DEVASENA | 20. Rasa yang Menakutkan
" So pathetic."
Danar menoleh, hanya untuk mendapati Jenny bersandar di kusen pintu ruangannya dengan tangan bersedekap.
" Kelihatan, ya?" celetuk Danar geli. " Sepertinya aku kena batunya."
Jenny mengamati Danar yang menyusun berkas-berkasnya dengan cekatan. Dia sangat mengenal Danar. Laki-laki itu tipe yang terorganisir dan menyukai keteraturan. Maka ketika dirinya melihat Sena yang keluar dengan tergesa dan ruangan Danar yang berantakan, dia bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
" Kamu itu cowok yang bakal ngomel panjang cuma karena isi tasku berantakan, Nar," tukas Jenny membantu Danar. " Lalu kenapa kamu ditinggal?"
Saat itu pula, gerakan Danar terhenti. Sena dan dirinya adalah topik yang sangat Jenny hindari. Dan sekarang perempuan itu bertanya?
Jenny mengangkat bahu. Perempuan dengan rambut sepanjang pinggang itu menyerahkan setumpuk berkas pada Danar, yang diterimanya.
" Aku lelah."
" Maaf?"
Jenny mengulum senyum getir saat menatap Danar, " Aku...sudah memikirkannya. Aku lelah menginginkan kamu sementara kamu menginginkan dia. Aku lelah merasa sakit. Jadi, aku bebaskan kamu, Nar."
Ada luka di mata amber itu. Namun Danar juga menangkap ketulusan di sana.
" Maaf karena aku mengacaukan persahabatan kita cuma gara-gara aku jatuh cinta sama kamu," kata Jenny memunggunginya untuk merapikan berkas yang tersisa. Tapi Danar yakin itu bukan alasannya. " Cewek memang mudah tersentuh, ya. Kamu harus ngerti itu. Apalagi dengan kamu yang kelewat baik."
Gerakan Jenny terhenti kala gadis itu mengusap wajahnya. Namun Jenny bersikeras memunggungi Danar.
" Aku akan bilang sama Mama. Mama pasti paham," ucap Jenny berbalik dan menyerahkan setumpuk berkas lagi pada Danar. Matanya memerah, namun senyum masih terulas di bibirnya.
Danar menelan ludah, " Jangan, Jen."
Jenny terkekeh kecil, " Aku tahu kamu akan ngomong gitu. Kamu juga sayang Papa Mama seperti aku sayang mereka. Tapi Nar, aku nggak bisa."
Dan setetes air mata terjatuh dari mata Jenny.
" Mau sampai kapan kita terjebak di sini? Sampai papaku bangun? Kamu tahu itu kecil kemungkinannya, Nar. Kondisi vegetatif seperti Papa jarang bisa siuman lagi," Jenny berusaha menguasai diri. " Kita berdua tahu kita mempertahankan papa demi Mama, dan pertunangan ini juga demi orangtuaku. Lalu apa?"
Jenny berhenti kala isakan mengambil alih seluruh ruang di tenggorokannya.
" Kamu terluka, aku terluka dan Mama hidup dalam harapan palsu. Menurutmu apa itu perlu diteruskan?" Jenny mengusap matanya. " Nggak ada yang lebih kejam ketimbang kebohongan, sehalus apapun itu. Nggak ada, Nar. Aku akan ngomong pelan-pelan sama Mama. Tentang kita. Tentang Papa juga. Aku mau Mama sepenuhnya ikhlas waktu kita melepas--"
" Itu sama saja pembunuhan, Jen. Papa kamu belum mati!" sahut Danar emosi.
" Tapi dia juga nggak hidup, Nar! Siapa yang tahu kalau Papa sebenarnya menderita?" balas Jenny putus asa. " Aku anaknya! Demi Tuhan aku juga nggak mau ditinggal Papa! Tapi aku lebih nggak mau lagi lihat Papaku menderita!! Sakit tahu, Nar. Lihat Papa seperti itu, aku rela ngegantiin Papa asal Papaku bisa balik lagi kayak dulu! Bisa senyum, bisa bikin Mama bahagia! Itu lebih baik daripada aku melihat pengharapan Mama yang makin hari kian redup, Nar! Itu menyakitkan! Aku nggak bisa—"
" Jangan," bisik Danar pada Jenny di pelukannya. " Aku akan bantu kamu bicara tentang kita. Tapi nggak untuk Papa kamu. Kalau kamu sudah capek, biar Papa sama aku, Jen."
Jenny masih membeku. Kapan terakhir kalinya ia merasakan kehangatan ini? Danar tidak pernah lagi menyentuh Jenny sejak mulut lancangnya tanpa sengaja membeberkan isi hati Jenny. Hening, kemudian isakan terdengar dari Jenny yang masih di dalam pelukannya.
" Kok aku jadi kejam begini sih, Nar? Astaga! Apa aku tadi baru aja bilang mau bunuh Papaku sendiri?"
Danar mengeratkan pelukan pada tubuh Jenny yang bergetar hebat seiring dengan isakan Jenny yang memenuhi ruangan.
" It's okay, Jen. Kamu cuma terlalu sayang sama papa," kata Danar memejamkan mata. Tidak bisa dipungkiri bahwa sesaat yang lalu, dia juga ketakutan setengah mati akan pemikiran tidak terduga Jenny. Danar membelai lembut belakang kepala Jenny, menunggu dengan sabar hingga isakan gadis itu mereda.
" Kamu bebas ngejar Sena, Nar," ucap Jenny mengurai pelukan Danar.
Air mata masih mengalir dari kedua matanya. Namun bibir itu tersenyum dengan lebih tenang. Ia mengulurkan tangan, sedikit ragu ke arah Danar. Namun ia meneruskan gerakannya. Menepuk-nepuk pipi Danar seperti yang sering ia lakukan ketika mereka masih bersahabat.
" Maaf," pinta Danar pelan.
" Aku dukung kamu," kata Jenny tulus.
Danar masih terdiam. Ia membiarkan tangan Jenny menepuk pipinya sembari menatap wanita yang lebih pendek darinya itu.
" Sakit, Jen?"
Jenny terkekeh.
" Bodoh. Tentu saja sakit, Nar. Tapi aku lelah. Jadi akan lebih mudah melepaskan kamu." kata Jenny. " Aku jatuh cinta sama kamu karena persahabatan kita. Jadi aku sekalian mau bilang, kalau tahun depan aku udah nggak kerja di sini."
Mendengarnya, Danar membulatkan mata.
" Kamu bercanda!" sentak Danar.
Namun Jenny menggeleng. " Rencananya, aku mau nerusin kuliah di Amerika dan tentu saja, Mama Papa aku bawa ke sana. Jadi, semoga berhasil ya. Aku tunggu undangannya."
Jenny menyerahkan setumpuk berkas terakhir pada Danar dan berbalik. Namun Danar menahan tangannya.
" Kamu nggak perlu pergi," pinta Danar menatap Jenny lekat. " Jangan pergi gara-gara kita. Ini bukan kamu, Jen."
Jenny menatap Danar beberapa saat, kemudian membelai lembut bahu laki-laki itu.
" Dari dulu kamu selalu kepedean. Kalau kamu bilang seperti ini terus aku harus gimana coba?" kekeh Jenny meskipun kentara sekali gadis itu sedang menahan sesak yang amat sangat. " Aku tetap wanita, Nar. Aku harus pergi dari kamu agar bisa bahagia dengan caraku sendiri. Karena aku takut, aku akan jadi jahat kalau terus-terusan di dekat kamu."
Cengkraman Danar di tangan Jenny mengerat. Dalam setiap suku katanya, Danar seakan ditampar oleh kenyataan bahwa dia yang menyebabkan Jenny menderita.
" Cinta yang benar itu memberi, bukan menuntut," ucap Jenny lembut. " Aku cinta kamu, I do love you, Danar Prasetya. Tapi akan sangat salah kalau aku memaksa kamu cinta aku juga. Yah, aku sudah berusaha semampuku, sih. Hanya saja aku tahu, nggak ada peluang untuk kita dengan seluruh hati kamu tercuri perempuan lain. Aku lelah, Danar. Lelah sekali. Jadi, sampai jumpa. Kita akan jarang ketemu karena aku mulai sibuk nyiapin semuanya."
Dan perempuan anggun bertubuh langsing itu berbalik dengan sejuta air mata tertahan di pelupuk mata. Meninggalkan Danar yang entah bagaimana kehilangan kata-katanya.
**
" Jadi nanti take off dari sana jam berapa?" tanya Sena antusias dengan tangan sibuk mengaduk sepanci penuh sayur di depannya.
Sejak hari itu, tidak ada satu hari yang dilewati Sena tanpa mendapat telfon dari Sakti. Laki-laki itu menemaninya memasak, makan siang bahkan mereka terkadang mengobrol hingga larut malam.
Dan hari ini, tetangganya yang baik itu pulang.
Sena terkekeh geli kala mengingat penampilan kasual laki-laki itu. Selalu dan selalu, kaus atau jumper berwarna hitam, kacamata bundar dan rambut yang sedikit acak-acakan. Oh, dan jangan lupakan gingsul manis yang mengintip ketika cengiran Sakti tercipta.
Sekarang Sena baru menyadari bahwa senyum laki-laki bergingsul memang beda.
" Di jadwal kita take off jam sebelas," jawab Sakti. " Benar kamu nggak nambah titipan oleh-oleh? Kemarin Arga pesan coklat."
Sena tertawa, " Itu yang minta Mbak Ana. Mbak Ana nyidamnya aneh-aneh. Tadi malam Mas Arga kelimpungan cari mangga muda. Setelah dapat dari rumah Pak RT, yang disuruh makan Mas Arga. Katanya Mbak Ana nyidam muka lucunya Mas Arga. Sekarang Mas Arga izin nggak masuk. Mules katanya."
Sakti tertawa, " Aneh-aneh saja."
" Udah biasa ibu hamil nyidamnya aneh-aneh, Mas," kekeh Sena. " Yang penting mual muntahnya udah berkurang. Udah bagus itu."
" Kamu orangnya perhatian, Na," komentar Sakti. " Belum selesai masaknya?"
" Umm, udah," ucap Sena mencicipi masakannya.
" Enak?"
Sena memutar bola mata, " Nggak ada salahnya muji diri sendiri, kan? Enak, kok."
Tawa pelan terdengar dari sana, " Mau senam? Aku juga harus mandi."
Sena mengangguk pada ponsel yang ia letakkan di konter, " Iya, Mas Sakti. Nanti hati-ha—"
" SENA!! IKUT SARAPAN YA! AKU MASUK PAGI INI NGGAK SEMPAT CARI MAKAN!!"
" Siapa?" tanya Sakti setelah raungan itu berhenti.
Sena mendengus kecil, " Masih perlu tanya? Udah jelas itu Mas Rafi. Ck! Mas Sakti mandi, gih. Aku mau buka pintu dulu."
Sakti terkekeh, " Sampai ketemu nanti, Devasena."
**
Tidak, tidak. Dia tidak sedang nyengir lebar.
Tapi gusinya yang mulai kering sepertinya sudah jadi bukti.
Sena baru saja berkemas hendak pulang ketika sebuah pesan terpampang di layar ponselnya.
" Kamu sudah pulang? Kalau belum, aku tunggu di lobi."
" Duh yang senyum-senyum sendiri sampai matanya lengket ke layar. Dari siapa, Na?" sindir Galuh meskipun ia tertawa melihat Sena yang tidak lepas dari ponsel.
" Tetangga gue," jawab Sena tersenyum lebar dengan mata terpancang pada layar ponsel. Ia melompat bangkit. " Pulang dulu ya, dadaaah dedek bayi!"
" Daaaaah juga Tante. Salam buat Om ya."
Sena tergelak geli. Mengabaikan sindiran Galuh, gadis itu nyaris berlari menuju lobi.
Dan matanya langsung menemukan sosok tinggi berbalut kemeja putih dengan jam tangan berwarna perak melingkar di salah satu tangannya. Berdiri memunggungi Sena di depan rak leaflet, tengah serius membaca salah satu leaflet, sedang tangan yang lain terbenam ke dalam saku.
" Nutrisi untuk Ibu Hamil? Kenapa baca itu?"
Sakti menoleh, membuat Sena menyadari bahwa sudah lama sekali dirinya tidak melihat sorot mata tenang dari balik kacamata bundar itu.
" Jadi, kenapa ke sini dulu?" tanya Sena tanpa bisa menahan senyum yang terkembang di bibir.
Sakti menatapnya beberapa saat, kemudian tersenyum. Laki-laki itu mengembalikan leaflet ke rak dan menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku. Ini perlu, karena saat ini mendadak saja dia dikuasai dorongan untuk memeluk gadis mungil berparas ayu itu.
" Karena aku kangen kamu," jawab Sakti sedikit membungkuk.
Sejenak, gadis itu terdiam kala manik coklat tua milik Sakti menatapnya, lalu Sena tertawa.
" Kasihan, aku lebih kangen oleh-olehnya. Jadi, ayuk pulang! Mas Rafi sama Mbak Ana udah ribut banget di grup. Pasti Mas Sakti udah baca, kan?"
Sungguh, Sakti ingin sekali menenggelamkan sosok mungil itu ke dalam dekapannya. Namun laki-laki itu hanya bisa menghirup nafas panjang dan mengikuti langkah Sena menuju mobilnya. Hanya perasaannya ataukah gadis ini tambah cantik saja?
Langkah Sakti terhenti kala Sena terkesiap.
" Lhoh Mas, kan aku berangkat pakai sepeda! Gimana sih kok lupa..." Sena meremasi tangannya sebelum mendongak untuk menatap Sakti, " Aku pakai sepeda saja, ya? Masa mau ditinggal?"
" Kenapa? Di dalam parkiran, kan?"
Sena mengangguk, " Iya, Mas Sakti, tapi besok—"
" Besok aku antar."
" Jangan! Nanti repot! Mas Sakti duluan, gih! Aku--" Sena hendak berbalik kembali ketika Sakti meraih pergelangan tangannya.
" Besok aku juga harus berangkat pagi. Banyak laporan."
Sena mengedip. " Beneran?"
" Hmm...Jadi, pulang sekarang?" Sakti melepaskan tangan Sena sebelum menenggelamkan tangannya kembali ke dalam saku. Lalu ketika dia masih melihat keengganan Sena, laki-laki itu mengedik ke arah mobil, " Ada dua kardus penuh coklat."
Sena mengerjap, kemudian menjentikkan jari.
" Ah iya bener! Nanti meleleh. Ya sudah sih, ayo pulang!"
Sakti membiarkan Sena kembali melangkah dengan tergesa ke arah mobil, membuat ransel di punggungnya tampak jelas kebesaran bagi punggung mungil nan ramping itu. Laki-laki itu mengacak belakang kepalanya dan mengalihkan perhatian. Sejak kapan rindu terasa seberat ini? Obyek rasa rindunya jelas-jelas hanya satu langkah di depan. Tapi Sakti tidak kuasa merengkuhnya. Dia tidak segila itu.
Setidaknya, belum.
" Nanti sampai rumah, Mas Sakti bisa ambil ketimun di kulkas," ucap Sena membuat Sakti menoleh sekilas.
Sena nyengir dan menunjuk wajahnya, " Kantung matanya item."
Sakti mendengus geli, " Jelek, ya?"
" Dih, jangan baper. Aku kan cuma bilang item, nggak jelek. Mirip Mas Rafi kalau begadang semaleman. Di sana capek banget, ya? Kenapa mampir segala? Kan tadi bisa langsung ke kontrakan. Bisa istirahat lebih lama," ucap Sena mengamati wajah Sakti yang memang terlihat lelah.
" Sudah aku bilang, aku kangen kamu," jawab Sakti membuat Sena memutar bola mata. Lama-lama, omongan Sakti jadi ngelantur mirip Danar.
" Jadi, aku ketinggalan cerita apa saja selama dua minggu ini?" tanya Sakti dengan fokus ke depan.
Sena mengerucutkan bibir, " Hmm...apa ya? Nggak ada yang spesial, sih. Mungkin cuma Mbak Ana yang pulang dari rumah sakit, nyidamnya tambah aneh-aneh. Coba Mas, padahal tadi..."
Seperti biasa. Kata-kata Sena selalu lancar mengalir ketika berhadapan dengan Sakti. Laki-laki itu mendengarkan Sena dengan penuh perhatian. Sesekali tertawa dan menanggapinya dengan candaan meskipun fokusnya tetap pada jalanan. Sepertinya, ada sesuatu dalam tawa dan suara tenang laki-laki itu, karena Sena menemukan dirinya selalu merasa bersemangat jika dia bercerita pada Sakti.
Bahkan, sekarang disadarinya dia sedang mengoceh panjang lebar tentang pasien yang ia hadapi hari ini. Bagaimana kekesalannya menghadapi pasien yang keras kepala. Atau ketika ia menangis sesenggukan saat hendak mengecek salah satu pasien, ternyata pasien itu sudah lebih dulu tiada tadi malam.
Sesekali, antusiasme Sena terjeda oleh tawa Sakti, membuat gadis itu ikut tertawa hingga ia tidak pernah tahu betapa Sakti sering sekali melarikan tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Sena.
**
Malam itu, unit Sakti jadi penuh sesak dengan anggota Kenanga yang berjejalan hingga Arga harus mewanti-wanti gerakan Ana yang terlihat girang sekali.
" Lihat, Mas. Coklatnya lucu!" serunya berbinar dan mengacungkan coklat berbentuk Merlion sebesar telapak tangan ke arah Arga.
" Iya, lucu."
Arga sesekali meliukkan tubuhnya karena perut yang belum beres sejak tadi pagi. Namun laki-laki itu memandangi Ana dengan sayang ketika Ana menyuapkan sekeping coklat padanya.
Berbeda dengan Rafi yang langsung mengobrak-abrik setumpuk baju di tengah ruangan, mencari ukuran yang pas dengannya. Sakti tidak main-main. Dia benar-benar membawa buah tangan yang cukup untuk satu desa.
" Yah, Na. Lo nggak bisa pake kaosnya, dong," celetuk Rafi pada Sena yang sibuk membolak-balik gantungan kunci di tangannya.
" Ha? Kenapa?"
" Yakin, lo pakai ini jadinya mirip anak TK pake kaus papanyahaduh duduhh ck!!" serunya menepuk-nepuk tangan Sena yang sudah melayang di telinga Rafi.
" Jangan pegang-pegang gantungan kuncinya! Ini buat aku semua!" ketus Sena setelah disadarinya gantungan kunci itu imut sekali.
" Yah! Maruk amat!" Rafi merangsek.
" Nggak mau, sana sana hushh!!"
" Katanya mainstream?"
" Yatapi ini lucu!"
" Ah, Mbak Yolla! Sini sini masuk!" ucap Ana ceria sambil melambai. Serentak, Rafi dan Sena berhenti saling menyerang dan menoleh.
" Bagus! Sekarang berhenti cakar-cakaran. Nanti coklatnya remuk semua," kata Ana puas sembari menyelamatkan sekardus penuh coklat Merlion yang hampir tertendang oleh Rafi.
Rafi melepaskan hidung Sena bersamaan dengan Sena melepaskan cubitannya dari lengan Rafi. Keduanya merasa agak sakit hati karena sudah dibohongi oleh si ibu hamil ini.
Sakti yang sedari tadi hanya duduk di depan komputer, memandangi keempat orang itu dengan tawa geli. Lalu, laki-laki itu menepuk pundak Sena, membuat gadis itu berputar untuk menghadap dirinya. Sakti melengkungkan jemari, menyuruh Sena mendekat tanpa suara, yang dipatuhi Sena dengan wajah penasaran. Di tangannya, gadis itu masih menggenggam beberapa gantungan kunci yang agaknya ia pilih dengan hati-hati, membuat Sakti ingin sekali menjauh agar tidak meraih tubuh mungil itu dalam rengkuhannya.
" Kenapa?" tanya Sena mengerutkan kening. Sakti memandanginya sejenak, kemudian tersenyum. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan meraih satu tangan Sena.
" Surprise," ucap Sakti pelan seraya meletakkan sebuah kotak persegi panjang terlapis beludru di telapak tangan Sena.
Sena membelalak, " Eh?"
Sakti hanya tersenyum. Ia mengedik, menyuruh Sena membukanya. Gadis itu mengerutkan kening, namun ia mematuhi Sakti.
Sena melepas tutupnya, kemudian menemukan sebuah botol parfum yang sangat cantik dengan cairan berwarna ungu di dalamnya. Segera saja, Sena tersihir dengan keelokan bentuk botol parfum yang kesemuanya dibuat dari kaca itu. Seperti seni yang diukir dengan penuh kehati-hatian pada sebuah balok es. Setiap sudutnya menangkap cahaya dan memantulkannya dengan lembut, menjadikan cairan yang berwarna ungu pekat itu tampak semakin memukau. Memberikan kesan anggun dan mewah secara bersamaan.
Dalam sepersekian detik setelah Sena mengagumi pemberian Sakti, gadis itu terbungkam. Ia menatap botol parfum itu kembali, kemudian menelan ludah.
" Ng...Mas Sakti?" panggil Sena takut-takut. Gadis itu kembali menutup kotaknya dan mengembalikannya pada Sakti.
" Jangan begini," ujar Sena pelan. " Waktu itu aku nggak serius. Aku...kaus sama gantungan kunci aja. Beneran!"
Namun Sakti meraih telapak tangan Sena dan meletakkan kotak itu kembali, " Siapa bilang aku belikan ini atas permintaan kamu? Aku belinya sebelum kamu minta surprise."
Sena menatap Sakti, terlalu kehilangan kata-kata. Namun laki-laki itu tersenyum.
" Aku suka aromanya. I think it will suit you, Devasena," kata Sakti. " Tolong, jangan ditolak."
Sena membasahi tenggorokan yang mendadak terasa kering, kemudian menoleh ke belakang. Tiga orang lain masih sibuk dengan kegiatannya. Sama sekali tidak menghiraukan kejadian kecil di pojok ruangan ini yang entah mengapa, membuat Sena mulai merasa tidak nyaman.
" Ng...tapi Mas Sakti..." Sena meremasi tangannya yang bebas. " Ini...terlalu bagus."
" Nggak ada yang terlalu bagus untuk sebuah pemberian, Na. Anggap saja itu tanda keramahan. Dulu waktu pindah ke sini, aku belum sempat kasih apa-apa sama kamu dan yang lain," jawab Sakti yang membuat pipi Sena memerah.
" It-lalu, berarti Mbak Ana sama Mbak Yolla juga dikasih, kan?" Sena bertanya dengan secercah harap di suaranya.
Siapapun, tolong, saat ini tiba-tiba saja Sena merasa sangat tidak aman.
Sakti menggeleng dengan seulas senyum di ujung bibirnya. " Nanti kalau aku kasih mereka, yang ada aku dihajar Arga sama Gagah."
Harusnya Sena tertawa, karena jelas sekali kalimat tadi adalah kalimat yang lucu. Tapi sungguh, seluruh kesadaran Sena saat ini tengah meraba sesuatu.
Sena kembali memandang benda di tangannya, berusaha mengenyahkan rasa yang mulai bercokol di dada.
Namun Sena segera menepis ketakutan yang mulai menjalari dirinya. Ini pemberian, hanya pemberian. Pemberian dari tetangga paling baik hati sedunia. Akan sangat tidak sopan kalau dirinya menolak pemberian orang lain. Apalagi ketika orang itu terlihat sangat tulus.
" Ng...beneran, eh-ini nggak papa?" kata Sena akhirnya.
" Dicoba!" pintanya pelan.
Membasahi kerongkongannya untuk kesekian kali, gadis itu kembali mematuhi Sakti. Lalu menyemprotkan sedikit cairan ungu yang terasa dingin di punggung tangannya. Seketika itu juga, aroma menyenangkan langsung masuk ke hidungnya.
" Baunya harum," Sena membaui punggung tangannya, menilai. Dia suka wangi ini.
" Hmm. It suits you well," kata Sakti.
Sena hendak berkata ketika tiba-tiba saja, laki-laki itu meraih jemari Sena untuk dibawa ke bawah hidungnya. Mencium punggung tangan Sena dalam sebuah hirupan panjang dengan mata terpejam.
Tentu saja, gadis itu langsung menarik tangannya secepat kilat dan menatap Sakti dengan mata terbelalak.
Karena mendadak, jantungnya berdetak dengan sangat cepat hingga Sena yakin organ kecil itu akan meretakkan tulang rusuknya, membuat seluruh bulu kuduknya berdiri kala ia melihat Sakti menyentuhnya sedemikian rupa.
Seolah tidak menyadari efek yang baru saja dia timbulkan, laki-laki itu menatap Sena selama beberapa saat, kemudian tersenyum lembut, " Harum."
" Ah...ng, i-iya."
Sena cepat-cepat berpaling, karena mendadak dia merasa tidak mampu melihat wajah Sakti lebih lama. Dengan canggung, ia berbalik dan mendekati Rafi.
Sena menyodorkan tangannya di bawah hidung Rafi.
" Heh!! Apa-apaan cob—eh, kok wangi?"
Rafi menyipit sebelum meraih tangan Sena dan menahannya di bawah hidung persis seperti yang Sakti lakukan.
" Hmm...parfum, ya?" tebak Rafi jahil sembari melirik Sakti, kemudian terkekeh dan melepaskan Sena. " Baunya wangi. Dipakai dikit-dikit, Na. Jauh itu nyarinya."
Saat itu juga, Sena menarik tangannya, menahannya di dada seperti baru saja tersengat ribuan lebah.
Tidak. Tidak. Tingkahnya barusan bukan untuk pamer pada Rafi.
Tapi untuk mengetahui reaksi tubuhnya sendiri.
Dan kini setelah dia tahu bahwa tubuhnya tidak bereaksi mengerikan ketika Rafi memegangi tangannya, Sena mulai merasa gelisah.
" Jangan didengerin. Kalau kamu suka, kita bisa beli ke Singapura lagi."
Tiba-tiba, Sakti berbisik tepat di telinganya. Menghantarkan aroma mint ke setiap sudut paru-parunya hingga otomatis gadis itu menahan nafas. Sena menjauh dengan cepat hingga menerjang tubuh Rafi. Tapi masa bodoh dengan Rafi yang mengelus punggungnya sembari mengaduh. Dia terlalu terkejut dengan sebuah reaksi familier yang kini mengancam dirinya.
Sakti tertawa geli melihat reaksi Sena sembari menatapnya dengan lembut dan hangat.
Kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap ringan puncak kepalanya.
Dan gadis itu mulai ketakutan.
*TBC*
Selamat malam semuanya, semoga berbahagia ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro