DEVASENA | 15. Filosofi Sakti dan Dasi
BLAM!!
Sakti yang tengah menyeruput kopi susunya terperanjat, membuat kopi itu seketika tumpah mengenai tangan dan seluruh bagian depan tubuhnya. Dilihatnya Sena membanting pintu dengan ekspresi yang tidak karuan. Seketika itu juga, ia melepas headphone dan berusaha mencerna apa yang tengah terjadi di depannya.
Sena meringkuk di depan komputer yang Sakti pinjamkan padanya. Gadis itu menarik rambut seraya menyembunyikan wajah di lututnya yang tertekuk. Saat itu, gedoran dan ribut-ribut terdengar persis di depan pintu ruangannya.
Tidak perlu waktu lama bagi Sakti untuk mengerti apa yang terjadi. Dia pernah mendengar keributan ini pada hari pertamanya di sini. Perkataan kejam Sena dan permohonan pacarnya-atau mantan pacar-, Sakti tidak terlalu peduli, cukup bagi Sakti menyimpulkan apa yang terjadi.
Gedoran di pintunya semakin menjadi, membuat gadis di sampingnya semakin emosi. Benar saja, Sena bangkit dan membuka pintu dengan berang. Beberapa percakapan, teriakan dan ribut-ribut dari tetangga yang lain sebelum Sena membanting pintunya kembali.
Nafas gadis itu terengah, tangannya terkepal dan kedua matanya terpancang pada pintu yang tertutup. Kemudian ketika ribut-ribut itu reda, Sakti bisa melihat tubuh gadis itu perlahan merileks.
Gadis yang berbalut gaun midi berwarna biru navy itu menghirup nafas dalam. Kemudian untuk pertama kalinya, dia menatap Sakti.
" Maaf," ucapnya berusaha tersenyum meskipun jadinya aneh sekali, seolah gadis itu menahan ringisan. Ia mengusap pipinya dengan kasar.
" Aku...mau nerusin lihat videonya," ucapnya dengan suara sedikit gemetar. " Mas Sakti nanti tidur jam berapa?"
Sakti terdiam beberapa saat. Raut wajah gadis itu luar biasa lelah. Namun tidak ada yang keluar dari mulutnya selagi ia menatap Sena dalam diam. Kemudian, Sakti melepas kacamata dan headphone dari lehernya.
" Take your time," ucapnya ringan sembari berdiri. " Aku ganti baju dulu."
Sena melihat noda basah di bagian depan pakaian Sakti. Merasa sangat bersalah, gadis itu meraih tisu dari clutch bag dan menghapus noda basah di lantai, keyboard dan layar Sakti. Saat itu, pintu terbuka.
" Feel better?"
Sena menoleh dan mendapati Rafi tengah berjongkok di ambang pintu dengan dua cangkir kopi di tangannya.
" Satu buat Mas Sakti. Tadi gue lihat punya dia tumpah gara-gara suara lo yang ngalah-ngalahin knalpot dua tak terong ababil," celetuk Rafi menyerahkan dua gelas pada Sena.
" Segitunya, ya?" kekeh Sena pelan. " Makasih, Mas."
" Hmm," Rafi mengamatinya beberapa saat. Pemuda itu melipat tangannya di atas lutut. " Orangnya udah pergi. Lo nggak balik ke ruangan lo atau ikut ngumpul di luar?"
Sena menggeleng. Gadis itu meniupi kopi yang dipegangnya dengan kedua tangan. " Aku masih ada kerjaan. Butuh komputer."
Laki-laki berambut cepak itu mengangguk. "Pintunya nggak perlu ditutup, oke?"
Sena mengangguk singkat, membuat Rafi berdecak dan menoyor pelan kepalanya sebelum bergabung dengan yang lain.
Sena masih meniupi kopinya dengan pikiran menerawang. Saat ini saja, masih dirasakan seluruh tubuhnya bergetar akibat kedatangan Dirga yang tidak terduga. Apapun tentang Dirga nyatanya membuat Sena tidak suka. Karena hal itu akan membuat semua luka Sena terbuka lagi, berdarah lagi.
Ck, tolong. Bahkan dua tahun sudah berlalu. Mengapa memori tentang kejadian laknat itu tidak kunjung pudar?
Sesuatu melingkupi pundak Sena. Sena menoleh bingung, hanya untuk mendapati Sakti baru saja menangkupkan selimut di atas tubuhnya.
" Makasih," ucap Sena letih. " Maaf."
" Don't mind." Laki-laki itu kembali duduk di depan layar ultrawide-nya.
" Itu buat Mas Sakti," ucap Sena mengerling ke arah secangkir kopi. Dilihatnya Sakti mengangguk. Sena berusaha menguasai diri dan fokus kepada video yang ada di depannya.
Tapi pikirannya tidak bisa fokus.
" Rasa benci, selalu merusak dari dalam."
Sena menoleh cepat pada Sakti. Laki-laki itu masih setia menatap ke depan, tapi dia yakin Sakti baru saja berbicara padanya.
" Kamu sendiri yang bilang sesuatu yang selesai tidak perlu diungkit lagi. Jadi kenapa kamu kelihatan masih susah begini?"
Cengkraman Sena pada cangkirnya mengerat.
" Kamu nggak tahu apa-apa Mas," Sena berusaha menekan nada dingin dalam suaranya.
" Hmm, percakapan kamu sama mantan kamu itu ganggu tidurku di hari pertama aku di sini. Jadi sialnya, aku jadi tahu ada apa di antara kamu sama mantan kamu. Aku terutama suka kalimatmu yang 'selingkuh itu pilihan, bukan ketidaksengajaan'."
Yakinlah, bahwa kali ini Sena sedang melihat laki-laki itu mengulum senyum walau hanya setipis rambut yang dibagi tujuh. Sena membuang muka ke depan ketika wajahnya memerah.
Astaga, jadi waktu itu bukan cuma kardusnya saja? Orangnya ternyata juga sudah di sini? Dia jadi saksi adegan tarik urat antara dirinya dan Dirga di Minggu pagi yang menyebalkan itu.
" Dilepas saja. Termasuk rasa benci kamu. Tanpa kamu sadari, kamu membiarkan luka itu terus terbuka."
"Aku nggak mengharapkan Mas Sakti paham," bisik Sena sesak. " Sakitnya diselingkuhi itu bisa bikin bunuh diri. Kepercayaan yang kamu kasih ke dia, hancur saat itu juga. Itu tuh, seperti kamu nggak punya lagi tempat berpijak, Mas. Terlalu banyak rasa sakit yang harus ditanggung. Aku yang sekarang ini...harus terlunta dulu baru bisa berdiri. Terlalu sakit, terlalu nggak bisa ditanggung, Mas. Luka kayak gitu, kenangan kayak gitu nggak bisa begitu saja dihapus."
Sakti mengamati Sena beberapa saat.
" Bukan berarti nggak bisa diobati, Na. Kamu hanya perlu berusaha," ujar Sakti menghadapi layarnya kembali. " Kurangi rasa benci kamu. Terima permintaan dia untuk bicara baik-baik. Urat nggak akan menyelesaikan masalah."
Sena mendengus keras. " Dirga tipe orang yang nggak akan dengerin orang lain. Keras kepala."
Mendengarnya Sakti terkekeh pelan. " Atau jangan-jangan, kamu takut jatuh cinta lagi sama dia kalau bicara baik-baik? Kayaknya dia nggak mau kehilangan kamu, gitu."
" Nggak lucu, Mas." tukas Sena. " Berkhianat itu cara paling ampuh menghapus rasa simpati. Termasuk cinta. Jadi, nggak. Bukan itu alasanku nggak mau bicara sama Dirga. Tapi karena aku nggak mau ketemu dia. Nggak sudi lihat wajahnya yang seolah menganggap nggak pernah ada apa-apa."
" Kamu ingin Dirga menderita?" tanya Sakti tiba-tiba.
Mendengarnya, Sena bungkam. Begitukah? Apakah dia ingin melihat Dirga menderita? Melihatnya terluka? Menyakitinya?
" Nggak," bisik Sena dingin. " Aku nggak mau menyakiti dia, tapi aku juga akan membiarkan saja dia terluka. Aku nggak peduli."
" It's killing you to the core, Na. Kalau kamu ingin sembuh, kamu harus bisa memaafkan. Kalau dia memang sudah membuat kamu sesakit itu, maka dia nggak pantas mengganggu hari-hari kamu lagi termasuk dalam bentuk ingatan."
" Nggak semudah itu, Mas Sakti," ucap Sena merana. " Memaafkan bukan berarti melupakan. Nggak mungkin bisa lupa!"
" Aku nggak pernah bilang untuk melupakan. Apalagi kalau kamu bilang udah nggak ada rasa. Jadi harusnya makin gampang menganggap dia bukan siapa-siapa kamu."
" Aku memang udah nggak ada rasa sama dia," desis Sena menatap Sakti dengan tidak terima.
" Tapi kamu masih menyimpan rasa benci, Sena. Kalau kamu belum tahu, benci itu rasa yang kuat, jahat dan destruktif. Suatu saat nanti, kamu akan mendapati kebencian kamu merambat ke sesuatu yang seharusnya nggak kamu benci. Benci cuma bikin kamu rugi."
Sena bungkam ketika ia tidak bisa menemukan kalimat untuk membalas kata-kata Sakti. Sedangkan Sakti justru tertawa melihat Sena yang menggeram.
" Semoga Devasena segera bisa terlepas dari penyakit hati yang satu itu. Rugi sekali kalau wajah manis kamu harus dipenuhi rasa benci," celetuk Sakti kembali menghadap ke layar dengan cengiran yang belum hilang dari sudut bibirnya. " Sedikit nggak rela."
Sena terdiam. Sepasang matanya tanpa sadar terpaku pada Sakti yang sudah menghadapi entah apa di layar. Laki-laki berkacamata ini sepertinya suka sekali dengan kaus berwarna hitam. Fokus Sakti terpancang pada suatu obyek dua dimensi di depannya, sedangkan tangan kanannya dengan lihai menggerakkan mouse, menciptakan suatu bentuk yang masih terlihat absurd bagi Sena.
" Please, don't look at me that way, Sena. Just go with your video." Sakti berkata tanpa menoleh.
Sena tersedak kecil dan menghadap ke depan. Gadis itu buru-buru menyeruput kopi susu miliknya, hanya untuk menyamarkan rasa malu dan hawa panas yang tiba-tiba saja menjalari wajahnya.
**
Tiga puluh menit kemudian, seluruh fokus Sena terpancang pada rentetan adegan yang ada di depannya.
Gadis itu meringkuk seperti kepompong di selimut coklat yang dipinjamkan Sakti. Rambutnya tergelung di belakang meskipun banyak yang terurai saking seringnya anak itu menggaruk kepala dengan frustasi.
Sejak tadi, ada sesuatu yang mengganjal.
Sena baru menyadari jika kantung kiri celana anak kecil yang membawa lolipop itu sedikit menggembung dan menampakkan sesuatu yang sedikit mencuat. Selama ini dia tidak pernah memberi perhatian lebih pada si anak. Kalaupun ada hal yang menjadi perhatian, itu permen lolipop di tangannya. Tapi kali ini, Sena mau tidak mau harus curiga pada bentuk kantung samping pada celana army selututnya.
Sena juga tidak terlalu yakin, karena CCTV memang setidak fokus itu. Maksudnya, semakin Sena ingin fokus, gambar itu akan semakin terpecah menjadi kotak-kotak atau istilah Sakti, pixel. Maka yang menjadi perbandingan Sena adalah kantung sisi kanannya yang terlihat lebih kempes.
Katakanlah ada sesuatu yang disimpan Raja -nama si anak- di sana. Petunjuk satu-satunya adalah sesuatu yang sedikit mencuat itu. Tampak seperti ujung kertas, atau plastik, terlalu tipis dan tidak terlalu jelas hingga siapa saja bisa mengira itu hanyalah lapisan kain dalam kantung yang mencuat. Mereka tidak pernah bertanya tentang hal ini sebelumnya. Karena toh diantara semua orang yang terlibat, si anaklah yang paling bebas dari tuduhan.
" Kamu sudah klarifikasi apa yang ada di kantung si anak?"
Celetukan itu membuat Sena menoleh cepat dan mendapati Sakti tengah mendekatkan wajah ke layar Sena. Otomatis, gadis itu menjauhkan diri.
" H-ha?"
Sakti, yang mengalungkan headphone ke lehernya itu mengerling Sena, sebelum menunjuk ke arah layar.
" Si anak nyimpan sesuatu di kantungnya. Kamu udah tanya itu apa?" Sakti bertanya lagi. " Seharusnya sudah, karena itu termasuk hal yang pantas dicurigai. I mean, it's CCTV. Kamu berusaha mencari sesuatu yang mencurigakan dan kantung si anak itu salah satunya."
Tentu saja, Sena mengerjap.
Tidak, sungguh. Sena tidak pernah berdiskusi tentang ini dengan Sakti. Bahkan Sena tidak pernah melihat Sakti menaruh perhatian pada video ini sebelumnya.
Melihat Sena yang terperangah, laki-laki itu akhirnya meninggalkan layarnya dan bersila menghadap Sena.
" Kamu belum tanya?" tanya Sakti. " Atau mungkin, kamu sudah bertanya dan itu bukan sesuatu yang patut dicurigai?"
Sebentar.
" Sejak kapan Mas Sakti sadar kantung si anak itu patut dicurigai?" Sena bertanya dengan mata menyipit.
" Sejak pertama kamu lihat CCTV itu di monitor yang ini, Na." Ia mengedik ke layar ultrawide yang saat ini sedang menampilkan sheet photoshop yang tidak digubris Sena. Dia sibuk ternganga, oke?
Sakti menghirup nafas dalam. " Agak aneh saja. Maksudku, kamu me-replay adegan itu sejak tadi, berulang kali. Dan satu-satunya hal yang patut dicurigai dari adegan ini adalah kantung si anak yang menggembung."
" J-jadi Mas Sakti setuju kalau ini mencurigakan, kan?" Sena tiba-tiba bertanya.
Sakti mengangguk pasti. " Sure."
" Dan kenapa Mas Sakti langsung bisa menyimpulkan kalau ini mencurigakan? Ini nggak sejelas itu buat dicurigai. Bisa jadi ini cuma lipatan kain yang mencuat atau apalah."
Sakti terkekeh. " Pengalaman, Na. Lagipula, kamu juga sudah curiga, kan?"
" Mas! Kenapa nggak bilang dari dulu, coba?" tukas Sena tanpa sadar.
" Haruskah? Aku nggak nyangka itu baru kamu temukan sekarang."
Dan Sakti tertawa. Tetangganya ini...apa dia sedang menertawakan Sena? Melihat Sena yang jengkel setengah mati, laki-laki itu mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Sena.
" Maaf, aku nggak bermaksud begitu. Dulu juga, aku nggak ngerti duduk permasalahannya. Itu jelas bukan lipatan kain, Devasena. Kalau bukan plastik, bisa jadi kertas atau mika atau sejenisnya. Ada masa dimana dua puluh empat jam waktuku diisi sama rekaman CCTV. Jadi aku lebih bisa menemukan hal-hal mencurigakan dibandingkan kamu. Jadi maaf, oke?" pintanya geli.
Sena meniup rambut yang terjatuh di wajahnya. Tidak, dia tidak jengkel pada Sakti, sungguh.
" Nggak, nggak papa. Aku cuma jengkel sama diriku sendiri karena Mas Sakti bisa nemu itu dari dulu-dulu sementara aku baru bisa nemu ini sekarang. Siapa tahu ini kunci dari seluruh kasusnya," kata Sena. " Karena ada temuan baru, ini bisa jadi bahan diskusi. Duh leher gue..."
Gerakan Sena yang tengah memutar lehernya terhenti kala tiba-tiba saja, sesuatu melingkupi kedua telinganya. Tanpa kata, laki-laki itu mencondongkan tubuh ke arah Sena dan memasangkan headphone ke telinganya. Kemudian, Sakti menarik pelan salah satu bantalan headphone agar Sena bisa mendengar.
"Kamu terlalu banyak pikiran, Na. Just try to listen it. Kalau kamu nggak mencoba mengenal, kamu nggak akan tahu magic-nya," ucapnya tersenyum samar sebelum melepaskan headphone sehingga kedua bantalannya menempel sempurna di telinga Sena, mengalunkan musik klasik yang segera dikenali Sena sebagai Moonlight Sonata milik Beethoven.
Menyeruput bibir cangkirnya seraya mengamati Sakti dari samping, lambat laun dia setuju jika lagu ini bisa menenangkan pikiran. Seperti sebuah tangan yang mengurai satu persatu gulungan benang yang semula kusut di otak dan hatinya. Mendesah lirih, Sena merapatkan selimut dan mengamati CCTV sekali lagi.
Sena memencet tombol pause. Hatinya tergelitik untuk menelfon Danar karena dia yakin tidak sanggup menahan hal ini sendirian. Tapi dia juga sadar jika hari sudah larut. Sena menggeliat, berusaha mengusir kaku di seluruh persendiannya karena terlalu lama duduk meringkuk. Gadis itu mengerling ke halaman. Masih di lihatnya Rafi, Yolla dan Gagah bercengkrama di sana.
Lalu perhatiannya kembali terjatuh pada Sakti yang masih saja setia dengan apapun itu di layar monitornya. Namun jemarinya kini tidak lagi memegang mouse. Ia sibuk memulaskan benda mirip pulpen di atas sebuah benda mirip tablet. Sena mengamatinya beberapa saat dan menelengkan kepala, karena dia sadar sapuan pulpen itu tidak tercipta di permukaan tablet, melainkan ada di layar depan Sakti, menciptakan sebuah obyek mirip logo yang rumit sekali.
" Hm? Mas Sakti gambar apa? Kok alatnya lucu gitu?" celetuk Sena mengalungkan headphone ke lehernya.
Sakti menoleh ke arahnya. " Nggak diterusin?"
Sena menggeleng singkat, " Ini udah cukup jadi bahan diskusi, jadi aku jeda dulu saja." Gadis itu menunjuk pada tablet di meja Sakti. " Bagian dari kerjaan, ya?"
" Ini namanya graphic tablet." Sakti mengedik pada tablet dan pulpen di depannya, kemudian menunjuk ke arah layar, " dan ini kerja sampinganku."
Sena mengerutkan kening. Melihatnya, Sakti memasang senyum tipis.
"Freelance designer. Kalau kamu belum tahu, kamu bisa cari di internet." Sakti membenahi kacamatanya. " Dunia internet sudah sangat luas, Sena. Kita bisa cari pendapatan lewat situ juga."
"Mas Sakti ini sebenarnya apa, sih? Programmer apa desainer?" tanya Sena penasaran.
" Programmer, desainer, mereka sama-sama menciptakan sesuatu. Jadi kenapa harus dipisah-pisah?" kekehnya geli. " Aku juga gamer, kalau kamu belum tahu."
Sena ikut tertawa. " Udah tahu kalau yang itu."
Dalam balutan selimutnya, tubuh mungil itu berguncang pelan ketika tertawa, membuat riak lirih di permukaan kopi yang masih ia pegang dengan kedua tangan. Tawa yang baru disadari Sakti membuat matanya melengkung seperti bulan sabit. Beberapa anak rambut yang tidak bisa mencapai gelungan terjuntai di sisi wajahnya, meliuk dalam bentuk yang cantik dengan bayang telinga beranting panjang, juga headphone hitam miliknya yang membuat keseluruhan wajah itu tampak semakin mungil.
Membuat Sakti penasaran bagaimana rambut hitam itu akan terasa di dalam genggamannya.
Bagaimana pipi halus itu akan terasa di antara rengkuhan jemarinya.
Bagaimana bib-
Sakti mengedip.
Seingat dia, satu-satunya bentuk bibir yang ia sukai adalah milik Nath. Terlihat anggun dan sangat cantik bahkan ketika tertutup rapat, apalagi bila wanita itu melapisinya dengan lipstik berwarna merah. Membuat Sakti tidak tahan untuk tidak mengulumnya lama dan dalam. Dulu.
Untuk kesekian kalinya, berapa usia gadis ini?
**
Dering alarm di pagi hari membuat Sena tersentak dari tidurnya dan terduduk di atas kasur. Pening melandanya sesaat, memberitahu dirinya bahwa dia kurang tidur semalaman.
" Halo Pak? Maaf mengganggu sepagi ini," sapa Sena menahan kuap ketika salah satu tangannya memegang ponsel. Dia harus cepat-cepat menghubungi Danar mengingat temuannya tadi malam.
" Ya, Dev. Ada apa?" suara serak di seberang sana menunjukkan jika si bos kelihatannya juga baru saja bangun.
" Eh...begini. Bisa tidak bapak meminta kehadiran keluarga pasien lagi? Terutama tiga orang terakhir yang datang menjenguk termasuk si anak lolipop. Suami sudah jelas, dia harus datang. Iya, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Nanti saja saya cerita di RS. Iya, kalau bisa hari ini. Bisa? Oke, terima kasih, Pak Danar."
Sena menatap ponselnya sembari menguap lebar. Tuhan, dia capek sekali. Tapi waktu tidak pernah menunggu lelah pergi dari tubuh Sena. Maka dengan berat, gadis itu memulai aktivitas paginya.
The feelings are lost in my lungs
They're burning, I'd rather be numb
And there's no one else to blame
So instead I'll take off in a run
I'm flying too close to the sun
And I'll burst into flames
Lagu Demi Lovato mengiringi kegiatan Sena di dapur. Seperti biasa, gadis itu memasak sembari mendengarkan radio mungilnya. Tapi kali ini, dia tidak berani berteriak sekuat tenaga.
" You make me glooow, but I cover up won't let in shooow, so I'm putting my defenses up, cause I don't wanna fall in love, if I ever did that, I think I have a heart attaaaack, I think I have a..."
Sena terkekeh geli sembari membalik telur dadarnya. Begitukah dirinya? Takut terkena serangan jantung jika berani jatuh cinta?
Nyatanya, ya.
Setelah semua yang ia alami, setelah semua yang ia tahu, dia tidak lagi bisa memandang cinta sebagai hal yang sama. Dibalik semua seruan yang menjunjung tinggi rasa cinta, dia sadar bahwa cinta juga bisa menciptakan luka. Maka dari itu, ya. Dia takut terluka. Dia takut jatuh cinta.
Gadis itu menuju carport untuk mengambil sepedanya. Ia baru saja hendak meraih sepeda ketika kakinya menginjak sesuatu.
Sebuah dompet berwarna hitam tergeletak di sana. Sena mengerutkan kening, namun gadis itu meraihnya. Siapa tahu ini milik salah satu penghuni Kenanga.
Maka ketika Sena melihat Kartu Tanda Penduduk atas nama Sakti Samudra, perempuan itu langsung terkekeh.
" Fotonya lucu. Pakai kacamata jadi kayak capung gitu," kekeh Sena saat tanpa sengaja melihat foto candid Sakti dalam balutan baju kesayangannya, yaitu jumper hitam dengan sebuah ransel besar di punggung dan topi hitam andalannya.
**
" Coba cek di tas lagi!" timpal Bayu saat dilihatnya Sakti sudah mengobrak-abrik seluruh berkas di mejanya hanya untuk menemukan dompet miliknya, " Duh, mana meeting tinggal lima belas menit, pula!"
Sakti tidak menjawab. Dia yakin memory card-nya ia simpan ke dalam dompet. Sekarang yang jadi masalah adalah, dompet itu tidak ada di ranselnya, di saku belakang celananya,di saku jas atau di manapun tempat yang bisa dipikirkan Sakti.
" Sakti, kamu belum ke ruangan?"
Kepala Nathalie menyembul dari atas partisi kubikel kerjanya. Ia menatap Sakti dengan tajam dan menuntut.
" Kenapa lama? Kamu seharusnya sudah nyiapin bahan presentasinya dari tadi."
" Sebentar, Nath. Kamu duluan saja ke ruangan."
" Lima menit lagi, Sakti. Tolong tepat waktu," ucap Nathalie menghembuskan nafas seolah tidak puas dengan tingkah laku Sakti. Kemudian, wanita itu memutari meja Sakti hingga mereka berhadapan. " Bisa nggak sih kamu sedikit saja belajar cara pakai dasi yang rapi?"
Seraya berbicara, Nathalie mengulurkan tangan. Namun jemari Nathalie hanya meraih udara kosong ketika Sakti memilih mundur.
" Kamu duluan saja, Nath. Kamu cuma menuh-menuhin ruangan kalau di sini," ucap Sakti menatap wanita yang kini membeku di hadapannya.
" Sure. Aku duluan. Jangan sampai terlambat. Kamu juga, Bayu!" ucap Nathalie berbalik dan meninggalkan mereka berdua dengan langkah pasti.
Sakti melirik Nathalie yang berjalan menjauhi mereka sebelum berkonsentrasi mencari barangnya lagi.
" Nggak baper?" tanya Bayu yang tidak mungkin melewatkan kejadian tadi. Sakti mengabaikannya. Ia terus menyingkirkan berkas di atas meja. Persetan dengan isi dompetnya, memory card yang ia sematkan di sana bernilai jutaan dollar bagi perusahaan.
" Jatuh? Ketilep? Lo kecopetan, kali!" seru Bayu hilang akal karena dirinya juga ikut panik. Bonus sepuluh juta yang sudah di depan mata terancam sirna.
" Gue pakai mobil, Bay. Mana bisa kecopetan?" timpal Sakti berusaha tenang. Kemungkinan terburuknya, dompet itu terjatuh. Tapi dimana? Setahu dia, dia langsung ke kantor dari kontrakan-
Saat itu, telfon di mejanya berdering.
" Pak Sakti, ada tamu yang nitipin dompet buat Pak Sakti. Beneran nggak Pak Sakti kehilangan dompet? Takutnya ini bom jenis baru, lagi," celetuk suara seorang wanita.
" Terima, tolong diterima. Dompet saya memang hilang," ucap Sakti penuh kelegaan. " Tahan siapapun yang mengantar dompetnya, saya turun sekarang!"
Laki-laki itu segera berlari keluar. Sepanjang jalan, dia masih penasaran di mana dompetnya terjatuh. Dan ini, ada orang yang menemukannya? Padahal sepanjang berangkat kantor dia ada di dalam mobil, lalu bagaimana-
Langkahnya terhenti kala Sakti menangkap sosok familier sedang duduk di kursi tunggu. Ketika gadis itu menoleh, dia yakin ada sesuatu yang menohok dadanya.
" Mas Sakti!" sapa Sena tersenyum lebar ketika Sakti menghampirinya. " Tadi aku nemu dompetnya di carport. Mungkin jatuh waktu mau ngeluarin mobil. Maaf aku lancang ngebuka, tapi cuma pingin tahu dompetnya punya siapa. Beneran! Nggak lihat yang lain-lain."
Sakti terdiam. Saat ini pikirannya sedang sibuk menyuruh sang mata agar berhenti mengamati sosok di depannya dengan begitu teliti. Tapi dia tidak bisa. Matanya menyusuri bagaimana tubuh mungil itu terbalut pakaian berpola batik dengan rok span selutut, menampakkan kaki jenjangnya yang dihias heels kerja berwarna hitam.
" Mas!"
Sakti mengerjap, hanya untuk menemukan wajah gadis itu menatapnya dengan ingin tahu karena Sakti tidak berbicara sejak tadi.
" Iya. Kayaknya jatuh pas itu," ucap Sakti berusaha menguasai diri. " Makasih, ya."
Bagaimana wajah polos yang seperti anak kecil itu kini justru tampak lebih dewasa dengan sanggulan anggun di belakang kepalanya?
Sebuah sentuhan membuat Sakti tersadar.
" ...agak nunduk dikit, Mas Sakti. Itu dasi dibenahin dulu, sini!" ucapnya tiba-tiba ketika Sena melihat dasi Sakti yang terpasang dengan tidak rapi.
Lagi-lagi, Sakti membiarkan jemari lentik itu meraih jas dan menariknya agar membungkuk, hanya untuk menggoda Sakti dengan aroma wangi dari gadis di depannya.
" Sebenernya tadi mau langsung balik, tapi kata mbaknya Mas Sakti suruh di sini dulu." Ucap Sena berkonsentrasi dengan dasi di leher Sakti.
" Iya. Tadinya mau aku kasih hadiah," ucap Sakti mengamati rambut tipis di kening Sena.
Gadis itu mendongak, membuat Sakti bisa melihat jelas binar di sepasang mata itu.
" Apa?" tanyanya dengan tangan yang masih sibuk di dasi.
Tanpa bisa ditahan, Sakti ikut tersenyum.
" Karena ternyata kamu, terserah kamu mau minta hadiah apa."
Sena tidak segera menjawab selain hanya menampilkan senyum lebarnya. " Udah rapi! Hmm, aku minta doanya saja, semoga hari ini kasusku selesai."
Sakti menatap Sena beberapa saat, kemudian menegakkan diri dan mengangguk.
" Semoga kasus kamu selesai dengan lancar." ucapnya. " Makasih sudah mengantar sampai sini. Kamu naik apa? Aku antar, mau?"
Sena menggeleng. " Aku tadi pinjam motornya temanku. Udah ya, aku balik dulu. Bisa dimarahi Pak Danar kalau ketahuan pergi pas jam kerja. Have a good day, Mas Sakti!"
Sakti tertawa pelan kala mengingat tukar sapa mereka untuk pertama kali. " Have a good day, Devasena."
Gadis itu berbalik dan memeriksa jam tangannya, kemudian ia keluar dari lobi dengan langkah yang tergesa.
" Ng...so tell me, dia alasan lo nggak bisa diajak nge-lobby tadi malem?" Bayu tiba-tiba melangkah di sampingnya dengan tangan mengusap tengkuk.
Sakti yang fokusnya masih terpancang di pintu lobi, hanya tersenyum samar. Tanpa menjawab pertanyaan Bayu, laki-laki itu berbalik.
" Mes ki bibir ini tak berkata bu kan berarti kutak merasa ada yang berbe-woaaah!" Bayu segera menyingkir begitu langkah mereka dihadang oleh Nathalie.
"Jadi dia alasan keterlambatan kamu?" tanyanya dingin sembari menatap tajam Sakti.
Sakti melirik jam tangannya. " Belum terlambat. Masih ada lima menit."
Namun Nathalie hanya terdiam dengan raut yang semakin dingin.
" Aku jadi semakin kecewa sama profesionalitas kamu," ucapnya sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan mereka dengan cepat.
Sakti tidak memusingkannya. Malah, saat ini pikirannya sedang tidak berada di kantor.
Dua puluh lima tahun, Sakti jelas tidak salah dengar waktu Sena memberitahukan umur itu padanya. Tapi tolong, kesan Sakti pada gadis itu hanyalah gadis cilik setara SMA. Wajahnya, tingkahnya, postur tubuhnya.
Dia masih anak kecil!
Dan jelas, saat ini pandangan Sakti tentang gadis itu berbeda jauh dengan saat pertama kali ia melihat Sena.
Dia menyukai bagaimana anak rambut tipis itu menempel di kening Sena hingga membuat wajahnya tampak lebih manis. Dia menyukai bagaimana pipinya membulat hingga membentuk mata bulan sabit ketika dia tertawa, menciptakan sebuah lesung pipit samar di bawah ujung bibir kanan yang semula tidak disadarinya.
Cantik.
*TBC*
Have a nice dream ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro