DEVASENA | 21. Konklusi Tidak Sengaja
===
Konklusi
/kon.klu.si /
n
simpulan (pendapat)
===
Lorong itu gelap dan sempit,
meskipun lembabnya sangat terasa.
Hitam menghimpitnya dari sisi kanan, kiri, belakang bahkan di depan Sena, seolah sebuah lampu remang memang hanya menyinari selingkar kecil keberadaan Sena yang melangkah seorang diri.
Kotak-kotak keramik lebar berwarna coklat susu terlewati dalam setiap langkahnya. Identik, hingga Sena bisa saja merasa bahwa dirinya hanya berjalan di tempat.
Lalu pada satu-satunya pintu berwarna perak di sepanjang lorong itu, Sena berhenti. Memandangnya datar, hening dan mati, jemari pucatnya membuka handle pintu dengan perlahan.
Di balik pintu, kegelapan menyapanya lagi. Namun seolah tidak peduli, Sena melangkah ke dalam. Membiarkan gaung langkahnya mengganggu keheningan mencekam di ruangan luas yang terasa dingin. Ia melangkah, pelan, monoton, dengan sorot mata yang kelabu.
Seperti boneka bergaun putih.
Langkahnya terhenti tepat di ambang ruangan luas, dengan sofa, televisi dan segala perabotan berwarna monokrom.
Tapi sorot kelabunya hanya tertuju pada sepasang muda mudi, yang terlambat menyadari bahwa dirinya adalah hantu pada dunia mereka yang tercela.
" Sena, Sena, ini cuma karena keadaan! Aku bisa jelasin—"
Tuli, Sena tidak peduli. Ia mengangkat satu tangannya, membiarkan kelima jemari pucat itu mengarah pada mereka, menekuk, serupa milik nenek sihir. Mengalirkan kebencian dari dasar hati, Sena membiarkan kutukan itu menjalar dan keluar dalam bentuk doa paling mengerikan.
Lalu rekahan hadir pada lantai yang ia pijak, menganga dan menelan tubuhnya ke dalam lautan tak berdasar serupa monster murka bergigi tajam. Dan Sena melayang dalam kehampaan tidak berarti, tanpa menunggu, hanya tergugu. Membiarkan sentuhan air menutupi pori-porinya, memenuhi setiap rongga dalam dirinya, mengungkungnya dalam gelap yang abadi.
Terjaga, Sena duduk dan membelalak pada satu titik di depannya.
Ia mereguk udara dengan cepat, seolah dirinya benar-benar baru saja tenggelam. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga rasanya menyakitkan, keringat dingin membaluri sekujur tubuh hingga leher dan tengkuknya terasa basah.
Gadis itu mengerjap cepat, berusaha menghilangkan bayangan tentang Dirga dan Raras yang saat ini masih terlihat transparan di depannya. Memejamkan mata, gadis itu menekan dadanya dan meringkuk. Berusaha meredakan nyeri hebat yang saat ini menguasai seluruh syaraf dan ototnya hingga Sena mencengkram sprei erat-erat.
Dalam gemetar yang masih menjajahnya, gadis itu menoleh pada jam beker mungil di samping kasur. Masih pukul dua malam. Itu artinya, ini adalah kali keempat Sena terbangun dengan mimpi yang sama, pada malam yang sama.
Selain malam-malam yang lalu.
Dalam detik jam yang memangkas malam, gadis itu berusaha meredakan nyeri emosional yang mendera. Meringkuk dalam-dalam hingga sprei kasur kini tergulung tak beraturan. Lalu sampai pada titik dimana dia merasa nyeri itu mulai memudar, Sena melepaskan tangisnya.
Sudah lama sekali sejak dia bermimpi seperti ini. Dulu ketika luka itu masih baru, Sena bahkan terlalu takut untuk tertidur. Tapi seiring berlalunya waktu, seiring dia berusaha bangkit lagi, mimpi-mimpi itu berkurang hingga tidak lagi dia dapatkan.
Tapi sekarang mimpi itu kembali hadir, berkali-kali, dengan efek rasa sakit yang sama menyiksanya seiring kebencian yang menyeruak hingga melahapnya bulat-bulat. Membara dalam inti dirinya, memberi Sena kepuasan serta siksa dalam kungkungan rasa bernama benci.
Ini semua gara-gara pikiran aneh yang meracuninya sejak sore itu.
**
" HUATSYII!!"
Sena terbangun dengan bersin yang kuat sekali, bersamaan dengan alarm paginya yang meraung nyaring. Meraih tisu di samping kasur, gadis itu menyeka ingus yang sempat keluar dan berusaha mengumpulkan fokus.
Tidak cukupkah mimpi-mimpi itu merenggut kenyamanannya?
Sekarang paginya terasa lebih dingin daripada pagi yang lain. Menggigil, gadis itu bangkit. Bibirnya meringis kala telapak kakinya bersapa dengan keramik, menghantarkan dingin yang membekukan hingga membuat gadis itu mempercepat langkahnya ke kamar mandi untuk cuci muka. Bercermin dengan pasrah ketika sebuah kantung hitam terbentuk samar di bawah matanya.
Dia terlalu ketakutan sampai tidak berani terlelap.
Sena menggelengkan kepala. Gara-gara ini, pikirannya jadi kacau. Dia bahkan lupa membeli minyak goreng. Padahal waktunya di pagi hari amat sangat terbatas.
Keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, gadis itu meraih jaketnya dan keluar unit. Sena memeluk dirinya sendiri kala udara luar menyapa, membuat hidungnya tergelitik untuk bersin lagi.
Sepertinya, dia terkena flu ringan.
Mengabaikannya, Sena cepat-cepat menuju gerbang. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Sakti meraih gerbang dari luar.
Seketika itu juga, Sena mengambil tiga langkah ke belakang.
Sejak memenuhi janjinya untuk mengantar Sena berangkat kerja, seminggu kemudian Sakti tidak pernah tampak. Laki-laki itu terlihat sibuk sekali. Ia bisa mendengar deru halus mobil Sakti di kala dirinya masih senam pagi dan tidak pernah mendengar kepulangannya di malam hari meskipun sesekali laki-laki itu mengiriminya pesan, yang dibalas Sena dengan sangat enggan. Kini setelah ia kembali melihat Sakti, mendadak dia ingin Sakti lembur kerja saja selamanya.
Sakti memakai kaus yang kini melekat ke tubuhnya karena keringat, juga celana training panjang dan sepatu kets. Sebuah handuk kecil tersampir di lehernya bersamaan dengan sebuah headset yang tersambung ke salah satu kantung celana.
Laki-laki itu mengangkat alis kala melihat Sena.
"Mau kemana?" tanya Sakti mundur dan mempersilahkan Sena keluar lebih dulu.
Butuh waktu sedikit lama bagi Sena untuk membebaskan kesadarannya dari laki-laki jangkung itu, kemudian ia berdehem dan berjalan cepat melewati laki-laki itu sembari mempertahankan jarak.
" Mau ke warung depan." ucap Sena merapatkan jaketnya karena mendadak dirinya merasa tidak aman.
" Oh, mau beli apa?" tanya Sakti yang tanpa permisi justru menyelaraskan langkah dengan Sena.
" Minyak goreng, habis-HATSYI!"
" Kamu flu, Na?" Sakti bertanya seraya menatap cemas pada perempuan di sebelahnya, yang baru ia sadari merapatkan jaketnya hingga membuat tubuhnya yang mungil tampak semakin mungil. " Nanti aku antar, mau?"
" Nggak papa," ucap Sena berusaha bernafas karena kini salah satu lubang hidungnya mampet. " Kayaknya pagi ini agak dingin ketimbang pagi-pagi yang lalu. Nanti kalau habis olahraga paling hilang sendiri."
Namun Sakti justru menangkupkan telapak tangannya di dahi Sena, yang langsung ditepis Sena dengan pelan dan membuat gadis itu semakin memperlebar jarak.
" Nggak demam. Yakin flu biasa?" Tanya Sakti mengamati Sena lekat-lekat.
" Ini cuma gara-gara kedinginan. Mas Sakti sering jogging, ya? Kok aku nggak pernah tahu?"
" Masa? kalau gitu sekarang udah tahu," ucap Sakti ringan menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku training. " Cuma jogging di sekitar kompleks saja, Na. Kamu kenapa nggak jogging saja daripada senam di dalam rumah?"
Sena menggeleng, " Waktu pagiku sedikit. Dan aku nggak mau ribet pakai ini itu--HUATSYI!!"
Sakti tertawa.
" Bersinmu kenapa mirip bapak-bapak, Na?" kekehnya dengan satu tangan terbang pada puncak kepala Sena, namun jemari itu tidak pernah menyentuh Sena karena gadis itu langsung menjauh.
" Aku duluan, Mas. Udah kesiangan ini!" pamit Sena seraya berjalan lebih dulu dengan langkah cepat, berusaha meredam gigil yang kini tengah merambati dirinya, juga rasa takut yang membuat seluruh udara terampas dari paru-parunya.
Tuhan, jangan.
***
" Beneran gue penasaran, kapan lo ngasih PJ?"
" Hm? PJ apaan?" Sena yang sedang berkonsentrasi pada lembar Asuhan Gizi di tangannya berujar.
" Elah Na, Pajak Jadian! Jangan bilang lo masih single, ya! Cowok yang jemput lo di lobi seminggu lalu itu cowok lo, kan? Dia yang pernah ngajak lo makan siang itu, sama yang rajin banget telfonan sama lo itu kan, ya?" Kekeh Farida dari kubikelnya di samping Sena, " Mamas Sakti. Wajegile ya selera lo Na. Seksi gitu pas pakai kemeja!"
Farida hanya tidak tahu saja, bahwa saat ini seorang Devasena sedang membeku di kubikelnya.
Sena menelan ludah, berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya kembali. " Dia tetangga gue, Da."
" Hm? Cuma tetangga? Lo mau backstreet-an nih ceritanya?"
Sena memutuskan berhenti kala jemarinya mulai gemetar.
" Kenapa lo bisa ambil kesimpulan begitu?"
Karena saat ini, pada detik ini, Sena merasa sangat tersesat hingga dia tidak tahu pada titik apa dia berada.
" Hm? Lo kelihatan bahagia waktu lihat dia." Farida menjawab disertai suara keyboard yang beradu dengan jari tangan, " Maksudnya...buat kita ini, jujur ya, Na, lo itu cenderung tertutup masalah begituan. Ya gimana, Pak Danar yang sinyalnya sekenceng forji aja lo nggak ngeh. Intinya, kita nggak pernah lihat seorang Devasena terlibat dalam suatu romansa. Seringnya sih lihat lo yang bikin pasien kejang saking galaknya. Jadi, kesimpulan dari apa yang gue lihat di lobi, dia cowok lo. Itu artinya, Pajak Jadian, oke?"
Teman sejawat dan segala keingintahuannya. Tanpa sadar, gadis itu mencengkram kertas kala sesak itu datang lagi. Seakan Sena terkurung dalam sebuah kotak sempit tanpa jalan keluar. Pengap, kekurangan udara, membuatnya kalut dan takut.
Apa dia sebahagia itu?
Waktu Sakti menjemputnya, tentu saja dia bahagia, siapa yang tidak bahagia waktu tetangganya pulang dari luar neg—
Tidak ada, Devasena! Tidak ada orang yang sepeduli itu pada tetangga yang baru saj—
Ck! Farida pasti salah.
Sena memejamkan mata, menghentikan ocehan dari dalam diri yang membuat kepala semakin pening.
" Apa coba, Da? Cuma ketemu aja lo udah heboh. Dia cuma jemput gue." Sena bergumam pelan.
Hening, kemudian terdengar derap langkah kaki sebelum Farida muncul di kubikelnya sambil berkacang pinggang. Perempuan itu menekuk wajahnya, kemudian duduk di hadapan Sena tanpa permisi dan menumpukan dagu di jemarinya yang bertaut.
" Lo beneran nggak mau ditagih PJ sampai segitunya ya, Na? Pelit amat!" sungutnya mencebik, " Lo nantang gue buat ngebuktiin nih ceritanya? Oke! Pertama, lo cengar-cengir sendiri bahkan sebelum lo nyapa dia. Kedua, cengiran lo makin lebar waktu kalian bertemu sapa. Ketiga, dia bilang dia kangen lo -telinga gue telinga lambeturah, oke?- Keempat, God! He touch you so gentle, Na! Dan terakhir, seorang Devasena bisa sedekat itu cuma sama Mamas Sakti ini. Lo ketawa ketawa kaget apalah itu. Dan jangan lupakan ekspresi lo setiap dapat telfon dari dia. Serasa lihat Galuh waktu habis nikahan aja. Hm? Masih belum bisa nagih PJ?"
Apa dia seperti itu? Tolong, dia butuh CCTV!
Tentu saja, ini bukan jenis obrolan yang Sena inginkan ada di lingkungan kerjanya. Meletakkan lembar Asuhan Gizi yang harus ia rekap secepatnya, gadis itu mengurut pelipisnya.
" PJ apaan, Da? Gue nggak ada apa-apa. Udah gih sana balik! gue mau lanjut ini."
" Tapi Na!" Protes Farida tidak terima. " Gue pingin tahu—"
" Farida, gue masih harus kerja."
Mendengar nada tegas dari Sena, gadis berambut sebahu itu langsung bungkam. Ada keseriusan dalam suara Sena yang membuat Farida akhirnya sadar jika ini bukanlah topik enteng meskipun tadinya dia hanya ingin menggoda Sena.
Mencebik, Farida berdiri dan menepuk pelan bahu Sena.
" Okelah my baby Sena, hwaiting! PJ-nya ntar aja nggak papa kok. Gue sabar." ucapnya melemparkan tinjunya ke udara sebelum keluar.
Selepas menghilangnya Farida, gadis itu melemparkan kertasnya ke meja dan menyurukkan wajah ke dalam lipatan tangan, membiarkan kegelapan mengambil alih akal sehatnya barang sejenak.
Dia ini sebenarnya kenapa?
**
Calon keponakan Kenanga ternyata sangat manja.
Setelah kemarin merepotkan Gagah dengan menyuruhnya memakan mangga muda bersama Arga hingga pasien Sena di Kenanga bertambah satu, meminta Yolla tidur bersama dengan syarat Arga harus tidur dengan Gagah, meminta Rafi membawakan anak bebek (hanya satu hari, hari berikutnya disuruh bawa pergi), kali ini giliran Sena yang diminta memasak sayur brongkos.
Maka tidak ada pilihan lain bagi Sena selain pergi ke supermarket. Sudah hampir jam delapan malam saat Ana tiba-tiba mengiriminya pesan bahwa besok dia ingin menikmati sayur brongkos buatan Sena. Yah, tidak terlalu merepotkan, sih. Lagipula Sena juga bisa sekalian membeli keperluan bulanan.
Gadis itu baru mengintari rak daging ayam ketika dirasa bahunya ditepuk pelan. Sena menoleh dan mendapati Sakti berada tepat di belakangnya. Laki-laki tampak santai tanpa kacamata dan kaus hitam berlengan pendeknya.
Saat itu juga, Sena memutar troli hingga benda yang sudah penuh itu berada di antara mereka.
"Mas Sakti ngapain di sini? Dapat PR juga dari keponakan?" tanya Sena pada Sakti.
" Nggak, belum kayaknya. Aku ke sini cari sesuatu. Nggak taunya ketemu kamu," ucapnya seraya mengambil alih troli dari tangan Sena, yang dilepas Sena dengan sangat tidak santai.
" Kamu dapat PR? Apa?"
Sena berdehem. " Masakin brongkos. Baru mau milih ayamnya."
" Aku kesana dulu, Mas." ucap Sena beralih pada rak yang lain. Sakti menurut saja. Laki-laki itu mengekor di belakang Sena sembari mendorong troli yang sudah penuh.
Saat itu, ponsel Sena berbunyi.
" Halo Mas Arga. Kenapa?" Tanya Sena menjawab telfon sementara tangannya yang lain sibuk memilah bahan makanan.
Sakti mengamati itu semua dari samping, menumpukan dagu di kedua tangannya yang terlipat pada handle troli. Dengan kaus berkerah lengan pendek berwarna biru polos, rok panjang berbahan jeans yang mencapai mata kaki dan sling-bag rajut berwarna putih, gadisnya terlihat sangat cantik. Dan jangan lupakan rambutnya yang tergerai halus hingga ke punggung, dengan beberapa helai terjulur ke depan melalui pundaknya. Lain sekali dengan penampilan rambut bersanggul ketika Sena sedang bekerja, yang mampu menggoda Sakti dengan cara berbeda. Sena yang ini terlihat sangat cantik, dan Sakti menyukainya.
Damn!
Sakti mengalihkan wajah.
" Apa?" Suara Sena membuat Sakti menoleh kembali ke arahnya, " Titip apa?"
Gadis itu mengerutkan kening kala mendengarkan suara Arga yang tersamar, " Mas Arga baru ngapain, sih? Ngomong yang jelas dulu! Mbak Ana minta apa? Ke—"
" Bun--...rang, Na..."
Sena memutar bola mata. Suara supermarket benar-benar menenggelamkan suara Arga.
" Kenapa?" tanya Sakti mendekatinya.
Sena mengangkat bahu, " Nggak jelas...apa Mas Arga?"
Sakti ikut merendah dan menempatkan telinga tepat di samping ponsel Sena.
" -nga keco..."
" Bunga?" gumam Sakti membantu sembari berkonsentrasi pada suara Arga.
" Hm? Bunga? Bunga ke—Ya ampun, bunga kecombrang?" seru Sena menghembuskan nafas keras.
" Ya itu! Ana...ngin makan!"
Frustasi, Sena mematikan sambungannya dan mengirim pesan, " Bikin emosi aja suaranya! Jadi, kecombrang? Mbak Ana pingin apa? Masa iya brongkos dikasih kecombrang? Apa ditum--"
Suara Sena menghilang saat dirinya menoleh, karena hidungnya langsung berhadapan dengan hidung Sakti yang rupanya masih membungkuk. Membuat Sena bisa melihat dengan jelas iris coklat tua yang juga sedang menatapnya dalam jarak yang sangat dekat. Seketika itu juga, Sena memekik dan ponselnya terlepas dari genggaman.
Sakti menangkap ponsel Sena tepat waktu, memberi waktu gadis itu untuk menjauh.
" Maaf," kata Sakti mengulurkan ponsel Sena.
Sena masih membeku dengan rasa nyeri yang mulai merambati setiap senti tubuhnya bersamaan dengan jantung yang bertalu mengerikan.
" Sena?" panggil Sakti membuat Sena tersadar. Gemetar, gadis itu menerima ponselnya.
" Makasih," jawab Sena mengalihkan wajahnya. Sebuah usapan lembut mendarat di puncak kepala Sena, menghantarkan arus listrik yang menyentak Sena dari atas hingga ujung kaki.
" Kamu harum," bisik Sakti berjalan di sampingnya.
Jangan, jangan, tolong!
**
Sena hanya bisa menatap pasrah pada Sakti yang sedang berkompromi dengan satpam perihal sepeda Sena.
Beberapa menit lalu, dia kalah berdebat dengan Sakti. Sakti bersikeras Sena harus ikut mobilnya karena malam sudah larut, sedangkan Sena tentu saja tidak mau meninggalkan city byke kesayangannya di sini walaupun hanya semalam! Lagipula tolong, dia sudah lama tinggal di sini. Ini bukan pertama kalinya dia pergi ke supermarket dengan sepeda selarut ini!
" Jangan pergi sendirian selarut ini, Sena. Kamu perempuan," ucap Sakti ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
" Hm," jawab Sena singkat dengan wajah menghadap ke luar. Sakti melirik ke arahnya.
" Kamu marah?" tanya Sakti kemudian.
Hening sejenak, kemudian Sena menghirup nafas panjang. Karena sekarang, perhatian laki-laki ini sangat mengganggunya.
" Nggak perlu khawatir, Mas. Aku udah biasa sendiri. Kompleks ini ramai."
" Maaf. Akan sangat salah ngebiarin kamu pakai sepeda sementara ada aku yang bawa mobil. Jadi, maaf, ya?"
Spontan, Sena mendengus geli, " Pembelaanmu payah, Mas."
Sakti mengedikkan bahu, " Aku nggak mau debat sama kamu. Aku lebih suka kita ngobrol sesuatu yang bisa bikin kamu tertawa."
Sena mendesah lirih.
" Masih marah?"
Sena menggeleng, " Aku nggak marah. Just stop spoiling me, okay? Aku udah biasa."
Mendengar itu, Sakti tertawa pelan, " I am not spoiling you, Devasena. I cherish you."
" Berhenti, Mas! Cukup Pak Danar aja yang suka ngomong ngawur sama aku."
" Hmm...instagramnya Danar namanya apa?"
" Memangnya kenapa?"
Sakti melirik sekilas pada Sena yang memandangnya ingin tahu, kemudian kembali menatap ke jalanan dengan tenang. Sementara Sena berusaha memahami tingkah laku tetangganya, ada sesuatu yang lebih mendesak untuk ia pikirkan.
Tidak boleh.
Karena semakin dia memikirkannya, semakin jelas apa yang tengah diraba oleh sulur-sulur kesadarannya. Sebuah konklusi tidak sengaja yang terlambat ia terka, tengah mengetuk kubah yang selama ini ia bangun kuat-kuat.
Karena jelas, 'konklusi tidak sengaja yang terlambat ia terka' itu berupa sebuah pemikiran mengerikan bagi Sena.
Sebuah pemikiran setipis debu, yang singgah hanya dalam sepersekian detik, namun berhasil mengacaukan dunianya.
Yang dengan lancang berbisik pada Sena, bahwa Sakti menyukainya.
Tidak mungkin, kan?
Karena Sakti memang sebaik itu, dia berbicara semenyenangkan itu, dia bertingkah semanis itu. Dia adalah tetangga terbaik sedunia. Bukan karena ada keterta---damn no! terhadap Sena. Perhatian pada Ana, pada Arga, pada Rafi, maka wajar jika Sakti perhatian padanya karena Sena tetangganya, kan?
Iya, kan? Memang harus begit--
Seluruh pikiran kusutnya tersapu ketika mereka sampai di kontrakan, karena kini Sena menatap seorang wanita yang tengah memandangi mereka dengan tatapan setajam pisau.
" Ng...itu Mbak Nathalie, kan?"
*TBC*
Hajimara hajimara hajimara🎶
Selamat pagi semuanya, semoga berbahagia ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro