DEVASENA | 12. Anggota Baru Kenanga
Ketika mobil Sakti memasuki carport sore itu, Sena langsung berbahagia lahir batin hingga dirinya berlari keluar tanpa sadar. Sakti muncul dari balik mobil, memakai kaus yang dilapisi kemeja seperti biasa. Laki-laki itu tertawa ketika melihat Sena dan pengharapan besar di wajah yang gagal disembunyikan gadis itu.
" Maaf baru bisa hari ini. Come in, Na." Sakti berkata sembari membuka pintu unitnya.
" Sure!" jawab Sena ceria. Gadis itu berbalik menuju unitnya dan mengambil sepiring pastel hasil dirinya membunuh kegelisahan. Menatanya dalam sebuah nampan dan membawanya ke unit Sakti.
" Aku mandi dulu. Silahkan kalau mau pakai komputer." Ucapnya menegakkan diri dari komputer ultrawide yang sudah menyala. Ia sudah akan berterima kasih ketika telinganya menangkap sesuatu.
Petikan piano, bernada sendu memenuhi ruangan. Membuat Sena mengerjapkan mata dan menelengkan kepala. Agaknya Sakti menangkap gesturnya.
" Moonlight Sonata, Beethoven." Sakti membantu seraya tersenyum. " Kamu bisa ganti playlist-nya."
Namun, Sena hanya terdiam.
" Kok, sedih gini?" Celetuk Sena kala petikan itu benar-benar teresap di hati.
Sakti tertawa pelan. " Tergantung kamu memaknainya bagaimana. It helps me relaxing my mind, Na. Just change the playlist if it bothers you. Don't mind. Aku mandi dulu, oke?"
Dan dengan begitu, Sakti menghilang. Meninggalkan Sena yang mengerucutkan bibir kala mendekati layar ultrawide itu. Tidak, bukannya Sena membenci ini. Tapi dia butuh lagu dengan beat cepat agar dirinya tetap bersemangat.
**
" Yah, beneran nggak bisa, Mas?"
Sena menatap laptopnya dengan pandangan yang sarat akan kekecewaan.
And that Beethoven backsound only makes everything worst.
" Bagian input memang nggak sehat. Laptopnya juga sudah lama, Na. Dia punya...terlalu banyak perangkat yang udah nggak sehat. Tentu, kita bisa menggantinya. Banyak yang jual spare-part. Tapi harganya bisa lebih dari setengah harga laptop baru," jawab Sakti sabar ketika gadis itu begitu kecewa mendengar bahwa laptopnya tidak bisa disembuhkan.
Sena meremat tangannya. " Jadi memang perlu beli lagi..." Gumam gadis itu lirih.
" Hmm. Aku bisa bantu kamu mindahin data-data yang penting. Sementara kamu back-up dulu di tempatku," ucap Sakti mengeluarkan hard disk laptop Sena. " Kenapa? Butuh bantuan?"
Sena menghembuskan nafas dan menggeleng. " Nggak, memang udah waktunya dia ganti. Udah lama juga. Daripada ganggu kinerjaku."
Sakti mangamati Sena, yang terlihat begitu gelisah. " Kapan-kapan aku antar belinya."
" Ha? Beneran?" sahut Sena sumringah.
Bukannya apa-apa, tapi Sena payah sekali jika itu menyangkut tentang teknologi. Dia bahkan tidak tahu sekarang sudah sampai pentium berapa.
Atau, masihkah pakai pentium?
Dan dia sama sekali tidak peduli. Itu tidak membantunya menangani pasien-pasien rewel di paviliun.
" Nggak perlu sungkan. Kita bisa ke Z-tron. Sejujurnya, aku sering kesana buat cari pernak-pernik," ucap Sakti menenangkan. " Kapan-kapan kita bisa kesana bareng."
Z-tron adalah sebuah mall raksasa yang mengkhususkan pada barang-barang elektronik. Meskipun demikian, mall elektronik yang baru buka beberapa tahun belakangan itu bukanlah tempat yang biasa Sena sambangi.
Sena menatap Sakti yang tengah fokus mengurai kabel-kabel dari laptop Sena dengan tang dan obeng super mini miliknya. Sakti benar-benar membedah laptop Sena luar dalam. Membuat gadis itu bingung sendiri bagian apa seharusnya dimana.
Agaknya, Sakti sadar Sena sudah memandanginya terlalu lama. Maka ketika Sakti menatapnya melalui kacamata sambil mengangkat alis, Sena hanya bisa terkekeh.
" Memang benar ya sehabis gelap selalu terbit terang," ucap Sena bahagia. Setelah ia merasa hari-harinya jadi neraka karena Dirga kembali datang, Tuhan mengirimkan Sakti menjadi tetangganya. Tetangga yang baik, perhatian dan tidak sombong, Sena terkekeh dalam hati.
Sakti mengerutkan kening. Namun pertanyaannya harus tertelan ketika tiba-tiba saja Ana muncul di ambang pintu.
" Na..." Panggil Ana lemah.
Sakti dan Sena langsung bangkit karena Ana terlihat begitu pucat. Perempuan itu menatap Sena dengan sayu. Matanya cekung dan terlihat sekali Ana menahan tubuhnya dengan susah payah.
" Na, telfon Mas Arga..."
Belum selesai Ana berbicara, wanita itu merosot ke lantai.
" MBAK ANA!!" seru Sena melompat mendekati Ana. Sena menepuk-nepuk pelan pipi Ana, namun tidak ada respon. Dengan panik, gadis itu meraba pergelangan tangannya.
" Pingsan!" Sena mengusap keringat dingin di wajah Ana. " Mas Sakti, rumah sakit! Mobil-"
Kata-kata Sena terhenti kala Sakti membopong Ana tanpa kata dan membawanya dengan cepat ke arah carport. Sena berlari di belakangnya, membantu membuka pintu mobil dan memposisikan Ana dengan benar.
" Perlu apa saja?" tanya Sakti ketika ia hendak masuk ke balik kemudi.
" Aku ambil tas sama selimut dulu. Mas Sakti telfon Mas Arga. Bilang Mbak Ana ke rumah sakit tempat aku kerja!"
Beberapa menit kemudian, Sena berlari ke mobil Sakti dengan selimut dan beberapa bantal tertenteng di tangannya. Gadis itu masuk ke kursi belakang dimana Ana tengah berbaring tidak sadarkan diri. Setelah membalutkan selimut di tubuh Ana yang sedingin es itu, dengan hati-hati Sena menempatkan kaki Ana di atas tumpukan bantal.
Sakti mengamati semuanya lewat kaca sembari melajukan mobil secepat yang dia bisa. Bisa dilihatnya Sena mengusap-usap leher dan lengan Ana dengan minyak kayu putih hingga bau itu menyebar di ruangan mobil Sakti.
" Ana sakit apa?" tanya Sakti. Dia mengaitkan dengan Arga yang terlihat sama lelahnya beberapa malam lalu.
" Oh, belum tahu? Mbak Ana hamil. Kenanga bakal punya anggota baru." jawab Sena mengerling Sakti melalui kaca. " Beberapa hari kemarin dia sempat mual muntah nggak karuan. Takutnya kekurangan cairan. Pucat banget."
Sena menatap Ana dengan cemas, meneruskan mengusap tubuh Ana sembari memanggilnya. Namun Ana tidak juga merespon, yang membuat Sena bertambah cemas.
" Langsung di depan UGD aja Mas." Kata Sena memberi arahan. Sakti mematuhi Sena.
" Lho, Devasena, kamu ngapain di sini?" tanya dokter jaga ketika melihat Sena di samping Ana.
" Ini tetanggaku. Namanya Apriliana Maestiarini, umur 27 tahun. Hamil dua bulan. Dulu mual muntah biasa tapi udah semingguan ini intensitasnya berlebihan dan dia nggak mau dibawa ke rumah sakit. Barusan, dia pingsan," jelas Sena berusaha menenangkan diri.
Dokter perempuan itu mengangguk singkat, " Masih perlu anamnesa mendalam. Kamu urusi registrasinya dulu. Nanti kalau suaminya datang, langsung suruh sini aja," ucapnya yang diangguki Sena. Mengusap lembut kaki Ana, Sena keluar.
Setelah selesai di meja registrasi, tujuan Sena tentu saja mencari Sakti. Namun ia sama sekali tidak bisa menemukan Sakti dimanapun. Seingat dia, Sakti tidak ikut masuk. Gadis itu menapakkan kaki ke parkir mobil, menyusuri dengan teliti satu per satu mobil dengan matanya. Ck! Semua ini akan lebih mudah kalau Sena punya nomor telfonnya. Dia sangat berharap Sakti sudah menghubungi Arga.
Kemudian, alis matanya terangkat kala menemukan mobil Sakti. Gadis itu langsung menyambanginya.
" Mas?" panggil Sena kala mendapati sosok berkaus hitam itu tengah berjongkok di depan mobil menghadap taman parkiran. Tidak ada jawaban, meskipun Sena yakin suaranya bisa didengar.
" Mas Sakti?" panggil Sena lagi. " Mas Sakti nga—"
" Berhenti di situ dulu, Na." Ucap Sakti pelan tanpa menoleh. Sena berhenti sembari mengerutkan kening, kemudian ia mendengar Sakti mutah.
What?
" Mas Sakti kenapa?" Sena bergegas mendekati Sakti. Laki-laki itu tidak menjawab. Dirinya justru mengeluarkan isi perutnya kembali. Tentu saja, Sena terkejut setengah mati.
" Mas, kamu sakit?" ucap Sena khawatir sembari memijat tengkuk Sakti, sedangkan tangan satunya menempel di dahi laki-laki itu. Terasa basah dan dingin.
" Nggak enak badan? Apa punya gastritis?" ucapnya mengecek jam tangan dengan masih memijat tengkuk Sakti. " Tadi makan siang nggak? Mas Sakti di sini saja, ya. Aku belikan makanan di kantin. Mas Sakti pesen ap—"
Racauan Sena berhenti kala tiba-tiba saja, Sakti bersandar di tubuhnya sembari memejamkan mata.
" It's okay, Na," ucapnya pelan sembari berusaha menormalkan nafasnya.
" Mutah-mutah gitu lho, Mas. Banyak lagi," ucap Sena cemas. " Kenapa? Telat makan?"
Sakti tidak menjawab, karena dia baru menyadari jika posisinya saat ini terasa sangat nyaman. Dengan kepalanya bersandar di tubuh gadis itu, bagaimana tangan mungil itu mengusap lembut dahinya dan tangan satunya tidak berhenti memijit tengkuknya. Sakti bisa jatuh tertidur dan melupakan memori mengerikan yang menyiksanya.
Tapi dengan menghadap kubangan mutahan, itu bukan ide bagus.
Meraih tangan Sena yang mengusap dahinya, Sakti bangkit dengan perlahan.
" Pucat, dingin gini...Kenapa? Belum makan? Atau baru nggak enak badan?" Sena bertanya lagi dengan cemas sembari mencoba merasai suhu tubuh Sakti dengan telapak tangannya.
Sakti mengamati bagaimana raut wajah Sena mengerut cemas. Gadis ini terlihat tidak terganggu dengan kenyataan bahwa Sakti baru saja mengeluarkan hampir seluruh isi perutnya. Sesuatu yang tidak mungkin bisa diabaikan Nathalie. Wanita itu memang merawat Sakti jika Sakti sakit. Tapi dia akan menyingkir jika sesuatu yang menurutnya menjijikkan masuk dalam pandangannya.
Saat itu saja, dia sudah bersyukur dengan kehadiran Nathalie.
" Ana gimana?" sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Sakti. Sena menatapnya sejenak, kemudian menarik kedua tangannya dari wajah Sakti. Membuat laki-laki itu agak tidak terima dengan kehangatan yang tiba-tiba saja terenggut.
Damn!
" Udah ditangani dokter," ucap Sena berjalan ke mobil dan membuka pintunya. Gadis itu muncul kembali dengan sebotol air mineral di tangan. Ia menyodorkannya pada Sakti yang menerimanya tanpa kata.
" Mas Sakti udah telfon Mas Arga?" tanya Sena lagi sembari mengamati Sakti yang meneguk minum banyak-banyak.
" Hmm. Dia langsung ke rumah sakit," jawab Sakti dengan suara yang lebih kuat. Laki-laki itu tersenyum. " Makasih, ya."
Sena mengangguk singkat, " Mas Sakti kenapa? Gastritis?"
Sakti menatap gadis yang hanya setinggi dadanya itu beberapa saat, kemudian mengedik ke arah rumah sakit.
" Kita jalan ke sana dulu," ajak Sakti sedikit mengingatkan Sena bahwa dia meninggalkan Ana terlalu lama. Sena mengangguk dan mengiringi langkah Sakti.
" Yakin kuat jalan? Nggak nunggu di mobil aja?" tanya Sena yang masih cemas kalau Sakti tiba-tiba saja pingsan di sampingnya.
Mendengarnya, Sakti tertawa pelan.
" Aku fobia rumah sakit. Kamu percaya?"
Tentu saja Sena menghentikan langkahnya. " HAH?!"
Sakti hanya mengangkat bahu.
" Terus kenapa Mas Sakti sekarang mau masuk ke UGD?" desis Sena berkacak pinggang. " Nunggu di mobil saja! Mbak Ana biar aku yang nungguin!"
" Karena, Devasena Gayatri, saat ini mungkin saja tetangga kita sedang butuh kita berdua. Tadi cuma terkejut saja. UGD masih bisa diterima."
" Hampir seluruh kasus yang bikin jantungan itu justru terjadi di UGD, Mas Sakti. Gimana sih?" tukas Sena. " Mbak Ana sama aku aja, oke? Mas Sakti di sini saja nunggu Mas Ar—ih ngeyel banget!"
Sena segera mengejar Sakti yang sudah berjalan lebih dulu.
" Ini nanti kalau akhirnya aku punya dua pasien gimana?" gerutu Sena yang hanya dijawab oleh tawa.
" Nggak sebegitunya juga, Na. Nanti kalau nggak kuat aku keluar." kata Sakti. Sena menepuk dahinya keras-keras, namun ia tetap mengikuti langkah Sakti yang memasuki UGD dengan tenang. Sena menuju bilik tempat Ana terbaring dan menyibaknya.
" Mbak Ana!" seru Sena gembira ketika dilihatnya Ana sudah siuman meskipun masih berbaring. Sebuah selang infus terpasang di salah satu tangannya. Ana masih pucat, namun ia tersenyum.
" Makasih, ya. Makasih juga, Sakti," ucap perempuan itu lembut.
" Arga di jalan," kata Sakti yang berdiri di belakang Sena. " Gimana? Bayinya nggak papa?"
Ana menatap Sakti sejenak, kemudian tertawa lemah.
" Sena ini pasti yang kasih tahu," gumam Ana. Sena meraih selimut dan menariknya hingga ke dagu Ana. Ia menyentuh dahi Ana. Sudah tidak berkeringat dingin seperti tadi.
" Kata dokter gimana?" tanya Sena.
" Mual muntah berlebihan. Soalnya aku bilang sehari bisa sampai puluhan muntahnya. Namanya Hipo-- apa gitu."
" Hiperemesis," jawab Sena membetulkan. " Duh ibu muda ini apa nggak sadar kalau kondisinya bisa membahayakan? Udah diambil darahnya, kan? Aku nggak akan heran kalau hb-nya turun. Coba tadi tensinya berapa?"
Ana menatap Sena dengan malu-malu, " 80/60."
Sena menatapnya dengan gemas.
" Udah dibilang istirahat dulu di rumah juga ngeyel. Untung ada Mas Sakti tadi, kalau nggak aku harus kemana cari mobilnya coba?" tukas Sena.
" Iya iya maaf, duh, jadi begini rasanya dimarahi kamu. Apa kabar pasien-pasien kamu yang bandel itu, ya?" celetuk Ana nyengir.
" Habis aku kunyah," balas Sena berdecak. Ia mengusap lembut kening Ana. " Mbak Ana mau makan apa?"
Ana menggeleng, " Masih belum mau makan, Na. Jangan dimarahi, ya?"
Sena terkekeh pelan, " Nggak, kalau yang ini nggak aku marahi. Nanti bilang kalau pingin sesuatu, ya."
Ana langsung mengangguk. Saat itu, sebuah langkah kaki tergesa terdengar di ruangan. Detik berikutnya, Arga menyibak gorden bilik dengan kelewat dramatis.
" Na!" serunya cemas dan langsung mendekati Ana. Laki-laki itu menangkup wajah Ana, memperhatikannya sejenak. " Kenapa?"
" Nggak papa, tadi sempat pingsan. Pusing banget soalnya," jawab Ana lemah meskipun binar muncul di matanya ketika ia melihat Arga.
Arga langsung menghembuskan nafas. Laki-laki itu menyatukan keningnya dengan kening sang istri, " Makasih."
" Sama-sama, Mas Arga. Kalau gitu aku—"
Sena langsung berbalik ketika Arga menunduk untuk mencium Ana.
" Dih, aku belum keluar lho, Mas," protes Sena menatap tanpa fokus pada dada Sakti yang tepat berada di depannya. Gadis itu menggertakkan gigi, menyesali tindakan pengantin baru yang suka main cium tanpa tahu adat.
"Makanya cari sana, udah gede masih blushing aja." Suara Arga terdengar, membuat Sena mencebikkan bibir.
Begitu memang. Kalau sudah bersama Ana, serasa dunia milik berdua sedangkan yang lain boleh ternista. Jahat sekali.
Sena berbalik untuk bertanya apa mereka hendak menitip sesuatu yang bisa Sena belikan. " Aku keluar dulu. Mau titip ap—"
Namun belum sempat gadis itu berbalik sempurna, sesuatu menutupi pandangan Sena. Aroma mint yang merasuk di hidungnya membuat Sena tidak perlu bertanya tangan siapa gerangan. Sena berkacak pinggang. " Ya ampun, belum selesai?"
" Udah, udah selesai." Suara Arga terdengar geli sehingga Sakti melepaskan tangannya. Sena menatap keduanya dengan gemas. Pengantin baru memang mengerikan.
" Kenapa, Na? Jiwa jomblo merasa tersentil?" tanya Arga sementara Ana tertawa meskipun tertahan.
" Ada apa dengan para jomblo? Itu status legal. Udah ya, daripada ngomongin aku, mending sekarang bilang mau nitip apa. Kalau Mas Arga yang nyuapi, Mbak Ana pasti mau makan. Perlu diisi itu perutnya."
Arga menatap Ana, yang memohon padanya serupa puss in boots dan dibalas Arga dengan tatapan yang sama. Rasanya, Sena ingin sekali menjedugkan kepalanya ke tembok. Demi apa, mereka berbahaya jika bersama. Membuat seluruh manusia di sekitarnya bisa terkena Diabetes saking manisnya adegan mesra mereka berdua.
" Bubur ayam?" ucap Arga kemudian.
" Duh, bisa tambah mual," rengek Ana. Arga menatap sabar pada Ana seraya mengusap dahinya.
" Kamu maunya apa, sayang? Kasihan anak kita juga kalau kamunya kelaparan," tanya Arga membelai perut Ana. Boleh tidak Sena meraung demi melepas rasa menggeliat yang aneh di dadanya?
" Humm...nasi ayam aja. Nggak perlu ada sambel," jawab Ana pelan. " Nggak papa kan, Na? Jangan dipaksa makan putih telur rebus kayak pasienmu itu, ya Na."
" Memang pernah? Sadis kamu ya," celetuk Arga menatap tajam pada Sena sampai Sena memutar mata.
" Hb-nya rendah dan dia histeris setiap kali lihat jarum. Kita nggak bisa infus dia apalagi transfusi," ucap Sena. " Jadi Mbak Ana sayang, kondisi Mbak Ana ini belum perlu aku bina dan jangan sampai. Nanti Mbak Ana nangis-nangis terus aku dimarahi Mas Arga. Makan yang disuka dulu aja. Malah memang biasanya suka yang kering-kering. Nanti aku belikan jus sekalian."
" Kamu yakin bisa makannya?" tanya Arga tidak sepenuhnya setuju.
Ana menatap Arga dengan manja. " Kan dikunyahin kamu."
MAMPUS! KELUARLAH KAMU DARI BILIK JAHANAM ITU, WAHAI DEVASENA!!
Menggertakkan gigi, Sena berbalik dan menyibak gorden dengan keras. Di belakangnya, Sakti mengepalkan tangan di depan mulut dan menunduk, tampak sangat menahan tawa hingga pundaknya berguncang keras.
Membuat Sena makin kesal saja.
*TBC*
Selamat malam, semoga selalu bahagia ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro