Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ; 14 ;ㅡ

Sudah sekitar hampir satu bulan berlalu semenjak Jihoon bertemu dengan Jinyoung dan Daehwi saat itu. Jihoon mulai menjalani kehidupannya seperti biasa, seperti sedia kala.

Jihoon mencoba menerima, Jinyoung bukanlah takdirnya, benar. Bukan karena Jinyoung tidak setia, Jinyoung mengira Guanlin benar-benar menerima Jihoon sebagai istrinya, mengingat Jinyoung pun selalu melihat deretan berita ataupun acara televisi yang membocorkan banyak foto kebersamaan antara Guanlin dan Jihoon di hadapan publik bahkan berita itu pun seringkali menjadi topik pembicaraan seisi kantor La-Ji di Kanada, maka dari itu, Jinyoung memilih untuk menyerah.

Awalnya Jinyoung sempat marah, saat tahu bahwa semua kedekatan yang dipamerkan di hadapan publik itu hanyalah bualan Guanlin semata, sungguh ia tidak menyangka bahwa selama ini Jihoon diperlakukan dengan tidak wajar oleh Guanlin. Ia sempat menyesal mempercayai semua drama dan kebohongan itu, tipu muslihat, namun apa hendak disesali? Semua sudah terjadi, semua sudah diketahui dengan terlambatnya.

Jinyoung akan memukul wajah tampan tuan muda itu, ia mengingatnya, hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk membalas semuanya.

Tetapi Jinyoung berjanji, akan menjaga Jihoon sebagai adiknya, bagaimanapun juga ia masih sangat menyayangi Jihoon, dan ia bersyukur bahwa Daehwi, lelaki manis yang kini menjadi tunangannya dan akan menikah dengannya dalam waktu dekat itu mau menerima semua keluh kesah masa lalunya bersama Jihoon, dan mau menyayangi Jihoon layaknya ia menyayangi Jihoon pula.

Bahkan Daehwi sangat sangat menyayangi Jihoon, menganggap lelaki itu sebagai kakaknya sendiri, karena Daehwi pun adalah anak tunggal, sebelumnya ia memiliki kakak namun sang kakak meninggal dunia bersama dengan sang Ayah dalam sebuah kecelakaan pesawat saat ingin mengunjunginya ke Kanada beberapa tahun silam, kini hanya tersisalah sang Ibu, sama seperti Jinyoung. Dan Ibu mereka pun kini berada di Kanada, mengurus berbagai keperluan pernikahan keduanya dalam waktu dekat.

Usia Daehwi 21 tahun, sama seperti Guanlin. Daehwi mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Kanada pada usia 18 tahun, dan ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam jangka waktu 3 tahun, Daehwi memang sosok yang sangat cerdas.

Pertemuannya dengan Jinyoung diawali saat keduanya bertemu dalam sebuah acara pesta pernikahan anak dari kerabat Ibu Daehwi yang ternyata adalah rekan kerja Jinyoung saat itu.

Jinyoung kini sudah berubah, sungguh, ia melepaskan diri dari semua hal yang dijaminkan Guanlin untuknya. Selang beberapa bulan, ia keluar dari La-Ji corporation, meninggalkan jabatan, harta, rumah mewah yang diberikan oleh Guanlin, dan kini ia beralih bekerja pada menteri keuangan di Kanada, Jinyoung benar-benar sosok pekerja yang tangguh dan cerdas, ia kini sudah menjadi sukses, membahagiakan sang Ibu, memberikan kehidupan yang layak bagi mereka.

Jihoon pun sudah sekitar sebulan ini kembali bekerja di toko bunganya, ia benar-benar merasa seperti sedia kala. Ia mencoba melupakan berbagai penderitaannya yang terjadi selama setahun silam, ia tidak butuh pasangan hidup setelah ini, sudah cukup dengan Guanlin lah pernikahannya untuk yang pertama dan terakhir, ia ingin hidup bahagia dengan hal-hal yang baru, mencoba melupakan masa lalu dengan menjalani berbagai kesibukan, dan toko bunga ini adalah sumber kebahagiaannya, ditemani Hyungseob, Woojin, dan dua pegawai baru bernama Park Soobin dan Im Dayoung, karena toko bunganya kini semakin ramai akan pengunjung dan orderan dari berbagai kalangan, maka dari itu Jihoon merekrut dua pegawai wanita.

•°•°•°•°•

Malam itu Jihoon sedang duduk terdiam di sofa ruang tamunya, ia baru saja usai mandi setelah tadi sehabis senja ia baru saja pulang dari tokonya, sembari meminum segelas teh hangat ditemani setoples kue kering yang dibawakan Daehwi kemarin ketika bermain kerumahnya. Ia jadi merindukan Daehwi, lelaki itu sudah kembali ke Kanada untuk menjenguk Ibunya dan Ibu Jinyoung yang sedang mengurusi pernikahan mereka yang tinggal dua minggu lagi. Sedangkan Jinyoung masih berada di Korea untuk menyelesaikan beberapa urusan.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu rumah Jihoon, Jihoon tertegun dalam posisinya, menimang-nimang siapa yang tengah bertamu, mungkinkah itu Jinyoung?

Jihoon merapikan piyama yang ia kenakan kemudian melangkah menuju pintu, membukakannya kemudian matanya membola ketika melihat siapa yang datang. Jihoon langsung membungkukkan tubuhnya dengan hormat kepada sepasang suami istri yang sedang berada di hadapannya.

Konglomerat Wu dan istrinya, Wu Zitao.

"Tuan dan nyonya besar, selamat malam, s-silahkan masuk." Jihoon terbata sembari menormalkan degup jantungnya, ia mempersilahkan kedua 'mantan' mertuanya itu untuk masuk. Ia merapikan meja di tengah-tengah lingkaran sofa itu lalu menutup pintu ketika keduanya sudah masuk ke dalam rumahnya. "Maaf, aku tidak tahu jika, um.. maksudku aku tidak menyiapkan apa-apa, aku tidak tahu Tuan dan Nyonya akan datang."

"Jihoon." panggil Yifan.

"Y-ya?"

"Bisa kita bicara?" kali ini Zitao yang bersuara.

"A-aku akan membuatkan minuman."

"Tidak usah, kami tidak akan lama." ucap Yifan.

Jihoon tersenyum kikuk lalu mempersilahkan sepasang suami istri itu duduk di sofa gandeng pada ruang tamunya, sedangkan Jihoon duduk bersebrangan dengan keduanya. Jihoon hanya menunduk sembari memilin ujung piyama yang ia kenakan, ia gugup dan takut, pasalnya semenjak sebulan setelah perceraiannya dengan Guanlin, baru ini orang tua Guanlin mendatanginya dan menyapanya, sebenarnya ada apa?

"Aku masih tidak menyangka kalian benar-benar berpisah." Yifan buka suara, Jihoon semakin menunduk dalam. "Tolong maafkan Guanlin, ia memang keterlaluan."

"T-tidak, tuan."

"Tetap panggil aku Ayah, Jihoon." Yifan tersenyum tipis kearah Jihoon meskipun lelaki itu menciut di posisinya.

"Jihoon.." panggil Zitao lembut. "Hey, lihat Ibu, sayang?"

Jihoon mengangkat wajahnya, menatap Zitao dan Yifan secara bergantian, matanya berkaca-kaca, tak sanggup menahan perihnya. Jihoon hendak buka suara, namun hatinya masih tak sanggup.

"Kami merasa sedih akibat perceraian itu, selama ini Ibu dan Ayah terjebak dalam permainan yang Guanlin buat, tidak hanya kau, sayang. Ibu meminta maaf atas kelakuan Guanlin, Ibu merasa menjadi sosok orang tua yang gagal karena tak pernah becus menjaga dan mendidik Guanlin." Zitao turut menahan air matanya, ia menyeka sudut matanya dengan pelan kemudian beralih untuk berpindah posisi dan duduk tepat disamping Jihoon, memusut pelan bahu mantan menantunya itu.

"Lupakan Guanlin, ia tak pantas untuk orang sebaik dirimu, Jihoon." Yifan emosional melihat tangis dari Jihoon, ia benar-benar menyukai Jihoon, ia senang mendapati Jihoon sebagai menantunya, Jihoon benar-benar lelaki yang suci, baik, hatinya seolah milik malaikat yang ditanamkan dalam dirinya, semua perlakuannya yang lembut dan sopan, Jihoon sangat sempurna untuk Guanlin, namun Yifan kecewa dan turut merasa sedih saat tahu apa yang Guanlin lakukan pada Jihoon yang sama sekali tak berdosa pada anak tirinya itu.

"A-aku yang harusnya meminta maaf pada Ayah dan Ibu.." bahu Jihoon bergetar, suaranya mendadak cekat, tangisnya sesenggukan, ia meremas kuat bagian bawah piyamanya, dan semakin menangis saat Zitao merangkul bahunya dan menciumi rambut lembutnya.

"Sayang, kau tidak ada salah apapun." Zitao membisikkan kalimat itu dengan pelan di telinga Jihoon, berusaha menenangkannya.

"Aku.. aku.. harusnya dari awal aku tidak seberani itu untuk menuntut Guanlin, memaksa Jinyoung untuk menanda tangani surat tuntutan hingga membuat Guanlin merasa malu dan nama baiknya tercemar akibat apa yang ia lakukan dulu. Aku.. seharusnya aku juga menjadi sosok istri yang baik selama bersamanya, aku tidak bisa membahagiakan Guanlin, dari awal aku benar-benar berpengaruh buruk untuk hidup Guanlin, aku.. aku.. aku selalu membuatnya marah, ia tidak pernah mau menerima kehadiranku, aku benalu dalam hidupnya. Ibu tidak salah, sungguh, aku paham karakter Guanlin, satu tahun cukup bagiku untuk mengenalnya, dan aku tidak menyesal pernah mengenal Guanlin dan.."

Jihoon menggantungkan kalimatnya, meloloskan isakannya, Zitao mengusap pelan pipi Jihoon, sedangkan Yifan terus memandangi kearah menantu satu-satunya itu, ah.. mantan menantunya.

Jihoon pun melanjutkan kalimatnya, setelah ia menghentikan isakannya.

"Dan.." Jihoon mengusap kasar air matanya, "Dan aku juga tidak pernah menyesal.." Jihoon mengigit bibirnya kuat, "Aku tidak pernah menyesal mencintainya sampai saat ini.."

•°•°•°•°•

"Jihoon.."

Guanlin meraba sisi kosong pada ranjangnya, kemudian sepasang matanya membelalak dan ia mendudukkan dirinya. Ia baru saja tersadar dari tidurnya, dan barusan ia memanggil Jihoon?

Guanlin meremas kuat rambutnya kemudian mengusapnya dengan kasar, ia menepis selimutnya dan melirik kearah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Ia harus bersiap-siap sekarang juga karena pukul sepuluh nanti pesawatnya akan segera take off menuju Prancis.

Guanlin membersihkan dirinya, mengguyur dirinya dibawah shower sembari memejamkan matanya. Ia menunduk dan menumpukan kedua tangannya pada sisi dinding, membiarkan guyuran air dari shower menghujani bagian tengkuknya.

Guanlin berfikir sejenak, entah kenapa belakangan ini ia seringkali memimpikan Jihoon, sosok lelaki mantan istrinya itu seringkali menghantui fikirannya dan seringkali hadir dalam mimpinya. Guanlin merasa ia mulai gila, ia tidak suka, tidak senang, tetapi terasa desiran aneh saat Jihoon hinggap di fikirannya.

Guanlin menghantam dinding, kemudian kembali menengadahkan wajahnya dan memejamkan matanya saat air dari shower menghujani wajah tampannya. Sampai akhirnya Guanlin memutuskan untuk berhenti memikirkan Jihoon dan menyudahi acara membersihkan dirinya dan segera keluar dari kamar mandi.

Guanlin memasuki ruang berpakaiannya sembari mengeringkan rambutnya, ia membuka lemarinya sembari terus mengeringkan rambutnya.

"Jihoon, kau tidak siapkan aku- sialan, bajingan, brengsek."

Guanlin kembali mengumpat kemudian menghempaskan kasar handuk yang semula berada pada genggamannya. Bagaimana bisa ia berbicara seolah-olah Jihoon masih berada di penthouse ini? Guanlin menghantam kuat cermin yang berada di ruang berpakaiannya itu hingga pecah, tangannya pun berdarah. Guanlin meraih sapu tangan pada lemarinya kemudian membalu luka pada tangannya.

Guanlin mencoba tidak perduli lagi, sungguh ia merasa sangat pusing belakangan ini. Semalam pun ia pergi ke club dan mabuk-mabukan sepuas hatinya disana, untung saja ada Daniel yang menemaninya, menuruti kemauan tuan muda yang tidak seharusnya pergi ke club karena keesokan harinya mereka harus pergi ke Prancis. Tapi, namanya Lai Guanlin bukan? Tak suka dibantah, dan seluruh keinginannya harus terwujud.

Guanlin sudah siap dengan pakaian formalnya, ia mengancingkan jasnya kemudian melangkah keluar dari kamar berpakaiannya.

Guanlin terkejut saat mendapati sosok wanita sedang duduk di sudut ranjangnya sembari melipat kedua tangannya di dada.

"Untuk apa kau kemari?" tanya Guanlin, matanya menatap sinis pada wanita itu.

"Ibu yakin kau tidak terbiasa tanpa Jihoon, Guanlin. Benar bukan?"

"Diam, kau bukan Ibuku."

Ya, wanita itu adalah Zitao. Ia baru saja tiba saat Guanlin masuk ke dalam kamar berpakaiannya, Zitao pun mendengar semua lirihan Guanlin yang berulang kali menyebutkan nama Jihoon sejak tadi.

"Guanlin, kau akan menyesal."

"Untuk apa kau kemari?"

"Kau akan sangat kehilangannya."

"Jika tidak ada yang penting pergilah."

"Semalam Ibu bertemu dengan Jihoon."

"Lalu apa masalahnya?"

"Jangan pernah meminta kembali dengan Jihoon, ini pesan Ayahmu."

"Kau jauh-jauh kemari hanya untuk menyampaikan itu? Cih, tidak ada gunanya. Untuk apa aku kembali dengannya?"

"Berhati-hatilah, nak. Semoga kau selamat sampai di Paris."

•°•°•°•°•

Jihoon sedang makan siang bersama di pantry yang berada di tokonya, Woojin dan Dayoung pergi membelikan makan siang sebelum akhirnya mereka berkumpul dan menyantap makan siang bersama. Kala itu mereka berlima sedang asyik bercanda gurau, sesekali saling menggoda Woojin dan Hyungseob yang tidak ada hentinya berkelahi dan berakhir Woojin yang menggoda Hyungseob.

Jihoon terkadang hanya memaksakan senyumnya saat melihat anak buahnya yang saling bercanda gurau. Ia masih muram, semenjak kedatangan mantan mertuanya sekitar dua minggu yang lalu, ia semakin banyak memikirkan tentang Guanlin, Guanlin, dan Guanlin. Terasa semakin sulit untuk melupakan Guanlin, sekuat apapun tekadnya.

Kling.

Saat tiba-tiba bel pintu toko berbunyi, kemudian Soobin dan Hyungseob yang kebetulan sudah selesai dengan makan siangnya langsung undur diri dari pantry dan melangkah keluar menuju meja kasir dan menyambut pelanggan yang datang.

Terlihat seorang lelaki bertubuh tinggi berbalutkan jas formal berwarna abu-abu, rambut hitamnya yang tertata rapi, dan wajahnya yang begitu tampan dan tenang, terlihat seperti seorang malaikat.

"Selamat datang." ucap Hyungseob dengan sopan sembari membungkukkan tubuhnya diikuti Soobin yang melakukan hal yang sama disampingnya.

"Boleh aku tanya?" tanya lelaki itu pada Hyungseob dan Soobin yang membelenggu dibalik meja kasir.

"Ya, tuan, ada yang bisa kami bantu?" tanya Soobin.

"Aku perlu karyawan dari toko ini untuk mengorganisir dan menjadi koordinator untuk mendekorasi ballroom untuk acara di kantorku, apa bisa?"

"Ah, bisa tuan." Hyungseob menjawab.

"Dimana atasan kalian?" tanyanya lagi.

"Sedang makan siang, tuan, apa perlu bicara dengannya langsung?"

"Kalau bisa."

Jihoon kemudian muncul dibalik pintu pantry lalu membungkukkan tubuhnya pada lelaki yang sepertinya sedang mencarinya.

"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" tanya Jihoon kemudian.

Lelaki itu terdiam dan sedikit menatap tak percaya kearah Jihoon, namun ia berusaha menormalkan raut wajahnya kembali menjadi lebih tenang dan tersenyum.

"Bisa kita bicara?"

"Silahkan kemari, tuan."

Jihoon pun menuntun lelaki itu untuk duduk bersamanya di meja bundar sudut ruangan tokonya, keduanya saling duduk berhadapan, dan Woojin pun duduk tepat di samping Jihoon setelahnya.

"Jadi ada perlu apa tuan?" tanya Jihoon.

"Ini adalah daftar bunga-bunga yang diperlukan sebagai hiasan dekorasi ruangan dan hiasan meja jamuan. Kuharap toko ini memiliki semuanya, sejauh ini hanya tokomu yang kukenal sebagai toko bunga terbesar dan terlengkap di Seoul."

"Terima kasih sudah mempercayai kami, tuan." Jihoon meraih uluran kertas yang diberikan lelaki itu dan melihat daftarnya lalu mengangguk pelan, setelahnya ia memberikan daftar itu pada Woojin. "Berikan pada Dayoung." perintah Jihoon, dan Woojin pun menurut.

"Ini untuk acara ulang tahun kantor, aku harap kau bisa dengan baik bekerja sama dengan tim dekorasi ruangan. Selama seminggu kedepan setiap pukul 10 pagi sampai makan siang bersama kalian akan bekerja untuk melakukan persiapan, sanggupkah?" tanya lelaki itu dengan hati-hati, takut-takut jika Jihoon tidak bisa menyanggupinya. Bagaimanapun juga ini adalah pesta besar, maka persiapannya memakan waktu lama.

"Tentu saja kami sanggup tuan, aku dan dua anak buahku akan membantu, kapan kami akan mulai?"

"Mulai besok."

"Kalau begitu boleh kuminta alamat kantornya, tuan?"

"Kau pasti tahu."

"Maaf?"

























"La-Ji Corporation."

•°•°•°•°•

Jihoon melepas jaketnya dan menggantungkannya dibalik pintu kamarnya. Ia melangkah menuju ranjang minimalisnya dan merebahkan diri disana. Ia menatap langit-langit kamarnya lalu memejamkan mata, perlahan air mata mengalir pelan dari sudut matanya, Jihoon mengusap air matanya kasar kemudian mendudukkan dirinya dengan pelan pada sisi ranjang, meraih laci nakasnya dan mengambil sesuatu dari sana.

Hadiah terindah yang pernah diberikan Guanlin untuknya.

Jihoon kembali meloloskan air matanya, ia menangis dalam diam sembari memandangi benda itu pada genggamannya.

"A-apa yang harus kugunakan, Guanlin?" tanya Jihoon disela tangisnya. Ia menangkup wajahnya menggunakan kedua tangannya dan menangis meraung dibalik sana.

Tangis Jihoon terhenti saat ia mendengar bel pada pintu rumahnya. Jihoon menghapus air matanya dengan kasar dan memperbaiki raut wajahnya kemudian melangkah menuju pintu depan.

Jihoon membuka pintu rumahnya dan mendapati Jinyoung sedang berdiri di hadapannya sembari tersenyum lebar kearah Jihoon, mengangkat sebuah kantongan berisikan makanan.

"Makan malammu."

Jihoon tertawa renyah lalu menuntun Jinyoung untuk masuk kerumahnya, mereka berjalan menuju dapur dan Jinyoung meletakkan kantongannya diatas meja makan.

Jinyoung duduk bersampingan dengan Jihoon, ia membawakan Jihoon ramen dari kedai langganan mereka 'sewaktu dulu'. Ia hanya membelikan untuk Jihoon, dan ia pun juga membelikan porsi berukuran besar, karena Jihoon sangat menyukai ramen itu. Jinyoung memutar duduknya mengarah pada Jihoon yang sedang lahap memakan ramennya, terus memandangi Jihoon bagaimana lelaki manis itu makan dengan lahapnya hingga pipinya menggembung dan ada cipratan kuah ramen yang terpajang pada sudut bibirnya.

"Makan pelan-pelan, kau sangat lapar hm?" tanya Jinyoung sembari mengusap sudut bibir Jihoon.

"Aku lama sekali tidak memakan ramen paman Choi, rasanya masih sangat enak seperti dulu." Jihoon berujar di sela-sela makannya.

Jinyoung tersenyum senang melihat Jihoon, ia beranjak dari kursinya untuk mengambilkan air minum dan memberikannya pada Jihoon lalu kembali duduk dengan posisinya semula.

Jihoon menyambut uluran air minum yang diberikan oleh Jinyoung lalu menenggaknya, kembali melanjutkan makan ramennya hingga benar-benar habis. Jihoon melirik kantongan kecil lainnya yang belum dibuka oleh Jinyoung, lalu menatap kearah Jinyoung dengan matanya yang membola dan melirik kearah kantongan kecil itu, bibirnya terkatup dan pipinya menggembung karena ia baru saja menenggak air minum.

Seolah mengerti, Jinyoung meraih kantongan kecil itu lalu mengeluarkan isinya.

Glek.

"SUSU PISANG! KEMARIKAN~" Jihoon berteriak histeris kemudian menggerakkan tangannya untuk meraih sekotak susu pisang yang berada pada genggaman Jinyoung dan lelaki itu mengangkat tangannya setinggi mungkin.

"Perutmu tidak kembung?" tanya Jinyoung.

"Aku harus punya cuci mulut." Jihoon merengut dan memajukan bibir bawahnya, membuat aksi merajuk agar Jinyoung mau memberikan susu favoritnya itu.

"Setahun hidup dengan kemewahan membuatmu harus memiliki tiga sajian ya?" tanya Jinyoung sembari menggerakkan tangannya untuk meraih sedotan dan menusukkannya pada sekotak susu pisang di genggamannya dan memberikannya pada Jihoon.

"Tidak." Jihoon mendadak murung, tapi ia tetap menyambut susu pisang yang diberikan oleh Jinyoung untuknya.

Jinyoung tahu sepertinya ia sudah salah bicara, ia tanpa sengaja kembali mengungkit soal Guanlin di hadapan Jihoon, padahal ia tahu bahwa Jihoon sangat sensitif dengan hal yang berbau Guanlin. Jihoon ingin melepaskan diri, benar-benar ingin berpisah dengan orang itu.

"Maaf." ucap Jinyoung.

"Jinyoung.."

"Ya?"

"Aku ingin jauh dari Guanlin." Jihoon memandang lurus kearah dada Jinyoung, melamun, ia memangku kotak susunya dan memainkan jemarinya pada sedotan.

"Aku tahu."

"Tapi kau tidak tahu."

"Maksudmu?"

"Aku harus mendekor ruangan untuk pesta ulang tahun kantor.. kantor.."

"Kantor?"

"La-Ji."

Jinyoung paham, sangat paham, Jihoon pasti sedang merasa sangat takut saat ini.

Disaat ia ingin melepaskan diri dari sesuatu, sedangkan sesuatu itu kembali menariknya perlahan tanpa bisa ia hindari.

"Ini mengenai pekerjaan, aku tidak bisa menolak." ucap Jihoon. "T-tapi, kau tahu ketakutan terbesarku?"

Jinyoung masih terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Jihoon.

"Bagaimana jika seisi kantor melihatku? Mantan istri presdir mereka? Datang, menjadi seorang dekorator untuk acara pesta, dengan tidak tahu malunya menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Guanlin.. aku-"

"Jihoon.."

Jihoon meneteskan air matanya.

"Cukup datang, kerjakan pekerjaanmu, tutup telingamu, jangan dengarkan apapun, kau tidak perlu merasa takut ataupun malu. Kau datang untuk bekerja bukan? Abaikan apapun kata orang nantinya, setelah kau selesai dengan kerjaanmu, pulanglah, hanya seperti itu. Jihoon, aku tahu kau kuat." Jinyoung menggerakkan jemarinya untuk mengusap pipi Jihoon dan menyeka air matanya. Jihoon meraih tangan Jinyoung dan menggenggamnya sembari menggumamkan kata terima kasih.

"Jadi apa Daehwi sudah tiba di Vancouver?" tanya Jihoon.

"Ya, siang tadi. Kau rindu dia? Ia tak bisa jauh darimu pula."

"Hm.. kuharap aku bisa kesana. Aku juga ingin bertemu Ibu."

"Kau sudah memikirkannya?"

"Hm?"

"Pembicaraan kita waktu itu."

"Ya."

"Jadi kau setuju?"

Jihoon mengangguk.

"Aku tahu kau pasti memilih jalan terbaik Jihoon, tidak akan lama, percayalah."

"Aku percaya, Jinyoung, aku tahu akan lebih baik seperti itu."

•°•°•°•°•

Pagi yang cerah untuk menyapa ibu kota tercinta Seoul.

Guanlin menuntun langkahnya menuruni anak tangga dari pesawat pribadinya, sampai akhirnya ia kembali menapak di Korea dan melepas kaca hitamnya. Beberapa bodyguard memayungi dan mengiringi langkah sang tuan hingga sampai di mobil dan jangan lupakan Daniel yang setia berada di sisinya.

Guanlin baru saja kembali dari Prancis setelah dua minggu berada disana untuk mengurus beberapa saham perusahaan, kini ia sudah kembali menapaki Korea. Ia melepas jas merah hatinya dan memberikannya pada pelayan yang turut mengiringi kedatangannya, melepas satu kancing teratas kemeja hitamnya lalu masuk kedalam mobil dan menyilangkan kaki panjangnya yang dibalut celana kerja berwarna hitam senada dengan kemejanya.

Daniel pun beralih pada kursi kemudi dan bersiap menjalankan mobilnya.

"Kau langsung kembali ke penthouse?" tanya Daniel sembari melirik spion dan memandang Guanlin yang berada di kursi belakang, sedang memainkan ponselnya.

"Ke kantor saja."

"Jasmu sudah kau tanggalkan, bodoh."

"Ada jas di ruangan kerjaku."

"Ya sudah kalau begitu."

"Kudengar tiga hari lagi acara ulang tahun kantor, bagaimana?"

"Keperluan acara sudah diurus bagian marketing."

Kini Guanlin beralih melirik tatapan Daniel pada kaca spion, Daniel yang merasa di pandangi pun balas menatap Guanlin seolah melemparkan tanya 'Apa?' pada tuannya itu.

"Persiapannya sudah?"

"Sudah tuan muda."

"Aku ingin dekorasi terbaik."

"Kau bisa marahi koordinator acara jika tidak puas dengan hasilnya."

"Kebetulan aku sedang ingin marah-marah, semoga mereka tidak bekerja dengan baik."

"Dasar setan."

"Kau kupecat."

"Tidak akan."

"Ya, benar sekali. Teruslah menyetir, aku tidak ingin mati, aku belum menikah."

"Mantan istrimu Park Jihoon kau anggap apa?"

"Siapa dia?"

"Omong kosong, kau bahkan masih menyimpan fotonya yang sedang memakan cheesecake di ponselmu."

"Aku akan membakar ponselku nanti, diamlah."

Daniel hanya menggeleng pelan dan tertawa renyah setelah melihat tuannya salah tingkah, Guanlin langsung bersedekap dada dan memandang keluar jendela mobil dengan wajah yang datar dan ketus.

"Guanlin."

"Apa lagi?"

"Kudengar mereka meminta Park De Fleur untuk dekorasi bunga-bunga."

Guanlin membolakan matanya lalu menegakkan duduknya, memosisikan dirinya untuk duduk di tengah-tengah agar bisa memandang kearah Daniel.

"Kau tidak bercanda?" tanya Guanlin.

"Tidak."

"Batalkan."

"Guanlin.."

"KUBILANG BATALKAN!"

"Guanlin mereka sudah bekerja selama empat hari ini, tiga hari lagi pesta akan dimulai, lagipula tidak ada toko bunga yang lebih dari milik Jihoon!"

"Kita bisa memesan dari luar negeri! Dekorator pun bisa kita cari di banyak tempat!"

"Kau ini kenapa?"

"Sudahlah terserah! Cepat bawa aku ke kantor!"

"Sabar brengsek, kau tidak lihat jalanan macet?"

"Tidak aku buta."

"Ya diam saja."

"Lalu apa yang akan kau lakukan sampai ke kantor? Kau tidak akan mengusir Jihoon dan memberhentikannya menjadi dekorator kan?"

"Aku akan menendangnya keluar dari kantorku, kau puas?"

Daniel menghela nafas kasar dan menggelengkan kepalanya pelan, ia berharap kalimat Guanlin barusan hanyalah guyonan semata karena tuannya itu sedang terlihat kesal.

Daniel terus menjalankan kemudinya hingga kini mereka sudah tiba di pekarangan parkiran kantor. Guanlin lansung turun dari mobilnya dan melangkah menaiki beberapa anak tangga dan mulai masuk ke lobi kantor, tak lama kemudian Daniel menyusul mengikuti arah langkah Guanlin.

Guanlin masuk ke dalam lift diikuti Daniel, menekan nomor lantai yang dituju yakni lantai dimana ballroom berada, dan Daniel memandang heran kearah Guanlin. Wajahnya terlihat datar dan kejam, siap memangsa siapa saja yang menyenggolnya, hatinya sedang tidak dalam keadaan yang baik sekarang.

Ah.. sebuah pertanyaan..

Apa Guanlin punya hati?

"Kau tidak benar-benar akan menendangnya keluar kan?" tanya Daniel.

"Tidak, aku hanya ingin melihat persiapan sudah sejauh mana." Guanlin berujar tenang, tetapi raut wajahnya mengatakan sebaliknya.

Lift pun terbuka, Guanlin melangkahkan kaki panjangnya menuju pintu ballroom yang terbuka kemudian ia membelalakkan matanya saat melihat apa yang ada di hadapannya.

"PARK JIHOON?!"

•°•°•°•°•

Jihoon sudah empat hari ini melakukan pekerjaannya mendekorasi ruangan, sungguh ballroom seluas ini benar-benar memakan nyaris separuh dari persediaan bunga-bunga yang berada di tokonya. Bahkan ia sudah mulai panik saat beberapa semprotan pengawet bunga hidupnya nyaris habis. Dayoung dan Woojin yang menjadi rekannya dalam membantu pekerjaan ini pun seringkali dibuat kerepotan untuk pergi kesana dan kemari, bahkan bolak balik dari toko menuju kantor lalu ke toko lalu ke kantor lagi.

Awalnya Jihoon risih saat menapakkan kakinya di La-Ji Corporation, mengingat ia 'pernah' menjadi istri dari presdir perusahaan ini, maka ia tak lepas dari buah bibir seisi kantor. Namun Jihoon mencoba mengabaikannya, ia ingat bahwa ini pekerjaannya, ia terus mengingat apa yang diucapkan oleh Jinyoung malam itu.

Jihoon benar-benar sibuk berkoordinasi dengan tim koordinator acara lainnya, kini ia sedang sibuk mondar mandir mengelilingi ballroom sembari mengecek persiapan dan kebutuhan dekorasi. Waktu hanya tersisa tiga hari, bahkan dalam dua hari semua ini harus benar-benar sempurna, karena keesokan harinya tepatnya pada malam hari pesta akan dilaksanakan.

Jihoon menyeka keringat yang menetes di pelipisnya, bahkan menetes hingga memasuki matanya dan mendadak terasa perih. Jihoon berhenti di posisinya dan mengusak pelan matanya, terdiam di posisinya sampai tanpa sadar seseorang yang sedang berada diatas tangga melakukan kesalahan saat memasangkan lampu hias gantung berbentuk bunga yang berukuran cukup besar.

Hingga lampu gantung itu lolos dari tempatnya.

"PARK JIHOON?!"

Hanya itu yang terakhir Jihoon dengar sebelum ia merasakan tubuhnya dipeluk dengan erat hingga ia tersungkur ke lantai dengan sosok seseorang yang berada diatasnya jatuh menindihnya. Jihoon memejamkan matanya dengan kuat dan terkejut saat lampu hias itu terjatuh dan menimpa kuat bahu lebar yang sedang merengkuh tubuhnya. Jihoon membelalakkan matanya dan meremat kuat kemeja bagian dada seseorang yang sedang melindunginya saat ini.

"Astaga!"















TBC

-----------------------------------------------------------------

A/N : maaf telat publish ya kawan, aduh maaf banget kalo chap ini ga ngefeel. intinya di chapter ini banyak hint, dibocorinnya ntar deh barengan tunggu udah saatnya, sekian ;-; dan makasih buat kalian yang masih setia nungguin fanfict ini update, lafya❤

Bahan bakar mulai keisi nih ╮(╯▽╰)╭

Next? Votement juseyo🙆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro