Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ; 5 ;ㅡ

Jihoon menitikkan air matanya. Ia terduduk kaku sembari menangis dalam diam, raut wajahnya tenang mengisyaratkan emosionalnya yang sangat dalam, air mata bertubi-tubi membasahi pipi tembamnya.

Hatinya sakit, benar-benar sangat sakit. Mengingat apa yang sudah terjadi dua hari ini. Terasa seperti ada belati berhasil menembus bagian tubuhnya, terasa seberti besi panas menyiksa pernafasannya saat ini. Hatinya seolah disayat, Jihoon tidak mengerti lagi mengapa sang Kuasa memberikannya takdir seperti ini.

Rasanya Jihoon ingin bertemu dengan kedua orang tuanya saja.

Jihoon memandang lurus keluar dinding kaca yang menampilkan jajaran kendaraan di bawahnya, sesekali melihat kelipan lampu-lampu yang menghiasi kota Seoul di sore hari. Ia terduduk kaku di sudut ranjang mewah berukuran besar dan berwarna putih, masih mengenakan tuxedo pernikahannya. Ia menunduk, menangis tersedu-sedu, sesekali menggigit bibirnya menahan isakan, rasa tembaga mulai menguasai indera perasanya. Jihoon tidak tahu, tidak perduli, ia hanya ingin menangis. Dan ingatannya terputar di kejadian dua hari lalu.

Seharusnya ia tahu, bahwa sosok Lai Guanlin tidak pernah main-main dengan keinginannya.




— Flashback —

Sepulang dari membeli cincin, Jinyoung dan Jihoon mengantarkan Ibu kembali ke rumah. Setelahnya Jinyoung mengantar Jihoon ke rumahnya. Pasalnya Jihoon tidak mau meninggalkan atau menjual rumahnya karena rumah itu memiliki banyak kenangan.

Jinyoung memarkirkan mobilnya kemudian turun, membukakan pintu mobil untuk Jihoon dan kemudian keduanya berjalan menuju teras rumah Jihoon.

"Kau mampir kan?" tanya Jihoon.

"Tidak, aku ada urusan sebentar. Nanti malam aku akan kesini jika sempat." jawab Jinyoung.

Tapi kenapa terasa...

Dingin?

Jihoon mengangguk paham dan kemudian Jinyoung memberikan kecupan singkat di dahinya. Jinyoung langsung berlalu. Jihoon bingung melihat tingkah Jinyoung yang agak berubah, terlebih lagi sang Ibu. Saat di perjalanan pulang tadi, ketiganya hanya memakan keheningan di dalam mobil, dingin dan menusuk. Bahkan Jihoon tidak berani untuk sekedar membuka pembicaraan melihat Jinyoung dan Ibu yang saling terdiam, Jihoon fikir ada yang tidak beres dengan keduanya tetapi Jihoon tetap memutuskan untuk mengunci mulutnya dan berniat untuk menanyakannya kepada Jinyoung nanti.

Malam harinya tepat pukul 11.30 KST, pintu rumah Jihoon terketuk. Jihoon berjalan kedepan dan membukakan pintu rumahnya, menampilkan Jinyoung yang masih mengenakan pakaian tadi, namun sedikit berantakan, dan jangan lupakan raut wajah Jinyoung yang dalam dan muram.

"Jinyoung kau kena—"

"Bisa kita bicara di dalam?"

Jihoon terdiam, ia mempersilahkan Jinyoung untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamunya. Jihoon ingin membuatkan minuman namun Jinyoung menahannya, memerintahkan Jihoon untuk tetap disisinya. Jihoon pun mengiyakan dan mendudukkan diri di samping Jinyoung. Baru hendak bertanya, Jinyoung sudah terlebih dulu berkata. Membuat hati Jihoon mencelos, seolah tercipta lubang yang sangat dalam sampai menembus dasar hatinya.

"Jihoon, kita tidak bisa menikah."

Tuhan..

Ini mimpi burukkah?

"M-maksudmu? Jinyoung jangan permainkan aku, ini tidak lucu. Ada apa?" Jihoon berucap gusar, ia menggenggam tangan Jinyoung namun sang pemilik melepaskan genggaman itu.

"Aku harus pergi, Jihoon."

"Lusa kita menikah Jinyoung! Ini tidak lucu! Apa-apaan ini?!" Jihoon menangis, Jinyoung mati-matian membendung air matanya, ia menahan rasa perih di hatinya meihat Jihoon menangis seperti ini.

"Jihoon, besok akan ada yang datang kesini. Jangan kemanapun, ini mengenai urusan pernikahan."

"BAE JINYOUNG!"

"AKU MEMOHON PARK JIHOON, JIKA MEMANG KAU MENCINTAIKU!"

Jinyoung membentak Jihoon.

Tangis Jihoon semakin tumpah, bahkan ia meremas kuat piyama berwarna baby blue miliknya yang tidak bersalah. Jihoon menunduk, menggigit kuat bibirnya, menahan isakan yang terdengar menyakitkan itu keluar dari bibir indahnya. Tangisnya pecah, Jihoon meraung-raung.

"Lupakan semua tentang kita Park Jihoon, aku tahu kata maaf tidak akan pantas untuk hal ini. Aku– aku tidak tahu lagi, aku mohon padamu jika memang kau mencintaiku, Jihoon. Akhiri hubungan kita, menikahlah dengan yang lain."

Mendengar ucapan Jinyoung, Jihoon menggeleng kuat dan menatap Jinyoung dengan matanya yang sembap dan memerah, ia meremas dada Jinyoung, masih mengeluarkan isakan memilukan yang tiada hentinya keluar dari belahan bibirnya.

"K-kau.. j-jahat.. hiks.. Jinyoung.. kenapa.. kenapa kau tidak menyelesaikannya bersamaku jika ada suatu masalah?! Kenapa kau mengorbankan pernikahan kita hanya karena masalahmu yang bahkan calon istrimu sendiri tidak tahu!! Kau mempermainkanku, Jinyoung!"

PLAK!

Tuhan..

Jinyoung mengutuk tangannya yang baru saja melayangkan tamparan ke pipi kanan Jihoon, berharap setelahnya Jihoon melepas kepergiannya.

"Jihoon. Jangan cari aku lagi, aku dan Ibu akan pergi dari hidupmu."

Jinyoung pergi.

Meninggalkan Jihoon yang terdiam di tempatnya.

Demi apapun, hati Jihoon tersayat. Rasanya sakit, sangat dalam, ini menusuk, menyiksa, hatinya sangat sakit. Jihoon memegangi pipinya kemudian merosot dari sofanya. Memeluk kedua kakinya yang ia tekukkan, dan menangis sekencang mungkin dibaliknya. Kepalanya sakit, pusing, bibirnya berdarah, ia hancur dan remuk tak berdaya.

Jinyoung, yang ia tentukan sebagai dunianya, tempat hatinya berlabuh, meninggalkannya.

-------

Jihoon terdiam kaku di sofa tunggalnya, ia berkeringat dingin. Tak hentinya keringat berjatuhan membasahi dahinya. Mengingat siapa sosok yang sedang berada di sofa ruang tamunya saat ini membuat Jihoon menggigit pelan bibir dalamnya.

"Kau tidak terlihat baik Jihoon, apa Guanlin menyakitimu?"

Jihoon menggeleng, bibirnya kelu untuk sekedar berkata-kata.

"Dia gugup, nyonya."

"Kukira Guanlin sudah memberitahumu bahwa aku akan datang."

Jihoon campur aduk, perutnya terasa mual seperti ingin muntah, kepalanya pening, wajahnya memucat.

Wu Zitao sedang berada dihadapannya, ditemani Kang Daniel sebagai asistennya. Jihoon ingin mati saja saat ini. Jadi inilah tamu yang dimaksud Jinyoung tadi malam, sebenarnya ada apa disini?

"Aku dan suamiku cukup terkejut mengingat Guanlin tiba-tiba meminta kami untuk kembali ke Korea karena ia ingin menikah. Dan, kau? Bukankah kau tunangan Jinyoung?"

"Bae Jinyoung meninggalkan Korea setelah perawatannya di rumah sakit selesai, nyonya." ucap Daniel, kemudian melirik kearah Jihoon yang sedikit terkejut. Daniel menatap penuh arti kearah Jihoon seolah menuntutnya untuk mengiyakan semua hal yang Daniel ucapkan.

Jihoon hanya dapat menyimpulkan satu hal.

Ini semua adalah permainan busuk Lai Guanlin.

"Y-ya.." hanya itu yang bisa Jihoon ucapkan. Zitao tersenyum lembut dan beralih untuk duduk disamping Jihoon kemudian mengusap bahu 'Calon menantu' nya itu.

"Aku tidak memperhatikan Guanlin, ia anak yang keras. Aku terkejut mengetahui hubungan kalian sudah sejauh ini bahkan besok kalian sudah akan bersumpah janji di hadapan Tuhan. Apapun kemauan Guanlin, aku tahu itu yang terbaik untuknya. Aku turut senang." ucap Zitao pelan, "Panggil saja aku Ibu." lanjutnya.

Jihoon semakin runtuh, ia mengingat Ibu Jinyoung. Jihoon menahan tangisnya, semenjak kejadian tadi malam, Jinyoung benar-benar hilang ditelan bumi. Pagi ini rumahnya sudah kosong, dan nomor ponselnya sudah tidak aktif.

Jihoon frustasi dan rasanya hampir gila karena semua ini. Demi Tuhan, ia tetap akan menikah besok.

Tetapi? Dengan Lai Guanlin sebagai mempelai suaminya. Jihoon berharap bumi menelannya saat ini juga.

Seusai diselingi beberapa percakapan kecil, Zitao memerintahkan Daniel untuk mengurus wedding organizer, dan resepsi pernikahan esok akan digelar mewah di gedung utama keluarga Wu. Sekaligus, Zitao membawa Jihoon untuk mencari pakaian pernikahan dan cincin baru. Jihoon hanya menurut, ini permintaan nyonya besar dan ia sedang terjebak dalam permainan anaknya.

-------

Telapak tangan Jihoon berkeringat, sekarang ia sedang berada di muka pintu gereja. Bersiap-siap untuk masuk ke dalam.

Jihoon kalut, tidak, ini terlalu cepat, ini kesekian kalinya Jihoon berharap untuk mati saja. Disampingnya, Konglomerat Wu berdiri dengan gagahnya, mengisyaratkan Jihoon untuk mengapit lengan Beliau. Karena Jihoon memang tidak memiliki wali atau siapapun untuk mengantarkannya menuju altar.

Bolehkah ia berharap bahwa di altar sana ada Bae Jinyoung yang menunggunya dengan senyuman dan menyambut Jihoon dengan uluran tangannya?

Boleh.

Namun tak semua harapan itu dapat terwujud.

Jihoon ingin rasanya meremas lengan Konglomerat Wu yang berada di dalam apitannya namun ia masih cukup waras untuk tidak melakukannya.

Sungguh, Jihoon tidak menginginkan pernikahan ini. Ia ingin mati saja.

Didepan sana, Jihoon melihat tubuh tinggi dibalutkan tuxedo berwarna hitam dari atas hingga ke bawahnya. Rambut cokelat gelap yang ditata rapi dan menampilkan dahinya yang seksi.

Lai Guanlin.

Ini bukan mimpi.

Tidak.

Ini mimpi buruk.

Guanlin tersenyum memandang Jihoon yang berada di sisi Ayahnya, senyum yang memiliki banyak arti di saat yang bersamaan. Melihat Jihoon dengan tuxedo putih yang menatapnya gelisah disertai amarah di setiap pupil matanya. Guanlin tersenyum menang melihat ekspresi Jihoon.

Sampai akhirnya Wu Yifan menyerahkan Jihoon untuk digenggam oleh anaknya. Kemudian Yifan pergi menuju sisi Zitao dan memandang putera tirinya bersanding diatas altar.

Jihoon gugup, ia menghadap tuhan dan akan mengucap janji. Ia tidak sanggup, ia hanya ingin melakukannya dengan Jinyoung. Tetapi jika ia memberontak dalam permainan ini, ia yakin akan merusak hidup Jinyoung dan Ibunya. Mengingat betapa sama frustasinya Jinyoung malam itu.

"Saudara Lai Guanlin."

Jihoon terkesiap dan mengigit bibir dalamnya.

"Bersediakah engkau, menerima Park Jihoon sebagai pendamping hidupmu, dikala sulit maupun senang, disaat sedih maupun bahagia, disaat sakit maupun sehat. Dan senantiasa menjaga, menyayangi, dan melindungi pasanganmu hingga akhir hayatmu?"

Guanlin menatap Jihoon, kemudian tersenyum kearah Jihoon yang menatap sekilas kearah manik Guanlin.

"Aku bersedia." ucap Guanlin mantap.

"Saudara Park Jihoon, bersediakah engkau, menerima Lai Guanlin sebagai pendamping hidupmu, dikala sulit maupun senang, disaat sedih maupun bahagia, disaat sakit maupun sehat. Dan senantiasa menjaga, menyayangi, dan memenuhi kebutuhan lahir dan batin pasanganmu hingga akhir hayatmu?"

Hening sejenak. Jihoon membendung air matanya, sampai akhirnya Jihoon mengangkat wajahnya dan menjawab—

"Aku bersedia."

Akhirnya, Guanlin dan Jihoon sah sebagai sepasang suami isteri. Jihoon mengutuk saat-saat setelah ini, dimana seluruh tamu undangan berdiri dari kursinya dan memandang kearah Guanlin dan Jihoon yang saling berhadapan. Jihoon menunduk, dan dagunya diangkat oleh Guanlin sampai sepasang manik keduanya saling bertemu.

Jihoon berbisik pelan, namun bisa ditangkap oleh telinga Guanlin.

"Aku sangat membencimu, Lai Guanlin." bisik Jihoon, dan Guanlin membalas, "Kau tahu aku lebih membencimu."

Guanlin mempertemukan bibirnya dan bibir Jihoon dalam sebuah ciuman lembut. Jihoon tidak membalasnya, Guanlin sedikit memblok posisi kepalanya agar melindungi raut kesakitan Jihoon dari para tamu undangan, karena Guanlin menggigit kasar bibir Jihoon sehingga mata Jihoon memanas dan siap mengeluarkan tetesan air dari sudutnya.

Suara tepuk tangan menggema di dalam gereja, Guanlin menyudahi ciumannya dan mengusap lembut bibir Jihoon sembari menyeringai layaknya iblis. Kemudian Guanlin mengecup lama dahi Jihoon. Jihoon menahan isakannya, matanya melirik kearah Zitao yang tersenyum bahagia menatapnya, dan Jihoon pun memaksakan senyumannya.

— End Of Flashback —

Jihoon menghentikan tangisannya, air matanya sudah kering. Ia menangis sejak seusai resepsi di gedung pribadi keluarga Wu. Ia langsung menuju mobil yang dikendarai oleh Daniel, yang akan membawanya dan Guanlin ken penthouse milik tuannya itu.

Cklek.

"Selamat sore, nyonya.."

Lamunan Jihoon berakhir saat pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok Guanlin yang baru saja selesai membersihkan dirinya dan menyapanya dengan ejekan. Jihoon kembali membuang pandangannya, tidak mau menatap Guanlin.

"Mandilah, bersihkan tubuh menjijikkanmu itu." ucap Guanlin sembari melemparkan handuk kearah Jihoon.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan pada Jinyoung." Jihoon berucap datar.

Guanlin tertawa renyah dah berjalan mendekati Jihoon, berdiri di hadapannya. Guanlin menjambak rambut Jihoon agar lelaki manis itu mau menengadahkan wajahnya dan menatap manik Guanlin.

"Bukan urusanmu jalang kecil, cepat pergi mandi dan tidurlah di sofa luar. Aku tidak sudi manusia lemah dan menjijikkan sepertimu berada di kamarku." Guanlin berucap dingin kemudian menghempaskan Jihoon ke lantai kamarnya. Jihoon hanya membuang nafasnya panjang, dan beranjak dari tempatnya.

"Aku akan pergi dari tempat ini."

"Tidak akan pernah bisa, sayang. Pakaianmu ada di lemari coklat itu. Aku tidak sudi jika kau membawa pakaianmu yang seperti pengemis itu masuk ke penthouseku."

Jihoon menangis, lagi.

"Ya Tuhan.. maafkan aku.." Guanlin berucap mengejek dan menggerakkan kakinya untuk menginjak tangan Jihoon yang bertumpu di lantai.

Jihoon menahan air matanya dan menarik tangannya menjauh, ia pergi ke kamar mandi dan mengunci dirinya. Merenungkan semua apa yang terjadi dalam hidupnya, hingga mengapa ia harus berakhir seperti ini.

Jihoon merosot dibalik pintu kamar mandi, kemudian menangis sekuat mungkin.

"Tuhan.. apa salahku.."

"Ayah.. hiks.. Ibu.."

Jihoon menangis tersedu, dan selintas kalimat melewati pikirannya.

Penderitaan barumu sudah dimulai, Jihoon.

TBC

-----------------------------------------------------------------

Yeeee update lagi wkwkwk ini tangan gatel gatel mau nge up secepatnya😂 fast update khusus kalian yang uda votement💕
Gimana? Makin penasaran gak?._. Atau makin ngebosenin?'-'
Makasih loh buat votementnyaa! Ga nyangka juga nih ini ff bakalan laris kaya gini😂 mana ini work aku yg pertama wkwk
Oiya ini makasiiiihhhh banget buat peachypinkeu yang udah bantuin aku nulis ff ini. Jadi yorubun, yang nulis ff ini dia, but ide nya dari aku gitu karna aku gabisa ngarang kata2, jadi aku kasih tau idenya ke dia, nah pas deh aku ada ide gabisa nulis tp dia pengen nulis gaada ide/? Wkwkwkwk

Next? Votement juseyo🙆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro