Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 19. Panggilan

Sena tidak baik-baik saja.

Tentu tidak.

Malam sudah menyapa sejak tadi. Yolla, Gagah dan Rafi pergi menjenguk Ana. Namun Sena menolak dengan alasan bahwa dirinya masih banyak pekerjaan. Lagipula dia toh bisa menjenguk Ana berkali-kali dalam satu hari.

Tapi di sini, di depan laptop barunya, dirinya terdiam dengan lengan memeluk lututnya.

Kata Dirga, dia meninggalkan kisah mereka tidak selesai. Tapi tidak demikian bagi Sena. Kisah mereka selesai setelah Sena mendengar semuanya dari mulut Dirga, mulai dari awal perselingkuhan sampai Sena menangkap basah mereka. Setelahnya, Sena memutuskan Dirga tepat di depan wajah Dirga dengan Wira, Raras dan Shinta sebagai saksinya.

Memangnya apa yang diharapkan Dirga setelah mengkhianati Sena sebegitu dalam? Apa masih pantas Dirga mengajaknya kembali?

Kata Sakti, dia harus bisa menjadi orang yang pemaaf. Tapi dia belum bisa sepemaaf itu. Demi apapun, Dirga adalah laki-laki pertama yang mencuri hati Sena. Yang dengan tulus ia cintai sepenuhnya. Yang dia percayai dengan segenap jiwa. Yang dengan seluruh harapannya, Sena yakin jika dia akan bahagia bersama Dirga.

Sena meremat selimut yang menutupi pundaknya, mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir.

" Brengsek!" desis Sena. " Gue benci lo, Ga!"

Sena berusaha mempercayai omongan Sakti bahwa berbicara bisa membuat semuanya membaik. Tapi nyatanya tidak. Saat ini saja, dia justru semakin benci pada Dirga. Pada seluruh permohonannya yang ia katakan semudah itu, semenderita itu seakan dia adalah satu-satunya orang paling sekarat di dunia.

Dirga tidak akan pernah tahu sehancur apa Sena dulu. Dirga tidak pernah tahu secacat apa Sena dulu. Dan Dirga tidak pernah tahu serapuh apa Sena yang sekarang. Dirga tidak akan pernah tahu karena meskipun dia menyesal sedalam inti bumi, Dirga tidak pernah menjadi Sena, menjadi yang terkhianati.

Saat itu, suara dering ponsel terdengar. Sena segera mengusap pipi dan mencari ponselnya.

" Ck! Kemana, sih?" gerutu Sena ketika tidak menemukan ponsel di tas maupun meja kerjanya. Gadis itu berguling ke kasur, menarik asal segala sesuatu yang ada di sana dan menemukan ponselnya bersembunyi di bawah bantal.

Bersila di atas kasur, Sena memeriksa ponsel yang masih berdering itu. Lalu mendengus dan memencet tombol reject. Nomor tidak dikenal. Apa Dirga berharap Sena bisa dikelabuhi dengan dia yang mengganti nomor?

Mengabaikan keinginan membanting ponselnya, Sena menghempaskannya ke kasur dan berguling turun. Namun belum sampai kakinya menjejak lantai, ponselnya berdering lagi. Kali ini sebuah pesan dari nomor yang tadi.

Devasena, kamu sibuk? Mumpung ada istirahat agak lama, aku jadi kepikiran kamu.

Sena mengerutkan kening.

Sekalian tanya, kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?

Sena langsung memekik sembari menangkup mulutnya.

Belum sempat Sena membalas pesan itu, ponsel keburu berdering dengan panggilan dari nomor yang sama. Tanpa buang waktu, Sena mengangkatnya.

"Mas Sakti?" Sena terbelalak pada pantulan dirinya di kaca rias tanpa fokus.

Hening, kemudian terdengar tawa yang sudah sangat dikenal Sena.

" Halo, Sena. Kamu sibuk?"

Sena mengerjap, berusaha menyadarkan diri.

" Eh, nggak. Aku nggak sibuk," jawab Sena terbata. " Ini, Mas Sakti tahu nomerku darimana? Aku aja lupa terus kalau mau minta nomernya Mas. Soalnya Mas Rafi belum masukin Mas ke grup Kenanga."

" Baru saja aku gabung, Na. Aku jadi tahu nomer kamu," jawab Sakti dengan intonasi yang tenang, khas dirinya.

Sena berguling di kasur dan telentang, berbicara sambil menatap langit-langit.

" Nelfon dari Singapura coba," kekeh Sena menghapus apapun yang ada di wajahnya. " Memangnya ada apa?"

" Hm? Nggak papa. Baru santai saja," jawab Sakti ringan. " Jadi, kamu mau oleh-oleh apa? Yang lain minta dibawain kaos sama gantungan kunci."

" Duh, mainstream banget. Itu mesti Mas Rafi." ucap Sena memutar mata.

Sakti tertawa, " Terus kamu mau minta dibawakan apa?"

" Hmm, surprise me," jawab Sena main-main.

" Begitu? Yakin? Nanti kamu nggak kuat, Na."

Mendengarnya, Sena tertawa, " Aku bercanda, Mas. Nggak dibawakan juga nggak papa. Tapi kalau maksa, disamain sama yang lain aja udah. Yang penting Mas Sakti sampai sini dengan selamat aja aku udah bersyukur."

Hening.

" Mas?" panggil Sena karena laki-laki itu tidak bersuara.

" Halo, Mas Sakti? Udah harus kegiatan lagi, ya?" Tanya Sena cemas.

" Nggak," jawabnya tiba-tiba, " Aku masih punya banyak waktu untuk ngobrol sama kamu. Rasanya lama sekali nggak ketemu, padahal baru empat hari yang lalu kamu ngebenahin dasi Rafi di depanku."

" Sabar ya Mas. Dia itu paling aneh di antara yang lain. Ya, sebenernya yang lain juga aneh, sih. Tapi dia yang kelakuannya paling absurd," Sena mendengus.

" Kamu dekat sama Rafi? Pernah dengar katanya dia tidur di unit kamu."

Sena mengangguk, " Iya, dulu. Waktu aku demam tinggi dan mas mbak yang lain nggak ada. Kenapa? Mau curiga lagi, nih?"

Terdengar kekehan samar dari seberang, " Memangnya nggak boleh?"

" Nggak, nggak boleh! Aku utang budi sama dia gara-gara itu. Jadi aku nggak mau Mas Sakti berpikiran buruk sama kita."

" Curiga, Sena. Bukan berpikiran buruk. Sekarang nggak lagi."

" Ha?"

" Karena kamu udah konfirmasi kebenarannya."

Sena tertawa mengingat obrolan mereka ketika pergi membeli laptop beberapa waktu lalu. Ternyata dia masih mengingatnya.

" Di sana Mas Sakti ngapain aja? Mas Sakti sering pergi ke luar negeri, ya?" Sena bermain-main dengan ujung gulingnya.

" Hmm, presentasi di perusahaan induk," jawab Sakti. " Nggak sesering itu. Paling empat bulan sekali ada acara wajib yang harus dikunjungi."

" Bagus! Aku jadi bisa sering-sering nitip oleh-oleh."

Sakti tertawa, " Iya, nitip aja. Yang banyak sekalian biar nggak rugi."

Sena ikut tertawa. Sakti mengatakannya dengan begitu tulus. Apa tetangganya memang semurah hati itu?

" So, how's your day?" tanya Sakti. " Laptopnya nggak bermasalah, kan?"

Mendengar itu, perut Sena terhentak. Tiba-tiba saja matanya memanas ketika ia teringat lagi kejadian tadi siang.

" Sena?" panggilan Sakti menyadarkannya.

" Y-ya?"

Sial!! Kenapa harus gagap segala?

" Sena? You okay?" tanya Sakti sedikit tergesa.

Sena mengusap air matanya dengan kasar dan menggeleng.

" Nggak, aku nggak papa," jawab Sena dengan suara serak.

Sial Sial Sial! Dia kenapa, sih?

" Sena, ada apa?" suara Sakti melembut, "Dirga ganggu kamu lagi?"

Demi mendengarnya, mata Sena memanas tanpa ampun. Sungguh, ketenangan Sakti menggedor pertahanannya malam ini. Seolah Sena dihadapkan pada lapangan lengang dimana dirinya dipersilahkan untuk berjungkir balik sesuka hati demi mengusir rasa sesak yang menjajahnya tanpa ampun.

" Tadi siang dia ke rumah sakit. Mau bicara kayak biasa." Sena meringkuk dengan suara memelan, berusaha menyembunyikan fakta bahwa suaranya kini nyaris terisak.

" Terus?"

" Aku terima ajakan dia. Tapi kita nggak menemukan penyelesaian, Mas. Percuma. Anak itu bebal. Nggak ada gunanya ngomong sama Dirga." Tukas Sena mengusap cepat pipinya ketika lelehan air mata tidak mampu dielakkan lagi, berharap Sakti tidak menyadarinya.

Hening. Hanya terdengar suara helaan nafas di sana.

" Apapun itu, jangan pernah membenci orang terlalu dalam," ujar Sakti beberapa saat kemudian.

" Mas Sakti kepingin aku terima setiap ajakan Dirga buat bicara?" tanya Sena gusar.

" Itu terserah padamu saja. Yang jelas, jangan pernah membenci orang terlalu dalam, Na. Itu bisa jadi bumerang buat kamu. Banyak hal lain yang bisa kamu lakukan selain membenci. Benci itu butuh tenaga. Kamu cuma akan capek sendiri."

" Wah, Mas Sakti tahu sekali, ya?" sindir Sena.

Sakti tertawa pelan, " Aku juga pernah membenci, Na. Tapi untungnya aku sadar kalau itu sia-sia."

Sena bungkam beberapa saat, " Enak sekali jadi Mas Sakti. Apa-apa dibawa santai. Seandainya bisa begitu."

" Mau aku ajarin?"

" Gimana caranya?"

" Stay by my side."

" Udah. Kita kan tetanggaan."

Sakti terdiam, kemudian ia tertawa. Tawa keras sekali sampai Sena yakin jika saja Sakti sedang di depannya, dia bisa melihat senyum manis dengan gingsul yang mengintip itu.

" Ini memang kamu. Benar-benar kamu."

" Lhah? Dikira dari tadi siapa? Mbak Nathalie? Duh yang gagal move on!"

"Mau jadi kambing hitamku?"

"Ogah!!"

"Kalau jadi kambing aja?"

" Nggak mau! Enak aja jadi kambing!"

" Terus maunya jadi apa?"

" Nggak mau jadi kambing. Maunya jadi tetangga saja biar bisa nitip oleh-oleh terus tiap empat bulan sekali."

Sakti tertawa lagi, " Pilihan bagus, Na. Tapi kamu punya opsi yang lebih baik daripada itu."

" Hm? Apa?" tanyanya nyengir menanggapi candaan Sakti. " Bisa dapat apa-apa eksklusif, nih?"

Namun Sakti hanya tertawa.

" Maaf, aku harus balik, Na. Kamu mau bicara apa lagi?" tanya Sakti dengan tawa yang belum hilang dari suaranya.

Tanpa sadar, Sena mengerucutkan bibir.

" Semoga sukses, Mas Sakti. Jangan lupa makan." kata Sena akhirnya.

" Sure, Sena. Jangan nangis lagi. Tiket pesawat terdekat masih beberapa jam ke depan."

" Hm?"

" Bye, Sena."

" Ha? Eh, bye Mas Sakti."

Sena menatap layar ponselnya beberapa saat. Apa hubungannya menangis dan tiket pesawat?

Gadis itu mencebik, sedikit malu dengan kenyataan bahwa Sakti tetap saja sadar jika dia sempat menangis.

" Siapa?"

Sena terlonjak tinggi di atas kasur hingga ponsel terlepas dari tangannya.

" Astaga Mas Rafi!" sergah Sena. " Bisa nggak sih kasih salam dulu kalau masuk rumah orang?!"

Entah sejak kapan pemuda berambut cepak dan berjaket hijau itu bersandar di kusen pintu kamarnya? Yang jelas, saat ini dirinya menatap Sena dengan tangan bersedekap dan pandangan penuh curiga.

" Udah. Tapi lo sibuk. Jadi, Mas Sakti telfon lo?" ucapnya menyipit.

" Iya," jawab Sena berguling dari kasur. " Katanya Mas Rafi nitip gantungan kunci. Hahaha! Jauh-jauh ke Singapura iya masa nitip gantungan kunci?"

Rafi mendengus, " Kalau bisa nitip calon jodoh dunia akherat udah gue pesen dari dulu-dulu kali! Sini gih, gue beli jumbo cup es krim Oreo. Mas Gagah punya film baru. Ikut nonton nggak?"

Satu hal yang perlu diketahui, Rafi tidak pernah melangkahkan kaki ke dalam kamar Sena selama mereka saling mengenal. Bahkan dulu ketika Sena demam, laki-laki itu memilih tidur di depan ambang pintu daripada tidur di lantai di samping tempat tidur Sena.

Senyum Sena merekah.

" Ikut!" Sena segera menyambar jaket dan mengikuti Rafi keluar.

Rafi tertawa dan menarik cepol Sena hingga gadis itu mengaduh, " Besok Mbak Ana udah boleh pulang."

" Oh iya udah. Tadi dia minta aku masakin kering kentang," jawab Sena sekenanya karena dirinya sibuk membuka satu cup.

Rafi melirik pada gadis di sampingnya.

" Hm...muka lo jadi bling-bling gini. Beda banget sama muka manyun sebelum kita berangkat. Gara-gara ditelfon Sakti, ya?" Rafi membungkuk ke arah wajah Sena, membuat gadis yang sedang menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya itu langsung menarik kepala ke belakang.

Sena memutar bola mata. " Ck! Jangan ambil kesimpulan seenaknya bisa nggak, sih?"

" Devasena, tolong tembok lo itu diturunin dikit napa? Lama-lama mati rasa lo!"

" Ha? Tembok apa? Ngapain diturunin? Udah segitu aja biar nggak silau!" sahut Sena bingung sembari menatap tembok di ujung bangunan yang mencegah sinar matahari menyilaukan unitnya.

" Kan bego banget!!"

**

Pagi itu, ada dua alarm yang membangunkannya.

Yang pertama, alarm hariannya.

Yang kedua, telfon yang datang dari Sakti satu menit setelah alarm hariannya berbunyi. Maka Sena yang masih malas-malasan langsung terbelalak ketika melihat nama Sakti ada di layar.

" Mas Sakti, ada apa? Kenapa telfon pagi-pagi?" tanya Sena panik. Seluruh kesadarannya langsung waspada saat itu juga.

" Selamat pagi, Sena. Ternyata memang udah bangun, ya."

Sakti dengan tawanya tentu saja membuat Sena bingung.

" Mas Sakti, jangan bercanda!"

" Kenapa? Aku cuma telfon kamu saja sebelum kamu sibuk olahraga," kata Sakti ringan. " Mau masak?"

" Masih nanti. Duh Mas, bikin jantungan aja! Aku kira mau nitip pesan buat periksa unitnya situ atau apalah." gerutu Sena menekan loudspeaker dan berjalan ke arah meja rias untuk meraih tali rambut.

Sakti tertawa. " Maaf, Na. Acaranya masih beberapa jam lagi dan aku nggak ada kerjaan. Jadi aku telfon kamu saja. Tapi unitku baik-baik saja, kan? Nggak kemalingan?"

Mendengarnya, Sena terkekeh geli. " Sejauh yang aku tahu, aman-aman aja. Aku cuci muka dulu, ya."

" Sure."

Sena mencuci muka secepat yang ia bisa, kemudian meraih ponsel yang masih menyambung pada Sakti. " Memangnya Mas Sakti nggak nyiapin bahan presentasi atau apa gitu?"

" Bukan sesuatu yang butuh banyak waktu. Kamu masak apa?"

Sena meletakkan ponselnya di atas konter sementara dirinya sibuk mengeluarkan bahan dari dalam kulkas mininya.

" Masak sop ayam aja yang cepet. Sambil nyiapin bahan kering kentang. Nanti Mbak Ana udah keluar dari rumah sakit, lho. Kemarin nanyain Mas Sakti, kata Mas Rafi," jawab Sena mulai menyiangi bahan-bahan di hadapannya.

" Hmm, tadi malem kayaknya ramai, ya. Kalian sering nonton film bareng?"

Mendengarnya, Sena terkekeh. Sakti pasti tahu dari foto-foto yang di-upload di grup chat Kenanga.

" Iya. Kadang kita nonton film bareng kalau salah satu punya film baru. Mas Sakti harus nonton yang tadi malem! Itu tuh thriller yang bagus banget menurutku!"

" Boleh, tapi kalau bisa jangan sama Yolla. Bisa remuk kalau di sebelah dia."

Mendengar itu, Sena terbahak, " Hus! Mas Sakti nggak boleh ngomong gitu! Yang dipeluk kan Mas Gagah. Dia udah kebal sama Mbak Yolla. Kalau Mas Rafi atau aku, wah...kecekik yang ada."

Sakti ikut tertawa. Dan dengan begitu, percakapan mereka bergulir lancar hingga Sena lupa satu hal wajib, yaitu mendengarkan radio. Sakti baru melepaskan Sena ketika gadis itu akan senam pagi. Berkata bahwa sudah waktunya ia mandi.

**

Setelah kasus syok anafilaktik itu selesai, Sena kembali bertugas di asuhan gizi klinik. Maka setiap pagi dirinya kembali berputar ke bangsal ditemani Galuh yang ternyata sedang mengalami morning sickness hingga seluruh teman satu ruangan ikut cemas.

" Nggak istirahat aja, Luh?" Sena yang tengah menyantap makan siangnya jadi tidak terlalu bernafsu kala melihat wajah pucat Galuh. Namun, wanita itu hanya tersenyum sembari menggeleng lemah. Di belakangnya, Farida memijit tengkuknya dengan lembut hingga aroma minyak kayu putih menguar di udara.

" Enakan?" tanya Farida. Galuh mengangguk.

" Beli penambah darah gih di apotek," celetuk Sena. " Stok sampai lahiran."

" Udah, Sena sayang. Biasa sih. Nggak papa," jawab Galuh terkekeh lemah. Sena ikut tersenyum kala melihat rona merah di pipi Galuh yang pucat. Meskipun sedang menderita, tapi wanita itu terlihat bahagia sekali karena pagi ini, dua garis muncul di alat tes kehamilannya.

Dia sebahagia itu, ya?

Sena menertawai dirinya sendiri ketika jauh di dalam hatinya, dia ternyata merasa iri.

" Dev! Lhoh, Galuh kenapa?" Danar yang saat itu muncul di ambang pintu mengerutkan kening pada Galuh.

" Morning sickness." jawab Kanya, yang membuat Danar tersenyum lebar.

" Selamat, ya. Kalau nggak kuat pulang dulu saja. Biar Dev yang back-up kerjaanmu," kata Danar minta ditabok.

Galuh tertawa kecil, kemudian mengacungkan jempol pada Danar.

" Kalian sudah makan? Bukannya saya bilang siang ini kita mau makan siang di luar?" Danar mengalihkan pehatian pada anak buahnya yang lain dengan tatapan terkhianati kala melihat anak buahnya tengah menyantap makanan masing-masing.

" Buat jaga-jaga saja, Pak. Biasanya Bapak PHP," tukas Farida. " Ingat yang terakhir? Kita terpaksa nggak makan siang gara-gara Bapak batal ngajak kita di detik-detik terakhir."

Danar tertawa canggung, " Maaf, ya. Panggilan kerja kadang nggak bisa ditebak. Lalu kalau seperti ini gimana?"

" Ya nggak gimana-gimana. Ajak Dokter Jenny saja," celetuk Sena menyendok suapan terakhirnya.

" Dia sibuk," jawab Danar menatap Sena dengan menyipit, " Dev, bekalmu masih, nggak? Lapar ini."

Seisi ruangan langsung terbatuk.

" Sudah habis, Pak. Kenapa nggak beli kebab saja?" tanya Sena menyimpan kembali kotak bekalnya.

"Salman libur," celetuk Galuh lemah. " Dari kemarin nggak jualan. Padahal aku baru pengin banget makan kebab. Jahat emang Akhi Salman. Lo cuekin sih, Na."

Sena mendengus, sama sekali tidak berniat menjawab ledekan Galuh.

Danar menghembuskan nafas panjang, " Ya sudah, nggak papa. Dev, tolong ke ruangan saya. Saya butuh bantuan kamu menyusun arsip dari tahun lalu. Gara-gara supervisi kemarin, semuanya jadi amburadul."

Sena mengerucutkan bibir. Namun ia mengangguk saja karena dirinya memang punya andil dengan supervisi kemarin.

" Untung udah makan, ya. Jadi bisa pinjam tenaga kamu. Hahaha!" Danar terbahak sembari menepuk-nepuk kepala Sena serupa menepuk-nepuk squishy milik Kanya yang berharga ratusan ribu.

Sena menepisnya dengan kelewat biasa saja. Farida dan Galuh terbatuk lagi, namun Sena hanya memutar bola mata dan bergegas mengikuti Danar.

" Kok seberantakan ini?!" Sena terbelalak ketika melihat ruangan Danar yang mirip kapal pecah. Seluruh berkas dari tahun lalu yang seharusnya tersimpan rapi di laci kini berserakan di meja Danar sampai permukaan meja itu tidak terlihat. Bahkan, ada beberapa yang terhampar asal di sofa.

" Hng...saya berusaha nyusun sendiri, tapi lupa urutannya," ujar Danar nyengir. " Lagipula yang terakhir kali nyusun kan kamu. Jadi kamu yang lebih tahu."

Sena terperangah. Seingat dia, terakhir kali dia masuk ke ruangan Danar tidak seberantakan ini.

Danar mengusap telapak tangannya dan memandangi ruangan dengan antusias. Ia melirik Sena, menyembunyikan getaran di dadanya dengan sangat baik. Demi apa, satu ruangan dengan gadis ini saja sudah membuat lututnya lemas.

Sena menghela nafas panjang, " Ya sudah, dimulai dari-"

" Maaf mengganggu." Farida menginterupsi di ambang pintu hingga keduanya menoleh. Ia meringis, lalu mengacungkan ponsel Sena.

" Ini yang kedua dan waktu gue baca dari siapa, kayaknya penting," ucap Farida dengan cengiran di matanya.

Sena memekik begitu membaca nama yang tertera. Gadis itu menyahut ponselnya dan menoleh pada Danar.

" Pak, nanti saya balik lagi, oke? Ini...saya angkat dulu, ya!" ucap Sena antusias sebelum berjalan keluar dengan cepat. Meninggalkan Farida yang tertawa menang dan Danar yang mengerutkan kening.

" Penting? Dari siapa?" tanya Danar tidak bisa menahan diri kala menyadari wajah Sena begitu berbinar-binar.

" Oh, dari cowok yang namanya Sakti. Pernah kesini ngajak Sena makan siang, makanya kami tahu. Ada yang bisa saya bantu?"

*TBC*


#SaveDanar

#atasanyangdinomorduakan

#pukpukDanar

Holla, selamat malam. Semoga selalu berbahagia ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro