ㅡ; 2 ;ㅡ
"M-maaf tuan, saya tidak sengaja."
Guanlin memandang kesal kearah lelaki dihadapannya yang berkali-kali membungkuk 90 derajat kearahnya.
Guanlin melirik kearah name-tag yang berada di seragam pegawai dihadapannya dan mendecih kesal.
"Ong Seongwu, lain kali berhati-hatila jika tidak ingin kehilangan pekerjaanmu, kau masih ingin beker-"
"Guanlin! Cepat ke aula rapat!"
Mendengar panggilan yang diarahkan padanya, Guanlin menabrak bahu Seongwu dan berjalan menghampiri asisten pribadinya yang tadi memanggil, Kang Daniel. Guanlin berjalan kearah Daniel, namun akhirnya berjalan mendahului lelaki yang lebih tua darinya itu.
"Dasar bocah sialan, kenapa kau terlambat? Club lagi?" Daniel mengumpat kesal dan menuntun langkahnya di belakang Guanlin, namun hanya dibalas deheman malas oleh Guanlin. Daniel hanya bisa membuang nafas panjang dan menggelengkan kepalanya, mengikuti Guanlin menuju aula rapat.
•°•°•°•°•
"M-maafkan saya, s-sungguh saya tidak sengaja."
"Hey, kau tidak apa-apa? Maaf aku juga terburu-buru karena akan ada rapat. Bukan salahmu, sungguh."
Jihoon mengangkat wajahnya dan dihadapkan dengan lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya, berbusana formal mengenakan kemeja, hanya saja ia tidak mengenakan jas. Lelaki itu memegang bahu Jihoon dan menatapnya dalam sampai-sampai Jihoon merasa akan tenggelam akan tatapannya.
"Hey, kau tidak apa-apa?"
"Y-ya.." Jihoon mengedipkan matanya dan mengedarkan pandangannya.
"Sekali lagi maafkan aku okay? Aku terburu-buru, sampai jumpa lagi."
Lelaki itu berlalu meninggalkan Jihoon yang mematung di tempatnya.
"Astaga kupikir aku sudah menabrak seseorang yang berkuasa tinggi disini." Jihoon mengusap dadanya dan menggembungkan pipinya untuk membuang nafas panjang, kemudian ia kembali melewati lobby dan menghampiri Woojin yang sudah menunggu sedari tadi di halaman parkir.
"Lama sekali, aku lapar." rengek Woojin seperti tidak makan berhari-hari.
"Maafkan aku, kalau begitu kita pergi membeli makanan, sekalian kita bawakan untuk Hyungseob." ucap Jihoon final. Kemudian mereka pun bergegas pergi.
•°•°•°•°•
Hujan deras mengguyur ibu kota Seoul, langit senja kehilangan warna jingganya yang ditelan gelapnya awan kelabu.
Jihoon berada di toko seorang diri sejak sore tadi. Woojin terlebih dulu pulang tadi siang karena bibinya yang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit, sedangkan Hyungseob sengaja Jihoon berikan shift sampai pukul 4 sore karena lelaki itu sudah bekerja sejak pagi hari.
"Aku tidak mungkin tidur di toko kan.." Jihoon membalik tulisan open yang bertengger di pintu kaca tokonya menjadi closed. Jihoon mengganti seragam tokonya dengan sweater pink bergambar wajah kucing di bagian tengahnya.
Terlalu menggemaskan, Park Jihoon.
Jihoon mengambil coat berwarna milo miliknya yang bergantung di ruang ganti dan memadamkan semua pencahayaan di dalam toko. Ia melangkahkan kakinya keluar dari toko dan bersiap-siap mengunci pintu.
"Astaga payung?" Jihoon masuk kembali ke dalam toko dan mencari-cari keberadaan payungnya, sampai-sampai ia menggeledah ruang ganti pakaian. Namun nihil, ia sama sekali tidak menemukan payungnya. Diliriknya jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 6 sore bahkan ini sudah bisa dikategorikan senja. Jihoon tidak mungkin menunggu hujan reda, menurut ramalan cuaca di televisi tadi siang, hujan deras akan berlangsung sampai esok pagi.
Jihoon kembali keluar dari toko dan mengunci pintu. Bibir merahnya mengerucut lucu dan matanya menengadah kearah langit.
"Berhentilah, aku harus pulang, hah~ lapar sekali." Jihoon mengusap-usap perutnya dan kemudian berjongkok di depan pintu tokonya. Memeluk kedua lutut dan menumpukan dagu diatasnya. Memandang lurus kedepan dimana air hujan bertubi-tubi menghantam permukaan bumi dengan derasnya. Sampai pada akhirnya pandangan Jihoon terhalang oleh sepasang kaki berbalutkan celana hitam dan sepatu pantofel berwarna coklat tua, membuat Jihoon mengangkat wajahnya dan kemudian berdiri tegak.
"Tuan?"
Jihoon terkejut melihat siapa yang sedang berada dihadapannya saat ini. Ternyata lelaki itu adalah orang yang ia tabrak saat berada di lorong La-Ji Corporation pagi tadi. Lelaki itu menenteng tas kerjanya dan sebelah tangannya menggenggam gagang payung biru yang ia kenakan.
"Bae Jinyoung, panggil Jinyoung saja." ucapnya sembari tersenyum ramah kearah Jihoon.
"Eh? M-maaf?"
"Sedang apa?"
"Menunggu taksi."
"Taksi tidak akan berkendara di cuaca yang seperti ini, mereka akan celaka."
Jihoon sedikit menunduk dan menggaruk sisi kepalanya yang tidak gatal dan terkekeh pelan, membuat Jinyoung tersenyum dan memberikan gagang payung yang tadi ia pegang kearah Jihoon, sedangkan Jihoon hanya menatap Jinyoung dengan penuh tanya.
"Orang tua bilang jika kau kebanyakan memikirkan hal yang tentunya sudah pasti, hanya membuat otakmu lelah." Jinyoung tertawa pelan dan menaruh alih gagang payung yang ia pegang ke genggaman Jihoon, "Pakailah." kemudian Jinyoung berlalu dan menutupi kepalanya dengan tas kerjanya, melalui hujan dan membiarkan kemeja maroon yang ia kenakan terkena derasnya hujan.
Jihoon masih terdiam dan sedetik kemudian berlari kecil menyusul Jinyoung, membagi payung itu bersama sang pemilik.
"Orang tua bilang, kalau kau tidak mengucapkan terima kasih maka apa yang kau dapat tidak ada berkahnya." ucap Jihoon seraya memegangi payung agar melindungi tubuhnya dan Jinyoung. Jinyoung terkekeh pelan dan kembali menenteng tas kerjanya, mengambil alih gagang payung yang Jihoon pegang.
"Pakai dulu coat-mu, aku akan memegangi payungnya." ucap Jinyoung, Jihoon tersenyum manis kemudian memakai coat milo kesayangannya yang membungkus habis tubuhnya.
"Kau tenggelam."
"Aku?" jawab Jihoon dengan polosnya.
"Ya, terlihat menggemaskan." ucap Jinyoung sembari tersenyum tulus dan menyerahkan kembali gagang payung ke genggaman Jihoon. Jihoon mengulum senyumnya dan kembali memegangkan payung untuk mereka.
"Oh iya, namamu-"
"Jihoon, Park Jihoon." sela Jihoon dengan cepat sebelum Jinyoung menyelesaikan kalimatnya. Jinyoung tertawa, membuat Jihoon berfikir kenapa lelaki dihadapannya ini selalu tertawa meskipun hanya karena hal kecil.
"Jadi karangan bunga di aula rapat tadi, darimu?" tanya Jinyoung yang dibalas anggukan oleh Jihoon.
"Toko itu milikku, lebih tepatnya warisan kedua orang tuaku." perjelas Jihoon yang kembali dibalas anggukan oleh Jinyoung.
Mereka berdua berjalan beriringan menelusuri perempatan jalan raya sampai pada akhirnya tiba di blok perumahan. Kebetulan mereka searah, rumah Jihoon berada di blok A6 sedangkan Jinyoung berada di blok B2, sekitar dua ratus meter lebih dari arah rumah Jihoon.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan halaman rumah Jihoon, Jihoon kembali memberikan payung yang ia genggam kepada Jinyoung dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Jinyoung. Lain kali mampirlah kesini untuk bermain, jangan sungkan." ucap Jihoon diiringi senyum manisnya, membuat Jinyoung tidak tahan untuk sekedar mengusap pelan kepala Jihoon.
"Besok pergi bersama?" tanya Jinyoung.
"Eh?"
"Kita searah, aku akan menjemputmu besok pagi. Sesampainya di tokomu, aku akan menunggu di halte seberang untuk menunggu bus menuju kantorku. Bagaimana?"
Jihoon mengedipkan matanya mencerna semua kalimat yang diutarakan oleh Jinyoung. Sampai sebelum ia mengangguk-
"Diam berarti iya, jangan lupa bilas tubuhmu dan baca doa sebelum tidur." Jinyoung berujar demikian kemudian mendorong tubuh Jihoon dengan pelan untuk menaiki beberapa anak tangga dan mengarahkan Jihoon menapakkan kaki di teras rumahnya agar tidak terkena hujan, kemudian membalikkan tubuhnya meninggalkan halaman rumah Jihoon dan berbelok menelusuri blok untuk sampai kerumahnya.
Jihoon tersenyum sesaat setelah Jinyoung tidak lagi terlihat oleh netranya, dan kemudian membalikkan tubuhnya untuk membuka kunci pintu rumahnya dan masuk ke dalam.
•°•°•°•°•
Jinyoung menjemput Jihoon di pagi hari, berjalan kaki bersama sampai toko bunga milik Jihoon. Jinyoung menyeberang menuju halte dan menunggu bus yang mengarah ke kantornya. Sepulang kantor, Jinyoung akan menjemput Jihoon di tokonya dan pulang bersama.
Terus seperti itu, dan akan selalu seperti itu. Kedekatan keduanya kian lama kian memuncak. Jinyoung memendam rasa teramat dalam pada Jihoon, sejak awal bertemu, bertabrakan dengan tidak sengaja, sejak itu tatapan Jinyoung hanya terkunci pada lelaki manis yang mengisi hari-harinya belakangan ini, Jihoon.
Sudah tiga minggu lebih kedekatan mereka berjalan. Seperti saat ini, hari minggu pagi. Jinyoung mengajak Jihoon untuk sekedar jalan-jalan yang diiyakan oleh Jihoon karena alasan Jinyoung yang mengatakan ia jarang bisa bepergian pada saat hari libur kantor, maka Jihoon meliburkan toko bunganya hari ini. Jihoon tidak sampai hati membiarkan Woojin dan Hyungseob bekerja sedangkan ia akan pergi bersenang-senang dengan Jinyoung, ia akan merasa sangat jahat sekali.
"Seobie~ aku tidak mungkin membiarkan kalian bekerja disaat aku saja akan pergi. Beristirahatlah, kalian juga butuh libur, okay? Sampai jumpa besok." Jihoon tersenyum sepanjang kalimatnya dan kemudian memutuskan sambungan telefonnya dengan Hyungseob. Lelaki manis itu merengek ingin bekerja, tetapi Jihoon tetap kekeuh tidak membiarkannya karena kasihan.
Jihon memakai hoodie berwarna cream dan celaja jeans berwarna denim, tidak lupa sepatu kets berwarna putih kesayangannya.
Tidak lama kemudian terlihat Jinyoung melangkah memasuki halaman rumah Jihoon. Dengan jeans hitam yang sobek di bagian lututnya, mengenakan kaus polos berwarna merah dibalut jaket kulit berwarna hitam, terlihat casual dan tampan.
Jinyoung menghampiri Jihoon yang sedang mengunci pintu rumahnya dan berdiri tegak dibelakang lelaki yang lebih rendah darinya.
Sampai akhirnya Jihoon membalikkan tubuhnya dan-
"Astaga Tuhan! Jinyoung kau- sejak kapan?" Jihoon terkejut dan memandang kesal kearah Jinyoung dan mengerucutkan bibirnya. Membuat Jinyoung mencubit pucuk hidung Jihoon dengan gemas.
"Baru saja. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku?"
"Aku fokus mengunci pintu, kuncinya sedikit bermasalah, huft." Jihoon menggerutu kemudan meniupkan poni yang menutupi dahinya.
"Kau berdandan?" tanya Jinyoung kemudian, ia memicingkan matanya dan memandangi bibir Jihoon yang merah diluar batas wajar untuk seorang lelaki.
"T-terlalu tebal?" Jihoon membelalakkan matanya dan mengambil ponsel di saku hoodienya, kemudian memandangi pantulan wajahnya disana. "Padahal aku memoleskannya sedikit saja." Jihoon mengomel dan menjilati bibirnya, sesekali mengulumnya agar warnanya sedikit memudar. Jinyoung yang melihati pemadangan di hadapannya hanya memalingkan wajah dan tertawa pelan, kemudian mengalihkan pandangannya kearah Jihoon.
"Sudah, sudah, lagipula kau terlihat sangat manis seperti itu. Kita pergi sekarang hm?" tanya Jinyoung yang kemudian menggenggam sebelah tangan Jihoon, yang kemudian dibalas anggukan pelan oleh Jihoon dan kemudian ia meletakkan kembali ponselnya ke saku hoodienya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju taman wisata hiburan, sesekali mencoba wahana permainan, tidak lupa berjalan-jalan menyicipi jajanan yang disediakan di taman hiburan tersebut.
Seperti sebuah kencan.
Bersenang-senang hingga tidak sadar waktu sudah menginjak senja. Jinyoung masih setia menggenggam sebelah tangan Jihoon, karena sebelah tangan Jihoon sedang menggenggam satu choco-berry ice cream cone yang ia belikan tadi. Jinyoung mengambil kesempatan untuk menyelipkan jari-jarinya di sela-sela jari Jihoon untuk menggenggamnya dengan erat.
Sangat. Sangat. Pas.
Jinyoung tersenyum dan sesekali menghapus jejak ice cream yang teraisa di sudut bibir Jihoon, alhasil pergerakan tersebut membuat Jihoon merasa sangat malu sekaligus- bahagia?
"Makan malam dirumahku." ucap Jinyoung sembari terus melangkahkan kakinya.
"Tidak us-"
"Ibuku sudah memasak untukmu, aku sudah bilang pada Ibu bahwa aku akan membawakannya calon istriku." sela Jinyoung, dihadiahi cubitan pelan di perutnya, dari Jihoon.
"Aku tidak ingin merepotkanmu dan Ibumu." jawab Jihoon, ia balas menggenggam erat jemari Jinyoung. Jihoon tersipu.
"Ibuku yang memintanya."
"Kenapa?"
"Ibu ingin bertemu seseorang yang selalu membuatku sangat bahagia belakangan ini."
Jihoon mengalihkan pandangannya dari tatapan dalam seorang Jinyoung, ia mengangguk pelan dan menyembunyikan rona merah muda yang kini sudah menghiasi pipi gembilnya.
"Mau kan?" tanya Jinyoung lagi, dan dibalas anggukan oleh Jihoon.
•°•°•°•°•
"Jadi, Ayah sudah-?" Jihoon sungguh tidak enak, ia menggantungkan kalimatnya. Sekarang ia sedang berada di rumah Jinyoung dan membantu Ibunya memasak, sedangkan Jinyoung sedang pergi ke minimarket sebentar.
"Santai saja, nak. Kau pun sama kan?" Ibu Jinyoung tersenyum lembut, kemudian mencubit gemas pipi Jihoon. "Jinyoung bercerita pada Ibu, kau sudah bercerita banyak hal padanya, dan ia bercerita banyak tentangmu pada Ibu."
Jihoon tersenyum manis. Ia senang berada di dekat Ibu Jinyoung, terasa seolah berada di dekat Ibunya. Bahkan tiba-tiba saja ia merasa sangat merindukan Ibunya.
"Anggap saja Ibu ini juga Ibumu, Jihoon. Jangan sungkan."
"Terima kasih Ib-"
"Aku pulang!"
"Jinyoung kenapa kau selalu memotong perkataanku?!" Jihoon mengomel melihat Jinyoung yang baru saja masuk ke pintu dapur membawa kantung belanjaan.
"Aku? Apa salahku?" tanya Jinyoung kebingungan dan memandang kearah Jihoon dan Ibunya secara bergantian.
Malam itu, Jihoon menghabiskan waktu bersama Jinyoung dan Ibunya. Merasakan hangatnya memiliki keluarga meskipun hanya bertiga, namun rasa kekeluargaan sangat kental mengalir pada malam itu.
Seusai makan malam bersama, Jihoon berpamitan kepada Ibu Jinyoung, ia memeluk Ibu dengan sangat erat dan mencium punggung tangannya.
"Terima kasih, Ibu. Jihoon sayang Ibu." ucap Jihoon bahagia.
"Ibu juga sayang, Jinyoung tidak salah pilih." Ibu kemudian melirik kearah Jinyoung dengan seulas senyuman, "Hati-hati di jalan." sambungnya. Jinyoung ikut berpamitan dan mengantarkan Jihoon, awalnya Jihoon menolak karena rumah juga tidak terlalu jauh, namun Jinyoung dan Ibunya tetap memaksa, alhasil Jihoon mengiyakan permintaan kedua orang baru dalam hidupnya itu.
Sepanjang perjalanan mengantarkan Jihoon pulang, Jinyoung masih tetap setia menggenggam erat jemari Jihoon. Seolah-olah jika ia melepaskannya, maka Jihoon akan lenyap dari muka bumi ini.
Sesampainya di halaman rumah Jihoon, mereka berdua mematung di depan pintu, saling berhadapan.
"Terima kasih, Jinyoung." ucap Jihoon sembari tersenyum lembut.
Cantik.
"Kau sudah berulang kali mengucapkannya, Jihoon.
"Tidak apa-apa, aku memang sangat berterima-"
"Jangan lupa cuci kaki." potong Jinyoung, Jihoon merengut kesal.
"Kau suka sekali memotong pem-"
"Jangan lupa cuci tangan juga muka."
"Ish, aku-"
"Sikat gigimu. Kau tadi makan ice cream."
"Jiny-"
"Bacalah doa sebelum tidur."
"Bae Jin-"
"Mimpikan aku."
"Jinyoung aku belum bica-"
"Aku mencintaimu."
Jinyoung tersenyum. Jihoon merona. Tangan Jinyoung kemudian terulur untuk mengusak gemas rambut Jihoon dan mencubit pucuk hidung si manis. Dihadiahi pukulan manja di dadanya, oleh Jihoon.
Jinyoung semakin gemas, ia tergerak untuk mengambil tangan Jihoon yang memukul dadanya, mengusapkan telapak tangan Jihoon ke pipinya, kemudian mencium punggung tangan Jihoon cukup lama sembari memejamkan kedua matanya.
Menyampaikan rasa cintanya.
"Masuklah, diluar dingin."
Jihoon tersenyum dan mengangguk pelan. "Aku juga mencintaimu, sangat." ucap Jihoon mantap, mendapat senyum bahagia dari lawan bicaranya. "Pulanglah, sudah semakin malam. Hati-hati, sampaikan salamku pada Ibu." sambung Jihoon, kemudian Jinyoung mengangguk dan melenggang pergi dari rumah Jihoon. Jihoon pun kembali masuk ke rumah dan istirahat, ia sangat senang hari ini.
Dan besok ia harus bekerja.
•°•°•°•°•°•
Hari demi hari terlewati, Jihoon dan Jinyoung semakin dekat. Bahkan Jinyoung kerap kali datang ke toko Jihoon saat hari libur kerja, membawakan makanan, makanan ringan, atau apapun itu. Jinyoung juga tidak lupa membawakan lebih, karena ia juga memberikannya kepada Woojin dan Hyungseob. Jinyoung semakin akrab dengan mereka.
"Jihoon hyung~ harusnya kau menikah saja dengan Jinyoung hyung. Tidakkah dia tampan dan baik hati?"
Oh, itu Hyungseob. Ia menggoda Jihoon dari meja kasir, sedangkan Jihoon sedang menata bunga di lemari.
"Pernikahan bukan sembarang hal anak kecil, enak saja kau menyuruh Jihoon hyung menikah secepat itu." sela Woojin yang sedang menumpukkan keranjang bunga.
"Kau cemburu?!" sela Hyungseob kesal, seenaknya saja menyela perkataannya.
Jihoon tertawa melihat kedua anak lelaki beda usia di hadapannya, mereka kerap kali bertengkar karena hal-hal kecil dan itu menggemaskan. Kemudian Jihoon angkat bicara.
"Bagaimana jika kalian berdua saja yang menikah?" tanya Jihoon sambil tersenyum geli.
"HYUNG!"
"Kompak sekali~ Kkk~" Jihoon terkekeh dan melanjutkan pekerjaannya.
"Dasar vampire! Mengikutiku saja kerjaannya!" Hyungseob merengut kesal.
"Apa kau? Dasar kelinci hutan!" sewot Woojin.
Dan lagi, Jihoon hanya bisa tertawa.
•°•°•°•°•
Waktu demi waktu berlalu, Jinyoung semakin serius dan mantap dengan pilihannya. Jinyoung pergi ke makam Ayahnya, meminta restu. Kemudian menangis di pangkuan Ibunya atas perihal yang sama.
"Ibu percaya apapun pilihanmu Jinyoung. Ibu turut bahagia kau memilih Jihoon untukmu." ucap Ibu diselingi tangis bahagia.
Di usia 25 tahun seperti Jinyoung, memang sudah matang untuk memikirkan soal masa depan. Terlebih lagi urusan jodoh dan pernikahan. Jinyoung semakin yakin bahwa ia tidak akan pernah salah memilih Jihoon, meski dalam waktu singkat yakni kurang lebih sati bulan, ia yakin Jihoon pasti mau menerimanya sebagai pendamping hidup. Jinyoung turut senang membayangkan bagaimana indahnya hari demi hari yang akan ia lewati dengan Jihoon yang selalu berada di sisinya.
"Aku tidak akan meninggalkan Ibu, kita akan hidup bersama, Bu. Dengan Jihoon, aku akan menjadi orang yang lebih sukses dan membahagikan kalian berdua, aku berjanji." ucap Jinyoung sembari mengangkat kepalanya menghadap sang Ibu. Kemudia mengecup punggung tangan Ibunya berkali-kali.
"Ayah, Ibu, aku menyayangi kalian berdua. Doakan aku."
Namun.. lirihan itu terasa seolah akan sirna.
•°•°•°•°•
"Bisa kau siapkan aku setangkai mawar putih?" tanya Jinyoung pada Jihoon yang sedang berada di sambungan telefonnya.
"Aku sebentar lagi sampai, aku akan turun di halte seberang tokomu."
"Iya aku lebih merindukanmu, Jihoon. Bersyukurlah karena ini hari minggu dan aku bisa menemuimu."
"Aku di lampu merah, sebentar lagi sampai."
"Siapkan saj- oh sudah kkk~ sampaikan terima kasih pada Hyungseob, hahaha."
Pip.
Jinyoung memutus sambungan telefon dan kemudian turun dari bus saat sudah sampai di halte seberang toko bunga Jihoon. Jinyoung berdiri di trotoar sembari memegang kotak beludru kecil berisikan cincin emas putih disertai berlian kecil sebagai hiasannya.
Hasil menabung dari pekerjaannya, untuk melamar Jihoon.
Jinyoung tersenyum dan menyimpan kembali kotak beludru itu ke saku celananya. Dilihatnya Jihoon keluar dari tokonya dan berdiri diseberang jalan.
Jinyoung dan Jihoon saling bertatap muka dari jarak berseberangan kemudian tanpa aba-aba keduanya turun ke pinggir jalan bergegas untuk menyeberang.
"Hei tunggu disana saja biar aku yang menyeberang!"
•°•°•°•°•
"Hyung bisa kah kau sabar hah?! Kenapa jadi tiba-tiba seperti ini! Sabar sebentar aku sedang dalam perjalanan!"
Guanlin sedang di tingkat emosi yang tertinggi bahkan sudah melewati puncak. Bagaimana tidak? Klien dari Australia secara mendadak memutuskan kontrak kerja sama, perdana menteri mereka kabur membawa uang korupsi, hasil penggelapan dana dari perusahaan Guanlin dan sekarang di kantor sedang terjadi kekacauan dan diadakan pertemuan dadakan.
"Hey hyung sekarang harusnya aku bermanja-manja dengan gulingku, ah bangsat!"
Guanlin memaki, ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan diluar batas dan bisa saja ia melanggar undang-undang karena mengemudi dengan sesuka hatinya. Bahkan ia menerobos lampu merah. Persetan dengan semuanya, ia harus mengurus kekacauan di kantor hari ini.
Untuk yang kesekian kalinya Guanlin membanting ponselnya ke jok belakang mobil namun tidak berakhir naas seperti ponsel yang sebelumnya. Ia muak mendengar omelan Daniel diseberang sana.
Lagi, lampu merah. Kali ini Guanlin tidak perduli kekacauan apa yang ia buat, meskipun cctv menangkap aksinya yang sedari tadi seperti balapan liar. Guanlin menerobos lagi lampu merah tersebut dan langsung menikung tajam tanpa melepaskan gas mobilnya. Sampai akhirnya Guanlin melihat ada yang tiba-tiba saja menyeberang dan-
TIIIIINNNNN
BRUKK!
"Sialan!"
Guanlin memutar kemudi mobilnya, membalikkan arah dari kejadian yang baru ia lalui. Dia sudah menabrak seseorang, dan ia melarikan diri tidak perduli. Ia menabrak orang itu sampai-sampai orang yang ia tabrak terlempar cukup jauh.
Sangat. Keras.
Dan Guanlin tidak perduli.
•°•°•°•°•
"Oh yatuhan lihat lukanya! Astaga telefonkan ambulans! Kasihan sekali anak muda ini!" ucap salah satu orang yang melewati tempat kejadian.
Siapapun yang melihatnya, pasti akan menangis.
"거 2033. Aku mengingatmu."
TBC
-----------------------------------------------------------------
3k yorubunnn ! Wkwkwkwk xD aduh gils ini mougi ngetik tangannya gacape apa ya😂 oiya btw di sini banyak moment winkdeep ya._. Hehe iyalah sesuai yang aku bilang, alurnya mungkin ada sedikit lambat, jadi mohon bersabar readersmin:)
Haaa btw ini mau curcol sedikit wkwk. Jadi gini, di ff ini kan kita bikin panwink have a daughter, nah jadi aku sama peachypinkeu itu bikin anaknya cewe kan, kita udah mikirin nih anaknya itu gimana, so tadi tiba tiba muncul seorang anak kecil yg mirip Guanlin:') gila seneng banget ini berasa mimpi yang terealisasikan! Baruu aja kmaren2 kita mikir ttng anak nya ituu sekarang udah muncul beneran anaknya:') hehehe sekian deh gitu aja😂
EH hayooo siapa itu yang ditabrak sama Guanlin?? Hayohayooo wkwkw nah kayanya chap depan guanlin bakalan always muncul deh~
Next? Vote comment juseyoo~
Saranghae bbuing!❤🙆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro