Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08○

Devan, Deana dan Citra duduk terdiam di kantor guru. Tidak ada yang mulai berbicara duluan sampai suara Pak Tandiono yang menginterupsi.

"Jadi ini kalian ngga ada yang mau cerita, bagaimana kejadiannya?" tanya Pak Tandiono.

Devan menatap Deana yang merasa risih dengan rambutnya yang masih basah akibat siraman Citra.

"Harus kita yang cerita. Kalau dia yang cerita, pasti bakal ada bumbu penyedap rasa. Yakin gue," bisik Devan kepada Deana sambil menunjuk Citra yang menunduk.

Deana yang mendengar hal tersebut hanya bisa menahan tawa. Tapi ia sama sekali tidak berniat menceritakan kejadian tadi kepada Pak Tandiono.

"Pak, tadi pagi kan jadwal saya piket buat ngepel lantai. Terus embernya saya letak kursi. Dan pas Deana masuk saya ngga sengaja kesenggol embernya jadi jatuh kena Deana," jelas Citra tidak masuk akal.

"Lah, kalau kesenggol seharusnya cuma kena bagian bawah gue doang dong. Ngga sampai rambut gue juga basah," dengus Deana.

"Mungkin embernya terbang? Kayak naga terbang di film sinetron?" tanya Devan menatap Deana dengan wajah polosnya.

Deana tidak bisa menahan ketawanya lagi dan tertawa sangat kuat. Dan Devan langsung menyenggol lengan perempuan itu, menyadarkan bahwah mereka sedang di kantor guru.

Pak Tandiono berdeham kuat. Deana langsung berhenti tertawa dan kembali diam.

"Jadi bisa jelasin gimana bisa Deana basah dari atas kepala sampai ujung kaki?" ucap Pak Tandiono dengan penuh penekanan.

Mata Citra mulai berair, "Saat itu, Deana sedang jongkok untuk mengingkat tali sepatunya. Terus pas saya sudah minta maaf tapi Deana malah ngga terima terus ngatain saya. Pas saya ngatain balik. Dia ngga terima lalu nampar saya."

"Wah. Nilai Bahasa Indonesia lo tinggi nih pasti. Pinter banget mengarangnya. Buat novel gih sana," sindir Devan.

Pak Tandiono menatap Deana, "Benar begitu?"

"Tidak. Saat saya masuk kelas dia tiba-tiba sudah nyiram saya, Pak. Saksi banyak kok," ucap Deana sambil tersenyum penuh kesinisan.

Citra yang mendengar hal tersebut mulai terisak sangat kuat. Deana memutar bola matanya malas.

"Oh? Dia pake obat tetes mata tuh? Kok deres amat?" bisik Devan kepada Deana tetapi cukup kuat untuk didengar oleh Citra dan Pak Tandiono.

Deana hanya terkekeh. Sedangkan Citra mendengus.

"Jadi ini yang benar siapa?" tanya Pak Tandiono bingung.

"Menurut hati bapak siapa? Hayo," celetuk Devan yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Pak Tandiono.

"Kamu yah, dari tadi komen mulu kerjaannya. Sudah sana panggilin Sheren, sekretaris kelas kalian," pinta Pak Tandiono.

Devan menggerutkan dahinya, "Ngga bisa, Pak. Tar Deana sendirian. Saya ngga tega ninggalin Deana sama mak sama pak lampir."

"Heh kamu bilangin saya pak lampir?! Berani-"

Belum sempat Pak Tandiono selesai bicara, Devan sudah meninggalkan kantor guru dengan berlari.

Pak Tandiono hanya bisa mengelus dadanya sabar. Lalu, terdengar suara ketukan pintu dan muncul dua orang wanita paruh baya.

Deana hanya bisa tersenyum kecut, menyadari bahwa diantara kedua wanita paruh baya tersebut tidak terdapat ibunya.

Santika, ibu Citra langsung memeluk anaknya yang sedang menangis. "Ini anak saya kenapa?!"

"Citra ditampar, Ma," ucap Citra sesenggukan.

"Ha?! Sama siapa? Siapa yang berani tampar kamu?!" teriak Santika heboh.

Citra menunjuk ke arah Deana. Dan yang ditunjuk lagi-lagi hanya bisa menghela nafas berat. Ia benar-benar sudah muak dituduh oleh Citra.

"Kamu nampar anak saya?! Berani-beraninya ya kamu," ujar Santika tidak terima.

Ia melayangkan tangannya untuk menampar Deana, tetapi tangannya segera di tepis oleh Deandra, ibu Devan.

"Ada bukti kalau Deana yang nampar anak ibu?" ucap Deandra dengan nada datarnya.

Deana menatap ibu Devan dengan kagum. Ia dari dulu sangat menyukai ibu Devan

"Loh? Maksud ibu apa?! Ini anak ibu?" bentak Dantika tidak senang.

Baru saja Deandra ingin menjawab. Suara ketukan pintu menghentikan ucapannya.

"Nih, Pak. Sih Sheren sudah saya panggil," ucap Devan dengan santai dan matanya jatuh pada seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan tajam.

Devan hanya bisa tersenyum canggung. "Eh, mama. Apa kabar, ma?"

Sedangkan yang dipanggil hanya menatap anaknya dengan tatapan tajamnya.

"Jadi, ini saya dipanggil buat jadi saksi kan, Pak? Yaudah, ini saya ceritain yah," ucap Sheren cepat tanpa basa-basi.

Sheren mulai menceritakannya dari awal, karena pada saat itu ia juga sedang piket bersama Citra.

"Dan pada akhirnya, Devan dengan gaya sok kerennya padahal ngga ada kerennya, nampar Citra, plak, gitu."

"Detail amat ya cerita lo, sampai ada backsound-nya terus pendapat lo mengenai tokohnya. Cocok lo jadi tukang review sinetron," komen Devan sinis.

Sheren hanya mengangkat bahunya cuek. Tidak memperdulikan perkataan Devan.

"Jadi intinya yang nampar itu Devan bukan Deana?" tanya Pak Tandiono.

Sheren lagi-lagi mengangguk lalu menatap Citra yang sedang menatapnya tajam.

"Citra benar begitu? Tadi kamu bilang Deana yang nampar?" tanya Santika kepada anaknya.

Citra hanya diam dan hal tersebut membuat Santika geram. Ia menarik tangan Citra untuk berdiri lalu keluar kantor tanpa mengucapkan satu kata pun.

"Tuh kan, kalah malu. Mampus deh," celetuk Devan yang langsung mendapatkan pukulan kuat dari ibunya.

"Kamu ya, pernah ibu ngajarin kamu nampar anak orang? Anak perempuan lagi," ujar Deandra sambil berkacak pinggang.

Devan memanyunkan bibirnya, "Yah, abisnya dia bilang Deana yang engga-engga. Mana Devan terima."

"Oh iya-iya," Deandra hanya mengangguk mengiyakan. Ia sangat tau bahwa anak laki-lakinya itu sangat menyanyangi Deana.

Ia tau bahwa Devan akan melakukan apa saja asal membuat Deana bahagia. Dan tidak pernah mengampuni orang-orang yang membuat Deana menangis.

"Deana kamu ngga apa-apa? Kayaknya ibu kamu ngga datang?" tanya Deandra sambil merangkul Deana.

"Iya, Tan. Mungkin lagi sibuk sama pembukaan rumah makan beliau," jawab Deana sambil tertawa sumbang.

"Loh? Ibu kamu buka rumah makan?" tanya Deandra.

Deana mengangguk. Pasalnya ia juga baru tau kemarin dari ayahnya. Ibunya sama sekali tidak ada membahas tentang rumah makan barunya kepada Deana. Bahkan berbicara pun tidak.

"Yaudah, ayuk. Tante antar pulang. Tar kamu masuk angin," ajak Deandra yang langsung disetujui oleh Deana.

"Kami ngga dihukum kan, Pak?" tanya Devan.

Pak Tandiono menghela nafas. "Engga. Tapi lain kali jangan diulangi lagi ya."

"Siap laksanakan!" ucap Devan dengan tangan yang menghormat kepada Pak Tandiono.

Saat keluar dari kantor guru, Devan melihat raut wajah Deana yang menjadi gelap. "Lo kenapa?"

"Gue? Emang kenapa?" jawab Deana bingung.

"Sedih karena ibu lo ngga datang?"

Deana diam sebentar lalu tertawa. "Engga lah, kan gue tau emak gue sibuk. Apaan deh lo."

Devan tau, Deana berbohong. Dan pada saat itu Devan hanya mengangkat bahunya cuek. Ia yakin Deana akan bercerita kepadanya, suatu saat nanti.

○○○

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucap pegawai di rumah makan tersebut.

"Bu Inez ada?" tanya Deana.

Saat ini Deana berada di rumah makan ibunya, ia berada di sini karena ayahnya menyuruh dirinya untuk datang dan berkumpul bersama. Tentu saja Deana mau. Tapi bagaimana dengan ibunya?

"Dek? Ibu Inez di sana," jawab pegawai tersebut sambil menunjuk seorang wanita paruh baya yang sedang mengobrol dengan para tamunya.

"Oke. Makasih yah," ucap Deana lalu beranjak pergi ke arah ibunya.

Tetapi saat ia dan ibunya semakin dekat, banyak keraguan yang melekat di benaknya. Haruskah ia memanggil ibunya? Atau menunggu ayahnya datang?

Saat Deana sedang melamun, Inez melihat Deana lalu memghampiri dan menepuk pelan bahu anak perempuannya.

Deana yang ditepuk pun terlonjak kaget. Inez yang melihatnya tersenyum tipis, sangat tipis sampai tidak kelihatan.

"Datang sama siapa?"

"Sendirian. Tadi Papa suruh datang untuk kumpul bareng," jawab Deana.

Inez mengangguk, "Kok ngga ajak Devan sama keluarganya?"

"Ngga disuruh kan?" ucap Deana dengan polosnya dan membuat Inez tersenyum lebar.

Deana yang melihat hal langka tersebut pun ikut tersenyum dan bergumam, "Cantik."

Inez yang mendengar hal tersebut langsung berdeham dan membuat Deana salah tingkah.

"Tadi sekolah nelepon, ada apa?" tanya Inez.

"Engga ada apa-apa," ujar Deana berbohong.

Inez hanya mengangguk lalu memanggil pegawai untuk mengantar Deana ke ruang VIP.

Deana pun pamit kepada ibunya yang masih sibuk menjamu tamu. Selama berjalan, Deana hanya bisa tersenyum sangat lebar. Karena ia sudah lama sekali tidak melihat ibunya tersenyum kepadanya.

Ia pun mengeluarkan handphone-nya untuk memberikan pesan kepada orang yang selalu ia ingat saat ia senang dan sedih.

Deana : woi gue lagi seneng. dan gue disuruh undang keluarga lo untuk makan malem di resto emak gue yg baru.

Orang itu adalah Devan.

○○●

Hai. Pertama-tama saya mau mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya karena udh mengantung cerita ini selama 4 bulan lebih. Maaf banget.

Awalnya saya tidak berminat melanjutkan cerita ini karena saya pikir cerita ini gagal/?

Tapi ketika saya buka wattpad akhir-akhir ini saya melihat banyak notif yang meminta apdet. Saya mulai merasa bersalah dan mulai mencoba menulis cerita ini lagi.

Dan jadilah chapter ini. Saya berterima kasih sebanyak-banyak kepada teman-teman yang menyuruh saya agar apdet cerita ini dan saya juga minta maaf.

Lalu, melalui chapter ini, saya ingin melihat apakah masih ada yang menunggu cerita ini? Jika iya. Saya akan tetap melanjutkannya. Jika tidak, mohon maaf saya akan mengunpublishnya.

Saya hanya ingin memberi tahu. Bahwa sebuah komen dari kalian para pembaca sangat membuat penulis menjadi semangat. Jadi saya harap kalian meninggalkan komen untuk saya.

Saya tidak meminta agar kalian spam. Saya hanya berharap sebuah apresiasi kalian.

Maaf kalau saya meminta banyak tetapi tidak memberi hal yang layak dan tidak profesional karena meninggalkan cerita saya begitu aja.

Maaf dan terimakasih !

Scloudky.

10 July 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro