DEVASENA | 1. Tentang Mereka
Sena ingat jika janji temu dengan Dirga adalah nanti malam. Tapi, tentu saja di hari jadi mereka yang ke dua tahun ini Sena tidak akan membiarkan semua berlalu dengan biasa saja.
Paling tidak, ada sesuatu yang membuatnya bahagia setelah semua yang terjadi.
Maka sejak tadi malam, Sena sudah sibuk menyiapkan sebuah orange cake buatan sendiri.
Jam dinding belum menunjukkan pukul enam pagi. Namun Sena sudah wangi dengan dress selutut lengan pendek berwarna peach yang membalut tubuhnya. Gadis itu mematut diri di depan kaca dengan senyum yang terus menghiasi bibir sedari tadi.
Meminjam mobil milik Wira, Sena membelah jalanan kota. Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya gadis itu menoleh ke samping, ke arah sebuah kardus berwarna putih dan berpita manis yang menyimpan sebuah cake untuk Dirga.
Jangan tanya Wira di mana, karena hari Minggu berarti hari kebesaran bagi tuan muda satu itu. Wira mendadak akan berubah menjadi singa jika Sena berani mengganggunya di hari sepagi ini.
Sena terkekeh membayangkan wajah Dirga yang akan terkejut bercampur bahagia kala mendapati Sena bertamu di apartemennya, sepagi ini.
Namun ketika kakinya kini menyusuri lorong apartemen Dirga, pikiran Sena mendadak cemas. Dia baru ingat jika ibu Dirga sedang sakit. Itu artinya, bisa jadi Dirga ada di rumah. Tapi dia tidak bisa menelfon rumah. Itu sama saja dengan membongkar kejutannya.
Sena menjitak kepalanya sendiri, merutuki kebodohannya.
" Lo itu beneran pacar yang nggak pengertian. Terus nanti kalau dia nggak ada di apartemen lo mau apa, coba?" gerutu Sena pada dirinya sendiri.
" Ck! Gue taruh aja di mejanya, kasih catatan. Sayang kan udah kesini juga." Sena bergumam untuk membesarkan hati. Gadis itu meneruskan langkahnya. Hingga di depan pintu apartemen Dirga, gadis itu membunyikan bel.
" Kan, nggak ada," gumam Sena gelisah ketika pintu tidak segera terbuka hingga bunyi bel yang ketiga.
Setelah galau di depan pintu selama beberapa saat, gadis itu akhirnya mengambil keputusan. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia mengetikkan password pintu apartemen Dirga yang ia hafal di luar kepala.
Berjingkat, gadis itu masuk.
Seperti yang sudah ia duga, apartemen Dirga begitu lengang hingga terlihat sedikit mengerikan. Sena akan meletakkan cake ini di kulkas. Setelahnya dia akan mengirimkan pesan--
Langkah Sena berhenti.
Tidak. Dia bahkan juga yakin jika detak jantungnya kini ikut berhenti.
Di sana, tepat di depannya, di atas sofa besar yang berada di depan televisi, Dirga terlihat sangat sibuk.
Kotak kue terjatuh dari telapak tangan Sena, membuat dua orang tanpa busana itu tersadar dan memisahkan diri.
Saat itu pula Sena bisa melihat keterkejutan besar tercipta di wajah Dirga.
" Sena! Sejak kapan?" Dirga meraih selimut yang ada di dekatnya dan melilitkannya di tubuh dengan cepat.
" Sena, Sena, ini cuma karena keadaan! Aku bisa jelasin—"
Namun kata-kata Dirga sama sekali tidak terdengar oleh Sena. Seluruh tubuhnya sibuk mengenali si perempuan yang saat ini tergesa memakai pakaiannya.
" Ra-ras?" panggil Sena susah payah karena jalan nafasnya seakan menyempit.
" Sena..." Dirga meraihnya, namun Sena berkelit. Ia menatap Dirga, seolah tidak pernah melihat pemuda itu untuk waktu yang lama.
" Kenapa?" Sena menelan ludah. Seluruh tubuhnya kini mulai gemetar. " Sejak kapan?"
Dirga memejamkan mata. Namun sebelum laki-laki itu bicara, Raras menyela dengan suara gemetar.
" Ga, ini waktunya bilang sama Sena semuanya," ucapnya menatap Sena dengan takut-takut. " N-Na, Sena...sini—"
" Bilang apa sama aku, Ga?" tanya Sena dengan nafas yang mulai memburu. Tuhan, tidak tidak. Seluruh pikirannya salah. Matanya sedang kabur. Itu bukan Raras, itu bukan—
" Na, ada yang perlu kita bicarakan, Na. Maaf, gue—"
" DIEM!!" bentak Dirga pada Raras hingga perempuan itu terkejut.
Sena mengerjap ketika sesak di dadanya menguat. Ia menoleh kembali pada Dirga yang masih berusaha mendekatinya.
" Ga, itu...mak-maksudnya apa?" tanya Sena susah payah. Langkahnya terhenti ketika punggungnya menabrak tepi meja makan di tengah ruangan.
Melihatnya, Dirga berhenti mendekati Sena. Laki-laki itu menunduk.
" Maaf," ucapnya tercekat. Lalu tiba-tiba, Dirga berlutut di depan Sena dan menunduk dalam-dalam. " Sejak lima bulan lalu, waktu aku ke Australia. Maaf, aku nggak bisa menahan semuanya, Na. Aku salah, aku khilaf. Devasena, aku sama Raras nggak punya hubungan seperti apa yang kamu pikirkan. Dibanding dia, aku jauh lebih cinta sama kamu, Na."
Sejak kapan menangis menjadi sesuatu yang sulit? Bahkan saat ini, air mata Sena seolah tidak sudi keluar dan memberikan sedikit kelegaan untuknya.
Dengan masih seperti mimpi, Sena menoleh perlahan ke arah Raras, yang terlihat sangat berantakan. Sahabatnya itu mengangguk dengan air mata menetes tanpa suara.
" Na, Sena, ini sepenuhnya salah gue," bisiknya disela isakannya. "Tapi Na, hari ini—"
" DIEM, RAS!" hujam Dirga membuat Sena tersadar. Laki-laki itu kembali menoleh pada Sena. " Sena..."
" Did you touch her?"
Dirga menelan ludah.
" Devasena, Sena sayang...please...please..." pinta Dirga tersiksa kala melihat Sena menatapnya dengan begitu terluka. Namun Sena berkelit dari raihan jemari Dirga.
" Did. You. Touch. Her?" tanya Sena dengan penekanan di setiap suku katanya.
Dirga menatap Sena beberapa saat, merasa kalah. Kemudian perlahan dengan memejamkan mata, laki-laki itu mengangguk.
Seperti seluruh nafas Sena terampas habis, gadis itu mengiba udara dengan sangat tersiksa.
" Sena, aku bisa jelaskan, ini nggak seperti yang kamu kira! Aku sama Raras—"
" Mabuk? Kalian nggak sadar, gitu?" sambar Sena cepat.
Lagi-lagi, Dirga bungkam. Dan lagi-lagi, laki-laki itu menggeleng pelan.
Sena terhuyung. Perlahan, gadis itu berbalik dan keluar dari apartemen Dirga.
" Sena!" Dirga meraih pakaian seadanya dan memakainya dengan tergesa. Sena mengabaikannya. Ia mengaduk cepat tasnya dan meraih ponselnya untuk menghubungi sebuah nomor dengan cepat.
" Halo Sena sayang, ada apa pagi-pagi telfon? Dirga ada di apartemennya, kalau kamu cari dia," suara mama Dirga menyapa telinga Sena dengan ramah. Sena membasahi kerongkongannya.
" Tan-tante Sofia, gimana keadaannya? Sudah sembuh?" tanya Sena berusaha bersikap biasa sementara dirinya menyusuri lorong dengan cepat.
" Hm? Sembuh?" terdengar nada bingung dari Sofia. " Tante sehat-sehat saja, Sena. Tante udah masakin makanan kesukaan kamu..."
" Kemarin, kata Dirga gastritis tante kambuh sampai tante harus diopname di rumah sakit, ya?"
" Eh? Siapa yang opname?! Tante baik-baik aja, kemarin tante barusan pulang dari Bali—"
Sena memutuskan sambungan saat dirinya merasa hampir ambruk. Panggilan Dirga bergaung di dinding lorong hingga Sena mencapai lift. Ketika gadis itu menekan tombol basement, dilihatnya Dirga tengah berlari ke arahnya dengan wajah yang memadam.
" Sena! Kita udah sepakat nggak berhubungan di belakang kamu lagi karena aku tahu itu salah! Tadi kita khilaf, Sena sayang! Tolong, Na. Jangan pergi!" Ucap Dirga yang berusaha mencapai Sena dengan sekuat tenaga.
Menatap Dirga dengan air mata yang mengalir deras, Sena membiarkan pintu lift tertutup tepat di depan wajah Dirga.
*TBC*
👉Backsound : I'm not the only one-Sam Smith
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro