Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 1. Tentang Badra

Hujan turun dengan deras.

Butiran-butiran besarnya mengenai atap hingga menghasilkan suara bising. Beberapa terciprat ke bawah kanopi, membasahi blus bagian depan Sena.

Otomatis, gadis berambut sepundak itu mengambil satu langkah ke belakang dan memandangi langit dengan cemas. Padahal masih siang, tapi langit begitu kelam disertai gemuruh dan kilatan petir yang tak kunjung usai.

Sena menatap pada telefon genggam di tangannya, kemudian memutuskan untuk menelfon orang yang sudah berjanji untuk menjemputnya.

Tapi lagi-lagi, sambungan gagal. Gadis itu mengerutkan kening. Sejak setengah jam lalu ketika Sena merasa Dirga sudah sangat terlambat untuk menjemputnya, gadis itu berusaha menghubungi Dirga. Namun yang didapat hanyalah nada sambung yang tidak juga diangkat.

"Na! Lo masih belum pulang?"

Sena mengangkat kepala dan mendapati Kemal, mahasiswa satu fakultas dengannya. Laki-laki berambut keriting itu membuka kaca mobil di sampingnya.

Sena menggeleng. "Nunggu Dirga."

"Oh...kayaknya anak ekonomi udah keluar dari tadi." Kemal mengerutkan kening. "Udah lo telfon? Ujannya deres banget ini. Bisa mati kaku lo."

"Syalan sekali dirimu!" kekeh Sena. "Santai, lo yang jadi saksi kalau gue mati kaku besok. Sana gih duluan. Ntar Dirga ngamuk lo ngomong sama gue."

"Sok posesif amat itu cowok lo," cibir Kemal.

Sena tertawa. "Jelas."

Kemal terbahak, "Beneran nih nggak papa? Enak lho, nggak keujanan kalau sama gue."

Sena memutar bola mata, "Gue lebih milih punggungnya Dirga. Anget."

"Serah lo, Na. Serah," ujar Kemal menarik seatbelt-nya. "Selamat berhujan ria, Devasena. Gue bentar lagi mau gulung-gulung di kasur empuk nan hangat."

"Go go, hussss!" seru Sena mengayunkan tangannya. Kemal tertawa. Beberapa saat kemudian, Kemal dan mobilnya keluar dari gerbang kampus.

Sena menghembuskan nafas guna mengalirkan udara panas di sepanjang jalur nafasnya. Jika dia tidak menyesal sudah melewatkan tawaran Kemal, dia berbohong.

Tapi tidak mungkin dia menerima ajakan Kemal. Tidak ketika satu kampus tahu bahwa Kemal nekat menyatakan cinta pada Sena semester lalu di saat dia tahu Sena sudah bersama Dirga. Bisa heboh satu tahun jika seseorang melihat mereka bersama dalam satu mobil. Parahnya, Dirga bisa meluluhlantakkan wajah Kemal seperti bulan lalu hanya karena Kemal membawakan dompet Sena yang ketinggalan di kantin.

Kadang, Dirga bisa begitu posesif, juga paranoid.

"Ck! Itu anak kemana, sih?" gumam Sena mulai tidak sabar. Pasalnya, dia sudah harus ada di rumah setengah jam lagi.

Bukan. Ini bukan kemauannya. Sena hanya menghormati permintaan ibunya.

Dengan satu harapan terakhir, gadis itu mencoba menghubungi Dirga lagi. Ketika hasilnya masih sama, Sena membulatkan tekad menerobos hujan untuk menuju halte terdekat.

**

"Sudah pulang? Kenapa basah kuyup begitu?"

Seorang pria menurunkan koran dari depan wajahnya ketika Sena memasuki rumah. Namun gadis itu mengabaikannya. Jangankan membalas pertanyaan, saat ini saja Sena berharap sosok itu menghilang dari ruang tamu rumahnya.

Pria itu berdehem lagi.

"Ganti baju dulu. Setelahnya ada yang ingin ayah bicarakan sama kamu," ucap pria itu lagi, yang kembali diabaikan Sena. Kali ini dengan denyut nyeri di dada. Tanpa menoleh, gadis itu membanting pintu kamarnya.

Ada sesak yang menggunung di dalam hatinya. Semua racun hati mengendap di sana. Benci, marah, putus asa, semua hal yang membuatnya ingin meraung kencang.

Tapi sejak hari dimana orangtuanya memutuskan untuk bercerai, Sena berjanji bahwa dia tidak akan menangis lagi di depan pria itu.

Tidak memperdulikan pakaiannya yang basah kuyup, Sena meraih kembali telefon genggamnya. Kali ini berusaha menghubungi seseorang yang bernama Wira.

"Bang, Abang dimana? Kenapa belum pulang?" cerca Sena di detik pertama Wira mengangkat sambungannya. Suara bising langsung menyapa pendengaran Sena, membuat Sena menutup telinganya yang lain agar dia bisa lebih fokus.

"Abang nggak pulang."

Diam sejenak, Sena menelan ludah.

"Bang, Abang tau hari ini dia kesini, kan?" tanya Sena lagi, mengingatkan. "Pulang, Bang. Sena nggak mau sendirian di sini."

Terdengar helaan nafas dari Wira.

"Abang nggak perlu pulang, Na. Ada Mama juga, kan?"

"Abang itu tega atau gimana, sih? Kalau ada satu orang yang nggak boleh ketemu dia, itu tuh Mama!" sergah Sena mulai emosi.

"Kamu ngomong apa sih, Na? Ayah disana juga karena mau ketemu Mama, buat minta izin bawa kamu tinggal sama dia. Yakali ntar Ayah nggak ngomong sama Mama dulu."

Ringan, terlalu ringan hingga Sena benci Wira.

"Lo keterlaluan!" salak Sena mematikan sambungan mereka dan melempar telefon genggamnya ke kasur.

Sena menutup mulutnya ketika matanya mendadak memanas.

Bagaimana bisa Wira menghadapinya dengan begitu santai? Bahkan belum ada dua puluh empat jam sejak surat perceraian itu mendarat di meja makan rumah mereka.

Kebisuan ayahnya.

Wajah tegar mamanya.

Dan Sena yang terpaku. Tidak pernah menyangka bahwa keluarganya kini tercerai berai.

"Sena? Kamu sudah pulang? Kenapa lama sekali di kamar?"

Itu suara Shinta. Sena cepat-cepat mengusap wajahnya dan berganti pakaian. Kemudian, ia keluar dengan sangat terpaksa. Tapi dia sudah berjanji tidak akan membiarkan mamanya menghadapi pria itu sendirian. Sudah cukup rasa sakit yang ditimbulkan laki-laki itu untuk Shinta.

Sena keluar dengan rambut yang lembab. Di sana, di hadapan pria itu, duduk seorang perempuan paruh baya yang masih lengkap dengan seragam perawatnya. Shinta tampak tenang sekali kala menghidangkan segelas teh hangat di hadapan pria itu. Sebuah sikap yang sangat tidak disetujui Sena.

Sena menatap Shinta beberapa saat. Bagaimana netra ibunya begitu tenang dan kalem kala menghadapi pria itu, seolah tidak pernah terluka. Tapi itu hanya sebuah kebohongan, karena hanya Sena yang tahu bahwa Shinta selalu menangis setiap malam.

Ibunya terluka, sangat. Oleh sebuah pengkhianatan besar yang dilakukan orang yang telah dipercayainya. Dan karenanya, Sena sangat sulit memaafkan pria itu.

Sena mendekat dan duduk di sebelah Shinta, membuat paras ramah itu menoleh dan tersenyum.

"Mama ke dalam dulu, ya?" pamit Shinta yang diangguki Sena. Pria itu mengikuti gerakan Shinta dalam diam, kemudian tatapannya jatuh pada Sena ketika Shinta menghilang dari pandangan.

"Jadi, sudah siap berangkat?" tanya pria itu.

Sena menggeleng. "Sena tinggal sama mama."

Kening pria itu mengerut. "Sena, kuliah kamu masih butuh banyak biaya. Akan lebih mudah kalau kamu ikut Ayah."

Sena terdiam. Sungguh, banyak hal yang ingin Sena katakan. Namun semua itu terkunci tepat di ujung lidah Sena.

"Apa Shinta meminta kamu tinggal di sini? Dia melarang kamu tinggal dengan kami?" ucap pria itu dengan secercah nada emosi terselip di suaranya.

Demi mendengar itu, kegugupan Sena sirna. Ia menatap ayahnya dengan lekat.

Rasanya baru kemarin Sena melihat Badra sebagai sosok ayah yang mengisi hari-harinya. Melihat sosok tegap yang dulu pernah mengajarinya bersepeda untuk pertama kali. Sosok yang pernah membawakan sebongkok kayu hanya karena Sena lupa membawanya ke perkemahan.

Tapi itu dulu.

"Tidak ada yang memaksa saya, Pak Badra. Itu keputusan saya sendiri," ucap Sena membuat pandangan Badra menajam.

"Sena, masa depan kamu masih panjang, nak. Ikut Ayah dan Tia. Masa depan kamu akan lebih pasti." Badra berusaha berkata dengan lembut.

Sena mengejek dalam hati. Semurah itukah dirinya?

Sena bangkit dan mengibaskan roknya.

"Anda tidak berhak memaksa saya, Pak Badra," ucap Sena, "dan tarik semua ucapan anda yang meremehkan ibu saya. Anda tidak pantas berkata demikian."

Sena menahan pandangannya sejenak sebelum melangkah menuju kamarnya.

"Sena sayang, Ayah hanya mencemaskan kamu," ujar Badra pelan membuat langkah Sena berhenti.

Sena memejamkan mata demi menenangkan batinnya yang porak poranda.

"Jangan repot-repot," ucap Sena singkat. "Anda sudah kehilangan semua hak anda untuk mencemaskan saya. Selamat sore."

**

Sena membanting diri hingga telentang di atas tempat tidur. Buku-buku serta lembar proposal skirpsi terhampar di sebelahnya.

Gadis itu sudah berusaha fokus, tapi tetap saja dia tidak bisa. Rasa sakit masih begitu dominan di hati, merenggut kemampuan berfikirnya. Kini yang ia lakukan hanya terpejam, membiarkan saja pikirannya berkelana agar nanti setelah hatinya puas, dia bisa kembali tenang.

Sena menutup matanya dengan satu punggung tangan, membiarkan kegelapan menelan kala memori-memori berputar bagai film di belakang bola matanya.

Masih teringat jelas di memori kali pertama dirinya tahu jika ayahnya berselingkuh dengan teman kerjanya. Bahkan sebagai anak, Sena pun merasakan sakit ketika Shinta harus menangis setelah mendengar seluruh pengakuan Badra.

Ketukan di pintu mengejutkan Sena. Ia menoleh ke arah pintu, hanya untuk mendapati Shinta yang sudah siap dengan baju tidurnya melongok dari pintu.

"Mama ganggu? Kamu sibuk skripsi, ya?"

Sena bangkit dan merapikan buku-bukunya dengan asal.

"Nggak. Sena nggak bisa konsen," ucapnya menurunkan printer dari kasur. "Kenapa Ma?"

Shinta tersenyum kecil. "Mau tidur di sini sama Sena. Udah lama kayaknya Mama nggak tidur bareng Sena. Kapan ya terakhir kali?"

Sena memutar bola mata. "Itu udah lama banget, Ma. Waktu Bang Wira masih SMP."

Shinta yang kini duduk di tepi kasur terkekeh. "Abangmu sibuk banget sampai nggak bisa pulang."

Sena mendengus. Iya, abangnya sibuk sekali sampai-sampai Sena ingin mengutuknya jadi sloki agar tidak perlu pulang lagi.

"Kapan-kapan, Abang perlu diceramahi. Bisa-bisa Sena punya kakak ipar selusin kalau gini caranya." Sena menggerutu sambil memeluk bantal dengan kesal.

Shinta hanya tersenyum kecil. "Abangmu sudah besar. Sudah tahu konsekuensinya."

Sena melirik Shinta yang kini meraih lembaran kertas-kertas di tumpukan berkas Sena. Iya. Sebagai seorang ibu, Shinta pasti khawatir. Dia pasti pernah menegur Wira. Tapi dasar kakaknya bebal. Kalau sudah begini, siapa yang akan Sena marahi?

Shinta benar. Kakaknya sudah besar. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Itu artinya jika sesuatu yang buruk terjadi, Wira tidak berhak merengek pada Shinta lagi. Tapi bukan berarti dirinya mendoakan sesuatu yang buruk terjadi. Walau bagaimanapun, Wira adalah satu-satunya saudara yang Sena punya.

"Hm? Baru mau bab tiga?" komentar Shinta menyipitkan mata sembari mengamati lembaran kertas di tangannya.

"Udah selesai, gimana sih Ma? Kan Sena udah sidang proposal," kata Sena mendekati Shinta. "Itu nggak kepakai. Sini, ntar kecampur sama yang lain."

"Oh iya." Shinta menyerahkan lembar kertas di tangannya sebelum terkekeh geli. "Kadang Mama lupa kalau anak Mama sudah besar."

Tidak, batin Sena. Mamanya kacau karena hal lain. Bukan karena hal konyol seperti itu. Sena mengulurkan tangan dan menyentuh ujung mata Shinta.

"Sakit Ma?"

Kekehan Shinta terhenti. Untuk sejenak, wanita itu menatap anak gadisnya.

"Kalau sakit, nangis aja Ma," ucap Sena memeluknya erat-erat. "Sekarang Sena cuma punya Mama. Sena nggak mau Mama sedih terus. Mama Sena harus bahagia, nggak perlu memikirkan orang yang nggak memikirkan Mama. Ya?"

Shinta terkekeh pelan. Kekehan yang disadari Sena sarat akan kepedihan. Perempuan itu mengelus pelan lengan Sena yang melingkarinya.

"Kamu sedih Mama sama Ayah cerai?" tanya Shinta. "Maaf, sayang. Maaf karena Mama nggak sekuat yang Sena kira."

Sena mengeratkan pelukannya.

"Sedih, Ma." Sena menjawab jujur. "Tapi Sena akan lebih sedih melihat Mama terus terluka."

Sena tidak bisa menahan air matanya lagi. Padahal sedari tadi dia sudah berjanji tidak akan menangis demi Shinta. Tapi kini dia tidak mampu.

"Kenapa bisa?" Sena terisak di pundak Shinta. "Padahal dulu Ayah sayang Mama. Kenapa bisa, Ma? Kenapa Ayah tega sekali?"

Shinta mendengus geli mendengar kata-kata anak perempuannya. Ada sesal di hati ketika anaknya harus menyaksikan sendiri kegagalan dalam rumah tangganya.

"Siapa tahu apa yang disembunyikan hati?"

Sesuatu yang basah mengenai pundak Sena, dan ia tahu bahwa Shinta juga tengah menangis.

Sakit. Sebuah rasa sakit yang tidak akan hilang dengan mudah. Bisa jadi, sakit itu tidak akan pernah binasa.

Jika sudah begini, bagaimana bisa Sena tidak membenci ayahnya?

*TBC*

Sebenarnya, jadwal up besok . Tapi karena suatu sebab, Nao up saja sekarang biar nggak kepikiran sama sesuatu.

Kalau ada yang notice, di setiap work Nao ada warning.

Nah, iya. Gara-gara itu seharian ini jadi nggak bisa konsen edit bab yang lain. Singkat cerita, Nao iseng baca wall salah satu akun yang Nao follow, dan ketemulah saya dengan isu MIRROR WEB. Dia bilang semua cerita dia ada di situ.

Dan tahu apa yang saya lakukan?

Saya searching di google tentang si mirror web ini, dan seluruh cerita Nao juga ada di situ.

Rasanya tuh...gimanaaaa gitu di ati. Nyut nyutan :')

Tapi, nggak sampai di sini saja penderitaannya, hiks. Setelah searching sana searching sini, ternyata si mirror web itu distributor MALWARE aka VIRUS!! Langsung scan ponsel ini tadi T.T Dan setelah baca banyak tertimoni tentang si Mirror Web ini, ternyata banyak juga yang device-nya terinfeksi gara-gara ngebuka si Mirror Web ini. Entah itu ponsel atau laptop atau komputer. Banyak dari mereka yang ngeluh device nya langsung eror.

SO so so so...

Saya sangat menyarankan, hati-hati sama si Mirror Web ini. Atau mirror web apapun itu. Semua cerita Naomiyuka diposting di Wattpad. Jadi kalau ada yang nemu di website lain, jangan asal buka, ya. 

Kalau nemu di akun lain, boleh bilang sama Nao. Karena kalau kayak gini jatuhnya beda, ahaha...

BTW, selamat menikmati ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro