Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 2. Kenanga

Time is rolling from here

===

Havana u nana

Half of my heart is in Havana u nana

He took me back to East Atlanta nanana

Half of my heart is in Havana

There's something about his man-

Sena mendongak ketika headset dicabut paksa dari telinganya, hanya untuk mendapati sebentuk wajah menatapnya dengan geram.

" Gue panggil dari tadi juga!" gerutu Galuh mencampakkan headset ke meja dan tersungkur di depan Sena dengan kepala tenggelam di lipatan lengan. Sena mengerutkan kening. Meneruskan kunyahan sepotong kebab di mulutnya, gadis itu melongok melalui laptop.

" Kenapa?" tanya Sena.

Galuh, gadis berbalut pakaian kerja batik berwarna merah itu menengadah dengan wajah letih.

" Ini mendadak banget Na," rengek Galuh menggoncang lengan Sena.

" Apaan deh!" tukas Sena yang memilih untuk menyingkirkan laptop, namun membiarkan sepiring kebab berada di hadapannya. Ia sedang kelaparan, ngomong-ngomong.

Galuh tidak segera menjawab. Gadis itu justru mengacak cepat rambutnya hingga terurai.

" Duh, Galang besok mau lamaran, Na! Duh, gue harus gimana?" pekik Galuh mulai panik. " Itu anak barusan bilang ini tadi mumpung orangtuanya pulang. Duh Na, duuuh perut gue!"

Kerutan dahi Sena mendadak lenyap. Kini ia tahu apa yang membuat wajah Galuh seperti orang sembelit satu minggu.

" Oh..." gumamnya pelan.

" Itu, masalahnya besok gue ada rapat. Lo ingat kan, tentang enumerator yang diminta Kemenkes buat jurnal gabungan tahun ini?"

Sena mengangguk sembari menggigit kebabnya dalam satu gigitan besar.

" Nah itu! Besok rapatnya," Galuh menjentikkan jari." Duuh mana berkas-berkasnya ada di gue, lagi."

Sena mengamati Galuh yang menggeliat seperti cacing kepanasan, " Langsung aja, nggak perlu njlimet. Lo butuh gue buat gantiin lo, gitu?"

Galuh menghentikan gerakannya, kemudian mendongak sembari menatap Sena dengan wajah penuh pengharapan. Gadis itu meraih jemari Sena yang bebas.

" Please!" Galuh memohon. " Gue traktir bakso beranak depan terminal, deh!"

Sena mengangguk, " Sekalian sama waffle kafe sebelah, tiga biji. Kalau nggak, perjanjian batal!"

Cengiran Galuh merekah, " Devasena! Gue cinta lo sampai kapanpun!"

" Iya iya, lo cinta gue tapi mau nikah sama Galang. Jangan ngomong cinta kalau nggak niat serius." Sena berkata datar dan menggigit kebabnya lagi.

" Dih! Baperan astaga. Makanya sana cari cowok biar lumer itu ati!" cibir Galuh yang ditanggapi Sena dengan mengangkat bahu. Merasa bahwa masalah sudah teratasi, gadis itu menarik laptopnya kembali dan mulai melanjutkan pekerjaannya yang terpotong.

" Ngerjain apa sih?" Wajah Galuh menyembul di samping layar. " Ini udah jam delapan lho, Na. Tinggal nunggu persiapan buat besok selesai."

Sena mengangguk dengan pipi menggembung, " Proposal Master Menu baru. Lo nggak denger Om Danar nagih mulu sejak sebulan lalu? Sampai pedes kuping gue."

" Jangan sampai dia denger lo manggil dia gitu," desis Galuh. " Lo tau dia nggak suka."

" Itu namanya nggak menerima kenyataan," sahut Sena enteng membuat Galuh melambai pasrah.

" Kalau butuh daftar harga ada di meja gue, ya."

Sena mengacungkan jempol tanpa mengalihkan wajah. Gadis itu melahap kebab porsi jumbonya lagi. Demi apapun, dia baru bisa makan sore ini karena seharian disibukkan dengan datangnya pasien baru yang terjangkit DBD sehingga dia perlu melakukan screening di tengah tangis, jambakan dan gigitan anak-anak balita.

" Lo kayak belum makan setahun, Na." Galuh mengernyit karena Sena yang melahap kebabnya dengan tergesa.

" Hah!" dengus Sena dengan mulut penuh. Dia punya alasan mengapa kebab di piringnya harus habis saat ini juga! Karena-

" DEV!"

" Mampus!" seru Sena langsung menelan apapun yang ada di mulutnya hingga kerongkongannya terasa panas.

" DEV!"

Galuh mengangkat alis ketika Sena meletakkan piringnya dengan asal ke dalam laci dan mendorongnya kelewat keras hingga terdengar bunyi mengerikan.

" DEVASENA GAYATRI!"

Sesosok pria berpakaian batik yang sama dengan mereka muncul di ambang pintu. Kehadirannya membuat para pramusaji menoleh ingin tahu. Laki-laki itu nyengir dan melambaikan tangan, membuat para pramusaji terkekeh ringan dan kembali bekerja.

Danar Prasetya, Dokter Gizi sekaligus Kepala Instalasi Gizi yang secara otomatis menjadi atasan Sena. Laki-laki itu bersedekap di ambang pintu sembari menatap tidak puas pada dua orang anak buahnya. Rambut cepaknya terlihat sedikit berantakan. Namun itu semua terasa sangat pas dengan tubuh tegap dan otot yang dibalut lengan pendek bajunya.

" Kalian sudah makan?" tanyanya ringan sembari mendekat. Sena mendekatkan wajahnya ke laptop, mendadak jadi serius sekali.

" Oh, saya sudah. Ini Sena yang...DUH!!"

Sena melotot pada Galuh yang meringis sembari mengusap tulang keringnya.

" Dev?" Pria tadi mengerutkan kening sembari menatap Sena ingin tahu. " Kamu ngapain? Lapar, nggak? Makan, yuk. Ngenes banget anak buah saya bergadang sampai malam tapi kurang makan."

" Sena, Pak." Sena mengucapkan kalimat itu ratusan kali hingga mulutnya lelah. " Jangan panggil Dev. Saya bukan pemeran india yang sering diputar di film-film itu."

" Kan biar spesial," ucap Danar. " Coba kalau saya panggil Sena, itu kepanjangan. Akhirnya saya harus panggil kamu 'Na', padahal ada Erna, ada Gina, ada Rina, nanti mereka semua pada noleh kalau saya panggil 'Na'. Ribet. Kalau saya panggil Sen, nanti kamunya yang nggak terima disamain kayak lampu sen motor. Kan mending Dev saja."

" Dengerin tuh, daripada disamain kayak pantat motor, Dev!" Galuh membalas sambil menyeringai jahat.

" Hng..."

Tiba-tiba saja, Danar menyipit. Sena menelan ludah. Belum lagi ada suara yang keluar, pria itu membungkuk dan mendekatkan wajahnya di samping Sena hingga Sena bisa merasakan hembusan nafasnya.

" Yassalam Om!!" seru Sena bangkit saking terkejutnya. Gadis itu membelalakkan mata sembari menutupi lehernya yang meremang gara-gara hembusan tadi.

Galuh tertawa tertahan. Om. Devasena Gayatri sedang menggali kuburannya sendiri.

" Ng...maksud saya, Pak Danar!" ralat Sena terbata. " Biasa saja, bisa nggak, sih? Umur kepala tiga tapi kelakuan mirip anak SMA!"

" Usia dimana lelaki terlihat paling macho, kan?" ucap Danar datar sembari menyisipkan kedua telapak tangannya di saku dengan mata yang kian menyipit.

" Ngeeeeng..."

Rasanya, Sena ingin sekali menyumpal mulut Galuh dengan lakban.

" Dimana?" bisik Danar berbahaya.

" Ha? A-apanya?" gagap Sena. Danar terkekeh sebelum menoleh ke arah Galuh.

" Dimana kebabnya?" tanya Danar.

Sena melotot ketika Galuh menunjuk laci di samping Sena tanpa rasa bersalah. Sedangkan Sena, gadis itu hanya bisa membuka mulutnya tanpa suara ketika Danar menarik laci dengan santai dan mengeluarkan sepiring kebab jumbo yang sialnya masih terlihat utuh, padahal seingat Sena dia tadi menggigitnya banyak-banyak.

" Besok lagi siapin tisu kalau mau makan kebab sembunyi-sembunyi. Biar mulut nggak belepotan saus kayak gitu, Dev," kata Danar dengan tenang memotong kebab menjadi dua menggunakan garpu. Kemudian mencomot bagian yang bebas dari gigitan Sena dan menggigitnya tanpa dosa.

Rasanya, Sena ingin menangis.

" Kapan-kapan saya harus mengajukan keberatan buat si mamang kebab. Lihat, kalau yang beli kamu, dagingnya pasti dibanyakin," komentar Danar mengamati kebab di tangannya.

" Pasti dong, Pak. Kan Akhi Salman sudah memilih Ukhti Sena untuk menjadi pendamping hidupnya," serobot Galuh, " Makanya dikasih spesial tambah daging."

" Hmm, nikah gih, Dev. Biar saya bisa pesan kebab yang dagingnya banyak lewat kamu," ucap Danar yang kini dengan tidak tahu malu duduk di kursi Sena. Ia mendongak ke arah anak buahnya yang masih berdiri. " Kenapa? Butuh bantuan buat mengiyakan lamaran mamang kebab?"

Sialan!

" Salman Pak. Akhi Salman."

" Oh iya. Dia keturunan Turki langsung, ya."

" Hu'um. Makanya kebabnya beda kan? Asli resep dari Turki, itu."

" Oh ya? Wah, dia bisa bikin apa selain kebab?"

" Uh...itu, roti apa gitu. Itu roti legit banget. Bikin kenyang. Kalau mau lengkap bisa tanya Sena. Dia kan sering beli di situ."

" Betul. Dev, dia jualan ap--"

" Nggak!! Saya nggak sering beli disitu!" Sena berkilah.

" Oh jadi kamu sering beli di situ," tukas Danar menatap Sena dengan pandangan menilai.

Tidak! Jangan!

"Seminggu besok kamu belikan kebab buat saya. Pesan dagingnya yang banyak. Kalau kamu, saya percaya," ucapnya mencecapi jemarinya. Saat itu, ia melirik pekerjaan Sena. " Proposal harus masuk besok pagi karena siangnya saya ada rapat. Selama saya tinggal, tolong kamu pantau bangsal anak. Karena DBD udah jadi KLB, perkiraan pertambahan pasien bisa terjadi. Itu artinya, kita juga harus siap-siap diminta tolong kerjasama penyuluhan dengan Puskesmas setempat. Oh satu lagi, karena Galuh izin mendadak, kamu gantikan dia buat seminar, ya? Saya sudah tulis nama kamu. Lumayan tiga SKP dari PERSAGI, lho."

Laki-laki itu berdiri, kemudian menatap Sena.

" Saya pulang dulu. Terima kasih kebabnya, Little Dev," ucapnya manis pada Sena yang ternganga sebelum menghilang dari pandangan.

" Kebab gue." Sena merintih.

" Elah, beli lagi sana!" tukas Galuh bersedekap.

" Lo nggak ngerti. Itu tadi gue dibolehin Mas Salman bikin sendiri, sausnya sesuai selera gue, mayonesnya sesuai selera gue, ketimunnya, seladanya juga, gue sendiri yang ngeracik dan gue panggang di atas piringan pelan banget sampai mateng ke dalam-dalam, sampai saus sama mayonesnya lumer ke daging sama sayurannya. Terus dengan enaknya dia makan separo lebih! Sakit gue!"

" Kok gue kasian sama Salman, ya?" celetuk Galuh prihatin.

Dengan bibir masih mencebik, Sena menoleh putus asa ke arah Galuh, " Gue laper. Itu kebab spesial yang gue bikin dengan penuh kasih sayang."

Galuh memutar bola mata dengan jengah. Gadis itu memutuskan untuk keluar ketika Sena tidak kunjung mengurai wajah kusutnya, " Sana kejar Pak Danar, bilang suruh lepehin itu kebab!"

" Gue laper, Luh! Kebab gue!"

**

Bunyi alarm mengumpulkan nyawa Sena yang berceceran sejak semalam.

Gadis itu mengerjap, setengah menggeliat malas di atas kasur tanpa dipannya. Kemudian, ia berguling demi meraih ponsel yang berada di lantai, berserakan dengan barang-barang lain seperti jam tangan, kuncir rambut, earphone dan laptopnya.

Menguap, gadis itu bangkit dari kasur dengan terhuyung. Kulit telapak kakinya seketika mengerut kala bersapa dengan dinginnya lantai, membuat Sena cepat-cepat masuk ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, yang ada hanyalah denting spatula yang beradu dengan wajan. Juga suara halus yang berasal dari panci kecil, mengirimkan asap tipis di udara beraroma sedap. Masih mengenakan piyama tidurnya, Sena menikmati paginya ditemani radio mungil yang ia letakkan di atas wadah penyimpanan beras. Sesekali bergoyang mengikuti irama lagu. Membelah keheningan pagi terutama kompleks kontrakan yang ia tinggali. Kontrakan Kenanga.

" SEEGENAP HATIKU LULUH LANTAAK MENGIRINGI DUKAKUU, KAN KEHILANGAN DIRIMUU!! SUNGGUH KUTAK MAMPU TUK MEREDAM KEPEDIHAN HATIKUU TUK MERELAKAN KEPERGIANMUUUHUUU!!"

Suara Sena bagai guntur di pagi hari. Cukup membuat ayam jantan batal berkokok karena terkena serangan jantung lebih dulu.

Tapi siapa peduli? Sudah satu setengah tahun Sena menempati kontrakan dengan kegiatannya yang sangat berisik di pagi hari. Tidak ada yang protes padanya. Baginya, bernyanyi di pagi hari bisa membantu menciptakan mood yang baik sebelum harus bertempur dengan segala keluhan aneh pasien-pasien di rumah sakit.

Sena melirik jam dindingnya dan tersenyum. Masakannya sudah jadi. Kini, dia berpindah ke rutinitas lain di pagi hari, yaitu senam pagi. Setelahnya, ia akan membuat segelas teh hijau, sarapan dan bersiap untuk berangkat.

Ah, pagi yang sempurna.

" SENA! LO UDAH BANGUN KAN? IKUT SARAPAN DONG! BISA MATI KELAPERAN GUE!!"

Atau tidak.

Ibarat termometer, skala mood yang tadinya 100 derajat selsius kini menukik pada angka enol.

Dengan mata menyipit, gadis itu berjalan ke arah pintu. Tidak sulit baginya menebak siapa gerangan yang sudah mengganggu kesempurnaan paginya hari ini. Benar saja. Begitu membuka pintu, sesosok makhluk berdiri di sana berbalut sarung bermotif kotak-kotak.

" Nggak percaya kalau Mas Rafi lapar. Suaranya mirip toa gitu!" dengus Sena bersedekap. Laki-laki di hadapannya nyengir.

" Boleh ya? Boleh ya? Dari kemarin gue sibuk ngurusi sapi kawin, nggak sempat makan. Baru sampai tadi jam satu, Na. satu jam lagi gue kudu balik lagi buat ngurusi penyuluhan. Lo nggak kasian sama gue, Na? Kalau gue menggelepar di sini siapa yang jadi tersangka, coba? Lo bakal kena pasal karena udah bertindak ketidakperitetanggaan sesama penghuni kontrakan Kenanga!"

Serentetan kalimat ngawur itu berasal dari mulut seorang laki-laki muda bernama Rafi Ardian, terbalut sarung hingga hanya menampakkan kepala dan kaki yang mengenakan celana pendek selutut. Sena mengangkat alis kala melihat sepasang kaus kaki coklat kumal masih menempel di telapak kakinya yang bertaut, seolah sedang menahan dingin.

" Mas...nggak mandi?" Sena mengernyit meskipun ia menepi, memberikan tanda bahwa Rafi diperbolehkan masuk.

" Nggak sempat!" Jawabnya melangkah masuk dengan tergesa.

" Dih! Jangan duduk di kursi!" Sena melotot pada punggung Rafi yang sudah masuk ke dapur.

" Lo nggak sarapan?" tanya Rafi dari dapur.

" Nggak, aku mau senam dulu," jawab Sena yang sudah membawa laptopnya ke ruang tengah. Gadis itu memilih video senam dengan cepat dan sudah bersiap di posisinya ketika melihat Rafi yang berdiri sembari menyandarkan bahu pada tembok, tangan kiri memangku piring dan tangan kanan menyendokkan dengan cepat makanan ke mulutnya. Kedua matanya menatap Sena.

" Ho hahaih ohahhahhga?? Hanggah hehol hlo!!" Rafi berkata dengan mulut penuh makanan.

" Ck! Ini anak kapan berubahnya sih, pantesan jomblo!" Sena menggerutu. " Mas Rafi jangan di sini, kan aku mau senam!"

Rafi manggut-manggut sebelum menyendok sesendok besar nasi.

" Gue tanya, lo ngapain olahraga? Tambah cebol yang ada!" celetuk Rafi mengacu pada Sena yang hanya setinggi lehernya. Sena mendengus.

" Nggak perlu dijawab," tukas Sena. " Situ yang harusnya mulai olahraga. Belum nikah tapi perutnya udah bulat lho, Mas. Untung situ udah kerja ya, jadi ada selling point-nya dikit, gitu."

Rafi yang tadinya sudah akan keluar kini berhenti. Wajahnya menoleh ke arah Sena dengan tatapan luar biasa tidak terima.

" Bulat? Kata siapa?" Ia membelalak dan meletakkan piring secara sembarangan. " Lo nggak ngerti gue punya delapan roti sobek?" serunya sembari menarik sarungnya dengan kalap.

" MAS RAFI BUKA AKU TERIAK!" hujam Sena melotot sembari berkacak pinggang.

Rafi menggerutu. Dengan cemberut, ia menurunkan sarungnya lagi dan meraih piring di lantai.

" Gini gini gue pria berbadan gagah, Na. Jadi jangan samakan gue sama om-om yang lo liat di pinggir jalan," celetuk Rafi sedih. " Beda jauh. Gantengan gue kemana-mana."

Sena memutar bola matanya dengan gemas, " Jangan bilang gagah ketika mas Rafi KO diajak tanding sit up seratus kali sama Mbak Yolla! Sana makan di kamar sendiri! Aku udah telat ini!"

Rafi menatap Sena dengan datar, kemudian tiba-tiba saja ia bernyanyi.

" Cooold enough to chill my bones, it feels like I don't know you anymore..."

Efek terlalu banyak main sama sapi. Sena menepuk dahinya keras-keras. Ia mendorong punggung Rafi hingga laki-laki itu keluar.

"Ini piringnya gimana?" tanyanya bingung.

" Bawa aja dulu. Udah ya, aku mau senam." Sena menutup pintu di depan Rafi yang mengangguk-angguk.

" Titip satu dokter muda yang cantik dan masih jomblo! Kasih karet warna ijo biar nggak ketuker!" Seruan Rafi terdengar dari balik pintu, membuat Sena menghembuskan nafas lelah.

" Dikira pesen nasi padang apa ya?"

**

Ada sebuah rasa yang selalu memberatkan dada ketika Sena berkaca.

Seperti sekarang, ketika dirinya menyapukan make up tipis pada wajahnya yang putih bersih. Sena tidak suka make up tebal, karena di samping dia tidak terlalu lihai berdandan, kulitnya akan menolak make up yang tebal. Sekalinya ber-make up tebal sedikit saja, gadis itu bisa jerawatan satu bulan. Maka jadilah dirinya hanya mengenakan alas bedak tipis, bedak tabur ringan dan polesan lipbalm untuk melapisi bibir merah pucat miliknya.

Sebuah rasa yang muncul sejak kejadian itu, yang terkadang membuat Sena jengkel sendiri. Karena dia jadi memandang rendah dirinya yang ada di cermin.

Sena terkekeh sembari membuang wajah. Siapa saja yang menerima pengkhianatan tidak akan pernah bisa baik-baik saja. Ada kalanya, mereka akan mencari kelemahan diri sendiri, bertanya apakah gerangan kekurangan pada dirinya hingga mereka dikhianati.

Sebuah pemikiran bodoh, karena pikiran-pikiran itu hanya akan semakin menghancurkan dirinya.

Sena menghirup nafas dalam dan menghembuskannya keras-keras, berusaha menepis pemikiran-pemikiran negatif dari dalam kepalanya di hari yang masih pagi. Dengan lancar, ia memilin rambut dan menyanggulnya ke dalam jaring-jaring japit besar berwarna hitam. Menyisakan anak-anak rambut pendek dan halus di keningnya. Melengkapi dirinya yang sudah terbalut dengan atasan kerja berwarna merah muda pucat dan bawahan berupa celana kain panjang dengan warna senada.

Cantik. Gadis itu cantik. Tapi karena sebuah luka, terkadang dia lupa betapa Tuhan sudah menciptakannya dengan begitu sempurna.

Menyambar jaket di balik pintu dan tas ranselnya, gadis itu melangkah keluar unit.

" Lah, udah mau berangkat, Na? Gue mau balikin piring ini!"

Sena yang saat itu sudah mengunci pintu menoleh, hanya untuk mendapati Rafi sudah bersiap dengan kemeja kerjanya.

" Disimpen di tempat Mas Rafi saja. Aku udah mau berangkat," kata Sena yang dijawab decakan oleh Rafi.

" Sena, tinggal muter kunci lagi kan bisa. Gue udah harus berangkat ini." Rafi berkata dengan sabar.

Sena menatap Rafi dengan gemas, kemudian ia membuka kembali pintu kontrakan dan meletakkan piring yang sudah bersih itu di lantai. Rafi tersenyum lebar.

" Morning hug!" Rafi merentangkan tangannya dan maju selangkah.

" Nggak!! Pergi sana!" seru Sena horor seraya melangkah ke belakang. Rafi tertawa keras sebelum berbalik menuju motornya sendiri.

" Why you're so cold to me with every breath you breathe I see there's something going on..."

Rafi berdendang memainkan kakinya sembari menuju motor yang berada di carport, membuat Yolla yang sedang melakukan aktivitas paginya mengerutkan alis ketika Rafi melewatinya sambil bergoyang.

Tuhan, apa salahnya hingga punya tetangga kontrakan sableng seperti dia? Pagi-pagi begini tenaga Sena sudah terkuras hanya karena adu otot leher dengan Rafi.

Rafi Ardian, hanyalah salah satu penghuni unik kontrakan Kenanga.

Kontrakan Kenanga adalah unit kontrakan yang terdiri dari enam unit bangunan yang masing-masing hanya mempunyai tiga ruangan. Yaitu ruang tidur, kamar mandi dan ruangan luas yang bisa digunakan sebagai ruang tamu, ruang tengah, garasi atau apapun.

Bukan, ini tentu saja bukan hunian tetap. Sena tinggal di sini karena kontrakan ini dekat dengan rumah sakit tempatnya bekerja. Juga, harganya yang bisa dijangkau Sena.

Meskipun terdiri dari enam unit, saat ini hanya empat ruang yang dihuni. Unit satu, dihuni oleh Rafi, sang pegawai Dinas Peternakan perantauan dari pulau seberang.

Unit dua, dihuni oleh seorang guru olahraga bernama Yolla. Bertubuh atletis, kulit kecoklatan, tinggai 172 cm, mempunyai hobi senam aerobik satu jam setiap pagi, sit up dan push up seratus kali dan pull up lima puluh kali di ventilasi pintu. Dia sudah bersuami, namanya Gagah. Petugas Bea Cukai yang sering lembur di tempat kerja dan punya tinggi semena-mena hingga Sena berpendapat hanya mas Gagah saja yang bisa jadi suami mbak Yolla. Mereka mengontrak karena rumah permanen mereka dalam tahap pembangunan.

Unit tiga, dihuni oleh sepasang suami istri yang dijuluki Sena sebagai double A. Arga yang berprofesi sebagai pegawai bank dan Ana, editor di salah satu perusahaan penerbitan. Pengantin baru yang wajahnya membuat Sena silau sepanjang hari karena kebahagiaan yang memancar.

Unit empat dan lima kosong.

Dan unit enam alias unit terakhir, berada di pojok sendiri, adalah unit yang ditempati seorang perempuan berusia dua puluh lima tahun bernama Devasena Gayatri, dengan tinggi 157 cm dan berprofesi sebagai Ahli Gizi di salah satu rumah sakit. Alasannya sederhana saja, karena tepat di depan pintu Sena terdapat sebuah pohon mangga yang besar dan rindang sehingga membuat unit kontrakannya lebih sejuk dibanding yang lain.

" Berangkat, Na?"

Sena yang sedang mengeluarkan sepeda dari carport menoleh. Yolla sedang melakukan pull up di ventilasi pintu. Tampak santai dan tidak terengah sama sekali. Padahal kalau Sena, dia pasti sudah pingsan mengingat pull up Yolla mempunyai kecepatan 2x up setiap detik.

Jangankan pull up, meraih ventilasi untuk mengganti gorden saja masih butuh meja.

Ingat. Meja, bukan kursi.

" Ng...iya mbak," ucapnya mengalihkan pandangan dari bahu Yolla yang terlihat bertonjolan.

" Pulang titip rujak, ya?" ucapnya nyengir menarik dirinya ke atas untuk kesekian kali.

Mata Sena melebar. " Isi, Mbak?"

" Iya, isi gado-gado yang kemarin belum keluar," jawab Yolla enteng membuat Sena mengernyit.

Belum sempat Sena membalasnya, pintu di sebelah ikut terbuka. Seorang laki-laki dengan penampilan rapi keluar diikuti seorang wanita yang tidak kalah rapi dan cantik.

" Sena, mau berangkat?" sapa Ana sementara Arga menuju carport untuk mengeluarkan motor. " Boleh titip rujak, nggak?"

Sena menelengkan kepala kala melihat wajah Ana yang tampak berbinar.

" Ada apa dengan rujak depan rumah sakit? Kenapa pada suka?" Sena mengerutkan kening.

" Nggak sadar anaknya," komentar Yolla menoleh pada Ana yang mengangguk.

" Gini, Sena manis. Kalau kamu yang pesen, biasanya jambu airnya dibanyakin. Mbak pernah coba beli sendiri di situ dan jambu airnya dikit banget. Jadi mending kita nitip kamu aja," jawab perempuan berambut bob itu dengan sabar sementara Yolla di sebelahnya manggut-manggut setuju.

Sekali lagi, menjadi yang paling muda di kontrakan ini kadang membawa sensasi tersendiri.

*TBC*

Footnote :

Enumerator : Petugas lapangan yang melakukan pengumpulan data.

Hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro