Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 11. Car Free Day

Di tengah gulita yang diselami Sena, sebuah suara nyaring tiba-tiba saja terdengar. Menarik kesadaran Sena hingga ke permukaan, membuatnya menyadari bahwa suara nyaring itu berasal dari ponselnya yang sedang meraungkan nada alarm khusus untuk Minggu pagi.

" Nyamm..."

Masih memejamkan mata, jemari Sena meraba dan mematikan alarmnya. Tubuhnya masih terlalu lelah untuk bangun sekarang. Mungkin sebentar lagi. Lagipula Car Free Day dibuka hingga pukul delapan. Dia masih punya banyak waktu.

Sena memeluk gulingnya erat-erat, mereguk kehangatan yang sempat hilang beberapa waktu lalu.

Sebentar.

Guling?

" HAH?" Sena terbelalak dan langsung terduduk.

Sejak kapan ia ada di kamarnya? Seingat dia, dia sedang di ruangan Sakti, menunggui laki-laki itu mengutak-atik laptopnya sembari membaca komik.

Apa dia ketiduran?

Sena merinding. Apa dia tidur sambil berjalan sampai-sampai tidak ingat kapan dia kembali ke kamarnya?

Gadis itu celingukan. Jadi di mana laptopnya? Apa sudah bisa dipakai?

Dengan rambut masih acak-acakan, gadis itu mencari laptopnya di seluruh penjuru kamar. Tapi tidak menemukannya. Apa mungkin dalam ketidaksadarannya, gadis itu meninggalkan laptopnya di ruangan Sakti? Sena berhenti di depan meja riasnya, berpikir sembari mengingat kata-kata Sakti tentang laptopnya yang mungkin saja ia lewatkan.

" Hhh...You look terrible, Devasena," tukas Sena pada bayangannya sendiri di kaca. Gadis itu menyila rambutnya. Pemikiran tentang laptopnya yang berada di ruangan Sakti sedikit membuatnya lega. Meraih handuk kecil di punggung kursi, Sena melangkah ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, gadis itu sudah siap dengan baju training berwarna merah muda. Ketika gadis itu membuka pintu, ia langsung melihat selembar sticky note kecil berwarna hijau muda tertempel di daun pintu bagian luar.

" Laptopmu masih ditempatku. Maaf, we'll meet this afternoon. Let me know your answer."

Sena mengangkat alis kala membaca kalimat itu. Tidak ada nama, tapi dia tahu siapa yang menulisnya. Seraya mengerucutkan bibir, ia menoleh ke arah unit Sakti yang masih tertutup.

Siang nanti dia ada janji dengan Kanya dan Farida.

Sena bangkit dan mengambil asal pulpen sebelum menuliskan jawabannya. Gadis itu ganti menempelkan sticky notes di pintu Sakti. Ingatkan dia untuk bertanya nomor telfon Sakti agar laki-laki itu tidak perlu repot seperti ini.

**

Sena berlari kecil di kawasan CFD, sudah memutari alun-alun untuk kesekian kali. Tapi pikirannya berkelana ke CCTV. Tidak, dirinya belum bisa tenang. Ingin sekali rasanya ia menggedor pintu Sakti dan meminjam komputernya agar dirinya bisa mengamati video rekaman lagi. Tapi dia masih tahu diri untuk tidak mengganggu Sakti yang mungkin saja kurang tidur karena diganggu Sena tadi malam. Berkaca dari Wira, seseorang bisa saja menjadikan hari Minggu sebagai hari berkasur sedunia.

Sebagai salah satu orang yang berkecimpung di dunia kesehatan, pandangan Sena akan olahraga sangat penting dibanding kebanyakan orang awam. Gadis itu menyadari dengan sangat betapa pentingnya bergerak hingga bermandi keringat. Dia selalu berprinsip bahwa tubuh manusia sudah didesain sedemikian rupa canggihnya oleh Tuhan, termasuk memberikan pori-pori dan keringat sebagai salah satu fasilitas pembuangan sampah dari dalam tubuh. Seperti sebuah mesin yang harus dipakai setiap hari agar tidak kaku dan rusak, tubuh pun demikian. Ada kepuasan tersendiri ketika setiap inchi tubuhnya memanas dan keringat keluar dari seluruh pori-porinya. Sena akan menyebutnya sebagai detoksifikasi alami.

Sena menikmati paginya yang hanya bisa ia nikmati seminggu sekali. Gadis itu melakukan gerakan ringan di tepian sembari mengawasi dengan geli beberapa anak yang bermain sepak bola. Beberapa keluarga terlihat melewatinya, sesekali bercengkrama dengan anak mereka yang masih kecil. Terlihat hangat dan bahagia.

Sena meregangkan kedua kakinya dan menarik tangan ke atas, berusaha merentangkan tubuh sejauh mungkin. Setelahnya ia menarik badannya ke bawah dengan gerakan luwes, mengerling sekilas keadaan di belakang tubuhnya melalui kedua kaki tanpa memperhatikan.

Seharusnya memang begitu.

" Ahh!!"

Saking terkejutnya, keseimbangan Sena terganggu hingga gadis itu bergulingan di rumput.

" Mas Sakti!" seru Sena mendongak ke atas dengan tubuh telentang di atas rerumputan.

Sakti ada di sana, duduk di tepi jalan setapak yang dipenuhi oleh bebatuan sungai berwarna warni. Laki-laki itu mengenakan jumper dan celana training berwarna hitam, duduk sembari sedikit menekuk kakinya yang terbuka, entah sejak kapan.

" Kamu ngapain di situ?" tanya Sakti dengan nada geli terselip di suaranya.

Sena mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa laki-laki itu adalah tetangganya. Kemudian setelah yakin dengan rambut berombak dan cengiran lengkap dengan gingsul itu, Sena akhirnya berguling dan duduk dengan meluruskan kaki, membuat mereka berhadapan dan hanya dipisahkan oleh jalan setapak di antara mereka.

" Aku kira Mas Sakti masih tidur." tukas Sena menepuk-nepuk tangannya, tidak peduli orang lain yang berjalan melewati mereka memandang keduanya dengan bingung.

" Aku kira kamu yang masih tidur."

Sena mengedikkan bahu, " CFD. Kesempatan buat olahraga pagi."

" Selain senam di kontrakan?"

" Ha? Kok Mas Sakti tahu? Mas Arga cerita ya? Astaga itu cowok apa emak-emak sih?"

" Nggak, bukan dari Arga."

Sena mengerutkan kening, " Terus?"

Sakti tidak menjawab. Laki-laki itu bangkit dan mendekati Sena sebelum mengulurkan tangan pada gadis itu.

" Karena antusiasme kamu waktu senam patut diacungi jempol," jawab Sakti menarik Sena hingga berdiri. " Pertama dengar kamu senam, aku kira gempa."

Butuh waktu beberapa saat bagi Sena untuk memahami kata-kata Sakti. Begitu memahaminya, wajah Sena memerah.

" Sebegitunya ganggu, ya?" gumam Sena mengusap pipinya sembari menunduk. " Pantas Mas Sakti negur aku pagi-pagi begitu. Suaraku mesti kemana-mana."

" It doesn't matter, Na. You have a good voice."

Sakti tersenyum dengan pandangan masih menatap ke depan, membuat rona merah di wajah Sena semakin memadam.

" Maaf," ucap Sena amat sangat merasa bersalah. Selama ini ruangannya yang selang dua unit dari yang lain cukup membuatnya aman. Buktinya tidak ada satu orang pun yang pernah protes padanya.

" Nggak perlu. Sebenarnya, jam segitu aku juga sudah bangun," jawab Sakti dengan kedua tangan di sakunya. " Dulu hanya capek saja, jadi seharusnya aku yang minta maaf sama kamu."

Sena mengangguk meskipun rasa bersalah masih menggelayuti hatinya. Beberapa saat keduanya terdiam, membiarkan kaki beriringan menapaki jalan setapak bersama ratusan orang lainnya. Dalam keheningan itu, lagi-lagi Sena bisa mengenali aroma mint yang berasal dari Sakti. Padahal rambut Sakti masih basah, pertanda laki-laki itu baru saja beraktivitas berat hingga memproduksi keringat. Tapi aroma yang tercium tetap saja menyegarkan.

" Tentang sticky note itu." Sena mengerling Sakti, " Maaf, tapi nanti siang aku ada acara. Aku terserah Mas Sakti saja, karena toh aku yang butuh dibantu."

" Hm, begitu? Beberapa hari ini aku juga lembur. Mungkin tiga empat hari ke depan." Kata Sakti.

" Sebenarnya, laptopku kenapa sih, Mas?" tanya Sena tidak bisa menahan kegelisahannya.

" Ada yang masih harus aku pastikan, Na. Karena dia masih tetap mati-mati sendiri bahkan setelah aku ganti pastanya. Sebenarnya kalau bisa, kamu jangan lihat laptopmu dulu. Baru aku bedah luar dalam soalnya."

Sena mendengus geli kala mendengar pilihan kata Sakti.

" Kata Mas Rafi, Mas Sakti itu programmer?" ucap Sena melirik Sakti dengan penuh ingin tahu, " Programmer itu kerjanya apa saja? Nggak capek di depan komputer terus-terusan?"

Tanpa diduga, senyum Sakti melebar. Ia menatap Sena.

" Nggak ada kata capek untuk sesuatu yang kita suka, Na." ucapnya tersenyum samar. " Iya, programmer di divisi gaming. Kita menerima proposal proyek dari klien, memprogramkan software sesuai pesananannya dan mengembangkannya. Katakanlah dengan kasar, pekerjaan kami adalah membuat program, software, dan aplikasi. Khusus di divisiku, berkaitan dengan gaming."

Sena mengerjap. " Ng...jadi, koding-koding gitu? Mirip flowchart gitu?"

Sakti mengangguk singkat. " Kami menyebutnya Algoritma."

Seketika Sena menggaruk pelipisnya kala mengingat pelajaran SMA.

" Aku ingat pernah dapat pelajaran itu di SMA. Dan kata guruku, aku nggak bakat kerja di bidang pemrograman. Karena waktu dapat tugas disuruh bikin rumus-rumus yang tingkatannya lebih rumit, aku bingung sendiri. Kodingnya banyak banget dan pakai simbol yang apalah aku nggak ngerti! Ck!"

Mendengarnya, Sakti tertawa.

" Mungkin karena kamu nggak biasa saja, Na. Lagipula, ketika kita sudah berhadapan dengan sesuatu yang kita suka, kita tidak akan menyebutnya kesulitan. Kita hanya akan menyebutnya tantangan."

Mendengar kalimat Sakti, Sena menoleh. Hanya untuk melihat laki-laki itu masih menatap ke depan meskipun senyum samar masih terulas di sudut bibirnya. Sena tertawa pelan dan mengangguk. Sangat setuju dengan Sakti.

" Sakti?"

Langkah keduanya terhenti kala seseorang berdiri di depan mereka.

Seorang wanita yang luar biasa cantik hingga Sena mengerjap. Wanita itu mengenakan kaus lengan pendek yang mencetak jelas tubuhnya, dilengkapi dengan celana training yang entah mengapa tetap membuatnya terlihat seksi. Tubuhnya tinggi dan langsing, dengan kulit berwarna kuning langsat dan terlihat mulus. Wajahnya oval, dengan mata yang bulat namun mempunyai tatapan yang tegas. Rambut wanita itu bergelung di belakang kepala meskipun beberapa helai rambut terjatuh dengan gemulai di pundaknya. Peluh tampak menghiasi wajah dan tengkuknya yang putih bersih.

" Nath," balas Sakti membuat Sena menoleh ke arah mereka berdua secara bergantian.

Wanita yang dipanggil Nath itu menatap Sakti beberapa saat sebelum menjatuhkan pandangan kepada Sena. Seulas senyum bermain di ujung bibirnya. Senyum yang...berkelas.

" Jadi, apa dia alasan kamu keluar dari apartemen?" tanyanya.

" Kamu bisa panggil dia Sena," ucap Sakti tenang, " dan bukan. Bukan itu alasannya atau apapun yang kamu kira kamu tahu."

" Really?" Wanita yang lebih tinggi dari Sena itu mengulurkan tangan pada Sena. " Nathalie Diomira, teman kerja Sakti."

" Devasena Gayatri. Tetangganya Mas Sakti," ucap Sena menyambut hangat uluran tangan Nathalie. Entah mengapa, dirinya sedikit merinding kala mendengar nama Nathalie. Nama itu terdengar...mendominasi? Sangat sesuai dengan penampilan penyandangnya.

" Please watch on him, Sena. Sometimes, he'll cry like a baby in the midnight," ujar Nathalie kembali menatap Sakti. Namun Sena bisa melihat sesuatu yang lain di mata perempuan itu.

Sesuatu yang membuat Sena menelengkan kepala.

" Tirta di mana?" tanya Sakti yang sepertinya tidak menggubris apapun kata-kata Nathalie tentangnya.

" Actually, aku kesini bareng Dida dan Prisilia. Tapi mereka berdua balik duluan. Mumpung kamu di sini, bagaimana kalau kamu saja yang mengantarku pulang? Aku nggak keberatan lihat rumah baru kamu," ucap Nathalie.

Lama-lama, Sena jadi seperti berada di tengah-tengah sesuatu.

" Aku duluan saja. Harus beli sesuatu." Sena tersenyum pada Nathalie yang membalasnya dengan ramah. Sedangkan Sakti hanya meliriknya sekilas tanpa berkata apa-apa.

Ada sesuatu di antara mereka, itu jelas. Tapi Sena lebih mengapresiasi cara Nathalie menjaga bentuk badannya. Terlihat sekali gadis itu gemar olahraga hingga mempunyai bentuk tubuh yang ideal bagi para wanita.

" Eh, Mbak Sena! Udah pakde tunggu dari tadi, je!" Seorang laki-laki separuh baya dengan kumis baplang menyapa Sena dengan sumringah.

" Kan nunggu biar keringetnya ilang dulu, Pakde Wito. Satu mangkuk kayak biasa ya." Pinta Sena pada pria berlogat Yogyakarta itu.

" Minumnya apa, Mbak Sena?" tanya Wito.

" Biasa, es jeruk," Jawab Sena sembari mencari tempat duduk.

Soto ayam Pakde Wito memang sudah membuat Sena jatuh cinta semenjak pertama kali gadis itu singgah di sini. Kaldu ayam kampungnya yang kental dan sebuah resep rahasia membuat soto ini berbeda dengan yang lain. Maka jangan kaget ketika jam segini banyak orang yang memenuhi kedai Pakde Wito hingga rela menyantap soto dengan berjongkok di depan kedai. Kebanyakan dari mereka seperti Sena, sekalian sarapan setelah CFD.

" Satu mangkuk, sama es jeruk."

Sena yang baru mengunyah rempeyek kacang menoleh cepat.

" Lho, nggak jadi ngantar temannya?" tanya Sena mengerutkan kening kala dilihatnya Sakti berjalan ke arahnya dan duduk di depan Sena.

" Haruskah?" balik Sakti mengambil satu rempeyek dari plastik milik Sena.

" Ng...bukannya tadi pacar Mas Sakti, ya?" tanya Sena hati-hati.

" Dulu. Sekarang mantan," jawab Sakti ringan. " Dan kenapa kamu bisa tahu?"

Sena mengedikkan bahu, " Sesama perempuan. Nggak ada salahnya ngantar mantan pacar pulang kecuali Mas Sakti belum move on."

" Memangnya kenapa kalau belum move on?" tanya Sakti ingin tahu.

" Woaaa...itu bencana!" seru Sena menatap Sakti dengan serius. " Catasthrope."

Sakti tertawa pelan.

" Alasannya bukan begitu, Sena. Tapi karena akan jadi salah sekali kalau aku antar dia pulang sementara orang yang lebih berhak sedang menganggur di rumah. Itu bisa jadi kesalahpahaman yang besar."

" Ng...jadi, Mbak Nathalie udah punya pacar baru?" tanya Sena menatap Sakti dengan prihatin. " Yah, kok gitu?"

" Memangnya kenapa? Aku terlihat menyedihkan, ya?" tanya Sakti.

Sena mengamati Sakti. Tidak. Tidak ada raut mantan gagal move on di wajah Sakti. Wajah laki-laki itu sesantai yang Sena kenal.

" Biasanya yang aku lihat, harusnya Mas Sakti merasa ditinggalkan. Lalu karena merasa nggak terima, Mas Sakti nembak cewek lain biar nggak dikira gagal move on sama mantannya. Jadi harusnya, sekarang Mas Sakti cepat-cepat cari kambing hitam."

Tanpa bisa dicegah, tawa Sakti membuncah. Membuat Sena yang tengah mengunyah rempeyek mengerutkan kening.

" Apa menurut kamu aku harus cari kambing hitam?" tanya Sakti geli. " Hm? Coba aku mau dengar. Jadi ini tadi move on menurut pendapat kamu?"

Melihat kegelian Sakti, Sena jadi ikut tersenyum. Gadis itu menggeleng.

" Nggak, aku kan bilang biasanya. Tapi menurutku pribadi, cara seperti itu sama sekali bukan move on. Justru jadi bukti kalau kita belum bisa move on karena tanpa sadar kita masih mengamati gerak-gerik mantan. Masih memberi perhatian," ucap Sena lamat-lamat. " Yang namanya move on itu bener-bener move. Tanpa ada kepo yang nggak perlu, perhatian yang nggak perlu. Karena, hubungan kita sudah nggak spesial lagi. Sesuatu yang harusnya selesai nggak perlu diungkit lagi."

Sakti terdiam beberapa saat. Kemudian berkata, " Very good explanation. Jadi aku ngikut pendapat kamu saja. Aku harap kamu nggak maksa aku cari kambing hitam."

Sena terkekeh pelan. Gadis itu memainkan plastik di tangannya seraya bergumam, " Lucu, ya. Sesuatu yang pernah menganggap dan kita anggap sebagai satu-satunya bisa menganggap dan dianggap orang lain sebagai satu-satunya. Lalu letak 'satu-satunya' dimana?"

Mendengarnya, cengiran Sakti memudar. Laki-laki itu menatap Sena dengan pandangan tidak terbaca. Namun Pakde Wito datang beserta pesanan mereka. Melirik penuh tanya ke arah Sakti.

" Oh, ini Mas Sakti, tetangga Sena," kata Sena memperkenalkan. " Mas Sakti, ini Pakde Wito. Soto ayamnya uenak pisan."

" Oalah, tetangga toh," kekeh Pakde Wito, " Monggo sekecakaken."

" Suwun, Pakde," balas Sena tersenyum. Setelahnya, ia menatap Sakti yang entah sudah sejak kapan menatapnya lebih dulu.

" Ayo dimakan," kata Sena menyugar rambutnya agar tidak mengganggu. " Besok kalau kita CFD-an lagi, sarapannya di sini saja."

Sakti mengangguk singkat. " Aku anggap kamu ngajak aku CFD-an tiap minggu."

" Bukan begitu maksudku, Mas," tukas Sena mencondongkan tubuh untuk meraih senampan perkedel kentang di ujung meja sana.

Sakti menyeret nampan perkedel itu agar bisa diraih Sena dengan mudah.

" Santai, Sena. Apa yang lebih nggak penting ketimbang CFD-an di Minggu pagi, yang cuma ngambil tiga jam waktu kita? Unless with you, it feels less lonely."

Mendengarnya, Sena tertawa.

" Wups...No! No! Aku nggak mau jadi kambing hitam, ya!"

Sakti memandangi Sena sekilas sebelum menunduk untuk mengaduk sotonya sendiri dengan seulas senyum di ujung bibir. Bocah yang jadi tetangganya ini ramai juga.

*TBC*

Happy reading yaa...stay safe, stay happy, stay healthy. Lets do our best to fight this virus, help our white blood cells to provide natural protection.

Love you wherever you are, dear

❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro