecanggungan dan gemetar dari ujung kepala hingga kaki.

" Thank you, Sena," ucap Sakti menyadarkan Sena. Laki-laki itu tersenyum samar padanya dengan satu tangan menopang tubuh Nathalie yang sudah tumbang. Wanita itu meracau tidak jelas dengan mata nyaris tertutup. Langkahnya terseok-seok, seolah kedua tulang belulang telah lenyap dari sepasang kaki jenjang itu.

Sena akan mengatakan sesuatu ketika Sakti menyahut tubuh Nathalie dengan cepat, membopongnya tanpa kesulitan. Membuat Sena mengalihkan perhatian dari pipi Nathalie yang terkulai di dada Sakti.

" Tolong bukakan pintu belakang, Na," pinta Sakti berjalan lebih dulu ke mobil yang belum sempat masuk ke carport.

Menelan ludah karena sesuatu yang menyebalkan menusuk dadanya, Sena berjalan cepat menuju mobil dan membukanya sesuai permintaan Sakti. Sakti menidurkan Nathalie yang sudah tidak sadarkan diri, merapikan pakaian perempuan itu dan menangkupkan jumper hitam miliknya di atas tubuh Nathalie.

" Ayo naik," Sakti mengedik ke kursi depan sementara dia sendiri menuju kursi kemudi. Sesuatu dalam diri Sena menyuruhnya menolak dan membiarkan Sakti mengantar Nath pulang sendirian saja. Namun ia tetap mendapati dirinya mematuhi Sakti dan memasuki mobil yang penuh dengan aroma mint itu.

Sena terdiam. Tahu bahwa sekarang belum saatnya ia bicara. Gadis itu melirik ke arah Sakti yang hanya memakai kaos hitam lengan pendeknya karena jumper miliknya digunakan untuk menyelimuti tubuh terbuka Nathalie.

Move on apanya?

Sena menggeleng ketika kata-kata keras itu melintas dalam kepala.

Bahkan setelah satu jam berlalu, tidak ada yang berbicara kecuali Nathalie yang meracau dan terisak tidak jelas. Bukan apa-apa, tapi Sena merasa jika dia tidak berhak menanyakan apapun tentang Nathalie. Akhirnya, dia hanya terdiam dengan menatap ke depan tanpa fokus. Sakti juga terdiam selama mengemudi. Baguslah, karena Sena sangat butuh menenangkan diri di tengah sesuatu yang berusaha ia tepikan setengah mati.

Sebuah gerbang megah bertuliskan, " Grey Garden Land" menyapa mereka ketika Sakti memasuki sebuah kawasan apartemen.

Sena melirik Nathalie yang bergelung sembari memeluk jumper Sakti, terkadang mengendusnya dengan mata terpejam. Harusnya Sena bisa menebak dengan mudah tempat tinggal seperti apa yang dipilih seorang wanita seperti Nathalie Diomira. Sedikit banyak, Sena tahu Grey Garden, kompleks apartemen mewah di bawah naungan perusahaan properti tersohor bernama Halid corp.

Sepertinya, alkohol yang berkuasa di tubuh Nathalie benar-benar mengambil alih akalnya. Wanita itu terisak keras dan memukuli Sakti dengan tinju-tinju yang diabaikan Sakti. Membuat Sakti menghela nafas panjang dan membopongnya sebelum berjalan ke arah lift tanpa kesulitan.

Dan lagi-lagi, Sena mendapati dirinya memejamkan mata untuk menenangkan diri.

Setelah melewati banyak isakan, racauan dan pukulan, akhirnya mereka tiba di depan unit apartemen di lantai 48. Sena mengangkat alis ketika Sakti memasukkan kode dengan lancar dan sesaat kemudian, pintu terbuka.

Sena menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengenyahkan pikiran jahat dari dalam otaknya. Tentu saja! Mereka kan pernah bersama!

" Masuk Na." Suara Sakti membuat Sena tersadar. Gadis itu mengikuti Sakti yang sudah masuk lebih dulu ke dalam apartemen milik Nathalie, membuat Sena ingin sekali mengumpat saking mewahnya isi di dalam apartemen.

Sena mengikuti Sakti, yang terlihat sangat menghafal setiap kelokan di apartemen Nathalie. Laki-laki itu menuju sebuah ruangan yang segera disadari Sena sebagai kamar tidur. Ia menidurkan Nathalie di atas kasur dan menghamparkan selimut hingga ke dagu.

" Sakti..." Nathalie membuka sedikit kelopak matanya. Jemari berkuku merah itu meraih kaus Sakti, menahan laki-laki itu untuk tetap membungkuk di atasnya.

Dalam kerapuhannya, Sena tidak lagi melihat Nathalie yang superior. Bagaimana jemarinya menyentuh pipi Sakti dengan lembut, bagaimana sorot matanya menatap Sakti dengan hasrat kerinduan, Nathalie yang ini menyerupai seorang dewi. Siluet kecantikan yang tercipta dalam kerapuhan, indah sekaligus sedih.

" Don't go," bisiknya penuh permohonan pada Sakti yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, membuat Sena bisa melihat kesungguhan di mata sembab wanita itu.

Maka segera saja Sena berbalik.

Namun Sakti meraih tangannya tepat waktu. Dengan tangan yang lain, laki-laki itu memaksa Nathalie melepaskan cengkraman di kausnya.

" Sak-ti, jangan pergi. Di sini saja-," pinta Nathalie dengan air mata mengalir di ujung matanya.

Tapi Sakti mengabaikannya. Dengan satu tangan masih memerangkap pergelangan tangan Sena, laki-laki itu menelfon seseorang.

" Ke apartemen Nath, sekarang. Dia mabuk," ucap Sakti begitu nada tersambung.

Hening sejenak.

" DAMMIT SAMUDRA! WHAT'RE YOU DOING?!"

Bahkan tanpa loudspeaker, suara lawan bicara Sakti mampu terdengar Sena saking kerasnya.

" Berhenti berpikir macam-macam," jawab Sakti datar.

" Get out from there, Samudra! I warn you!!"

Sakti terdiam sembari melirik Nathalie yang masih meracau tidak jelas dengan mata terpejam.

" Aku pergi. Setelah ini, bilang padanya jangan menggangguku lagi."

Sena mengernyit kala Sakti menyimpan ponselnya lagi. Sakti menarik Sena untuk keluar dari apartemen Nathalie, meninggalkan Nathalie yang tergolek menyedihkan di kasur.

" Mas Sakti nggak di sini dulu aja? Siapa tahu dia perlu bantuan," ucap Sena ketika pintu apartemen berdebum lembut di belakang mereka.

Sakti terdiam, namun bisa ia rasakan genggaman Sakti di tangannya mengerat. Laki-laki itu tetap bungkam ketika mereka berada di dalam lift.

" She...still into you." bisik Sena ketika mereka berjalan menuju mobil Sakti. " Yakin nggak ada yang perlu dibica-"

Kata-kata Sena berhenti kala jemari Sakti turun menuju telapak tangannya, menggenggam jemarinya dengan ibu jari mengelus lembut telapak tangan Sena. Membuat gadis itu terkejut hingga otomatis menarik tangannya dari Sakti.

Namun Sakti menahannya.

" Please Na," Sakti menatapnya dengan manik mata kelam. " Aku sedang berusaha untuk nggak jadi jahat saat ini. Aku butuh kamu."

Sena kehilangan kata-kata kala Sakti menunduk sembari menatapnya dengan seraut sendu terpancar dari sana.

Sena membuang wajah. Apa kesenduan itu berasal dari rasa yang gagal dimusnahkan?

" Kamu aja menderita begini," celetuk Sena dingin. " Beraninya kasih aku ceramah tentang melepaskan."

Hening, kemudian didengarnya Sakti tertawa.

" Benar kan? Bahkan dengan kamu menyaksikan semuanya, pikiran kamu masih seperti itu."

Tentu saja, Sena mengerutkan kening. Laki-laki ini bicara apa, sih?

" Ayo pulang. Sepertinya kita memang butuh mengobrol," kata Sakti membuka pintu untuk Sena.

" Apa Mbak Nath memang...sering begitu?" Sena bertanya, setengah tanpa sadar, karena dirinya merasa merinding kala melihat seorang perempuan yang sempoyongan tanpa bisa menguasai dirinya sendiri. Jelas, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan Nathalie. Walaupun dia tahu sekali Wira sering mabuk, tapi dia tidak pernah melihat Wira mabuk di rumah.

Sakti menggeleng. " Dulu waktu kami bersama, dia nggak pernah mabuk. Setahuku, dia bukan wanita seperti itu. Jujur saja, aku terkejut lihat Nath mabuk seperti tadi."

Sena mengangguk perlahan, mengabaikan denyut sakit ketika kalimat Sakti terdengar seperti pujian di telinganya.

Ck!

" 'Still into you.' " ucap Sakti tiba-tiba ketika mereka keluar dari kawasan apartemen itu. " Darimana kamu bisa menyimpulkan itu?"

Sena terdiam sejenak. Apa saat ini Sakti sedang meminta pendapatnya? Apa kelak pendapatnya penting sehingga Sakti bisa memutuskan untuk kembali dengan Nathalie?

Dan mengapa pula Sena harus peduli? Siapapun makhluk tak kasat mata yang sedari tadi menusukkan jarum ke dadanya, tolong berhenti atau Sena benar-benar akan meminta bantuan pemuka agama.

" Aku juga perempuan, Mas. Nggak sulit menyimpulkan. Apalagi dia sedang dalam keadaan nggak sadar gitu. Pernah dengar istilah 'kebenaran ada di dalam setetes alkohol' kan?" kata Sena akhirnya. " Jadi, Mas Sakti masih punya kans."

" Nggak ada kans untuk apapun, kecuali kalau itu tentang aku sama kamu."

" Ini beneran, ck! Mas Sakti itu saudaranya Pak Danar apa gimana, sih?" Celetuk Sena mulai kesal.

Sekali lagi, Sakti tergelak mendengar kalimat Sena.

" Aku dan Nath dulu memang pernah bersama, seperti yang kamu tahu. Sampai suatu saat aku menangkap basah Nathalie selingkuh di belakangku," jelas Sakti. " Hanya sampai situ. Semuanya selesai."

" HAH?" Seru Sena terbelalak. " Apa?"

Sakti hanya tersenyum. Tidak berniat mengatakan pada Sena bagaimana wajah Nathalie ketika Sakti menyodorkan seluruh bukti perselingkuhan di depannya.

Nathalie, wanita itu hanya menunduk, menatap setiap foto, setiap chat yang dicetak Sakti untuk meminta penjelasan darinya. Nathalie tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya mengangkat wajahnya, menatap Sakti dengan pandangan datar, dan membenarkan semuanya. Lalu setelahnya, bibir berlipstik merah itu mulai mendaftar seratus kelebihan Tirta dibanding Sakti, dengan nada tenang, tanpa rasa bersalah, tanpa peduli pada Sakti yang nyaris mati di depannya.

Seolah wanita itu sedang membacakan presentasi.

" Look, he is better than you, Sakti. Aku lebih nyaman bersamanya. Dia lebih mampu mendukungku. Dia lebih mampu membahagiakanku. Jadi aku harap kamu tidak perlu membahas ini seperti anak kecil yang baru saja putus cinta. Kita sudah dewasa. Now, let me go."

Laki-laki itu menghela nafas ketika menyadari buku-buku jemarinya mencengkram kemudi dengan erat. Dia sedang membawa gadisnya, tidak baik jika dia tidak bisa menguasai diri ketika mengemudi.

" Jadi jangan mengira hanya hubungan kamu yang bisa kandas karena kasus selingkuh, Na," ucap Sakti tersenyum lagi.

Sena mengamati Sakti dengan mulut terbuka, mengamati ekspresi laki-laki itu dari samping. Sakti tidak seperti orang yang sedang kehilangan. Raut sendu yang sesaat lalu hadir di wajahnya kini sirna, berganti dengan ekspresi santai khas seorang Sakti.

" You love her."

" I loved her. Dia duniaku. Dulu."

Sena menelan ludah, " Nggak berniat berjuang?"

" Haruskah? Kayak Dirga gitu maksud kamu? Sepertinya dia benar-benar berjuang untuk mendapatkan kamu lagi," balas Sakti santai.

Sena menggertakkan gigi," Jangan bawa-bawa dia! Aku udah nggak peduli!"

Sakti tertawa pelan, " Untuk apa menahan orang yang memang ingin pergi, Na? Kalaupun akhirnya dia bertahan di samping kita, yang ada kita berdua justru tersiksa."

Sena melirik Sakti, berusaha mengabaikan sesuatu yang menyayat dadanya, " Kalau masih sayang, itu berbeda. Segitu gampangnya menyerah?"

" Menurutmu begitu? Ini bukan tentang masih sayang atau bukan. Tapi lebih kepada masa depan sebuah hubungan," kata Sakti dengan fokus ke depan, " Melepaskan orang yang menilai orang lain lebih bisa membahagiakan dia dibandingkan kita, aku nggak menyebutnya menyerah. Karena sekuat apapun aku berusaha membahagiakan dia, usahaku tidak akan pernah bermakna dengan dia yang menilai orang lain lebih mampu membuatnya bahagia."

Laki-laki itu mengatakannya dengan tenang, membuat Sena sedikit memahami kata-kata Sakti. Tapi di saat yang bersamaan, dia tahu ada perbedaan besar tentang cara mereka mengatasi sebuah pengkhianatan.

" Aku kurang berjuang ya di mata kamu?" tanyanya geli kala mendapati Sena hanya terdiam. " Nggak, mungkin kita yang punya pandangan berbeda tentang berjuang. Dalam konteks hubungan seperti ini, bagiku berjuang adalah berusaha menjadi yang terbaik bagi pasangan. Menjaganya, berusaha memahami, berusaha membahagiakan, menurutku itu yang namanya berjuang. Jika dia memutuskan pergi karena tidak mau lagi bahagia bersamaku, aku tidak akan menahannya, Sena. Perjuanganku berhenti. Karena jika kamu belum tahu, orang yang tidak ingin berbahagia dengan kita hanya akan menyakiti jika dipertahankan."

" Manusia," celetuk Sena. " Sangat mudah merasa kekurangan tanpa menyadari mungkin sesuatu yang baru belum tentu bisa sebaik yang lalu. Hah!"

Sakti tersenyum, "Selalu ada resiko dalam setiap pilihan, Sena. Termasuk kamu dan aku yang memilih untuk melepaskan."

" Aku nggak menyesal," sahut Sena dingin. " Nggak pernah menyesal sedetik pun karena melepaskan orang seperti Dirga."

" Sebegitu bencinya?" kekeh Sakti membuat Sena berdecak.

" Jangan mulai lagi, Mas. Ini bukan tentang aku. Tapi tentang kamu. Jelas-jelas kamu masih suka Mbak Nath. Jangan bohong. Kelihatan banget kamu kehilangan dia. Maksudnya, kita memang punya keadaan yang sama. Tapi Mas Sakti beda. Maksudnya, kalian berdua masih ada rasa masa lalu sedangkan aku...hahaha!! Jangan harap!"

" Darimana kamu menilainya?"

" Ng..." Sena berdehem, kemudian menirukan suara Sakti. " 'Please, Na. Aku sedang berusaha untuk nggak jadi jahat saat ini. Aku butuh kamu' itu? Maksudnya, Mas Sakti pingin balikan sama Mbak Nath lagi, tapi nggak bisa karena Mbak Nath masih in relationship sama orang lain. Karena Mas Sakti itu terlalu baik, makanya nggak mau adegan drama yang rebut-rebutan gitu, kan? It doesn't suit you, that dramatic scene."

Sakti mengerling pada Sena yang bersedekap dan mengatupkan bibir sembari mendelik ke depan, kemudian tertawa keras.

" Astaga! Jadi itu cara kamu memahami omonganku? Kayaknya kamu yang kebanyakan nonton drama," ujarnya geli hingga Sena melongo sendiri.

" Aku heran kamu nggak paham, padahal kita ada di posisi yang sama. Aku nggak kehilangan Nath. Pada detik pertama dia mengakui semuanya, aku tahu rasaku untuknya sudah rusak, Na. Aku cuma nggak mau membenci Nath. Kamu pasti tahu betapa mudahnya membenci orang yang menyakiti kita. Tapi jangan, karena benci adalah rasa yang jahat dan merusak. Dan ya. Aku butuh kamu untuk tetap mengingatkanku bahwa tidak seharusnya aku mengisi seluruh hidupku dengan rasa benci, sementara ada yang lain dan lebih berhak mengisinya dengan rasa yang lebih baik."

Aduh Tuhan, mengapa mengobrol dengan Sakti rasanya seperti berdebat dengan mahasiswa filsafat?

" Rumit. Hubungan itu rumit," gerutu Sena memegangi kepalanya.

" Tergantung bagaimana kita menjalankannya. Mau mencobanya denganku?"

*TBC*

Yes or No? 😏😏

Edisi kejang 😫

Holla, selamat malam, semoga berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro