Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03○

Saat ini, kelas XI-IPA1 sedang menghadapi ulangan harian Seni Budaya, yaitu menggambar.

Jujur saja, sebenarnya Deana sangat membenci yang namanya menggambar. Karena ia sangat payah di bidang tersebut.

Deana pun memilih menggambar menara eiffel karena menurutnya sangat gampang digambar. Ia pun mulai menggambarnya dengan serius.

Tanpa disadari pertanda bel istirahat sudah berbunyi. Siswa dan siswi kelas tersebut langsung panik karena gambar tersebut belum selesai.

Bu Florida yang melihat hal tersebut pun menggeleng. "Yaudah, Selesain di rumah yah. Tapi gambar sendiri. Besok dikumpul sama Sheren."

"Oke, Bu. Ibu emang yang paling baik deh," kata Heryna. Ia belum menyelesaikan gambarnya.

Deana memperhatikan hasil gambarnya sekali lagi. "Kok menara Eiffel gue kayak tower sinyal yah? Atau perasaan gue aja?"

Heryna menahan tawanya. "Kayak huruf A jadinya."

"A untuk Azriel dong," bisik Deana pelan yang langsung mendapatkan jitakan dari Heryna.

Deana hanya cemberut lalu menatap Gedung Opera Sydney yang digambar oleh Heryna. Ia berdecak kagum. Heryna sangat pandai menggambar.

"Gue mau gambar ulang tar di rumah. Berantakan banget ini," keluh Heryna.

"Berantakan? Kayak gini lo bilang berantakan? Gambar gue apa kabar?" tanya Deana tidak percaya apa yang dikatakan Heryna tentang hasil gambarnya.

Heryna hanya tertawa. "Gue ngga srek liat gambar gue. Yaudah yuk, kantin."

Deana mengangguk lalu berjalan keluar bersama Heryna sambil berbincang-bincang.

"Devan!" panggil Deana ketika melihat sahabat laki-lakinya dengan Ken sedang berjalan ke arah yang sama dengan tujuan mereka.

Devan yang merasa terpanggil pun menoleh lalu tersenyum melihat Deana. "Mau kantin lo?"

Deana mengangguk. "Lo berdua kayak orang homo gitu kemana-mana berdua mulu," kata Deana yang langsung menerima jitakan dari Devan.

"Lo juga jalan berdua sama Heryna kayak orang lesbi," bela Ken tidak mau kalah karena merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Deana.

"Cewek mah beda. Cewek mau pegangan tangan juga ngga masalah," ujar Heryna yang dibalas anggukan oleh Deana.

"Emang yah. Cewek selalu benar dan cowok selalu salah. Padahal apa coba bedanya cewek pegangan tangan sama cowok?" tanya Ken lalu mencoba memegang tangan Devan.

Devan yang merasa adanya sinyal-sinyal bahaya pun langsung pindah ke samping Deana. "Najis amat lo. Awas."

"Kasar amat sih, Mas," dengus Ken.

Heryna dan Deana hanya tertawa terbahak-bahak.

"Nyari cewek deh lo, Ken. Gue jadi takut lo bakal menyamping gegera kelamaan jomblo," kata Heryna dengan santainya.

Ken menatap Heryna dengan mata yang nyaris keluar. "Apa maksud lo? Jomblo? Gue cuma ngga mau pacaran aja mau fokus belajar dulu."

"Bacot amat. Bilang aja ngga laku," ejek Heryna yang membuat Ken tidak terima dan membalasnya lagi.

Deana hanya tertawa ketika melihat Ken dan Heryna adu mulut. Devan sedari tadi hanya memperhatikan Deana dan merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu.

"Lo habis nangis ya, kemarin?" tanya Devan kepada Deana yang membuat perempuan tersebut terkejut.

"Ngga kok. Kenapa?" Deana mencoba tertawa. Bagaimana Devan bisa mengetahuinya?

Devan menunjuk mata Deana. "Mata lo bengkak, tuh. Dikit."

Deana menatap Devan takjub. Ia takjub dengan kepekaan Devan. Padahal tadi pagi ia sudah mengecek berkali-kali matanya dan tidak ada yang keliatan aneh.

"Nangis ya karena gue bilang jelek? Iya?" Tanya Devan lagi.

Deana yang mendengarnya langsung terbahak-bahak. "Yakali, gue nangis karena itu."

"Nah. Berarti kemarin lo nangis. Ada apa emangnya? Ada yang gangguin lo? Atau lo kangen sama Bang Daron?"

Devan menatap Deana yang langsung terdiam. Ia menjadi merasa bersalah karena membahas tentang kakaknya Deana yang sudah tidak ada itu.

Bukannya apa, ia hanya khawatir dengan sahabatnya itu. "Yaudah, nanti pulang sekolah mau kesana?" ajak Devan.

"Ngga, Van. Baru beberapa hari yang lalu gue kesana. Gue gapapa kok," tolak Deana yang membuat Devan makin bingung.

"Yakin kan gapapa? Kalau ada apa-apa lo harus cerita loh ya," ancam Devan.

Deana mengangguk lalu tersenyum. "Iya, iya. Lo tenang aja kali. Kalau ada apa-apa pasti gue cerita kok," kata Deana yang membuat Devan langsung menghela nafas lega.

Devan memang tidak mengetahui tentang keadaan keluarganya Deana, karena Deana tidak pernah menceritakan hal tersebut.

Kadang ada saatnya dimana seseorang tidak bisa menceritakan masalahnya kepada orang lain. Bukan karena ia tidak percaya kepada orang tersebut, hanya saja ia berfikir lebih baik untuk menyimpannya sendiri.

Dan sekarang Deana sedang berada diposisi tersebut. Deana hanya tidak ingin membuat Devan khawatir.

○○○

Deana : woi temenin gue kuy

Devan membaca pesan yang masuk ke handphone-nya dan mengangkat alisnya bingung. Ia baru saja menghidupkan komputer untuk bermain game yang sudah lama tidak ia mainkan.

Devan : kmn?

Deana : supermarket dpn

Devan : g bs gue mau main

"Ngga ada kata main, temenin gue sekarang!"

Devan terlonjak kaget ketika mendengar suara yang tidak asing dari arah belakangnya. Ia menoleh dan menatap Deana yang sudah berdiri di belakangnya.

"Buset. Lo sejak kapan di sini?" tanya Devan yang terkejut bukan main melihat kemunculan Deana.

"Sejak kapan-kapan. Ayuk temenin gue," bujuk Deana sambil menarik lengan Devan.

Devan menghela nafas lalu mematikan komputernya. Untuk kesekian kalinya ia tidak jadi bermain game kesayangannya tersebut dan rasanya ia ingin menangis saat itu juga.

Ia beranjak dari tempat duduknya dengan malas lalu mengambil jaket dan berjalan keluar kamar bersama Deana yang sudah tersenyum lebar.

"Lo masuk dari mana?"

Deana menatap Devan heran. "Dari pintu lah. Itu Bi Siti yang bukain pintu," jelas Deana dan tersenyum ketika melihat Bi Siti yang merupakan pembantu di rumah Devan.

"Bi, lain kali dia jangan dikasih masuk yah," ucap Devan kepada Bibi Siti yang hanya dijawab anggukan dan senyuman oleh Bi Siti.

Sedangkan, Deana langsung memukul lengan Devan kuat. "Yeu, suka-suka gue dong," kata Deana sambil memeletkan lidahnya.

Devan hanya mendengus lalu berjalan keluar rumah yang disusul oleh Deana.

"Woi, motor lo mana? Bawa motor gih," ujar Deana yang tidak digubris oleh Devan yang terus berjalan.

Deana yang merasa dicuekin pun hanya cemberut. "Kenapa ngga naik motor aja sih?"

"Deket aja kok. Ngapain buat polusi udara kalau kita masih bisa berjalan kaki?" jelas Devan. Deana yang mendengarnya hanya mengangguk malas.

Pasalnya, asal Deana menyuruh Devan membawa motornya pasti Devan akan mengatakan hal seperti tadi. Ia bahkan sudah hampir bosan mendengarnya.

"Gue yakin seratus persen lo kesini mau beli stok roti lo kan?" tanya Devan ketika sudah sampai di supermarket lalu membukakan pintu untuk Deana.

Deana tersenyum lebar, lalu mengangguk. Devan lagi-lagi menghela nafas dan mengikuti Deana. Satu hal, Devan sudah terbiasa menemani Deana membeli 'roti bulanan' tersebut.

"Udah?" tanya Devan ketika melihat Deana yang sudah mengambil keperluannya.

Deana menggeleng. "Lo mau jajan ngga? Gue traktir nih," tawar Deana. Ia sedikit merasa bersalah kepada sahabatnya itu.

"Mau dong. Keripik ya," kata Devan lalu mengambil keripik kesukaannya lima bungkus sekaligus.

"Banyak amat lo ambil, nyet. Balikin tiganya lagi. Tar panas dalam lo kalau makan banyak-banyak," Deana meletakkan tiga bungkus keripik tadi ketempatnya.

Devan cemberut. "Bilang aja lo ga mampu beliin gue."

Ketika Deana ingin membalas ucapan Devan, ia merasa tepukan di bahunya. "Kak Deana?"

Deana menoleh, melihat siapa yang memanggilnya. "Oh. Hai, Airin," panggil Deana.

Airin hanya tersenyum. "Kakak kesini sama siapa?"

Deana menunjuk Devan yang sedang memeluk lima bungkus keripiknya. "Sama nih bocah. Loh kok lima lagi keripiknya. Tadi kan udah dibalikin?"

"Gue ambil lagi dong," ucap Devan santai. Lalu matanya melihat kearah Airin.

"Kak Devan yah?" Tanya Airin saat matanya dengan Devan bertemu.

Devan menggerutkan alisnya. "Lo kenal gue?"

Deana menjitak Devan. "Songong banget lo. Ini tuh adik kelas kita. Kenalin."

Airin yang melihatnya tertawa. Deana memang tidak begitu dekat dengan Airin. Tetapi jika bertemu mereka akan bertegur sapa. Mereka saling mengenal karena dahulu Deana yang menjadi pembimbing saat Airin sedang menjalankan MOS.

"Oalah, maaf yah," kata Devan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Airin mengangguk dan tersenyum. "Kak, aku duluan yah, itu udah dicariin. Duluan," pamit Airin.

Deana mengangguk. Devan menahan tangan Airin yang hendak pergi. Deana yang melihatnya membulatkan matanya terkejut.

"Btw, kamu manis," ujar Devan sambil tersenyum kepada Airin yang saat ini sudah menatap Devan dengan tidak percaya.

Deana yang mendengarnya langsung memukul kepala Devan dengan kuat lalu menarik tangannya Devan yang memegang Airin.

Airin hanya tersenyum kikuk lalu pergi meninggalkan kedua orang tersebut tanpa berkata apapun.

"Lo gila ya?!" bentak Deana kepada Devan.

"Loh, kenapa lo marah?"

"Yah. Lo malu-maluin gue gila. Megang tangannya gitu. Bilang manis. Dih, najis," ucap Deana dengan nada marah lalu meninggalkan Devan dan berjalan kearah kasir.

Devan menahan tangan Deana ketika sahabatnya itu ingin keluar.

"Lo kenapa sensitif amat sih?" tanya Devan heran. Tidak biasanya sahabatnya seperti ini.

Ini bukan pertama kalinya Deana melihat Devan modus terhadap perempuan. Dan biasanya Deana akan mengejeknya. Tetapi kenapa kali ini Deana tampak marah?

"Woi. Lo kenapa marah banget sih?" tanya Devan lagi ketika melihat Deana diam.

"Lo malu-maluin gue di depan Airin. Lo tau ngga Airin itu siapa?" dengus Deana menepis tangan Devan lalu berjalan keluar.

Devan menyusul Deana. "Adik kelas kan?"

"Iya. Sekaligus, sepupunya Azriel," ucap Deana menekankan pada kata 'Azriel'.

Devan mendengus. Selalu saja Azriel, bahkan Devan tidak mengerti apa hubungannya ia modus dengan Airin dan Azriel.

Ia benar-benar tidak mengerti pikiran sahabat perempuannya itu.

○○○

Votments? Thankyou.

04 Februari 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro