Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 1. Tentang Wira

Devasena Gayatri.

Gadis yang berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Gizi di Fakultas Kedokteran itu melangkah di lorong kampus dengan beberapa buku tebal memenuhi dekapannya. Sesampainya di ujung lorong, senyum gadis itu mengembang kala mendapati seorang laki-laki tengah duduk di kursi panjang yang berada di selasar, tengah sibuk dengan ponselnya.

Sena selalu berpendapat bahwa tingkat ketampanan Dirga naik beratus kali lipat jika dilihat dari samping seperti ini. Lihat saja, dengan rahang bersiku, lekuk hidung yang sempurna dan sorot mata yang tengah serius. Belum lagi setelan kemeja flanel yang tidak dikancingkan sehingga menampakkan kaus putih polosnya dan punggung yang menenteng tas ransel itu.

" Serius banget," celetuk Sena berusaha melirik ke ponselnya dengan main-main. Dirga terkejut. Laki-laki itu segera bangkit dan memasukkan ponsel ke dalam saku.

"Udah selesai?" tanyanya dengan seulas senyum yang sangat disukai Sena. Sena balas senyum dan mengangguk.

" Pulang sekarang?"

" Siap, Nona." Dirga nyengir dan hormat pada Sena laksana upacara pagi di hari Senin, membuat Sena mendengus geli.

" Kapan penelitian?" tanya Dirga ketika mereka berdua menyusuri selasar.

" Minggu depan," jawab Sena. " Aku kan ambil rumpun Gizi Klinik. Jadi minggu depan aku mulai sibuk di rumah sakit. Kamu gimana?"

Dirga mengangkat bahu sembari menyisipkan tangan ke dalam saku. " Aku ambil analisis strategi pemasaran."

Sena manggut-manggut. " Iya, aku paham kalau kamu ambil itu."

Dirga menoleh pada Sena dan tersenyum. Ia mengulurkan tangan dan mengusap pelan rambut Sena sebelum meraih buku-buku di dekapan Sena.

" Jangan bawa yang berat-berat, nanti kamu tambah pendek," celetuk Dirga berbuah cubitan pelan di pinggangnya.

" Kapan kamu bisa tambah tinggi, sih? Seingatku dari dulu kamu segini-segini saja," ucap Dirga menyipitkan mata seraya mengamati Sena dengan tampang jenaka.

" Terus aja! Terus aja ngeledek!" sergah Sena sewot. " Kamu aja yang ketinggian. Dulu kamu nyemil apa? Pohon kelapa?"

Dirga tertawa.

" 175 senti itu normal. Kita beda hampir dua puluh senti lho."

" Lebih tepatnya selisih 18 cm, Dirga. Jangan nambah-nambahin," desis Sena sinis.

" Tinggiin dikit, sayang. Biar nggak pegel waktu mau nyium kamu," ujar Dirga membuat Sena memutar bola mata. Tentu saja, kalimat itu hanya rayuan seorang Dirga. Karena Dirga tidak pernah bertindak macam-macam pada Sena.

That's why, she loves him.

" Nanti antar mama kamu lagi?" tanya Sena setelah keheningan yang melanda.

" Iya," ujar Dirga membuat Sena menoleh.

Gadis itu membelai bahu Dirga dengan penuh simpati, berusaha memberinya kekuatan. " Get well soon buat tante, ya. Beneran aku belum boleh jenguk?"

Dirga tersenyum samar, " Thanks, Na. Tapi mama masih belum stabil. Masih harus banyak-banyak istirahat."

" Tapi Ga, waktu itu Bi Lastri bilang ada tante di rumah." Kata Sena mengingat, " Apa itu sebelum kumat?"

" Iya. Habis itu, mama langsung aku bawa ke rumah sakit." Dirga tersenyum paksa dan menepuk puncak kepala Sena, "Maaf kemarin lusa aku telat ngabarin kamu."

Sena segera berpaling ke depan. Gadis itu memaksakan senyum. " Nggak papa. Aku naik angkot."

Dirga menoleh ke arah Sena, mengamatinya sejenak sebelum bertanya.

" Masih kepikiran?" tanya Dirga.

Sena menghembuskan nafas.

" Kejadian kayak gitu, nggak mungkin aku nggak kepikiran, Ga." jawab Sena pelan. Tanpa sadar gadis itu mengusap dadanya ketika rasa sesak hadir di sana. Dirga meloloskan satu tangannya untuk merangkul leher Sena, merapatkannya ke tubuhnya.

" Kamu kuat," ucap Dirga.

" Be mine forever, Dirga." Sena berkata, pelan sekali seolah tidak menyadari apa yang tengah meluncur dari bibirnya.

Mendengar itu, Dirga menghentikan candaannya. Laki-laki itu menatap sayang pada Sena, kemudian merendahkan diri untuk membungkuk dan mencium puncak kepala Sena.

" Yours forever, then."

**

" Nggak mampir dulu? Udah lama nggak mampir lho. Mama kangen katanya," ucap Sena pada Dirga ketika ia memberikan helm pada Dirga. Wajah Dirga nyaris tidak terlihat karena tertutupi helm fullface. Namun sepasang mata itu tersenyum.

" Kapan-kapan saja," jawab Dirga yang diangguki Sena dengan penuh pengertian.

" Hati-hati, ya."

Dirga mengangguk singkat sebelum bersiap kembali di atas motornya. Namun kemudian, pemuda itu kembali menoleh pada Sena.

" Don't forget for tomorrow's dinner," bisik Dirga membuat Sena tersenyum lebar.

" Boleh bilang happy anniversary sekarang, nggak?"

Dirga tergelak, " Besok aja. Kalau sekarang harusnya aku yang deg-degan karena mau nembak kamu."

Sena tertawa, " Oke. Besok kita ketemu. Hati-hati, Ga."

" Hmm. Love you, Devasena Gayatri. Aku pulang dulu."

" Love you too, Dirga. Salam buat tante."

Dirga mengangguk lagi sebelum melajukan motornya, meninggalkan Sena yang termangu di depan gerbang rumahnya sendiri.

Sena menghembukan nafas dan berbalik.

Rasa sakit itu masih ada, batinnya pahit seraya mulai melangkah. Rumah kini tidak lagi terasa seperti rumah. Karena rumah yang dia kenal harus ditinggali oleh empat anggota keluarganya.

Sena menangkupkan tangan ke wajah, berusaha mengusir kenangan buruk dari pikirannya. Masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diratapi.

Sena memberi salam sebelum melangkahi ambang pintu, hanya untuk mendapati seorang gadis menangis sesenggukan. Gadis itu tersungkur di lengan sofa, menyembunyikan wajah di sana hingga rambutnya yang panjang terurai berantakan.

Sena tidak mengenali gadis asing itu. Seorang gadis yang memakai pakaian minim dan menampakkan nyaris seluruh pahanya. Pakaian yang dikenakannya berwarna coklat dengan motif totol hitam, membuat Sena berpikir bahwa dia baru saja kedatangan seekor Jaguar betina yang kini tengah meringkuk menyedihkan di sofanya. Sena bergidik pelan kala menyusuri lekuk tubuh si gadis yang kentara sekali, seolah pakaian yang dikenakannya tidak menjalankan fungsi sebagai penutup anggota badan.

Sena tidak mengenalinya, tapi agaknya dia tahu untuk apa gadis itu kemari.

" Ng...Mbaknya udah lama di sini? Udah ketemu Bang Wira?" sapa Sena sedikit membungkuk, mengintip wajah si gadis.

Mendengar suara Sena, gadis tadi mengangkat wajah. Sena mundur selangkah, karena kini wajah si gadis tampak sangat mengerikan. Eyeliner yang dikenakannya luruh berantakan karena air mata, meleleh di sepanjang pipi hingga ke dagu. Hidungnya merah dan bengkak sebesar tomat, begitu pula matanya yang sudah membengkak hingga nyaris tidak bisa terbuka.

" Lo...Sena, kan? Adiknya Wira, kan?" ucapnya sesenggukan seraya menunjuk Sena dengan telunjuknya yang berkuku panjang dan bercat merah menyala.

" Ng...iya." jawab Sena waspada karena kuku-kuku itu kini terlihat mengerikan. " Mbaknya siapa, ya?"

Si gadis itu tidak segera menjawab. Ia justru menatap Sena dengan benci.

" Panggil kakak lo yang brengsek itu! Suruh dia tanggung jawab karena udah bikin gue hamil!" geramnya membuat Sena terperangah.

" Jangan ngomong ngawur sama adek gue."

Sena dan si gadis menoleh bersamaan kala seseorang muncul dari dalam.

Semuanya, perkenalkan biang keladi dari keonaran kecil ini. Dia adalah Wirawan Hardiwinata, kakak laki-laki Sena yang tampan luar biasa dan terkenal dengan kecanggihannya menakhlukkan para gadis. Sebuah kemampuan yang sayangnya, dibenci Sena.

Wira yang masih mengenakan setelan jasnya keluar dengan membawa segelas air putih di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia selipkan ke dalam saku jas. Keseluruhan kancingnya terbuka, menampakkan kemeja putih yang kini telah terurai dari celana. Kentara sekali baru saja pulang dari kantor.

Wira mengulurkan air putih itu pada si wanita, yang ditepisnya dengan keras hingga gelas kaca itu pecah di lantai. Sena mendelik. Jelas sekali siapa yang akan membersihkan pecahan gelas itu!

" Lo brengsek, Wira!" teriak si gadis berdiri dan menghadapi Wira dengan kedua tangan terkepal. " Lo manfaatin keadaan gue! Lo harus tanggungjawab! Gue bisa laporin lo ke polisi!"

Wira memutar bola matanya dengan malas. Matanya kemudian menatap Sena.

" Sana gih ke kamar," ucapnya pelan sembari bersedekap dan bersandar pada tembok.

" Kapan lo mau berhenti berlaku brengsek, Bang?" Sena menatap tajam pada Wira.

" Kamu tahu Abang nggak pernah teledor," ucapnya sebelum menatap si gadis. " Lo tahu pasti bukan cuma gue yang pernah tidur sama lo. Jadi sori aja, gue nggak akan begitu percaya kalau itu anak gue."

Sena memejamkan mata erat-erat.

" Abang gue emang udah gila," desis Sena sebelum melangkah menuju kamar dan membanting pintu erat-erat, meredam teriakan frustasi dari si gadis yang kini pasti merasa ingin bunuh diri.

Wirawan Hardiwinata adalah laki-laki sempurna. Wajah yang tampan, tubuh yang tegap dan gagah serta pekerjaan yang mapan di usia yang masih terbilang muda. Kakak Sena adalah laki-laki yang menjadi incaran banyak wanita. Sayangnya, Wira mempunyai satu kelemahan yang sangat tidak Sena sukai.

Wira terlalu asik dengan dunianya sendiri hingga terkadang lupa pada keluarganya. Bahkan ketika Badra kemari beberapa hari lalu, Wira dengan sengaja tidak pulang. Membiarkan Sena menghadapi semuanya sendirian. Tapi dia berani bertaruh, jika perceraian orangtuanya hanya dianggap angin lalu bagi Wira. Karena Sena tahu sekali, kakaknya tidak pernah pusing masalah hati.

Teriakan dan racauan masih terdengar di luar. Sesekali suara Wira yang menanggapi dengan malas terdengar oleh Sena. Gadis itu menghirup udara berkali-kali, menyuruhnya sabar menghadapi kelakuan brengsek kakaknya sendiri.

Sena berusaha untuk tidak mengindahkan suara berisik di luar dan fokus pada persiapan skripsinya ketika pintu kamar diketuk.

Sena mengerutkan kening. Dia tahu sekali mengetuk pintu jelas bukan kebiasaan Wira. Bisa gempa tujuh hari tujuh malam jika seorang Wirawan mengetuk pintu Sena dengan begitu sopan.

Sena membuka pintu kamarnya dan berhadapan dengan sesosok gadis cantik bertubuh langsing yang langsung memeluknya erat-erat.

" Sena, lo baik-baik aja, kan? Maaf gue baru denger kabar dari ibu gue!"

Keterkejutan Sena belum pudar sepenuhnya. Namun mendengar perkataan tulus dari sahabatnya, hati gadis itu menghangat. Sena tersenyum kecil dan membalas pelukan Raras.

" Gue nggak papa, Ras," jawab Sena memejamkan mata. " Kapan lo pulang? Emang kuliah lo baru libur, ya?"

Raras mengurai pelukannya untuk menatap Sena. Ada setitik air mata yang mengantung di ujung matanya. Sena berdecak sebelum mengusapnya.

" Peduli amat soal kuliah. Setelah tahu kabar dari nyokap gue, gue langsung ke sini pakai pesawat pertama yang bisa gue temuin, Na," ujarnya tidak ambil pusing kuliahnya di Sidney. Raras memandangi wajah sahabatnya beberapa saat sebelum menangkupkan tangannya ke pipi Sena.

" Cerita semuanya sama gue," pinta Raras tegas. " Keluarin semuanya, Na. Gue di sini, sama lo."

Sena terkekeh pelan dan melepaskan tangan Raras dari pipinya.

" Apaan sih, hiperbola," ucap Sena beranjak. " Lo kesini nggak kabar-kabar gue. Nggak punya camilan, nih. Gue keluar dulu, ya?"

Raras menggeram. Ia menyahut tangan Sena dan membanting pintu kamarnya hingga tertutup. Kemudian, berbalik dan menyeret Sena untuk duduk di kasur dengan dia ikut bersila di hadapan Sena.

" Ngomong!"perintah Raras tegas. " Ceritain semuanya. Lo tahu lo butuh cerita buat sembuh, Devasena."

Sena berpaling ketika matanya mulai panas. Raras benar. Saat ini saja, sebuah bola berduri sedang bergelung di dadanya. Tapi sangat sulit untuk menceritakannya bahkan kepada Raras. Itu sama saja mengingat kembali detail-detail ingatan yang sangat ingin dilupakan Sena.

Gadis dengan rambut bergelombang indah hingga ke punggung itu menelengkan kepala sembari mengamati Sena.

" Terakhir lo cerita, itu lo yang curiga kalau ayah lo selingkuh," ucap Raras mengingat percakapan via skype mereka beberapa bulan lalu.

Dengan berat hati, Sena mengangguk. Raras menghela nafas.

" Dan lo nggak pernah ngomong apapun setelah itu, Na. Lo pendem semuanya sendiri," gumam Raras meraih tangan Sena.

Jebol sudah pertahanan Sena. Air mata perlahan menetes dari pelupuknya.

" Gue bisa apa, Ras?" tanya Sena terisak. " Lihat ayah sama mama gue itu sama aja kayak ngebunuh gue pelan-pelan. Rumah gue ini udah kayak neraka kalau ayah mama jadi satu. Nggak pernah nggak berantem. Gue nggak mau ingat itu, Ras. Gue juga harus fokus skripsi."

Raras mengerjapkan mata, mengangguk-angguk sembari terus membelai bahu Sena.

" Ternyata mama udah tahu jauh sebelum gue kalau ayah selingkuh sama Tia, teman kerjanya di kantor," bisik Sena sakit. " Dan gue juga baru tahu ayah sering bohong sama mama kalau ada penugasan keluar kota. Itu cuma alasan ayah aja buat bisa sama si Tia itu. Bego banget kan gue?"

Sena mengusap matanya dengan kasar.

" Mama udah berusaha sabar, Ras. Udah berusaha cari penyelesaian dengan ngajak ngomong ayah baik-baik. Tapi apa? Dengan telinga gue sendiri, gue denger ayah bilang si Tia lebih bisa mengerti ayah. Ayah merasa dia akan lebih bahagia dengan si Tia! Apa ayah nggak pernah ingat betapa paniknya mama waktu ayah sakit gara-gara usus buntu? Siapa yang ngerawat dia? Siapa yang rela nggak tidur semalaman cuma biar ayah nggak kesakitan?! Brengsek banget!"

Sena mencengkram dadanya erat-erat.

" Dia pikir mama gue itu apa?" isak Sena hebat. " Dia ngomong kayak gitu di depan muka mama, nggak pernah mikir sakitnya mama waktu semua kedok ayah kebuka. Dan lo tahu, Ras? Si Tia itu pernah kesini sekali, nyapa gue, nawarin gue tinggal bareng dia. Yang gila siapa, sih?"

Raras menggigit bibirnya keras-keras kala melihat Sena yang menatapnya tajam dengan mata memerah.

" Udah cukup rasa sakit mama gue, Ras. Waktu mama bilang mau cerai dari ayah, gue setuju aja. Karena ayah cuma bisa kasih rasa sakit buat mama gue. Buat apa kayak gitu dipertahanin, Ras? Yang ada mama gue bisa mati muda."

Sena memukul-mukul dadanya. Seluruh kepedihan kini tumpah di depan Raras.

" Ayah gue udah nggak ada, Ras. Orang yang dulu selalu cium mama gue sebelum berangkat kerja udah nggak ada. Dia udah mati!"

" Huss Devasena! Nggak boleh ngomong gitu!" tepis Raras cemas. Perempuan itu meraih Sena dalam pelukannya. Mendekap sahabatnya erat sembari membelai lembut punggungnya, berusaha menenangkan meskipun dia sendiri juga ikut merasa sakit.

"Kita nggak pernah tahu pada siapa kita jatuh cinta. Cinta memang seenggak masuk akal itu, Na."

*TBC*

2/7/2024

Haii, welcome and welcome back to this story yaaa. Devasena akan tayang (rencana) setiap hari selepas jam 6 sore. Dipersilakan nyepam Nao kalau belom update guys, karena sebenarnya Nao adalah makhluk pelupa 🫠

Sekian note untuk hari ini. Selamat malam, selamat beristirahat. Luv yuuu 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro