Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 13. Tentang Usia

" Katanya fobia rumah sakit, kenapa masih mau ngikut?"

Sena mengerling pada Sakti yang berjalan di sampingnya. Laki-laki itu bersikeras ikut dengannya menuju kantin rumah sakit.

" Benar juga, kira-kira kenapa?" celetuk Sakti. " Apa aku harus keracunan karbon monoksida di dalam mobil? Atau tinggal di dalam bilik saja bareng pengantin baru itu? Kamu tega?"

Sena mendengus geli.

" Kamu betah kerja di sini, Na?" Sakti bertanya tiba-tiba. " It's creepy."

"Ng...gimana coba aku jawabnya..." Sena berdehem. "Aku setuju kalau rumah sakit bisa membangkitkan kenangan buruk bagi beberapa orang. Mungkin itu juga yang jadi alasan Mas Sakti. Kadang juga, aku dapat pasien yang histeris banget padahal baru sampai depan rumah sakit. Hal seperti itu bukan hal aneh buatku, dan nggak perlu diungkit juga. Tapi, aku Dietitian. Tugasku memang memberi pelayanan di sini. Jadi, sudah bukan betah atau nggak betah lagi. Lebih ke arah tanggungjawab."

" Coba bilang, berapa umur kamu?" tanya Sakti kemudian.

" Hm? Dari semuanya, Mas Arga nggak kasih tahu tentang itu?" kekeh Sena.

Sakti hanya mengangkat bahu.

" Dua lima. Masih muda, kan?" ucap Sena mendekatkan jari telunjuk dan ibu jarinya hingga nyaris bersentuhan.

Melihat tawa gadis itu, kedua ujung bibir Sakti terangkat. Ia mengangguk singkat.

" Memang masih kecil," ucapnya santai sembari menyisipkan tangannya ke saku celana.

" Dev?"

Keduanya berhenti dan menoleh kala nama Sena dipanggil. Siapa lagi yang memanggilnya demikian jika bukan bos Sena yang bernama Danar. Laki-laki itu memakai pakaian santai dan mendekati mereka dari lorong di kanan mereka.

" Ini benar kamu," ujarnya menyalami Sakti. " Ada apa di sini?"

" Tetangga masuk UGD. Hamil muda," jawab Sena. " Bapak di sini ada apa? Ada kabar terbaru, ya?"

Ketergesaan dalam suara Sena mengundang Sakti untuk mengerling ke arahnya. Danar tersenyum dan menepuk pelan puncak kepala Sena.

"Jemput Jenny," jawabnya. " Untuk keseratus kalinya, Dev. Jangan panik. Kamu nggak sendiri. Orang atas juga sama-sama memikirkannya seperti kita. Kamu tahu? Untung saja malam itu videonya langsung saya kasih ke kamu. Pihak rumah sakit nggak mau menyebarkan video itu dulu."

" Oh...ya bagus dong." Sena manggut-manggut. Danar memperlebar senyumnya.

" Please, wear a beautiful dress tonight, Dev," ucap Danar berbisik ke telinga Sena. " Selamat siang, semuanya."

" Kalian ada hubungan istimewa?" celetuk Sakti ketika mereka meneruskan langkah menuju kantin.

Sena mengangguk enteng. " Dia bos, aku anak buah. Cukup istimewa."

" Kamu tahu bukan itu yang aku tanyakan, Sena," tanya Sakti membuat Sena memutar bola mata.

" Hanya sebatas rekan kerja, Mas Sakti," jawab Sena gemas. " Jangan berpikir aneh-aneh, oke?"

" Memangnya kamu kira aku kepikiran apa?" tanya Sakti lagi.

" Menyangka aku sama Pak Danar punya hubungan spesial. Please, kita rekan kerja dan dia atasanku. Kita bekerja di bidang yang sama dan pertanggungjawabanku langsung sama beliau. Jadi kalau Mas Sakti mulai mikir yang macem-macem, berhenti. Lagipula, Pak Danar udah punya tunangan."

" Setakut itu kamu sama pikiranku, Na," komentar Sakti geli.

Sena memutar bola mata. " Bukannya takut. Tapi udah kenyang aja. Apalagi Mas Rafi itu suka ngegoda sampai kepingin banget aku blokir WA-nya."

Sakti tertawa pelan dan memutuskan untuk meninggalkan topik tentang Danar.

" Masalah yang dia sebutkan itu, apa itu yang bikin kamu kalang kabut akhir-akhir ini?"

Tiba-tiba saja wajah gadis itu terlihat kusut. Sena mengangguk.

" Tentang apa? Kalau bisa, aku bantu," tawar Sakti. Namun saat itu, mereka sudah sampai di kantin rumah sakit. Sena menghirup nafas dalam dan menghadapi Sakti.

" Nanti saja. Ceritanya panjang," jawab Sena. " Mas Sakti mau sekalian beli makan?"

Sakti menggeleng sebagai jawaban.

" Oke, aku ke dalam dulu, ya," ujar Sena tersenyum kecil dan menghilang di antara ramainya pengunjung.

Sakti menunggu sembari bersandar di salah satu tiang koridor, menatap ke arah salah satu gedung rumah sakit yang menjulang tinggi. Kapan terakhir kali dirinya menapakkan kaki ke rumah sakit? Sepertinya sudah lama sekali.

Sejujurnya, saat ini dia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Berusaha melawan rasa yang menguasainya setiap dia melangkahkan kaki di rumah sakit. Namun seiring waktu dimana tidak ada lagi Sena yang mengalihkan perhatiannya, sebuah ketakutan mengambil alih syaraf tidak sadarnya hingga membuat detak jantung bertambah cepat, sesak dan mual yang berlebihan.

Mengerikan.

Penuh darah.

Dan tubuh yang tidak lagi utuh.

Perut Sakti bergejolak hebat tanpa bisa laki-laki itu tahan. Memaksanya menghilang ke toilet terdekat dengan sekujur tubuh dingin dan berkeringat.

**

Sakti menghidupkan keran wastafel sembari memandangi wajah pucatnya di kaca. Dengan tangan gemetar, ia meraup air dan membasuh wajahnya. Berharap ingatan-ingatan itu menghilang bersama tetes air yang terjatuh ke wastafel.

Seharusnya dia tadi menunggu di depan mobil saja seperti saran Sena. Naif sekali jika menganggap dirinya akan baik-baik saja hanya karena lama tidak menginjakkan kaki ke tempat yang berbau seperti cairan pemutih ini.

Dengan langkah yang masih gemetar, Sakti meraih kenop pintu. Dirinya akan ke depan saja, pasti Sena bisa memahaminya. Namun langkahnya terhenti kala melihat gadis itu berdiri di depan toilet, langsung menatap ke arahnya begitu pintu terbuka dengan wajah yang sangat cemas.

" Kan beneran di sini," gumamnya. " Kenapa? Mutah lagi?"

Sakti tidak menjawab, membuat Sena meraih tangannya dan menariknya agak jauh dari toilet. Setelahnya, gadis itu mengeluarkan tisu dari sling bag-nya.

" Sini agak nunduk! Heran, dulu kecilnya sering ngemil bambu apa gimana?" Sena menarik kedua lengan Sakti agar lelaki bertubuh tinggi itu membungkuk. "Udah ayuk ke depan saja, nanti lama-lama pingsan ini! Ck!"

Sakti mendengar gadis itu menggerutu kecil sembari mengusapkan tisu ke wajah Sakti. Namun dia tidak berminat menanggapinya. Fokusnya sedikit sibuk pada wajah Sena yang kini berada dekat dengannya. Manik mata dengan sorot cemas yang mengikuti sapuan jemarinya di wajah Sakti, juga sepasang bibir yang masih meracau itu tidak luput dari perhatiannya.

Coba ingatkan Sakti, berapa usia gadis ini?

**

" Sudah. Semua file yang kamu pilih ada di komputer yang ini."

Sena menoleh kala Sakti menunjuk komputer di tengah, yang berbentuk lebih kotak daripada komputer Sakti yang terakhir ia pakai. Gadis itu mengangguk.

" Makasih Mas," ucap Sena tulus. " Ini bener nggak papa disimpen di sini? Minggu depan deh aku beli, jadi nggak kelamaan bikin Mas Sakti repot."

"Nggak perlu dipikir, Na. Aku lebih sering pakai yang ultrawide," jawab Sakti mengedik ke arah komputer paling ujung yang kemarin digunakan Sena. " Yang ini aku pakai kalau ada keperluan saja. Yang satunya mau aku jual. Tapi masih perlu perbaikan sedikit."

Sena melipat bibirnya ke dalam beberapa saat, kemudian akhirnya dia mengangguk.

" Jadi, mau jawab sebenarnya ada masalah apa?" tanya Sakti beberapa saat.

" Heh, masih ingat aja," celetuk Sena meringis. Kemudian, gadis itu berdehem. " Ada pasien meninggal karena syok anafilaktik."

Sena berdehem lagi kala melihat kerutan di kening Sakti, " Syok anafilaktik itu reaksi alergi yang cukup membahayakan. Bisa mengancam nyawa jika tidak segera ditangani karena respon tubuh bisa beragam. Paling parah kalau jalan nafas tertutup dan tekanan darah tiba-tiba jadi rendah. Dan yang ini alergi seafood. Ada daging tuna di lambungnya."

Sena terdiam sejenak kala melihat keterkejutan di wajah Sakti.

" Urusan asupan makanan rumah sakit adalah urusan Instalasi Gizi. Waktu itu, aku yang pegang bangsalnya dan selama seminggu, pasien baik-baik aja. Dia juga tahu kalau dia alergi seafood dan sangat berhati-hati dengan makanan itu. Tapi tiba-tiba pagi itu semuanya jadi kacau. Dia bukan satu-satunya nyawa yang melayang di rumah sakit malam itu, tapi juga bayi dalam kandungannya."

Sena mengerjapkan mata ketika matanya memanas.

" Kita udah berusaha mencari, tanya keluarganya tentang makanan yang mungkin mereka bawa dari luar. Tapi karena mereka tahu si pasien alergi seafood, mereka pasti menghindari hal itu."

Sena terdiam sejenak demi menghalau air mata yang sudah mengumpul di pelupuk matanya. Entah mengapa tiba-tiba saja dia jadi sesak. Dia menghindari tatapan Sakti dengan menatap layar komputer di hadapannya.

" Dilihat dari manapun, Instalasi Gizi ada di posisi paling rentan untuk disalahkan. Karena penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah tanggungjawab kami -tanggungjawabku- sebagai Ahli Gizi yang saat itu bertugas. Kami banyak dapat tekanan dari atas meskipun materi pembelaan juga sudah masuk akal. Kami juga berlomba dengan batas kesabaran keluarga pasien, karena jika mereka memutuskan untuk membawa ke ranah hukum, nama rumah sakit dipertaruhkan."

Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan kuat menghadapi segala macam tekanan dan ketakutan karena dia yakin mereka tidak bersalah. Tapi dia tidak mengerti mengapa di hadapan tetangganya yang berkacamata bundar ini, keteguhan hati yang ia pertahankan justru hancur berantakan. Mungkin karena ketenangan Sakti yang terpancar dari balik kacamata bundarnya, atau kebungkaman Sakti yang membuat Sena tahu jika laki-laki itu mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Tapi kenyataan bahwa mungkin saja karena keteledorannya, seorang ibu dan bayinya meninggal. Seorang ibu yang seharusnya bahagia menyambut kehadiran anak pertamanya dan seorang bayi mungil kemerahan yang siap menyapa dunia. Rasa sesak itu bertambah dua kali lipat.

Sejujurnya, ada secercah ketakutan di hatinya. Entah bagaimana, dia takut jika saja instalasinya kecolongan meskipun dia tidak bisa menjelaskan dimana logikanya, karena mereka jelas tidak pernah menggunakan seafood. Mungkin saja dia punya zat alergen lain yang tidak Sena perhatikan.

Sena mengusap air mata yang turun di pipinya, tersenyum singkat.

" Karena itu, aku berharap ada sesuatu yang bisa ditemukan di CCTV. Aku butuh layar yang sehat buat lihat dengan tenang," ucap Sena mendekat ke arah layar. " Makasih karena Mas Sakti udah baik banget bantu aku. Mas Sakti nggak pernah tahu betapa berartinya ini buatku."

Sakti membiarkan saja mulutnya terkunci kala gadis itu berusaha tersenyum lagi padanya sebelum menghadap ke layar komputer. Yang dia tahu, dia beringsut mendekati Sena dan menepuk pelan kepala gadis itu.

" Everything's gonna be okay, Devasena. Dari ceritamu, seharusnya ada cara si daging tuna itu ada di perutnya," ucap Sakti membesarkan. " Silahkan dipakai sesukamu."

Sena mengangguk. " Terus Mas Sakti mau apa?" tanya Sena pada Sakti yang siap memakai headphone.

Sakti tersenyum kecil, "Bye, Sena. Izinkan aku tersesat di duniaku untuk beberapa waktu."

Sena terkekeh geli dan melambaikan tangan.

Sesaat, Sena memperhatikan Sakti yang sudah memasang headphone ke telinganya. Wajah laki-laki itu sangat serius membaca setiap pesan yang muncul di layar seperti yang pernah Sena lihat. Kemudian tanpa membuang waktu, sebuah game terpampang jelas di layar ultrawide itu. Sebuah game dengan logo segi empat berlubang dan berwarna merah.

So, he is also a gamer.

Tertawa tanpa suara, gadis itu membiarkan Sakti tersesat di dunianya, seperti yang dia bilang. Sementara Sena bersiap menghabiskan waktu memeriksa CCTV sedetik demi sedetik.

Sena harus mengakui jika layar yang besar seperti ini lebih memudahkannya mengamati setiap sudut. Mata gadis itu memerah saking lekatnya ia memandangi setiap detik pergerakan keluarga pasien maupun petugas yang berseliweran di lorong.

Hingga menit terakhir sebelum penampakan petugas rumah sakit yang masuk ke ruangan dengan tergesa, Sena mendesah. Tidak kepingin meneruskan karena dia tahu sekali saat itu mereka menemukan keadaan pasien sudah sangat terlambat ditangani. Dimana? apa letak kesalahan mereka?

Sena memundurkan video pada menit ketika pengunjung terakhir memasuki ruangan pasien. Itu artinya sekitar dua jam sebelum pasien ditetapkan meninggal. Pada menit ini tampak tiga orang, sepasang suami istri dan seorang anak kecil berusia empat tahun. Sepuluh menit kemudian suami istri itu keluar dan berdasarkan keterangan mereka, saat itu mereka hendak bertemu dengan dokter Jenny, yang dibenarkan dokter Jenny.

Sepuluh menit setelahnya, seorang laki-laki keluar dari ruangan, itu adalah suami pasien yang selama ini menemani pasien. Ia berkata saat itu ia pergi ke kamar mandi karena hendak buang air besar. Jadilah di dalam ruangan hanya ada pasien dan si anak kecil yang merupakan keponakan tersayang korban.

Selesai, hanya itu. Kemudian si suami istri dan si anak pulang dalam gendongan ayahnya, bersamaan dengan seorang petugas yang mengantarkan makanan untuk pasien. Satu jam kemudian, sang suami terbangun dari tidurnya karena mendengar suara aneh. Dilihatnya sang istri melotot dengan wajah yang memadam hingga kehitaman dan tubuh sekaku papan. Ia berlari dengan panik ke arah perawat sembari berteriak seperti orang gila.

Ketika paramedis datang, penanganan yang diberikan sudah sangat terlambat.

Syok anafilaktik, Sena membatin seraya mengusap wajahnya dengan letih. Adalah respon berlebihan tubuh terhadap paparan zat alergen. Kedengarannya ringan, hanya terkena alergi saja. Padahal mereka yang mengalami syok anafilaktik ini, kemungkinan mengalami sesak nafas karena pembengkakkan pada daerah pangkal lidah. Maka keadaan ini sebenarnya sangat riskan. Bahkan jika perlu, dokter akan melakukan tindakan darurat dengan membuat lubang pernafasan di lehernya agar pasien mampu mereguk udara.

Konsentrasi Sena terpecah karena tiba-tiba saja saat itu Rafi lewat di depan pintu. Ia melihat Sena dan membelalak. Kemudian ia menubruk gadis itu hingga terjengkang.

" AAAAHH MAS RAFI!!"

Sena berusaha menyingkirkan Rafi dari atas tubuhnya. Setelahnya ia cepat-cepat menyingkir.

" Apa sih?" tanyanya horor pada Rafi yang kini berguling tertelungkup di lantai. Laki-laki itu masih mengenakan seragam kerjanya. Ia mengangkat kepalanya dan mencebik pada Sena.

" Na, masak apa? Gue laper," rengeknya hingga Sena tergoda untuk menimpuknya dengan salah satu barang-barang Sakti yang berserakan di lantai.

Sena memutar bola mata. " Aku nggak masak."

Rafi menatapnya tidak percaya." Na, tega lo sama gue! Biasanya lo kan yang paling sempurna jadi calon bini. Ini kenapa lo nggak masak?"

" Apa hubungannya calon bini sama masak? Memangnya cewek harus bisa masak?" sembur Sena.

Rafi mendengus. Ia berguling telentang dan mengangkat jempolnya. " Lanjutin aja Mas. Aku mau ngomong sama cewek wife-goal ini. Dan, iya, Dev. Cewek harus bisa masak. Rasanya lebih disayang ketika gue pulang dan ada makanan mengepul di meja makan."

Sakti dengan headphone-nya tentu mengartikan itu sebagai sesuatu yang tidak perlu ia pusingkan. Dia harus berkonsentrasi mempertahankan middle tower ketika keempat temannya mati semua.

" Ha, beli aja udah kalau pinginnya cuma ada makanan mengepul tiap pulang kerja," hujam Sena sengit. " Istri itu bukan pembantumu, Mas Rafi. Mas Rafi nggak berhak menurunkan nilai para wanita yang nggak bisa masak hanya gara-gara standar 'makanan yang mengepul setiap pulang kerja'."

Rafi diam sejenak, kemudian berguling hanya untuk menyipit pada Sena. Laki-laki itu menarik tubuhnya dengan siku silih berganti hingga mendekati Sena.

" Kok sewot? Standar juga standar gue," bisik Rafi menyebalkan.

" Karena yang kamu hina adalah kaumku," tukas Sena menjauh dari Rafi.

" Terus kenapa lo getol banget masak tiap hari?"

" Karena aku suka masak, selesai perkara!"

Rafi semakin menyipit.

" Terus, cewek yang cocok jadi istri itu gimana menurut lo? Kalau dia nggak bisa masak, dia harus pinter melayani gue di bidang yang lain, kan?" ucap Rafi mendekatkan wajahnya pada Sena hingga gadis itu merangsek ke belakang dan menyenggol lengan Sakti. Sena mengembangkan hidungnya dan meraup wajah Rafi hingga menjauh.

" Bodo amat! Aku nggak minat cari istri, jadi jangan tanya kriteria istri yang bagus sama aku! Ck! Sana ke tempatnya Mbak Yolla itu lho, biasanya Mas Gagah bawa cemilan." Sena mengipaskan telapak tangannya pada Rafi seolah mengusir laki-laki itu.

Rafi mendengus keras, kemudian menarik dirinya untuk duduk.

" Pada keluar, kayaknya," ucap Rafi merana. " Kenanga kosong makanya gue ke tempat lo. Mbak Ana masuk rumah sakit, ya? Udah dapat kamar katanya. Nanti habis maghrib mau pada jenguk."

Sena mengerucutkan bibir. Keadaan Ana membuat Sena lupa betapa laknatnya tingkah Rafi beberapa waktu lalu.

" Iya, tadi siang diantar aku sama Mas Sakti," jawab Sena membenahi kuncir kudanya lagi.

" Oke, kalau gitu temeni gue cari makan dulu, ya. Lo juga nggak ada makanan, kan?"

" Hmm, nggak bisa. Nanti aku mau pergi ke resepsinya temanku," ucap Sena tersenyum lebar.

" Hah? Ikutan dong! Itung-itung nemenin lo biar nggak disangka jomblo," ucap Rafi menguap malas.

" Nggak," ucap Sena singkat. " Aku sama Pak Danar."

Serentak, Rafi dan Sakti menoleh ke arahnya.

" Lhah, sama Bos? Kenapa?" Rafi mengernyitkan dahi dan mendekati Sena. " Lo jadian sama Pak Bos yang kemarin itu? Kok nggak bilang-bilang?"

" Astaga Mas Rafi! Keluar sama Bos sendiri kenapa disangka pacaran, sih? Kalian berdua tuh mirip banget, ck!" seru Sena menatap Rafi dan Sakti bergantian. Gadis itu mengemasi barang-barangnya dan bangkit. " Udah dulu ya, aku mau siap-siap!"

Mereka berdua hanya bisa terdiam kala Sena melambaikan tangan dan menghilang dari pandangan.

Rafi menoleh ke arah Sakti.

" Mirip ya?" Rafi nyengir sambil memainkan alis.

Sakti tidak mengindahkannya. Matanya masih terpancang pada ambang pintu dimana Sena menghilang sesaat lalu. Dia bahkan tidak sadar jika sedari tadi, Rubick sudah memukuli dirinya dengan begitu bersemangat.

Teriakan Bayu di gendang telinga membuat Sakti terperanjat. Laki-laki itu menatap si makhluk yang sedang memukulinya dengan tongkat. Menghela nafas, Sakti meluncurkan storm hammer Sven dengan sedikit malas, membuat bunyi yang memuaskan dan berakhir dengan beberapa poinnya bertambah.

*TBC*

Selamat malam semuanya ^^

Syok Anafilaktik sudah cukup dijelaskan Sena, ya. Kalau kurang jelas, monggo tanya embah gugel ^^

Rubick, the cheater

Sven with his storm hammer, om om galak

Jadi, adakah yang tahu Sakti main game apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro