Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 17. Belenggu dan Cemburu

" Ayo cepetan! Nanti kesiangan ini!"

Seorang perempuan berusia hampir enam puluh tahun terlihat merapikan pakaian yang dia kenakan. Tas tangan besar berwarna coklat tergantung di salah satu tangannya. Gurat-gurat keriput tampak menghiasi wajah dan tangannya, namun ia terlihat masih enerjik. Lihat saja, wanita ini bahkan memakai eyeshadow tipis berwarna pink yang sesuai dengan baju yang ia kenakan. Rambut panjang yang didominasi oleh warna putih tersanggul rapi dalam sanggulan besar di belakang kepalanya. Sekali lagi dia menatap cermin, tempat di mana wajah yang belum kehilangan keelokan masa muda itu tampak.

" Tuhan, DANAAAAR!!"

Bahkan suaranya pun masih mampu menggetarkan seluruh sudut rumah.

" Iya Mama, iya sebentar lagi. Ini baru turun tangga!"

Seorang laki-laki muncul tergesa di tangga. Laki-laki itu mengenakan kaus loreng berwarna abu-abu namun terlihat formal.

" Ini kebiasaan! Habis mandi itu rambutnya di sisir, biar rapi!" omel mamanya berusaha menggapai rambut Danar yang sia-sia, mengingat perbedaan tinggi mereka yang begitu jauh. Namun Danar tetap menghindar.

"Ma, masih basah ini," elak Danar. " Ayo berangkat, tadi katanya buru-buru."

" Hari ini katanya Jenny belajar masak ayam asam manis, lho. Nyobain resep Mama. Kamu nanti nyoba, ya? Bilang sama dia apa-apa yang kurang biar besok waktu jadi istri kamu, semuanya sempurna!" ucap mama berbinar ketika mereka sudah keluar dari pekarangan rumah.

Danar terdiam sesaat dengan mata fokus ke depan.

" Ayam asam manis aja? Tante-"

"Mama!" potong mamanya dengan tegas. " Kalian sudah mau nikah, masa kamu panggil calon mertua kamu masih pakai sebutan 'tante'?"

Sekali lagi, Danar menghembuskan nafas sabar.

" Mama Zea dimasakin apa? Dia nggak boleh makan yang terlalu gurih, Ma. Kemarin dia skip hemodialisa lagi. Itu bisa bahaya!"

" Iya, kemarin Hasna bilang sama Mama katanya tante lagi drop. Nanti kamu bilangin, coba. Kalau sama kamu, dia pasti mau," jawabnya memohon pada Danar. Tentu saja Danar menganggukinya.

" Kamu baik sama Jenny, kan?" tanya mamanya tiba-tiba, membuat Danar menoleh ke arahnya.

" Jaga dia, Nar. Dia sudah seperti anak sendiri untuk mama," ucap mamanya dengan rasa sesak di dada.

Begitu pula Danar, meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun tetap, laki-laki itu terdiam.

**

"Mbak, Budhe, Mas Danar sama Ibu Latifa sudah datang."

Hasna, pembantu di rumah Jenny muncul di ambang pintu kamar. Jenny yang saat itu sedang bercengkrama dengan Zea refleks berdiri.

"Ah iya, makasih. Tolong bikinin minum, ya," pinta Jenny yang diangguki Hasna. Kemudian, ia berpaling pada Zea. " Yuk ma ke depan."

Zea, wanita yang sama rentanya dengan ibu Danar itu menoleh ke arah sosok yang terbaring di atas ranjang.

" Pa, itu calon mantumu udah datang. Nanti Mama suruh ke sini. Tambah ganteng, lho," ucap Zea tersenyum sembari mengusap lengan suaminya yang bergeming.

Pemandangan itu sudah menemani Jenny selama empat tahun belakangan, tapi tetap saja dirinya tidak terbiasa. Zea menoleh ke arah Jenny dan mengangguk, mempersilahkan anak satu-satunya membantu Zea keluar menemui tamu mereka.

Dengan terlatih, Jenny mendorong kursi roda ibunya menuju ruang tamu. Di sana, sudah ada dua orang yang menunggu. Jenny mengembangkan senyumnya saat mencium punggung tangan Latifa, ibu Danar. Wanita itu menatap Jenny dengan berbinar.

" Duh, lama nggak ketemu makin cantik saja calon mantu Mama," ucap Latifa hangat, membuat senyum Zea terkembang.

" Calon mantuku juga nggak kalah ganteng. Kamu kurung terus di rumah ya sampai putih gitu?" ejek Zea pada sahabat masa kecilnya itu. Latifa tertawa.

" Danar, Papa dijenguk dulu sana. Dia pasti kangen suara kamu," pinta Latifa sedikit menyenggol lengan Danar yang sedari tadi bungkam.

" Iya, temani Danar, Jen," ucap Zea pada Jenny. " Mama mau ngobrol dulu sama Tifa."

Tentu saja, Jenny tidak punya pilihan selain mengangguk. Untuk pertama kalinya, perempuan itu menatap Danar.

" Yuk?" ajak Jenny tersenyum. Danar membalasnya dan berjalan di samping Jenny menyusuri ruang menuju sebuah kamar.

Sekiranya mereka telah keluar dari jangkauan kedua orang tua mereka, senyum lenyap dari wajah masing-masing.

" Gimana O-Papa?" tanya Danar berdehem. Kemana perginya kehangatan sebuah persahabatan sebelum skenario bodoh ini menjerat mereka?

" Masih sama," jawab Jenny berusaha tegar. " Nggak perlu pura-pura di depanku, Nar."

Danar tahu. Danar selalu mengenali setiap ekspresi Jenny bahkan hanya dari nada suaranya. Selalu timbul keinginan melindungi gadis ini jika Jenny sudah bersuara demikian. Tapi kini, bahkan hanya bersentuhan saja rasanya salah.

Jenny membukakan pintu sebuah ruangan besar yang didominasi oleh tempat tidur king size berwarna merah beludru. Sebuah lagu mengalun dari vcd player, mengalunkan musik klasik untuk menyamarkan bunyi dari mesin penopang hidup di samping tubuh renta dari pria yang sedang terbaring.

Seberapa tidak puasnya Danar akan belenggu yang mengurungnya, dia masih punya kasih untuk orang yang pernah menjadi sosok ayah ketika ayah kandungnya sendiri sudah tiada.

" Selamat pagi, Papa," sapa Danar ramah. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang, meraih tangan renta dengan kulit bergelambir itu. " Gimana keadaannya? Hari ini Jenny cantik sekali."

Mendengarnya, Jenny mendengus. Timbul keinginan gadis itu untuk menjitak kepala Danar seperti apa yang dulu biasa ia lakukan. Tapi sekarang keadaan sudah jauh berbeda.

" Hari ini, Mama sama Danar ke sini. Diundang sama Mama Zea piknik bareng," kata Danar lagi, " Juga, katanya Jenny mulai belajar masak. Coba, Pa, Jenny masak! Cewek yang nggak pernah masuk dapur ini masak? Bisa-bisa Danar keracunan, kan?"

Lagi-lagi dengusan geli keluar dari bibir Jenny.

" Nggak, Pa. Danar bohong. Kemarin katanya lele goreng Jenny enak, kok," tepis Jenny.

Mendengarnya, Danar tertawa kecil. Ia membelai lengan ayah Jenny, menatap lekat pada wajah yang tidak lagi bisa menatapnya sejak empat tahun lalu.

Sejak sebuah kecelakaan membuat ayah Jenny mengalami kondisi mati vegetatif, membuat Zea kehilangan kemampuan berjalan dan membuat adik Jenny meninggal. Tepat setelah ayah Jenny mengatakan usulannya akan perjodohan Danar dan Jenny.

Persahabatan kedua orangtuanya terlalu dalam hingga mempengaruhi Danar dan Jenny. Dulu, tidak pernah ada satu tanpa yang lain. Mereka dekat, sedekat darah dengan nadinya. Tapi semuanya menjadi berbeda ketika salah satu menumbuhkan rasa sedang yang lain nyaman dalam kubah persahabatan. Lalu ketika Danar tahu perasaan Jenny, tidak lama kemudian orangtua Jenny kecelakaan. Dengan terisak, Zea meminta Danar menjaga Jenny, anak satu-satunya.

Sebuah permintaan yang dia tahu berpotensi menjadi belenggu entah sampai kapan. Tapi Danar menerimanya demi kata persahabatan. Membutakan diri pada apa yang akan terjadi ke depan karena toh, dia terlalu menyayangi keluarga Jenny. Dia berpikir, cinta dan ikatan itu pasti datang seiring dengan kebersamaan mereka.

Lalu tiba-tiba saja, seorang Devasena datang di depannya. Gadis bertubuh mungil yang awalnya biasa saja di mata Danar. Namun dengan cepat dia tahu bahwa anak itu adalah lawan debat yang sangat kompetitif. Tubuh kecil dengan lidah setajam pisau. Dia suka jika anak itu mulai mendebatnya tentang diet pasien, memberikan pandangan-pandangannya dengan gerakan tangan menggebu disertai paras manis yang ekspresif. Membuat Danar selalu ingin berbicara dengannya.

Terus berada di sisinya.

**

" Yang ini gimana? Spec-nya pas."

Setelah tertunda hingga berminggu-minggu karena Sena dan Sakti yang sibuk dengan urusan masing-masing, akhirnya hari ini Sena menerima tawaran Sakti untuk pergi ke Z-tron bersama.

" Iya nggak papa, aku suka warna abu-metaliknya," komentar Sena serius.

Mendengarnya, Sakti tertawa. Ketika sedari tadi fokusnya adalah memilihkan laptop dengan spec yang mumpuni, gadis itu justru fokus pada warna laptopnya.

" Kenapa malah warnanya, Na?"

" Soalnya aku nggak ngerti masalah begituan, Mas. Aku beneran nggak paham masalah spec-spec gitu," jawab Sena berkacak pinggang dengan wajah tidak terima. " Jadi aku ngikut Mas Sakti aja."

Melihat Sakti masih terkekeh, gadis itu berdecak.

" Tanya aku cara-cara turun berat badan yang benar dan efektif, aku bisa jawab. Tapi masalah begini, aku angkat tangan. Beneran!" ucap Sena mengangkat tangan di sisi kepalanya. Gadis itu memakai blus putih polos tanpa lengan dipadu dengan celana jeans dan flat shoes berwarna putih. Separo atas rambutnya diikat dengan tali rambut berhias pita merah, sisanya ia biarkan tergerai hingga punggung.

Sebuah tas ransel bewarna coklat bertengger di punggungnya, ransel yang jauh lebih kecil daripada ransel yang berada di punggung Sakti, yang terlihat menggembung karena sebelum ke gerai ini, Sena lebih dulu menemani Sakti membeli banyak barang yang Sena tidak tahu namanya walaupun Sena yakin tadi Sakti sudah memberitahunya.

" Laptopku dulu itu bekasnya Bang Wira. Jadi aku tinggal terima dan pakai aja." Sena meneruskan.

Mendengarnya, Sakti menoleh ke arah Sena, " Wira?"

" Abangku," ucap Sena sedikit mendengus. " Jadi gimana? Itu aja?"

Sakti mengangguk sembari mengamati entah apa di laptop yang ia rekomendasikan, yang pasti laki-laki itu terlihat sangat serius.

" Oke! Langsung aja aku bayar-"

" Woii Suketi!"

Seorang laki-laki berkacamata tiba-tiba muncul di gerai yang mereka datangi. Tanpa aba, laki-laki itu menepuk pundak Sakti hingga ia dan Sena terkejut.

" Belanja, Ren? Sendirian?" Tanya Sakti begitu melihat siapa yang mengagetkannya.

" Sendiri. Habis lembur sekalian kesini," kekeh laki-laki itu merapatkan jaket kulitnya. " Cari apa lo?"

Sakti mengangkat laptop di tangannya, membuat temannya itu mengangkat alis.

" Bukannya kemarin baru beli ASUS RoG?"

" Ini buat tetangga gue," ucap Sakti mengedik pada Sena. " Sena, ini Reno."

Untuk pertama kalinya, Reno memberi perhatian pada Sena dan mengerutkan kening.

" Lho, gue kira dia bocah SMA yang satu rombongan sama itu," kata Reno mengedik pada rombongan cewek berisik yang tengah berada tidak jauh dari mereka. " Bukan, ya? Maaf, hehe...Gue Reno, kakak seperguruan Suketi, -sori- Sakti."

Sena melirik pada Sakti, kemudian memutuskan bahwa orang yang bernama Reno ini memang gemar berkelakar. Gadis itu membalas jabatan tangan Reno dengan senyum sabar, " Udah biasa dikira anak SMA. Yang penting jangan anak SD aja. Kebangetan kalau itu."

Mendengarnya, Reno terkekeh, " Tiati sama Suketi. Dia kayak air sungai. Kelihatannya aja tenang padahal di bawah arusnya deres."

Tentu saja, Sena mengerutkan kening tidak mengerti. Sementara Sakti masih mengutak-atik si laptop dengan tenang tanpa menatap Reno.

" Ngomong ngawur aja terus, Ren. Sana lanjut belanja."

Reno tertawa, " Halah, mumpung lo di sini nggak ada diskon-diskon gitu? Gue butuh speaker buat i-café gue yang baru, ini."

" Coba di lantai bawah. Harusnya ada yang baru diskon." Sekenanya Sakti menjawab, namun Reno berdecak.

" Bukan diskon itu yang gue maksud elah," sungutnya mencibir. " Ngomong-ngomong, pesanan gue kapan datang?"

Mendengarnya, Sakti menatap Reno. " VGA, kan? Gue masih nunggu kabar. Nanti kalau udah fix ada gue kabarin."

Reno manggut-manggut, kemudian menepuk pundak Sena kelewat keras hingga perempuan itu terkejut, " Nge-date di toko sendiri nggak buruk ternyata. Gue sama Adam sih bakal seneng banget jalan-jalan di sini, tapi Lila bisa ngomel seharian. Bye, Sena. Pastikan lo minta diskon separo harga sama Sakti, oke?"

Sakti menatap datar pada Reno yang tertawa-tawa sembari berjalan menjauh. Sedangkan Sena tidak mengerti satu kata pun yang diucapkan oleh Reno.

" Abaikan saja. Omongannya kadang kacau," celetuk Sakti mengulurkan laptop pada seorang pemuda yang ada di sana.

Namun Sena justru menyipit ke arah Sakti.

" Nggak, aku justru curiga sama satu hal," bisik Sena penuh curiga, membuat Sakti menoleh cepat ke arahnya.

" Apa?"

Sena menelengkan kepala, " Apa orang yang suka komputer itu mesti pakai kacamata?"

Dan Sakti langsung tertawa.

Sena memutar bola mata kala laki-laki itu tertawa geli. Tapi dia benar-benar ingin tahu. Sakti, Reno, dan beberapa orang IT di rumah sakit juga memakai kacamata. Berarti, benarkah jika terlalu lama ada di depan layar komputer bisa mengganggu kesehatan mata?

" Aku nggak ngerti kalau yang lain tapi ini..." Sakti menyodorkan kacamatanya pada Sena setelah laki-laki itu berhenti tertawa meskipun senyum geli masih menghiasi bibirnya. " Kacamata anti radiasi, Devasena."

Sena mengedip kala Sakti memakainya lagi.

" Bukan karena ada gangguan penglihatan. Tapi untuk mengurangi intensitas sinar dari layar komputer. Biar mata nggak cepat lelah. Berguna juga kalau lagi nyetir di jalan atau indoor terang kayak gini."

" Ohh..." Sena masih mengamati kacamata bundar oversized yang bertengger di wajah Sakti. Kemudian memutuskan untuk segera membayar laptopnya.

" Heran, kenapa orang suka salah sangka sama cewek dan cowok yang pergi bareng, sih? Padahal kita cuma tetanggaan, ya. Gimana kalau dia nyampein itu sebagai info yang keliru sama pacarnya, misal? Bahaya banget," komentar Sena mengaduk isi tasnya. " Aku sama Pak Danar juga sering disangka buruk. Padahal kita pergi karena urusan rumah sakit dan mereka tahu pasti kalau Pak Danar itu punya tunangan."

Sena menyerahkan nominal sesuai dengan daftar harga.

"Terus kenapa masih menyimpulkan yang nggak-nggak tentang kita, coba?-Eh, gimana Mas?"

Karena sang penjual menolak separo nominal dari yang diulurkan Sena.

" Potongan lima puluh persen, Mbak. Ini kartu garansinya. Silahkan tanda tangan di sini," ucap laki-laki itu menunjuk kotak kecil di sebuah kertas. Gadis itu mengerjap, namun sang penjual hanya tersenyum ramah padanya.

" Ng...oke," Sena akhirnya mematuhi. Gadis itu mencoretkan tanda tangannya dan menyerahkannya kembali dengan senyum penuh terima kasih.

Kemudian, ketika mereka sudah keluar dari gerai, Sena menarik lengan jumper Sakti agar laki-laki itu merendahkan badannya.

" Makasih, ya. Udah milihin laptop yang baru diskon. Aku aja nggak ngerti kalau itu kena diskon." Bisik Sena di telinga Sakti.

Sakti menoleh dan sesaat, laki-laki itu hanya menatap Sena yang berbinar. Kemudian ia tersenyum dan menegakkan badan, " Sure."

Sena terkekeh seraya mengembalikan dompetnya lagi ke dalam tas. " Tau nggak, Mas? Kata Kanya, barang-barang di Z-tron emang cenderung miring."

Gadis itu segera berpikir dengan penuh semangat bahwa, mungkin besok kalau dia sudah pindah ke rumah permanen -yang saat ini sedang dicicilnya- dengan Shinta, dia bisa membeli barang-barang elektronik di sini. Berkualitas dengan harga murah.

Seulas senyuman bermain di sudut bibir Sakti kala dirinya melirik Sena yang masih senyum-senyum sendiri, kemudian memutuskan berjalan mengiringi langkah gadis itu, menggiringnya pelan hingga tanpa sadar mereka berjalan di tepi.

" Kamu sering pergi berdua sama Pak Danar?"

Sena menggeleng, " Nggak juga. Cuma pernah beberapa kali ke seminar bareng sama ke rumah sakit kota sebelah. Cuma itu dan anak-anak lain udah bilang macem-macem."

" Mungkin mereka curiga ada sesuatu," celetuk Sakti melirik Sena.

Gadis itu mendengus, " Ya silahkan saja kalau mau curiga. Aku juga bukan dewa yang bisa mengontrol pikiran mereka. Cuma kalau sampai mereka berpikiran buruk, itu yang salah. Pikiran buruk itu harus punya bukti-bukti yang lebih pasti, sedangkan kalau curiga itu masih menduga-duga. Kalau dia cuap-cuap tanpa membuktikan kebenarannya, itu bahaya. Bisa menimbulkan fitnah dan salahpaham dimana-mana."

" Apa kondisi lingkungan kerja begitu masih kondusif?" tanya Sakti.

Mendengarnya, Sena tersenyum. Gadis itu mengencangkan tali ranselnya, " Dimanapun kita kerja, kita nggak bisa menghindari situasi seperti itu, Mas. Kita memang punya telinga, tapi pilihan kita sepenuhnya untuk ikut galau atau mengabaikan saja. Apalagi kalau itu nggak benar, ngapain dibikin beban. Yang ada kinerja kita jadi nggak optimal."

Sakti tersenyum kecil, namun tidak berkomentar. Gadis mungil di sampingnya ini terlihat antusias mengamati sekelilingnya.

" Mas Sakti cari apa?" tanya Sena.

" Sudah semua. Kita langsung ke rumah sakit saja. Yolla udah di sana," ujar Sakti mengingatkan Sena bahwa mereka punya agenda menjenguk Ana setelah dari sini.

" O-ke..." ucap Sena berusaha menghindari segerombolan cowok berisik yang tiba-tiba saja melintas. Gadis itu harus menyingkir agar tidak tertabrak. Heran, Sena yakin mereka masih SMA, tapi tingginya bisa membuat leher Sena terkilir.

Kata Kanya, bukan mereka yang terlalu tinggi. Tapi dia yang terlalu pendek.

Sena menoleh ketika seseorang meraih jemarinya dan menariknya ke tempat yang lebih lega.

" Kamu lihat apa sampai lehernya muter gitu?" tanya Sakti di samping Sena.

" Hh...anak-anak sekarang udah pada tinggi, ya? Bagus, bagus!" jawab Sena bangga seolah mengomentari tumbuh kembang anaknya sendiri.

" Let me hear what dietitian said about it. Bukannya tinggi juga dipengaruhi genetik?"

Sena menggeleng, " Gen cuma ambil bagian dikiiit banget. Pengaruh paling besar itu dari asupan gizi. Makanya sekarang digalakkan seribu hari pertama kehidupan, soalnya asupan gizi mulai dari janin terbentuk itu berpengaruh besar."

" Jadi, dulu kamu kurang gizi?" tanya Sakti polos hingga Sena mendelik padanya.

" Dulu waktu mamaku hamil, nggak doyan susu. Dulu kecilnya aku juga nggak doyan susu. Amis. Mau nyoba minum susu itu setelah masuk kuliah. Tapi masa pertumbuhanku udah lewat, jadi tetep aja nggak pengaruh."

" Nggak papa. Kamu tetap manis."

" Oh jelas. Semanis anak-anak SMA itu, kan? Duh senangnya dikira masih SMA, jadi merasa awet muda," ucap Sena tertawa seraya mengurai tautan tangan mereka dan memilih menggenggam tali ransel.

Senyum samar terlukis di wajah Sakti, sedikit geli ketika merasa Sena mempunyai semacam kubah fleksibel yang akan memantulkan kembali serangan apapun yang diarahkan pada gadis mungil berparas cantik itu.

**

" Singapura?"

Pertanyaan itu tercetus kala pagi harinya, ia mendapati Sakti sudah rapi berbalut jaket sembari menarik sebuah koper, lengkap dengan kacamata oversized dan sebuah topi.

" Iya. Dua minggu ke depan," jawab Sakti tersenyum, " Kamu sudah mau berangkat?"

Sena yang juga sudah bersiap di depan unit mengangguk, " Hati-hati, ya."

" Sure."

BLAM!!

" Thanks God! Sena, help me pleasee!!" seru Rafi yang keluar dari unit dengan heboh. Laki-laki itu berpakaian formal dengan sebuah dasi yang terkalung tidak karuan di lehernya. Mulutnya sibuk menggigit setangkup roti isi, rambutnya acak-acakan dan ia sedang melompat-lompat ke arah Sena dengan tangan yang berusaha menalikan sepatu.

" Hhh!! Hahahi ho henganga*?" Celotehnya ketika melewati Sakti dan sadar akan penampilan laki-laki itu. Tentu saja, Sakti mengerutkan kening. Sena berdecak keras sembari memutar bola mata. Gadis itu menyambangi Rafi.

" Hnghh...heh he*!"

Mendengus keras, Sena menarik dasi Rafi hingga Rafi terbatuk.

" Kelakuan! Udah dibilang beli dasi yang instan itu aja selesai masalah, kan?" omel Sena menalikan dasi Rafi dengan cepat.

Rafi yang sudah berhasil menalikan salah satu tali sepatunya melepaskan roti isi dari mulutnya.

" Udah beli, tapi ilang di laundry kayaknya. Cepetan cepetan! Rambutnya sekalian! Mas Sakti mau kemana?" tanya Rafi lagi sebelum menjejalkan sisa roti itu di mulutnya dan menalikan sepatu yang lain, membuatnya membungkuk sedemikian rupa hingga hidungnya nyaris bersentuhan dengan pundak Sena.

Butuh tenaga besar untuk Sakti agar tetap tenang ketika melihat pipi mereka yang hampir menempel.

" Singapura."

" Hah? Singapu-dih Na, pelan bisa nggak sih?" gerutu Rafi ketika sisir Sena menghentak rambut Rafi yang kusut hingga kepala laki-laki itu terantuk.

" Maaf," Sena meringis. " Habis rambutnya Mas Rafi kayak sabut kelapa gini."

" Kesiangan, Na. Tadi malam bikin laporan baru kelar jam empat ini tadi. Nih lihat kantong mata gue!"

" Ntar dikompres pakai ketimun aja."

" Nggak keburu beli. Kalau lo punya ya syukur, deh."

" Ada, ntar siangan ambil aj-eh?"

Sena menoleh, hanya untuk menemukan Sakti berdiri di sampingnya dengan satu tangan membelai singkat kepala Sena.

" Aku berangkat dulu," pamitnya tersenyum tipis pada Sena. Setelahnya, laki-laki itu menepuk pundak Rafi dan menyapa Yolla yang rupanya baru bersiap melakukan olahraga rutinnya, kemudian ia berjalan menuju carport.

" Udah? Thanks, ya. Buset udah jam segini!!" Rafi melotot ketika dirinya memeriksa jam tangannya. Laki-laki itu langsung berbalik dan berlari menuju motor yang juga berada di carport.

Meninggalkan Sena berdiri sendiri dengan sisir masih di genggamannya.

Juga Yolla yang sedari tadi hanya sebagai penonton sementara dirinya sedang melakukan pull up seperti biasa. Bibir wanita itu masih menghitung, namun fokusnya saat ini tersita oleh ekspresi Sena yang mematung di depan unitnya.

" Na? Sehat?" Panggil Yolla menyadarkan Sena dari kebekuan.

Gadis itu mengerjap beberapa kali, lalu mengalihkan perhatian dari mobil Sakti yang sudah menghilang dari pandangan.

" Eh, iya. Ya sudah, aku juga mau berangkat! Dadaah Mbak Yolla!" pamit Sena melambaikan tangan pada Yolla sebelum melesat ke carport.

Sembari melakukan pull up, wanita itu mengangkat alis.

" 37...38...39..."

*TBC*

Bahasa alien Rafi

* Heh! Mas Sakti mau kemana?

* Help me!

Footnote :

Kematian Vegetatif adalah kondisi dimana seseorang kehilangan sebagian atau total fungsi otak besar/serebral (misal karena kecelakaan) namun batang otak tetap berfungsi sehingga jantung dan paru-paru masih bisa berfungsi, itu artinya jantung masih berdenyut dan masih bisa bernafas. Namun kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan sangat kurang.

Happy long weekend ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro