DEVASENA | 18. Usaha Membuang Benci
Sudah hampir tiga puluh menit Sakti bergeming di ruangannya. Ia sedang menunggu tanda tangan terakhir dari atasan untuk dia bawa ke Singapura.
Berusaha mengenyahkan awan mendung di pikirannya gara-gara pemandangan di kontrakan, Sakti membuka tab. Mencoba berkonsentrasi pada bahan presentasi yang akan ia bawakan di Singapura.
" Aku mau bicara."
Suara dingin Nath menembus konsentrasinya, membuat laki-laki berkacamata itu mendongak. Lantas, laki-laki itu meletakkan tab ke meja.
" Silahkan."
Nath menghela nafas dalam dan meraih kursi di bilik Bayu yang sedang kosong. Sakti duduk bersandar di punggung kursi sebelum akhirnya membalas tatapan dingin Nath.
" Kenapa?"
Perempuan berlipstik merah itu menatapnya tajam, hanya untuk membuat Sakti paham bahwa dia sedang marah.
" Kamu masih nyuri pesan-pesanku?" tanya Nath semakin dingin. Jemari ramping berkuku merah itu terkatup rapat di pangkuan sementara matanya menatap tajam Sakti.
" Untuk apa?"
Nath mengatupkan bibirnya sebelum meneruskan dengan geram, " Lalu kenapa ponselku eror? Kamu masukin koding apa di ponselku, hm? Demi Tuhan, ini udah lama! Untuk apa kamu masih hack ponselku?"
Sakti menatap wanita yang tengah murka itu dengan datar.
" Cuma perintah sederhana yang memudahkanku membaca semua chat-chat rahasia kamu dan Tirta. Program itu sudah aku musnahkan tepat ketika kamu mengakui semuanya, Nath. Jadi yang bikin eror ponselmu bukan programku."
Bisa dilihatnya perempuan itu menelan ludah ketika teringat masa dimana Sakti menemukan seluruh bukti pengkhianatannya dengan Tirta. Namun kini, wajah laki-laki itu terlihat baik-baik saja, seolah dia tidak pernah bertemu luka di masa lalu.
" Sampai sekarang, aku nggak pernah percaya kamu bisa selancang itu," desis Nathalie dengan tangan gemetar. " Kamu nggak punya hak menyadap ponselku, Sakti. Dulu, sekarang, atau kapanpun, kamu nggak berhak memata-mataiku!"
Jika Nathalie begitu berapi-api kala menatap Sakti, laki-laki itu hanya menatapnya tenang.
" Dulu ketika kita masih bersama, tentu aku berhak melakukan itu, Nath. Hanya untuk membuktikan kecurigaanku atas kamu yang bermain di belakangku," ucap Sakti. " Sekarang, itu bukan urusanku lagi. Jadi jangan menuduhku."
Saat itu sebuah pesan muncul di layarnya. Sakti berdiri dan memakai topinya.
" Suatu saat kalau kamu berniat selingkuh dari Tirta, jangan pernah pakai gadget apapun karena Tirta programmer yang lebih senior daripada aku," ucap Sakti sebelum meninggalkan Nath yang menegang di kursinya.
" Bagaimana kalau sebaliknya?"
Bisikan rendah itu membuat Sakti berhenti dan menoleh, hanya untuk mendapati Nathalie menatapnya dengan mata yang sedikit memerah. Nyata sekali perempuan itu tengah berusaha menahan emosi.
" Aku minta...tolong," ucap Nathalie mengepalkan kedua tangannya erat-erat ketika Sakti masih saja menatapnya tanpa ekspresi.
Dalam situasi apapun, seorang Nathalie tidak akan pernah menundukkan kepalanya. Tapi sekarang, ia menelan kembali rasa malunya di depan Sakti, orang yang disebut Nath sebagai laki-laki yang tidak cukup bisa membuatnya bahagia.
" Pasangkan program kamu itu di ponselku... ," ucap Nath dengan isakan samar, " ke ponsel Tirta."
**
Sena mengabaikan ponselnya untuk kesekian kali. Malah jika bisa, dia ingin menenggelamkan ponselnya jauh di dasar lautan. Tapi itu tidak mungkin. Betapapun bencinya Sena pada nomor yang tertera di layar, dia harus tetap ingat bahwa ponsel ini dibeli dari gaji pertamanya.
Saat itu, ia mendengar suara interkom berbunyi.
" Instalasi gizi?"
" Hm? Lobi, kenapa?" tanya Erna yang biliknya berdekatan dengan interkom.
" Devasena ada? Ini ada yang nyari."
Seperti sebuah dejavu, mendadak Sena tersentak dari pekerjaannya hingga tanpa sadar gadis itu melangkah keluar bilik.
" Siapa?" seru Sena yang diteruskan Erna.
" Hng...Di-eh, Dirga Rajendra," ucap si wanita lobi sebelum meracau dengan suara rendah, " mampus, ngapain bos TeraMart kesini? Bukannya urusan sama lo udah kelar, Na?"
Seperti ditimpa batu, tiba-tiba saja dada Sena menjadi begitu sesak.
" Bilang gue nggak bisa," ucap Sena kembali duduk di biliknya.
" Dia nggak bisa," kata Erna masih berkonsentrasi pada lembar di tangannya.
" Dia bilang kalau lo nggak bisa nggak papa, dia mau nunggu sampai lo pulang."
" Kata lobi, kalau dia nggak bisa, lo—"
" Kalau Sena nggak bisa, dia mau nunggu sampai pulang."
" Kalau lo nggak bisa, Sena mau nung—"
" Dirga yang mau nunggu!"
Erna membanting pulpennya ke meja.
" Oiii emaknya Baahubali, sini gih ngomong sendiri!"
" Tutup aja. Gue nggak bisa keluar!"
" Gue tutup! Sena nggak bisa keluar!"
" Lah, dia nungguin di depan mati kutu gue!"
Erna menghembuskan nafas keras, " Na, sini napa? Pusing gue!"
Sena memejamkan matanya erat-erat. Tolong, apapun yang dikatakan Sakti dulu, itu sama sekali tidak membantu.
Tapi Sakti benar. Rasa benci ini merusaknya dari dalam. Sekarang saja dia merasa seluruh tubuhnya gemetar tidak terkendali. Menghirup nafas dalam-dalam, Sena mendekati interkom.
" Gue ke sana," ucap Sena singkat sebelum keluar menuju lobi, berusaha mengenyahkan rasa berat yang semakin kuat di setiap langkahnya.
Bahkan setelah selama ini, dia masih bisa mengenali punggung tegap itu. Dia berdiri di sana, sama persis dengan laki-laki yang beberapa minggu lalu memberi kejutan pada Sena.
Bedanya, dia membenci yang ini.
" Kenapa?" tanya Sena dingin ketika ia sampai di sebelah Dirga. Laki-laki itu menoleh, membuat Sena menyadari lingkaran hitam di bawah matanya. Tapi Dirga tersenyum.
" Mampir aja. Udah aku bilang aku ada proyek TeraMart dekat sini," kata Dirga. " Gimana kalau kita makan siang?"
" Pergi!" tukas Sena tidak menghiraukan satu pun kata-kata Dirga. Namun Dirga meraih sikunya.
" Sena," pinta Dirga menatap lekat kedua mata Sena. " Sekali saja, kita perlu bicara."
Jika ini di tempat sepi, sudah pasti Sena akan meninju Dirga dan berlari menjauh. Tapi di keramaian lobi rumah sakit ini, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menghentakkan tangannya agar terlepas. Meskipun demikian, emosi mulai menguasai Sena hingga kedua tangannya terkepal.
" Pergi, Ga!"
" Aku tetap akan tunggu kamu sampai kamu keluar." Dirga menatap Sena dengan penuh permohonan. " Kita perlu bicara. Kamu meninggalkan kisah kita nggak selesai, Na. Aku kehilangan kamu. Tolong, Sena. Ayo bicara."
Hening sejenak. Sena membuang wajah hanya untuk menyembunyikan matanya yang memanas. Dan dia benci karena terlihat lemah di depan Dirga.
" Kita sudah selesai," kata Sena gagal menahan air matanya. " Dulu aku bilang sama kamu, kita sudah selesai."
Seketika itu juga mata Dirga memerah. Laki-laki itu mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Sena yang meleleh di pipi, namun Sena menepisnya dengan cepat.
" Ketika kamu kecewa, Na, Itu nggak obyektif. Kamu dikuasai kemarahan kamu dan aku nggak akan percaya kata-kata itu. Karena aku tahu jauh di dalam sana, masih ada kita. Jadi tolong, Na. Kita perlu bicara." Ucap Dirga lirih. Dirinya berusaha keras agar tidak merengkuh tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh, dia benar-benar merindukan kehangatan Sena dalam pelukannya.
Sena memejamkan mata sembari menyugar rambutnya, terlihat frustasi sekali.
" Rasa benci, selalu merusak dari dalam."
" It's killing you to the core, Na. Kalau kamu ingin sembuh, kamu harus bisa memaafkan. Kalau dia memang sudah membuat kamu sesakit itu, maka dia nggak pantas mengganggu hari-hari kamu lagi meskipun dalam bentuk ingatan."
" Tapi kamu masih menyimpan rasa benci, Sena. Kalau kamu belum tahu, benci itu rasa yang kuat, jahat dan destruktif."
Iya. Dirga tidak pantas mengganggu hari-harinya lagi, bahkan hanya dalam bentuk memori buruk. Maka setelah menguatkan diri, gadis itu menghadapi Dirga.
" Ayo bicara."
**
Dirga mengajaknya ke sebuah kafé yang berada di kawasan mewah, mengatakan pada Sena bahwa pemandangan akan bagus dari sana.
Tapi Sena memilih kafé yang ada di depan rumah sakit. Dengan senyum, Dirga menyetujui.
" Kamu pesan apa?" tanya Dirga melihat buku menu. Sena menggeleng. Itu sungguh beralasan, karena saat ini dia merasa sangat mual.
" Es selasih dua," Ucap Dirga setelah beberapa saat. " Sama Waffle Split-nya dua."
Masih ingat, Sena membatin dengan gemetar. Laki-laki itu masih ingat jelas minuman dan makanan kesukaannya.
" Jadi, gimana hari ini?" Dirga mencoba membuka percakapan. " Aku ketinggalan banyak cerita tentang kamu, Na. Jadi kamu kerja di—"
" Aku balik," Sena berdiri dan berbalik. Karena toh, melihat Dirga memang sesakit itu. Namun ketika ia hendak beranjak pergi, Dirga menahan tangannya.
" Jangan, Na. Jangan," Dirga memohon dengan suara lirih.
" Omongan kamu nggak penting, Ga. Aku banyak kerjaan," Sena melepaskan tangan Dirga. Namun laki-laki itu kembali menyahutnya, kali ini dengan gemetar yang semakin menjadi. Ketika Dirga mengambil satu langkah mendekatinya, tanpa sengaja ia menyenggol kotak tisu di meja hingga terjatuh. Membuat beberapa orang di dekat mereka menoleh penasaran.
Laki-laki ini bisa bertingkah gila.
Seorang pelayan datang membawa pesanan mereka, terlihat curiga dengan tindakan mereka berdua. Akhirnya Sena kembali duduk di kursinya, membuat Dirga bernafas lega.
Sena menyadari itu. Sungguh, dia menyadarinya. Menyadari setiap perubahan yang ada pada Dirga selama dua tahun ini. Bagaimana wajahnya kini tampak lebih dewasa, tubuhnya yang semakin tinggi dan tegap, penampilan yang lebih rapi dan berbagai perubahan kecil lainnya.
Tapi hanya itu. Dia tidak lagi melihatnya dengan penuh rindu dan kagum seperti dulu. Dia tidak lagi melihatnya penuh rasa sayang seperti dulu. Tidak pernah ada debaran seperti dulu. Kini, tidak ada apapun di balik sorot mata gadis itu ketika melihat orang yang pernah berarti untuknya.
Dia mati rasa.
Dan membencinya setengah mati.
" Aku udah di sini. Sekarang kamu mau ngomong apa?" tanya Sena dingin. Ia menatap tanpa iba pada sosok lelah di depannya. Mengawasi pembangunan sebuah mall tentu bukan pekerjaan mudah. Tapi hanya sampai situ saja empatinya.
Dirga tidak menatap kemanapun selain pada gadis di depannya. Senyum yang sedari tadi ia pertahankan kini sirna ketika kedua tangannya bergetar pelan di atas meja.
Sejak dia mengaku pada Sena tentang kesalahannya, hari berikutnya sikap Sena berubah seratus delapan puluh derajat. Dirga berpendapat bahwa Sena membutuhkan waktu, membutuhkan ruang. Maka Dirga memberikannya dengan harapan ketika keadaan gadis itu kembali tenang, mereka bisa bicara baik-baik. Namun beberapa bulan kemudian, gadis itu justru menghilang ditelan bumi. Dia bahkan tidak mengikuti wisuda kelulusan. Dia sudah memohon pada Wira, bahkan pada Shinta, untuk memberitahukan kemana Sena pergi. Tapi yang didapatnya adalah bogem mentah dari Wira.
Dia gila. Laki-laki itu gila ketika Sena meninggalkannya. Mencarinya seperti orang kesetanan kesana kemari dengan dipenuhi rasa sesal, kecewa, rindu dan cinta yang jadi satu. Kini setelah ia bisa bertemu Sena, seakan waktu yang terhenti bisa berputar lagi.
Dia memang mencintai Sena sedalam itu. Dia berani bersumpah jika Raras tidak pernah bisa menandingi Sena barang sedikit saja. Tapi dengan tololnya, dengan brengseknya, dia terlarut dalam kenyamanan yang ditawarkan Raras ketika mereka bertemu di Australia.
Dirga mengakui, waktunya di Australia sangat melelahkan. Dia butuh tempat bercerita. Dia butuh tempat berkeluh kesah dan hanya menelfon Sena sangatlah tidak cukup. Maka ketika Raras datang, ia menemukan kenyamanan. Tapi dia tidak menyangka bahwa dirinya akan tertarik lebih dalam pada sahabat Sena. Karena Dirga mengakui satu hal yang dipunyai Raras lebih daripada Sena : sikap seduktif.
Senanya tidak pernah berpenampilan se-bithcy itu. Senanya tidak pernah bersikap serendah itu. Dan jelas, Senanya tidak pernah menggodanya seliar itu. Itulah mengapa Dirga mampu menjaga diri di samping Sena meskipun dorongan untuk menyentuh Sena bisa tiba-tiba menggila.
Lalu Raras datang di hadapannya, terlihat sebagai seorang sahabat baik dari pacar tersayang, pada awalnya. Seiring waktu berjalan, intensitas pertemuan yang tadinya hanya ketidaksengajaan di sebuah perpustakaan kota menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Membuat janji temu, jalan bersama, sampai akhirnya Dirga mengizinkan Raras bertandang ke apartemennya, semuanya demi dalih bertukar cerita.
Hingga tanpa sadar kenyamanan di antara mereka mengusik iblis yang tertidur di dalam diri Dirga. Dan sebagai laki-laki dewasa normal, dia tidak mampu menahan diri di tengah godaan Raras yang membangkitkan sisi terdalam dirinya, membutakannya, membuatnya bertekuk lutut hingga melupakan Sena dan segala kesempurnaan gadis itu. Lalu dalam rentang waktu ketika Raras mengisi hari-harinya, dia mengakui jika sebagian hatinya telah terisi oleh Raras.
Tanpa menyadari bahwa saat itu juga, dia mulai menanam bom waktu.
Kini, dia kehilangan Sena. Sena-nya. Dunianya. Tempat dimana Dirga pernah bersumpah untuk selalu membahagiakannya. Karena memang sepenting itu Sena bagi seorang Dirga, bahkan sampai detik ini.
" Ini, ayo dimakan dulu. Kamu suka itu, kan?" ucap Dirga mendorong es selasih dan waffle split ke arah Sena. Namun Sena bergeming, membuat laki-laki itu tahu jika Sena tidak sedang basa-basi.
" A—" Dirga berdehem, " Aku minta maaf, Na."
Rapuh, seperti rengekan bayi. Namun hati perempuan itu terlanjur jadi batu. Ia memandangi sosok di depannya tanpa kehangatan sedikitpun.
" Aku sudah pernah dengar." Sena berkata. " Mau ngomong apa lagi?"
" Maaf, Sena. Aku minta maaf," pinta Dirga menyugar rambutnya serta menunduk dalam. " Aku salah, Na. Maaf, aku nggak bisa kehilangan kamu."
Hening sejenak, membuat Dirga mengangkat wajahnya hanya untuk mendapati wajah datar Sena menatap padanya.
" Lalu apa lagi?"
" Ayo kita ulangi dari awal, Sena. Aku masih sayang kamu. Jangan pergi lagi dariku."
" Nggak ada yang perlu diulangi."
" Na, tolong... ," Dirga mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya yang memerah menatap Sena dengan putus asa. " Sekali saja, Na. Kasih aku kesempatan membuktikan sama kamu bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku masih cinta kamu. Aku masih milik kamu, Na."
Sena menatap Dirga dalam diam. Bahkan membayangkan dirinya bersama Dirga lagi sudah menakutinya setengah mati.
" Kamu bukan milikku, Ga," ucap gadis itu tiba-tiba. " Bagaimana bisa kamu berkata masih milikku kalau hati saja kamu bagi?"
Dirga bungkam dengan bibir bawah yang bergetar, " Iya, aku bodoh, Na. Aku laki-laki bodoh yang sudah menyakiti orang yang sangat dikasihinya."
Sena membuang muka ketika rasa sesal itu terlihat sekali dari wajah Dirga. Dia juga perlu waktu untuk berdamai dengan kenyataan. Bahwa orang yang ia percayai sepenuh hati pada nyatanya justru mengiris jiwanya dengan belati.
Dulu kata Wira, sikap Dirga yang berani mengakui kesalahannya harus Sena pertimbangkan, karena tidak banyak lelaki yang langsung mengaku ketika tertangkap sedang berselingkuh. Kata Wira, Dirga berhak mendapatkan kesempatan kedua meskipun Wira tetap menghajar Dirga habis-habisan.
Begitukah?
Setelah semuanya jelas tentang perselingkuhan Raras dan Dirga di belakang Sena, Sena langsung memutuskan hubungan mereka. Ia berusaha menenangkan diri, mengasingkan diri dari apapun tentang Dirga. Karena saat itu, dia sedang sangat hancur. Dia butuh waktu memunguti serpihan jiwanya yang terasa berceceran. Dia butuh waktu untuk kembali berdiri.
Dan sekarang Dirga datang di hadapannya. Masih mengatakan hal yang sama seperti dulu.
" Nggak, aku nggak bisa."
Wajah laki-laki itu kian memerah. "Kalau kamu belum bisa maafin aku, aku nggak papa, Na. Aku memang nggak pantas mendapat maaf dari kamu setelah hal jahat yang aku lakukan sama kamu tapi tolong...kasih kesempatan buatku membuktikan bahwa aku udah berubah, Na. Kasih kesempatan bahwa aku masih bisa membuat kamu bahagia."
"Untuk apa aku memberi kesempatan sama kamu? Aku nggak menginginkan kita kembali bersama," tandas Sena dingin.
Hening, Dirga masih menatap Sena sebelum setitik air mata terjatuh dari matanya.
" Aku menyesal Na," gumamnya bergetar. " Jangan mengingat hal yang buruk. Kita punya banyak memori bersama, sayang. Demi memori-memori indah itu, sekali saja kasih aku kesempatan untuk membuktikan sama kamu bahwa kita bisa bersama."
Iya, itu benar. Bahkan setelah Dirga mengatakannya, kenangan akan kebersamaan mereka membanjiri benaknya hingga gadis itu merasa sesak. Dirga yang perhatian, Dirga yang lembut, Dirga yang selalu menunggu Sena selesai kuliah, Dirga yang selalu menggoda tinggi badannya dengan cara yang menyenangkan, Dirga yang-
Yang menyentuh perempuan lain di belakang Sena.
" Apa gunanya kenangan itu kalau pada akhirnya kamu berkhianat?" Sena berkata tanpa mengindahkan wajah Dirga yang sangat merana. " Untuk terakhir kalinya, Dirga. Tolong berhenti meminta hal semustahil itu."
Bibir bawah Dirga bergetar ketika matanya semakin memerah. Laki-laki itu mengatupkan satu tangan ke matanya, membuat Sena menggigit bagian bawah bibirnya sendiri.
" Jangan bilang begitu. Aku hanya harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan kamu lagi," ucap Dirga kembali menatap Sena dengan lebih tenang meskipun jejak basah masih ada di sepanjang hidungnya.
Sena menggeleng kecil, " Kamu buang-buang waktu. Mending kamu cari perempuan lain yang masih memandang kamu dengan baik. Jaga kepercayaan mereka. Atau mungkin, kamu bisa sama Raras. Paling nggak dia bukan lagi orang asing buat kamu. Dia bisa bikin kamu nyaman."
Dirga memejamkan mata ketika dosanya diungkit lagi. Demi apapun, mendengar orang lain mengungkit kembali kesalahan kita adalah sebuah penderitaan. Namun Dirga membiarkannya. Dia tahu dia berhak menerimanya.
" Aku nggak akan bisa lupa, Ga. Aku cuma akan melihat kamu sebagai laki-laki yang pernah berkhianat," gumam Sena berusaha mengatasi rasa sakit di dadanya.
" Kamu berhak melakukan itu, Na," ucap Dirga membuka mata dan tersenyum. " Setiap menit, setiap detik, kamu berhak menyalahkan aku. Aku memang salah dan aku akan terima hukuman itu kapanpun kamu mau. Tapi izinkan aku tetap di sampingmu. Di sisimu. Untuk membuktikan kalau aku masih cinta kamu, kalau aku masih Dirga milik kamu."
" Kamu punya kesempatan itu dari dulu," ucap Sena perih hingga gadis itu sedikit membungkuk, " Setiap waktu ketika kita masih bersama, kamu punya kesempatan itu. Bahkan ketika Raras ada di depan kamu, kamu punya kesempatan itu! Tapi lihat apa yang kamu pilih? Masih berani bilang mau membuktikan sesuatu yang jelas-jelas nggak bisa kamu buktikan?!"
Dirga bungkam ketika kata-kata Sena menghantamnya begitu keras.
" Cari perempuan lain. Aku nggak bisa."
" Sena, tolong," Dirga memohon sembari meraih tangan Sena, yang ditepis pelan oleh gadis itu. Bahkan dengan dirinya yang seperti ini saja, gadis itu masih menatap datar ke arahnya. Tapi dia pantas menerimanya. Dia pantas sekali. Dia tidak akan menyalahkan Sena.
Sena menghirup nafas dalam. Ia memejamkan mata erat-erat dan membukanya setelah beberapa saat.
" Dirga, apa yang kamu harapkan? Kamu sudah menyakiti terlalu dalam. Yang kamu hancurkan adalah kepercayaan, Dirga Rajendra."
Dirga menunduk dalam-dalam.
" Jadi seharusnya kamu juga tahu apa yang akan terjadi pada kita," ucap Sena seraya berdiri. " Jangan pernah cari aku lagi kalau tujuanmu hanya untuk mengajak kita kembali bersama. Kamu buang-buang waktu. Sekarang aku harus balik kerja."
" N-Na!"
Sena berbalik dengan gusar, " Apa, Ga? Aku bukan bos besar yang punya banyak uang seperti kamu dan bisa berleha-leha kesana sini! Jadi tolong, jangan ganggu aku! Aku punya banyak hal yang harus dipikirkan selain mendengarkan rengekan bocah dari kamu!"
Dengan gemetar, laki-laki itu mengangkat sepiring waffle. " Ini...makan dulu, Sena. Ini udah jam makan siang—"
" Aku bawa bekal. Selamat siang."
Dengan kalimat itu, Sena berbalik dan meninggalkan Dirga tanpa pernah menoleh lagi.
Sementara, laki-laki itu tidak punya fokus lain selain siluet punggung gadis yang ia cintai setengah mati.
Persetan dengan semua orang yang menatapnya. Laki-laki itu membawa waffle milik Sena dan menyuapkan ke mulutnya sendiri. Mengingat-ingat penuh kerinduan ketika dulu Sena pernah menyuapkan makanan yang sama padanya dengan sorot mata hangat dan tawa ceria.
Mengapa dia bisa berbuat jahat pada gadis yang begitu menyayanginya?
Mengapa dia bisa menyakiti gadis yang begitu berarti baginya?
Mengapa dulu dia bisa berhubungan dengan Raras di belakang Sena?
Sampai kapanpun, Dirga tidak akan pernah bisa memahami mengapa dirinya bisa begitu bodoh, begitu tolol hingga Sena pergi dari hidupnya.
Bertahan, dia hanya harus bertahan lebih lama untuk mendapatkan Sena kembali, kan?
*TBC*
*Karena, waktu tidak akan pernah bisa kembali*
Hmmm...see you when I see you^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro