Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 10. Bantuan

" Pedoman menu?"

Dengan gugup, Sena menyerahkan sebendel buku tebal kepada laki-laki berkumis putih di depannya.

Ini sejak kapan?" tanyanya lagi sembari menatap Sena dengan tajam.

" Itu pembaharuan satu tahun lalu." Sena menjawab lancar. "Master Menu selalu dievaluasi setiap enam bulan sekali. Tapi kita tidak pernah menggunakan bahan makanan seafood."

Budi, petinggi PERSAGI yang datang ke rumah sakit karena kasus anafilaksis itu mengamati bendel di tangannya dengan begitu teliti.

" Lalu darimana?" tanyanya tidak sabar. " Kamu tahu sendiri jika seluruh keluarganya mengaku tidak pernah memberikan seafood padanya. Masa tiba-tiba ada gumpalan daging tuna di lambungnya? Tidak tercerna sempurna, pula. Apa dia langsung menelan begitu saja? Apa dia punya gangguan mengunyah?"

Pertanyaan itu adalah pertanyaan sarkasme, karena Budi tahu sekali jika sang pasien tidak mempunyai gangguan mengunyah setelah membaca rekam medis. Sena berusaha mempertahankan ketenangan. Namun demikian, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ia sudah menyampaikan seluruh pembelaannya. Tapi dia pun tahu jika sekarang, instalasi gizi sedang dipertaruhkan.

Budi menghela nafas kala Sena menundukkan kepala. Di sampingnya, Danar juga tidak mampu berbicara apapun. Seperti Sena, dia sudah menyampaikan seluruh pembelaan yang ia punya.

" Ini bahaya," ucap Budi memijat pangkal hidungnya. " Instalasi gizi rumah sakit yang seharusnya menjamin makanan agar aman bagi para pasiennya, sekarang sedang dalam masa evaluasi. Faktor kelalaian selalu bisa jadi alasan, bahkan jika kalian sudah yakin seratus persen."

Danar berusaha menginterupsi, " CCTV—"

" CCTV justru memberatkan anak buahmu, apa kamu tidak sadar?!" bentak Budi hingga Sena mengernyit.

" Dari reka adegan kemarin, sudah jelas jika makanan terakhir yang dikonsumsi adalah makanan dari rumah sakit! Dengan kata lain, etiket makan yang ditetapkan oleh petugas gizi bangsal yang bertugas dan dokter yang bertanggung jawab, dalam hal ini Dokter Jenny. Jadi sebelum kita bisa memecahkan asal muasal daging tuna itu, kamu belum boleh lega!"

Danar menelan ludah. Jemari yang terkepal di atas lututnya kini mulai berkeringat.

" Pihak keluarga pasien bahkan sudah mulai tidak sabar. Bayangkan saja, pasien dewasa yang hanya menderita preeklamsia tiba-tiba saja meninggal akibat reaksi alergi pada alergen yang bahkan diketahui pasti oleh pasien. Siapapun yang mendengarkan akan bertanya!" jelas Budi tergesa. " Kita berpacu dengan waktu. Kalau kita kalah, nama rumah sakit ini yang dipertaruhkan. Lebih luasnya, profesionalitas Ahli Gizi akan dipertanyakan."

Sekali lagi, Budi menghirup nafas panjang dan dalam. Kemudian ia bangkit.

" Kita butuh pemikiran tetap jernih," ucapnya menepuk bahu Danar. " Jangan terburu-buru. Kita harus berpegang pada fakta. Sebuah kebenaran tidak pernah bersembunyi. Hanya belum ditemukan saja. Jadi, teruslah mencari. Selamat sore."

Sena dan Danar tetap terpaku di tempat duduk selama beberapa saat pintu itu tertutup. Kemudian, Danar dikejutkan oleh tepukan keras yang berasa dari Sena yang menepuk jidatnya hingga memerah.

" Betul banget! Mana bisa tiba-tiba ada tuna di situ?" desis Sena menatap tajam pada Danar. " Pasti ada caranya."

" Itu yang kita cari dari kemarin, sayang," cetus Danar tanpa sadar.

" Kenapa bisa lupa? Kebenaran tidak pernah bisa sembunyi, Pak. Kita hanya belum menemukan saja. Mungkin, kita melewatkan sesuatu," ucap Sena berapi-api.

Danar mengangkat alis demi menatap anak buahnya yang kini terlihat bersemangat. Apa gadis itu tidak sadar jika nama baiknya tengah dipertaruhkan? Namun Sena justru meraih ranselnya.

" Saya pulang dulu. Saya harus lihat videonya sampai selesai!" ucap Sena melambaikan tangan pada Danar dan berlari keluar.

Pasti.

Pasti ada sesuatu yang tersembunyi. Kata-kata Pak Budi benar. Kebenaran selalu ada. Mereka tidak pernah bersembunyi.

Sama seperti kebohongan Dirga bertahun lalu. Sepandai apapun Dirga berusaha menghapus kebohongan itu, pada akhirnya Sena tetap mengetahuinya.

Bagaimana bisa Sena nyaris menyerah? Dia hanya perlu menemukan kebenarannya kan? Menemukan bagaimana caranya ada sepotong daging tuna di lambung pasien.

Dengan semangat baru, gadis itu melajukan sepedanya kuat-kuat. Berdoa semoga Rafi sudah ada di unitnya ketika Sena sampai di kontrakan.

**

" Hm, gue nggak begitu paham sih, Na. Tapi coba gue utak-atik dulu." Ucap Rafi ketika Sena datang ke unitnya malam itu.

" Gitu, ya?" Sena menggigiti bibirnya. " Oke, nggak papa. Aku juga bingung mau tanya sama siapa lagi. Mas Arga sama Mas Gagah jelas nggak punya waktu."

" Kenapa lo nggak minta tolong Mas Sakti aja?" tanya Rafi menyalakan laptop Sena.

Sena mengerutkan kening tidak mengerti.

" Kenapa Mas Sakti?" Tanya Sena tidak paham.

" Elah,Na. Dia kan programmer. Besar kemungkinan dia lebih paham beginian daripada gue yang lebih paham tentang sapi, kan?" kekehnya dengan mata terpancang pada laptop Sena. " Wah, cukup ngeganggu juga."

Sena melirik apa yang dilihat Rafi dan ikut cemberut," Iya, kan? Sekarang baru sadar kalau itu ganggu banget. Aku nggak enak ganggu Mas Sakti. Orangnya juga pulang nggak tentu. Sekarang aja masih sepi itu."

Rafi mengangguk setuju. " Emang, sih. Seringnya emang pulang malem. Udah gih sana lo ngapain dulu. Laptop lo di sini sama gue, ya?"

" Aku juga mau di sini dulu, Mas. Ada kerjaan. Bisa-bisa malah tidur kalau aku di kamar." Ucap Sena sembari mengeluarkan beberapa bendel kertas dari dalam tas ranselnya.

**

" Mas Sakti!"

Suara Rafi menarik fokus Sena. Ia menoleh, hanya untuk mendapati Sakti yang berhenti melintas ketika Rafi memanggilnya. Mata mereka bertemu sekilas, kemudian Sakti menoleh pada Rafi.

" Ya?"

Rafi menoleh pada Sena dan meringis, " Nggak papa ya, Na? Gue beneran nggak paham kalau ini."

Mendengarnya, Sena segera bangkit, " Eh...itu—"

Suara Sena menghilang ketika Sakti menatapnya dengan ingin tahu.

" Ini," ucap Rafi menunjuk laptop Sena, " laptop uzur punya Sena kayaknya butuh servis. Aku nggak paham, beneran. Sini masuk aja, Mas."

Sakti mengangguk pelan, kemudian ia berjongkok di ambang pintu seraya meraih laptop Sena yang diulurkan Rafi. Laki-laki itu mengutak-atik entah apa, yang membuat Sena menatapnya dengan was-was.

" Ini laptop keluaran lama. Normal kalau mulai bermasalah," ucap Sakti. " Mungkin pastanya kering. Tapi saya perlu periksa lebih lanjut. Gimana kalau ini saya bawa ke tempat saya dulu?"

" Ha? Eh...t-tapi—"

" Sana gih, Na. Siapa tahu sama Mas Sakti jadi lancar," ucap Rafi menyenggol lengan Sena. " Gue juga ada kerjaan yang harus kelar malam ini. Jadi lo ke tempatnya Mas Sakti aja."

Sena melirik pedas ke arah Rafi yang memasang tampang polos, namun ia mematuhinya. Dia cukup tahu seberapa sibuknya Rafi akhir-akhir ini. Maka dengan menenteng tas ranselnya, gadis itu menghampiri Sakti yang sudah berdiri dengan laptop Sena di tangannya.

" Makasih, Mas Sakti. Maaf merepotkan," ucap Sena tidak enak hati.

Sakti tersenyum samar seraya memutar kunci pintu, " Nggak masalah. Saya butuh cerita kamu tentang laptop ini biar tahu permasalahannya. Ini kamu butuh banget?"

Sena mengangguk. " Menyangkut kehormatan saya sebagai Dietitian."

" Masuk dulu saja. Nanti saya lihat." Sakti berkata ringan sembari membuka pintu.

" Ha? Ng...tapi Mas—"

"Nanti dilihat dulu," Sakti melirik laptop di tangan Sena seraya masuk. "Kamu bisa nunggu di sini sebentar. Saya perlu mandi."

Sena mengedip beberapa saat, " Eh, ya...kalau gitu aku tunggu di tempatku saja."

" Katanya tadi baru butuh banget?" ucap Sakti dari dalam. " Kamu bisa pakai komputerku kalau perlu. Siapa yang tahu laptopmu kenapa. Apalagi ada pixel yang keganggu."

" Ha? Apa?" celetuk Sena tanpa sadar karena dia tidak paham kalimat Sakti.

Sakti kembali menghampirinya di ambang pintu. Laki-laki itu sudah melepaskan kemejanya, meninggalkan kaus putih polos berlengan pendek yang melekat pas di tubuhnya. Ia bersedekap di depan Sena dengan sehelai handuk di pundaknya. Sena mundur satu langkah, lagi-lagi untuk menyelamatkan lehernya.

" Blank space. Layar hitam. Mungkin pixel mati atau receiver kabel ke layarnya nggak ke-detect," ucap Sakti menjelaskan.

Sena mengedip. Berusaha mencerna apa yang tengah dikatakan Sakti.

Melihatnya, Sakti tertawa. Kali ini tawa yang memperlihatkan giginya sehingga Sena bisa melihat bagaimana gingsul itu membuat tawanya terlihat berbeda.

" Jadi sementara mandi, kamu bisa pakai komputerku dulu," celetuk Sakti.

" Ah...itu, iya sih... ," gumam Sena pelan.

" Masuk saja. Saya keringetan. It's uncomfortable, Sena." Sakti berbalik dan memimpin Sena masuk ke dalam ruangannya.

Sena mengerucutkan bibir. Antara membiarkan dirinya masuk ke ruangan seorang laki-laki di malam hari atau menunda memeriksa CCTV hingga Sakti memeriksa laptopnya.

Tapi sisi profesionalitasnya menang. Lagipula demi apapun, Sakti itu tetangganya. Sama seperti Rafi yang pernah tidur di kontrakannya karena Sena demam hingga mengigau.

" Permisi." Sena memberi salam.

Aroma mint yang kentara langsung menyergap indra penciumannya. Aroma mint yang sama dengan aroma yang ada di dalam mobil Sakti.

Tiga buah meja rendah berbahan partikel berderet di salah satu sisi ruangan. Di atasnya, tiga bentuk layar dengan ukuran berbeda berdiri dengan jumawa. Di lantai, berserakan benda-benda seperti potongan chasing CPU, mur, bergulung-gulung kabel, beberapa flashdisk dan headphone hitam dengan lambang tiga kepala ular berwarna hijau menyala.

Sakti menyingkirkan barang-barang itu ke pojok ruangan sebelum menyalakan sebuah CPU berwarna hitam dov  yang beraksen merah. CPU itu langsung menyala diiringi bunyi kipas yang berputar cepat dan lembut. Sakti menyalakan layar ultrawide yang berada di paling ujung, membuat Sena mengerjapkan mata ketika ia belum terbiasa melihat layar dengan bentuk seperti itu. Seperti melihat layar komputer biasa yang ditarik ke sisi kanan dan kiri hingga perbandingan antara panjang dan lebar menjadi lebih besar.

" Maaf, yang dua ini masih saya perbaiki," ucap Sakti mempersilahkan Sena. " Silahkan dipakai dulu."

" Oke, makasih Mas," ucap Sena tulus yang dibalas senyum oleh Sakti. Laki-laki itu berdiri meninggalkan Sena sendirian di depan komputer.

Tidak butuh waktu lama bagi Sena untuk tenggelam dalam rangkaian adegan di depannya. Rekam CCTV yang diambil sejak pasien masuk ke kamar perawatan. Tapi tetap saja, tidak ada yang mencurigakan.

Sena sudah menanyakan jenis-jenis makanan apa saja yang dibawa sesuai dengan penampakan di CCTV karena jelas sekali beberapa kali keluarganya membawa makanan masuk ke ruangan.

Namun pagi sebelum kejadian nahas itu, tidak ada satu pun keluarga yang membawa makanan. Sebuah kebetulan yang aneh. Hanya seorang anak kecil berumur empat tahun yang membawa lolipop dan itu jelas sekali terlihat di CCTV.

Sena tidak pernah mendengar ada lolipop rasa tuna sebelumnya.

Lagipula berdasarkan keterangan sang suami yang memang selalu menjaganya, sejak bangun tidur dia tidak mengkonsumsi apapun sampai makan pagi dari rumah sakit datang.

Ting

Sebuah notifikasi muncul di layar.

Lobby is ready, jendral!
Laporan selesai!

Sena mengerjap. Gadis itu mengangkat dagu yang sedari tadi berpangku di tangan.

Suketi, pakai Lifestealer ya.
Baru diupdate coba gih!

Edan, kalau Jendral pakai Lifestealer mending nggak usah main aja!

Nggak asik lo Bay!
Kalau Jendral pakai itu,
gue mau dadah-dadahan
aja sambil farming.

Ini...apa?

Farming? Berkebun?

" Coba sini laptopnya saya lihat."

Sena menoleh, hanya untuk mendapati Sakti sudah duduk di sampingnya entah sejak kapan. Laki-laki itu terlihat segar dengan rambut lembab dan kaus hitam menempel di badan. Ia duduk bersila di samping Sena, mengamati laptop Sena sebelum membukanya.

" Ng...Mas Sakti, ada chat," ucap Sena sembari menunjuk ke layar. Sakti mengerutkan kening, kemudian mendekatkan wajahnya ke layar, yang otomatis membuat Sena mundur.

" Oh..." Sakti mengangguk sebelum membalas chat itu dengan cepat.

Bay, lo jadi kapten. G
ue ada klien.

Lah,
klien yang mana?
Desain?

Go.

Sena mengamati selama laki-laki itu sibuk berkirim pesan entah dengan siapa. Satu hal yang bisa Sena tangkap, dia membuat Sakti menunda sesuatu. Bisa saja dia mempunyai agenda penting malam ini.

" Maaf, itu tadi teman."

"Mas Sakti, yang harusnya minta maaf itu aku," ucap Sena tidak enak hati. Gadis itu menutup videonya." Besok pagi aja Mas. Ini juga udah terlalu malam."

Sakti menatapnya beberapa saat, kemudian tersenyum.

" Saya lihat laptopmu sebentar. Kalau perlu waktu lama, kita bisa terusin besok. Gimana?"

Sena meremasi tangannya, sebuah gestur yang muncul jika gadis itu sedang dalam dilema. Beberapa detik Sena hanya menatap lelaki berkacamata oversized  itu, kemudian ia mengangguk meskipun dengan berat hati. Sena tidak bisa berbohong jika dia rela bergadang demi memelototi video itu.

Sementara Sakti berusaha menyalakan laptop Sena yang tadi sempat mati sendiri, gadis itu mengelus pelipisnya, merasa sangat jenuh dengan video yang sudah ia tonton untuk kedua kalinya. Iseng, Sena mendekati sebuah rak buku yang dijadikan partisi ruangan. Kemudian, matanya membulat kala melihat jajaran komik di sana.

" Demi apa??" Sena berseru girang, " Chinmi!"

Sakti menoleh.

" Kamu tahu komik itu?" Tanyanya membalik laptop Sena.

" Bercanda? Ini komik pertama yang aku baca, Mas! Nggak nyangka Mas Sakti punya..." Sena menghitung deretan komik itu di rak dan melonjak gembira, " komplit! Astaga astaga!!"

Seperti menemukan harta karun, Sena menjelajahi setiap kubikel di rak buku itu.

" Ahh!! Aang!!" seru Sena kala melihat sebuah komik berjudul The Legend of Aang, tidak sadar bahwa Sakti tertawa tanpa suara kala melihat sosok mungil itu begitu energik hanya karena sebuah komik.

" Cuma dua ini aja mas?" tanya Sena mencari-cari. Namun yang ditemukan gadis itu selebihnya hanyalah buku-buku tutorial yang sama sekali tidak dimengerti Sena.

" Hmm," jawab Sakti fokus pada laptop meskipun sudut bibirnya tertarik ke atas. " Kamu tahu Aang juga?"

" Iya." Jawab Sena berbinar dan menoleh ke arah Sakti, " Boleh pinjam?"

" Ambil saja. Kamu itu aneh. Cewek sukanya komik. Action pula," kekeh Sakti ketika dirinya membuka setiap mur kecil di laptop Sena dengan obeng mini miliknya.

" Selera mungkin," jawab Sena membuat Sakti menoleh singkat ke arahnya. Gadis itu duduk bersandar di tembok dengan lutut tertekuk, menekuri komik di depannya dengan begitu serius. Rambut yang tadinya terkumpul rapi dalam kuncir kuda kini terberai ringan. Sembari tertawa tanpa suara, dibiarkannya saja Sena tenggelam dengan bacaannya. Lagipula, sepertinya dia sudah tahu masalah laptop anak itu.

Satu hal yang harus diketahui tentang Sakti, bahwa laki-laki itu menganggap komputer dan game adalah dunianya, passion-nya, hal yang tidak pernah bisa ia abaikan dan tidak pernah terasa menjadi beban.

Setelah mengoleskan pasta dan menutup laptop itu dengan rapi seperti semula, Sakti baru menyadari jika dia tersesat di dunianya terlalu lama. Maka Sakti merasa sedikit bersalah ketika melihat Sena sudah terbaring di lantai yang dingin, meringkuk dengan kedua tangannya memeluk komik yang sedari tadi ia baca.

Sakti mengerling jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah beberapa jam berkutat dengan laptop Sena, memperbaiki beberapa hal di sana-sini dan menginstal ulang beberapa aplikasi yang out of date, masalah yang belum terselesaikan hanyalah layar laptop Sena. Sebenarnya tidak sesederhana itu, karena Sakti langsung menyadari penyebab utamanya adalah gangguan input sehingga pixel layar tidak mampu menampilkan visualisasi yang dikirimkan oleh memori. Bisa jadi masalahnya ada di kabel atau perangkat lainnya.

" Ngapain Sena malam-malam di sini?"

Suara dingin itu berasal dari ambang pintu Sakti yang terbuka. Sakti menoleh dan menemukan Arga tengah berdiri di sana dalam baju tidurnya dengan sebuah ember di tangan, menatap Sakti dengan pandangan menuduh yang kentara.

" Kamu masih baru di sini. Jangan macam-macam," tukas Arga hingga Sakti bisa mendengar nada mengancam di suaranya.

Tentu saja, Sakti langsung menoleh ke arah Sena yang tertidur di lantai. Dia harus segera meluruskan kesalahpahaman ini sebelum Arga berpikir macam-macam.

" Benar begitu?" tanya Arga mengerutkan kening setelah Sakti menjelaskan kejadian beberapa jam lalu. Sakti mengangguk dan mengangkat laptop Sena.

Arga menghembuskan nafas panjang dan meletakkan embernya di lantai. "Anak ini memang terlalu gampang tidur di sana-sini. Tapi kamu masih asing bagi kami. Tolong pahami itu."

Sakti tersenyum samar dan mengangguk.

Sakti mengamati bagaimana Arga menyelipkan tangannya di bawah tubuh Sena dengan hati-hati dan membopong tubuh mungil itu tanpa kendala.

Sakti membiarkan Arga memindahkan Sena ke ruangannya. Kemudian ia memandangi laptop Sena. Memutuskan bahwa dia akan menjelaskan pada Sena besok saja.

Sakti menutup pintunya. Ia hendak meraih headphone ketika dilihatnya komik yang tadi dipegang Sena masih di lantai.

" Manis," ucapnya terkekeh sembari mengembalikan komik ke dalam raknya semula.

Sakti kembali menghadap layar ultrawide dan duduk bersila lengkap dengan headphone berlogo tiga kepala ular berwarna hijau terpasang di telinganya. Memakai kacamatanya, laki-laki itu membuka ruang chat yang beberapa waktu lalu sempat terabaikan.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Sakti berusaha melupakan insomnianya. Berbaur dengan mereka yang masih terlihat antusias seiring dengan detik jam yang membawa malam semakin larut.

*TBC*



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro