Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 16. Kejutan Siang Hari

" DEV!"

Suara Danar bergaung di dalam ruangan, menarik fokus Sena kembali ke masa sekarang. Kini gadis itu sadar bahwa dirinya tengah mendapat tatapan dari beberapa orang.

" Ah...iya maaf!" ujar Sena terbata. Gadis itu menggelengkan kepala, mengusir sosok Sakti yang terlihat berbeda dalam balutan jas tadi pagi. Apalagi laki-laki itu merapikan rambutnya dan tidak mengenakan kacamata sehingga wajah yang biasanya terlihat nyentrik kini justru tampak masku—

" Devasena Gayatri!"

" Aduh, iya!!" seru Sena sembari menggetok dahinya dengan gemas. Gadis itu berdehem dan kembali membaca catatannya.

" Jadi begini," ujar Sena memulai. " Ada satu hal yang luput dari pertanyaan."

Di depannya, sepasang suami istri dan suami mendiang korban menatapnya dengan ingin tahu. Setahu mereka, mereka sudah cukup diinterogasi tentang video yang kini terpampang lagi di depan mereka. Tidak cukupkah mereka diingatkan lagi tentang bagaimana cara orang tersayang mereka meninggal?

" Apa, Mbak Sena?" tanya sang istri alias kakak kandung mendiang. Sena bisa merasakan nada tidak suka dari pertanyaannya.

Sena memantapkan diri di hadapan banyak orang, termasuk Danar, Budi, dan Erwin.

Sena menghentikan video pada adegan dimana suami istri beserta sang anak melintas di bawah CCTV.

" Ini, jika diperhatikan, ada sesuatu di saku Raja," ucap Sena yakin. " Bisa dilihat dari sesuatu yang sedikit keluar. Tapi tidak bisa saya pastikan apa itu. Apakah ujung kain? Apakah plastik? Bisa dijawab?"

Brian, sang suami mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan istrinya, " Itu, kan plastik perkedelnya Raja. Aku kira udah habis."

Sang istri mengerjap, seolah menarik suatu memori dari masa lalu, " Iya. Itu isinya perkedel kentang."

Hening. Seluruh orang terdiam kala mendengar satu fakta yang baru saja terkuak.

" Kentang," ucap Raja tiba-tiba, " Pekedel eyang uti."

" Maaf?" tanya Sena.

Si istri berdehem, " Jadi begini. Sebelum ke rumah sakit, kita ke rumah ibu –neneknya Raja-, mertua saya. Dan Raja ini suka sekali sama perkedel kentang yang dibikin ibu. Jadinya dia ambil banyak. Itu udah biasa, buat camilan dia. Saya kira sudah habis, karena sewaktu di mobil, Raja nggak berhenti makan perkedelnya-"

" Yakin itu perkedel kentang?" tanya Sena.

" Apa maksud Mbak Sena? Mbak Sena menuduh anak saya atau gimana?" tukas sang istri langsung emosi.

" Bukan begitu, Bu. Saya hanya memastikan," ucap Sena berusaha menenangkan.

" Tolong dijawab pertanyaannya, Bu. Ini bukan tentang tuduh menuduh, tapi upaya menyingkap fakta," ujar Danar dengan suaranya yang tenang.

Sang istri menghembuskan nafas keras, kentara sekali tidak terima. Sembari mengeratkan pelukannya pada Raja, dia menjawab, " Sebenarnya saya tidak sempat ikut makan. Saya dan suami, tidak sempat makan di tempat mertua. Malam itu kita nitipin Raja di tempat Oma karena kita ada rapat sampai malam. Lalu di jalan mau jemput Raja, ada telfon dari Esa minta tolong dibawakan tikar dan selimut karena Dewi—Dewi kedinginan."

Brian mengusap punggung sang istri ketika sang istri tiba-tiba saja berlinang air mata kala menyebut nama mendiang adiknya.

" Jadi kita cuma sempat jemput Raja dan langsung mempersiapkan titipan Esa. Waktu keluar dari rumah Oma, dia sudah pegang seplastik penuh perkedel kentang. Saya lihat sendiri Raja makan di jalan." Brian meneruskan.

" Hmm...jadi, tidak ada yang bisa memastikan itu perkedel kentang atau bukan," celetuk Danar yang disetujui Sena dalam diam. " Bisa saya minta tolong ibu anda dipanggil kemari?"

Brian menegang saat mendengarnya. Namun sentuhan Esa, sang suami mendiang, membuatnya urung bicara. Sena membuang muka ketika dilihatnya wajah Esa yang begitu mendung. Dia yang memaksa mereka berkumpul di sini pasti menarik memori buruk tentang Dewi. Tapi ini perlu.

Brian mengabarkan bahwa Oma sedang menuju kemari dengan sopir pribadinya. Dengan demikian, mereka tidak bisa membuat kemajuan apapun selama beberapa menit ke depan. Hal itu digunakan Sena untuk permisi sebentar menuju ruangannya dan mengambil beberapa berkas yang diperlukan.

" Gimana?" tanya Farida dengan Kanya menatapnya cemas. Sena tersenyum.

" Doain aja lancar. Ini baru nunggu saksi satu lagi," jawab Sena menenangkan.

" Udah kayak kasus korupsi aja, ya?" komentar Kanya. " Tapi ini lebih parah, boook! Nyawa orang melayang!"

" Ngomong-ngomong tentang nyawa orang, ini tadi ada pasien Hematemesis Melena masuk, Na. Dokter Raihan nyari lo," ucap Farida.

" Hm? Kan gue nggak pegang klinik lagi. Kenapa nyari gue?"

Kanya berdecak, " Pasien baru dan astaga ngeyelnya minta ampun. Dokter Raihan aja sampai dimaki-maki, nggak mungkin Galuh bisa handle dia. Dokter Raihan langsung minta lo yang handle, Na. Dan satu-satunya jalan biar ketemu lo cuma lewat konsultasi, makanya dikasih tau buat siap-siap. Jangan marah setelah lo liat recall-nya."

Sena mengerutkan kening, "Recall-nya kenapa? Dia kebiasaan makan apa?"

Kanya nyengir sembari menggaruk kepala, sementara Farida memilih menjauh.

" Sopir selama dua puluh tahun, suka minuman berenergi sama kopi biar nggak ngantuk, makan instan karena praktis waktu istirahat kurang, jajan ini dan jajan itu. Hehe...selow, oke? Matanya diperbaiki ntar copot! Udah ye, gue mau lanjot! Good luck!"

Kanya segera melompat pergi saat Sena siap meledak.

" TERUS AJA DIRUSAK BADANNYA! TERUS AJA! ASTAGA MANUSIA!"

" Stt cerewet ah! Udah sana balik!" tukas Farida mendorong punggung Sena keluar dari ruangan.

Sena berkacak pinggang sembari meniup poni yang terjatuh di dahinya. Mau sampai kapan manusia gemar merusak tubuhnya sendiri? Dengan langkah menghentak, Sena melangkah kembali ke ruangan Danar.

" Ah, anda sudah di sini." sapa Sena hormat pada seorang wanita tua yang kini duduk di samping Brian. Sena bisa menyangka umurnya sudah mendekati enam puluh. Tapi mata di balik kacamata plus itu terlihat masih awas.

" Iya?" tanyanya sedikit serak. " Ada apa saya dipanggil kemari? Saya dengar dari Brian ini ada hubungannya dengan kematian Dewi. Apa maksudnya?"

Sena berpandangan dengan Danar, yang mengangguk. Gadis itu berdehem.

" Pagi sebelum kematian Ibu Dewi, Pak Brian dan istrinya mampir ke rumah Ibu untuk menjemput Raja. Setelahnya seperti yang kita tahu, mereka bertiga datang untuk menjenguk Bu Dewi. Dari video, diketahui Raja masih membawa plastik yang berisi makanan yang dibawakan anda untuk Raja, benar?"

Wanita renta itu menatap Sena sejenak, namun kemudian mengangguk dengan bingung.

" Masalahnya, karena ibu dan ayah Raja tidak ikut makan malam di rumah anda, kita tidak bisa memastikan makanan apakah gerangan, karena bagi Raja yang masih berumur lima tahun, mungkin segala bentuk perkedel adalah sama. Jadi saya ingin bertanya, ini perkedel kentang atau—"

"Perkedel kentang?" potong si wanita yang kini tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bingungnya. " Itu perkedel tuna! Saya ingin mencobakan perkedel tuna pada Raja, karena dia memang susah sekali makan ikan. Siapa tahu setelah saya membuat perkedel tuna, dia mau makan. Dan saya benar, kan? Dia suka sekali perkedel tuna buatan saya!"

Di ruangan itu, hanya si nenek saja yang memasang tampang ceria. Sedangkan mereka yang lain terlalu terkejut bahkan hanya untuk bernafas.

" T-tapi tetap saja...gimana caranya-" ucap sang istri terbata. Buku jarinya yang mencengkram pundak Raja sekarang memutih, seputih wajahnya.

" Pekedel kentang!" seru Raja tiba-tiba dengan wajah ceria. Ia mengangkat kedua tangannya, yang masing-masing mengacungkan jari telunjuk.

" Mau pekedel kentang ommma!" seru Raja tiba-tiba. " Buat lomba mamam lagi sama Onti Dewi!"

Mendengarnya, Esa lemas dari tempat duduknya.

" Ra—Raja, Nak, kemarin kamu kasih satu buat Onti Dewi? Iya?" tanya sang ibu dengan gemetar. " Kapan?"

Raja mengerjapkan wajahnya yang lucu, kemudian menunjuk pada Esa yang sepertinya butuh oksigen, " Angkel Esa pipis. Laja kasih pekedel satu buat Onti Dewi, jadi satu satu sama Onti Dewi. Tapi Laja kalah! Onti Dewi mamamnya cepet. Hap! Langsung dimamam sama Onti Dewi! Jadi Laja kalah!"

**

Mereka baru saja terlepas dari rantai besi.

Jelas sekali.

Tapi tolong, siapa saja yang terlibat dalam usaha menguak kebenaran pada kasus ini akan merasa ironik.

Kecuali Raja, tentunya.

Esa akhirnya pingsan setelah seluruh reka adegan dikonfirmasi. Raja anak yang pintar, mereka mengulang adegan sebanyak lima kali, dan sebanyak itu pula ia memperagakan saat dimana ia menyuapkan satu buah perkedel langsung ke mulut Dewi dan berlomba siapa yang paling cepat menghabiskan perkedel dari mulut mereka.

Kakak korban menjerit histeris dan koridor harus ditutup beberapa saat ketika sang Oma mendadak sesak nafas setelah mengetahui bahwa makanan yang ia buat membuat nyawa orang melayang.

Sebuah ironi. Skenario dari Tuhan yang tidak pernah bisa ditebak. Juga sebagai pelajaran bagi pihak rumah sakit agar lebih aktif mengedukasi penjenguk pasien tentang kondisi pasien. Sedangkan kedua orangtua Raja begitu terpukul. Hanya masalah sepele, mereka yang tidak menyadari apa makanan yang dikonsumsi anaknya kini berakibat fatal.

" Dev, nggak ke ruang konsultasi?"

Suara Danar menyadarkan sena yang masih saja gemetar. Sena tersentak, kemudian menggeleng.

" Masih nanti. Saya makan siang dulu," ucap Sena berusaha meredam suaranya yang bergetar.

Danar menangkap gestur itu, kemudian ia menepuk puncak kepala Sena, " You did well. Excelent."

Sena terdiam, terlampau sulit untuk bicara.

" Makan apa buat bekalmu?" tanya Danar berusaha mengalihkan fokus Sena.

" Ah...cuma tumis saja," jawab Sena bangkit dari kursi. " Saya...permisi dulu. Sebaiknya Pak Danar segera memberitahukan hal ini pada Dokter Jenny. Beliau pasti cemas karena tidak bisa mengikuti."

" Oh, iya. Mungkin sekarang operasinya sudah selesai," Jawab Danar. " Ya sudah, saya ke atas dulu. Selamat siang, Sena."

Danar menepuk pundak Sena, membuat Sena tersenyum gugup. Selepas Danar pergi, Erna, Farida dan Kanya langsung menyerbu kubikelnya.

" Gimana tadi?"

" Ramai banget tau nggak!"

" Jadi gimana? Siapa yang salah? Ini...adegan balas dendam kayak yang di sinet-sinet gitu?"

Sena mengusap keningnya dengan keras, " Nggak ada adegan-adegan kayak gitu, ck! Duh, ini gue masih belum konsen, belum bisa cerita gue!"

Kanya mengerucutkan bibir, " Sampai segitunya? Parah banget ya Na? Entar gue—"

" Tes tes, instalasi gizi?"

Suara dari interkom membuat keempat wanita itu menoleh. Farida segera berlari dan menjawab.

" Yup! Lobi, ada apakah?"

" Devasena di situ nggak? Ada yang nyari, ini."

Sena yang saat itu membenamkan wajahnya ke lipatan tangan kini mengangkat kepala dengan ogah-ogahan.

" Siapa?" tanya Sena malas.

" Orangnya ada. Dia tanya siapa yang nyari." Farida meneruskan pertanyaan Sena.

" Namanya...Sakti Samudra. Ditunggu di lobi sekarang."

Demi mendengar itu, Sena menegakkan tubuh sembari melotot.

" Ha? Siapa??" seru Sena.

" Wah, denger anaknya. Sakti. SAKTI SAMUDRA!! UDAH YE, GUE TUTUP!"

" Siapa, Na? Mantan calon cowok, ya?" tanya Kanya ingin tahu.

" Nya, bahasamu kok ribet?" tukas Farida.

" Soalnya udah ditolak sama Sena sebelum menyatakan cinta. Kayak yang udah-udah," kekeh Kanya. " Samperin gih, jangan bikin penderitaannya terlalu lama. Percayalah, wahai emaknya Baahubali, digantung itu nggak enak."

Sena mengerjap, " Dia, eh...tetangga gue. Ngapain coba kesini?" gumam Sena keluar ruangan.

Sepanjang langkahnya, gadis itu bertanya-tanya ada apa gerangan tetangganya itu sampai mencarinya kemari. Apa jangan-jangan ada uang Sakti yang menghilang lalu dia ingin bertanya pada Sena?

Raut wajah gadis itu berubah cemas.

Sena berhenti di ujung lorong kala melihat sosok Sakti yang memunggunginya. Laki-laki itu sudah melepas jasnya, menyisakan kemeja biru tua dengan lengan kemeja sedikit tertekuk. Sebuah penampilan yang jarang sekali dilihat Sena, karena kemunculan laki-laki itu lebih sering didominasi kaus maupun jumper warna hitam. Laki-laki itu berdiri dengan kedua tangan disisipkan ke dalam saku celana, tengah mendongak untuk membaca poster 'Langkah-Langkah Mencuci Tangan Dengan Benar' yang berlapis kaca.

" Jadi, uangnya yang hilang berapa?" tanya Sena berhenti di samping Sakti. Laki-laki itu sedikit terkejut dengan kemunculan Sena, namun kemudian ia mengangkat alis.

" Uang apa?"

Sena meremasi tangannya. " Ng...Mas Sakti kesini cari aku soalnya ada uangnya yang hilang, ya? Atau kartu kredit? Tapi aku beneran nggak ngambil, cuma...kalau memang Mas Sakti nggak percaya—kok malah ketawa? Serius, ini!"

" Aduh Na, kamu itu lucu sekali," kekeh Sakti. " Uang siapa yang hilang, coba? Aku kesini mau ngajak kamu makan siang."

Sena mengerjap.

" Ha, gimana?" tanya Sena lagi.

" Makan siang, karena aku harus berterima kasih sama kamu. Tadi pagi kamu udah menyelamatkan Aztec di depan klien penting kami. Jadi izinkan aku traktir kamu makan siang," kata Sakti, " Atau kamu udah ada janji?"

Sena meremasi tangannya, sebuah gerakan yang tidak luput dari pengamatan Sakti.

" Nggak—sih tapi itu,...sebenernya nggak perlu repot-repot, Mas," ucap Sena tidak enak hati. Dia benar-benar tulus mengembalikan dompet Sakti.

" I insist, Devasena. Aku mau berterima kasih sama kamu atas nama Aztec," kata Sakti, " atau kamu bisa menganggapnya tetangga yang makan siang bareng? Mumpung ketemu di sini."

Sena menatap Sakti, yang sedang menunggu jawabannya dengan alis terangkat.

Sena tertawa pelan. " Ada-ada saja. Ya sudah. Aku ambil tasku dulu," jawab Sena akhirnya. Sekotak bekal makan masih tersimpan utuh di laci meja Sena. Tapi dia tidak melihat alasan untuk menolak ajakan Sakti, terutama ketika pria itu repot-repot menjemputnya.

Sakti mengikuti langkah gadis itu hingga menghilang dari pandangan. Ia mengusap tengkuknya dengan gugup, kemudian berputar untuk kembali membaca poster yang ada di depannya.

**

" Mau makan di mana?"

" Hm? Jangan tanya aku, Mas. Aku jarang makan di luar kecuali Pak Danar bikin aku lembur dengan tidak manusiawi," kata Sena ketika mereka sudah berada di jalan.

" Kamu sering lembur?" tanya Sakti mengerutkan kening.

" Musiman, sih. Laporan tahunan, akreditasi, biasanya lembur sampai malem banget," celetuk Sena nyengir. Kerutan di kening Sakti makin dalam.

" Lalu makan siang kamu gimana?"

" Aku bawa bekal," jawab Sena santai membuat Sakti mengangkat alis.

" Prinsip sehat kamu kuat banget, ya."

Sena ikut tertawa, " Aku dietitian, Mas Sakti. Apa yang kamu harapkan dari Ahli Gizi selain agar bisa menyediakan makanan yang aman dan sehat? Masa iya aku cuma nyiapin makanan yang aman dan sehat buat pasien sementara aku sendiri butuh makan?"

" Sekarang, izinkan aku yang tanya tentang kamu. Di rumah sakit, Ahli Gizi itu kerjanya apa?" tanya Sakti kemudian.

" Aku paham Mas Sakti tanya. Ibarat pertunjukan, kita lebih sering main di belakang panggung," ucap Sena tertawa. " Tugas kita cukup banyak, lho. Mulai dari penetapan diet pasien, mengkoordinir penyelenggaraan makanan dari pembelian sampai distribusi ke pasien, juga konseling agar pasien bisa merubah pola makannya jadi lebih baik. Kita memang jarang show off di depan publik, tapi dokter juga butuh Ahli Gizi sebagai salah satu anggota timnya."

" Dulu diajari masak juga?"

Sena mengangguk, " Ada satu mata kuliah yang materinya tentang teknik pengolahan makanan. Kita jadi tahu macam-macam teknik memasak, mengidentifikasi bahan makanan yang masih bagus untuk diolah, sampai mengidentifikasi racun di makanan yang jarang disadari banyak orang. Jangan salah, kita bisa bunuh orang cuma pakai tomat mentah, lho."

" Kedengarannya agak ngeri," komentar Sakti tertawa. " Berarti apa? Mirip perawat cuma ditambah kerjaan tentang masak-memasak?"

Sena menggeleng, " Nggak, kami nggak bisa nyuntik. Ngukur tekanan darah aja nggak ada di kompetensi Ahli Gizi. Itu udah kompetensi dokter sama perawat, kami lebih konsentrasi ke dietnya. Kami bisa baca hasil pemeriksaan fisik, klinis dan sebagainya karena itu berpengaruh sama diet yang nantinya kami tentukan."

Sakti manggut-manggut," Di sini nggak keberatan?"

Sena menatap sebuah kafe yang mereka datangi, kemudian menggeleng. Sena pernah kesini satu kali, bersama teman-teman gizinya. Itu sudah lama sekali, waktu mereka masih menjadi pegawai baru, belum kenal pegawai lain selain lingkup mereka. Dan dia ingat, waktu itu pikirannya masih penuh dengan Dirga dan segala kebusukannya.

" Mau makan apa?" tanya Sakti ketika mereka sudah duduk dengan meja bundar di hadapan mereka.

" Terserah Mas Sakti saja. Aku nggak ada alergi. Jadi aman," jelas Sena. Sakti membaca buku menu beberapa saat, kemudian menyebutkan pesanannya pada pelayan.

" Jadi, gimana tadi kasusnya? Lancar?" ucap Sakti melipat tangannya di atas meja dan menatapnya dengan ingin tahu.

Mendengarnya, Sena menjentikkan jari. Gadis itu melipat tangannya di atas meja dan menegakkan punggung.

" Doanya Mas Sakti manjur!" ucap gadis itu berbinar.

Lalu tanpa Sena sadari, serentetan kalimat mengalir lancar dari mulutnya ketika ia menceritakan semuanya pada Sakti dengan antusias.

Sedangkan Sakti, laki-laki itu terlihat begitu berkonsentrasi pada cerita Sena hingga air mukanya berubah-ubah sesuai dengan cerita Sena, dan Sena tahu jika laki-laki itu mendengarkan.

Apa Sena pernah berkata jika Sakti adalah pendengar yang baik?

Jika belum, izinkan Sena berkata ini.

Ia suka ketika Sakti mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian.

*TBC*


Footnote :
Hematemesis : mutah darah

Melena : feses berwarna hitam karena ada perdarahan saluran cerna

Recall : mengingat kembali asupan yang telah dimakan pada kurun waktu tertentu. Biasanya tiga hari, untuk membantu penegakan diagnosis.

Selamat malam semua 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro