ㅡ; 12 ;ㅡ
“Buka saja.”
Jihoon memandang gusar kearah benda yang kini berada di genggamannya, ia menggerakkan tangannya untuk meraih sesuatu yang telah diberikan Guanlin untuknya, mengeluarkannya dari sarangnya lalu nafasnya tercekat melihat sesuatu yang kini berada di genggamannya.
“G-Guanlin.. i-ini.. kau.. kau tidak bersungguh-sungguh memberikanku ini kan?” Jihoon terbata, pikirannya mulai kalut dan rasanya ia tak bisa bernafas.
“Aku bersungguh-sungguh, sayangku. Kau suka? Ini hadiah pernikahan dariku.”
Jihoon mencelos, ia sedikit membuka bibirnya, berharap bisa membantu pernafasannya, pelupuk matanya mulai tergenang air. Jihoon sungguh tak kuasa, dihadapannya Guanlin tersenyum yang entah senyum apa yang ia berikan, sedangkan Jihoon sudah tak sanggup lagi, ia menundukkan wajahnya dan menjatuhkan air matanya pada benda yang berada di genggamannya.
Selembar surat perceraian.
“Guanlin ini tidak lucu..” Jihoon berujar di sela-sela isak tangisnya, hatinya menciut, ini sangatlah sakit, Jihoon kehabisan kata-kata. Benarkah ia dan Guanlin akan berpisah secepat ini?
“Dengar aku wahai Park Jihoon yang bodoh.” Guanlin melunturkan senyumnya lalu berdiri dari posisinya dan bersedekap dada, memalingkan sedikit wajahnya lalu kembali memandang kearah Jihoon dan mendecih. “Apa kau butuh penjelasan? Aku sedang berbaik hati malam ini.” sambungnya.
Jihoon hanya terdiam, ia terus meloloskan air matanya yang bak air terjun, nafasnya sesenggukan, ia meremas kuat surat cerai yang berada di genggamannya. Surat itu sudah ditanda tangani oleh Guanlin sendiri, ia tahu, siapapun akan menuruti keinginan Lai Guanlin, maka dengan mudahnya surat perceraian itu meluncur dari tangan yang berwenang.
“Baiklah sayangku, sepertinya kau memang membutuhkan penjelasan.” Guanlin terkekeh ringan kemudian memandangi Jihoon yang masih tersedu tanpa ada sedikitpun rasa kasihan, “Kau ingat sayang, ketika kau bertingkah dan melakukan drama seperti orang gila? Cih, drama murahan.” Guanlin tertawa sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya, “Kau bilang akan membuatku bertekuk lutut padamu, sudahkah kau percaya bahwa aku telah bertekuk lutut padamu? Bagaimana? Dramamu, kubalas dengan dramaku, manis.”
“Guanlin..”
“Tahukah sayang, bahwa sosok Lai Guanlin yang terhormat ini tidak suka jika harga dirinya di injak-injak? Bahkan oleh orang tuaku sendiri! Keparat kau!”
Guanlin meraih rambut belakang Jihoon, menjambaknya kemudian menghadapkan wajah yang tengah menangis itu menatap wajah Guanlin yang sedang dibalut raut emosi layaknya seorang iblis.
“Guanlin, aku tidak mengerti.. sungguh..” lirih Jihoon, ia memejamkan matanya, tak mau menatap Guanlin, bibirnya ia gigit menahan tangis.
“Dengar aku, tidak ada satu orangpun yang berhak melayangkan pukulan padaku, sekalipun ia adalah orang tuaku sendiri. Dan sialan, berkatmu wajah tampanku dirusak! Harga diriku terinjak! Kau puas? Apa kau melakukan drama murahan untuk membalaskan dendammu? Kau tahu berapa kali Ayahku memukulku, bahkan Daniel hyung! Dan kau pula adalah alasan dibalik kebencian Ayah yang semakin bertambah padaku!”
“GUANLIN AKU TIDAK SEPERTI ITU!”
“DIAM KAU BRENGSEK!”
PLAK!
“Tamparan terakhir sayang, kau bebas.” Guanlin menegakkan tubuhnya dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, “Ah.. sepertinya kau terjebak dalam permainanmu sendiri Park Jihoon, ahahah, lucu.” Guanlin bersuara rendah dan tersenyum remeh memandang Jihoon.
Guanlin tersenyum sinis kemudian mengubah senyumnya menjadi sangat lebar melihat sosok lelaki yang berada beberapa langkah darinya. Guanlin sedikit melirik kearah Jihoon, lalu melangkah dan melewati lelaki yang sedari tadi berdiri memandangi keduanya, Guanlin berlalu sembari meraih kunci mobil yang berada di genggaman lelaki itu.
“Aku selesai, bawa dia.” Guanlin berbisik singkat lalu memutar kunci mobil pada jemarinya, berjalan santai meninggalkan restoran itu.
Lelaki itu menggaruk pelan pangkal hidungnya lalu menghembuskan nafas kasar. Mendekati Jihoon yang masih terdiam di posisinya.
“Jihoon..” panggilnya.
Jihoon masih menangis, tanpa suara, nafasnya benar-benar tercekat, bahunya bergetar hebat. Hatinya benar-benar terluka, tersayat dengan belati tajam tak kasat mata. Ia berharap ini hanyalah mimpi, mengabaikan sosok lelaki yang sangat dikenalnya kini berada di hadapannya, berlutut dan mengusap air matanya.
“D-Daniel hyung.. s-sakit..” Jihoon semakin menumpahkan tangisnya kala lelaki itu yang ternyata adalah Daniel, memeluknya dan memberikan bahunya untuk Jihoon.
“Menangislah.” ucap Daniel pelan, mengusap belakang kepala Jihoon dan memusut pelan punggungnya.
Jihoon menangis meraung-raung, kemeja Daniel pun sudah basah karena air matanya, ia meremas kuat kemeja bagian punggung Daniel. Sepuasnya Jihoon menumpahkan tangisnya pada Daniel.
Mengingat betapa bahagianya ia dengan Guanlin beberapa bulan belakangan ini, meskipun dalam hitungan waktu yang singkat. Ia sungguh sudah sepenuhnya percaya pada Guanlin, memantapkan hatinya untuk seluruhnya mencintai Guanlin, namun apa? Sosok Guanlin memang tidak akan pernah berubah, ia selamanya tetaplah Guanlin yang angkuh, kejam, sadis, dan tidak berperasaan. Jihoon merasa jatuh cinta pada orang yang salah. Pernikahannya dipermainkan, sungguh, Jihoon sudah tidak tahu lagi jalan fikir Guanlin. Jihoon sangat kecewa, hatinya benar-benar sakit.
“Jihoon? Kita pulang.” Daniel menjauhkan Jihoon dari dirinya, mengangkat wajah memerah dan sembab itu lalu menatap kedua manik Jihoon yang gelap dan kosong. “Kau tidak baik-baik saja, kemari, aku menggendongmu.”
Jihoon diam tak bersuara, tangisnya mulai mereda meski suara sesenggukan itu beriringan keluar dari kerongkongannya, ia tak sanggup untuk sekedar mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menggeleng kemudian meraih berkas surat perceraian yang terjatuh di lantai tepat di sisi kakinya. Jihoon berdiri, kakinya terasa lemas dan mati rasa, bahkan Daniel pun merangkul bahunya dan menuntunnya untuk berjalan. Pandangan matanya kosong, ia hanya berjalan mengikuti arah yang dituntun oleh Daniel sampai akhirnya keduanya tiba di mobil Guanlin.
“Kenapa kita naik ini? Apa Guanlin di dalam?” Jihoon berujar parau, lemah, dan nyaris berbisik. Daniel tak kuasa melihatnya, Daniel hanya menggeleng pelan lalu membukakan pintu penumpang untuk Jihoon.
“Aku menyetir, Guanlin pergi membawa mobilku. Barang belanjaanmu di mobil ini bukan? Masuklah, kita pulang.”
Jihoon hanya menurut, ia sungguh tak bisa berfikir apa-apa. Ia duduk di kursi penumpang lalu memandang kosong kearah luar jendela mobil setelah Daniel menutupkan pintunya lalu beralih ke balik kursi kemudi.
Sepanjang jalan Jihoon terus diam, bahkan ia menangis dalam diam. Daniel melirik kearah Jihoon sembari tetap fokus menyetir, dilihatnya Jihoon berkali-kali menunduk atau mengusap kasar air mata yang membasahi pipinya, terus memandang kosong kearah jalanan, melihati kelap kelip lampu kota yang sekiranya bisa mengalihkan rasa sedihnya namun.. rasa sakit itu terlalu menusuk bagi Jihoon, Daniel sangat mengerti.
•°•°•°•°•
Daniel memarkirkan mobil pada basement, Jihoon sempat mengalihkan pandangannya pada Daniel seolah bertanya ‘Untuk apa kita kesini?’, namun Daniel hanya tersenyum simpul sembari bangkit dari posisinya dan membukakan pintu mobil untuk Jihoon. Menuntun lelaki yang lebih mungil darinya untuk berjalan menuju lift, dan mereka akan ke penthouse Guanlin.
“Dia tidak ada.” Daniel seolah membaca raut wajah Jihoon, melihat lelaki itu mulai pucat dan pupil matanya bergerak gusar, ia takut akan bertemu dengan Guanlin. “Mala mini ia tidak kembali ke penthouse, besok pagi ia baru akan kemari. Malam ini kau tidur, lalu besok pagi sebelum Guanlin pulang aku akan mengantarkanmu.” Daniel menggerakkan tangannya untuk mengusap pelan punggung Jihoon.
“Dia kemana?” tanya Jihoon pelan, masih menunduk dan menatapi ujung sepatunya.
“Untuk apa kau mencarinya? Ia bahkan sudah membuangmu.” Daniel tidak tahan, ia tidak sempat untuk sekedar menyaring kalimatnya, ia sudah sangat selesai dengan semua sifat Guanlin.
“Ya, aku dibuang.” Jihoon kembali meloloskan air matanya, ia mengusap air matanya kasar saat pintu lift terbuka dan menampilkan pemandangan penthouse yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.
“Pergilah mandi.” Daniel menarik pelan pergelangan Jihoon untuk menuntunnya kedalam penthouse. “Tidurlah di kamar, aku akan menemanimu disini sampai besok, jika butuh aku, aku akan ada di sofa.” sambungnya.
Jihoon mengangguk, ia melihat kearah beberapa pelayan yang sedang memegangi pakaian ganti untuknya seusai membersihkan diri, tidak biasanya, namun Jihoon tersadar ketika melihat di sisi sofa ada pelayan yang memegangi dua buah koper berukuran sedang dan besar. Ya.. Jihoon yakin itu adalah pakaiannya. Jihoon meraih pakaian yang sudah disiapkan dan tersenyum pada beberapa pelayan yang seringkali menemani hari-harinya, pelayan itupun menatap sedih kearahnya terlebih lagi pelayan Jung, ia sangat menyayangi Jihoon.
“Tuan Jihoon, setelah mandi silahkan ke pantry, saya akan membuatkan minuman hangat.” ucap pelayan Kim, wanita paruh baya yang sudah menganggap Jihoon seperti anak sendiri, suaranya bergetar, ia menahan tangisnya.
“Terima kasih.” hanya itu yang bisa diucapkan oleh Jihoon.
Daniel mendudukkan dirinya di sofa dan mengutak atik ponselnya setelah Jihoon berlalu menuju ‘kamar Guanlin’, ia mendial nomor ponsel Guanlin, tidak lama kemudian suara sang tuan muda menyambut dari seberang panggilan.
•°•°•°•°•
“Aku menceraikan Jihoon.”
“Bajingan.”
“Astaga Tuhanku, Guanlin!”
“Aku siap Ayah pukuli lagi.”
“Aku akan mengirimmu ke neraka, nak.”
Mansion keluarga Wu gempar, pasalnya beberapa menit yang lalu sang tuan muda Lai Guanlin mendatangi kedua orang tuanya tanpa izin. Setelah ia menghadap Yifan dan Zitao, kalimat laknat itu keluar dari mulutnya. Membuat Yifan dan Zitao bersamaan bangkit dari duduk santai mereka.
“Kau, astaga Tuhan anak keparat! Apa maksudmu? Jalan fikiranmu– Tuhan.” Yifan sudah tidak tahu ingin mengucapkan kalimat apa yang pantas untuk iblis dihadapannya ini, mencoba mengontrol emosinya yang sudah meledak-ledak di ubun-ubun.
“Guanlin, apapun penjelasanmu, jika itu masih berkaitan dengan balas dendammu, Ibu sudah tidak tahu lagi.” Zitao pun kalut akan emosi, bahkan ia tak bisa untuk sekedar meredakan emosi suaminya.
“Aku baru tahu kau itu Ibuku.”
BUAGH!
Guanlin tersungkur di lantai akibat hantaman yang berhasil melukai sudut bibirnya, rahangnya terasa sakit dan sulit digerakkan, Yifan benar-benar berniat untuk membunuh anak tirinya ini.
“Yifan, sudah!”
“ANAK INI TIDAK BISA MENGHARGAI PERKATAAN ORANG TUA, WU ZITAO! AKU MENYIKSANYA PUN IA TIDAK JERA, LEBIH BAIK AKU BUNUH SAJA ANAK IBLIS INI!”
Zitao menggeleng lalu menangis sembari menatapi Yifan yang benar-benar dikabuti oleh emosi, ia meremas lengan suaminya dan menatapi Guanlin yang sedang bangkit dari tersungkurnya.
“Terserah, aku tidak butuh Ayah dan kau wanita sialan. Lagipula aku sudah membahagiakannya sampai hari ini, sudah cukup kan balas budiku padanya? Aku sudah menjadi sosok suami yang baik sampai saat ini, dan aku sudah berpisah dengan Jihoon, selesai.” Guanlin berujar santai, sesekali menekan-nekan sudut bibirnya dengan punggung tangannya.
“Kau mempermainkan Tuhanmu, anak bajingan.” Yifan menggeram sembari melontarkan kalimatnya. “Setelah ini sapalah malaikat pencabut nyawa yang akan mengantarkanmu ke pintu neraka.”
“Baiklah Ayah, akan kuingat. Sampai jumpa.” Guanlin berlalu dan memunggungi kedua orang tuanya sembari melangkah menjauh, melambaikan punggung tangannya pada Yifan dan Zitao.
“Keparat.”
•°•°•°•°•
Jihoon menutup pelan pintu kamar Guanlin, lalu ia mengunci pintu kamar itu. Menyandarkan punggungnya pada balik pintu dan memandang ke sekeliling kamar yang mewah dan pernah ia tempati bersama Guanlin.
Memorinya berputar.
Jihoon memandang kearah ranjang Guanlin, ia mengingat saat ia duduk di tepi ranjang itu untuk pertama kalinya. Saat Guanlin menjambak rambutnya dan menginjak tangannya, air mata Jihoon menetes lagi, lalu ia membayangkan bagaimana saat itu ia terbangun dari tidurnya, dengan Guanlin yang memeluknya erat, mengusap kepalanya dan memberikan kecupan lembut bertubi-tubi pada dahinya, memberikan kecupan pagi pada belah bibirnya, mengingat bagaimana keduanya merayakan ulang tahun Guanlin dengan kue pink berhiaskan irisan strawberry diatasnya.
Tangis Jihoon pun meraung, ia meremat kuat pakaian yang berada di dalam dekapannya, kakinya melangkah gontai, mendekatkan dirinya pada ranjang itu, duduk di sisinya, lalu mengusap pelan ranjang berwarna putih itu. Tangannya bergetar, tangisnya tumpah membasahi pipinya, mengingat apa yang pernah ia lakukan dengan Guanlin malam itu, memberikan dirinya seutuhnya hanya pada Guanlin, saat dimana mereka berbagi cinta dalam lenguhan nama pasangan masing-masing, saling mendekap, memberi ciuman lembut, Jihoon sungguh tak kuat hati membayangkannya.
Saat dimana ia meringkuk seorang diri diatas ranjang ini, malam itu listrik pada penthouse sedang padam dan Jihoon berada seorang diri di kamar, Jihoon phobia kegelapan, dan malam itu Guanlin masih belum pulang, Jihoon menangis dan bergetar hebat, selang beberapa waktu Guanlin pun datang, langsung mendekati Jihoon dan memeluk istrinya dengan erat, membisikkan berbagai kalimat penenang. Dan terus memeluk Jihoon hingga listrik kembali hidup, mengecupi bibir Jihoon dan seluruh permukaan wajahnya sembari mengucapkan kalimat ‘Jangan takut sayangku, aku disini bersamamu.’
Jihoon berontak dengan sekelebat memori yang berada di otaknya, ia meremas kuat dada kirinya, terasa sangat sakit dibalik sana. Ia berharap bisa menembus dadanya dan membuang jauh jantung dan hatinya agar sakit itu tak menyiksa.
“Guanlin..” Jihoon tersedu sembari melirihkan nama Guanlin, ia menggigit kuat bibirnya sembari terus meremas kuat dadanya. Jihoon jatuh merosot di sisi ranjang itu, memeluk kedua kakinya dan menangis meraung-raung dibalik sana.
“Aku mencintaimu..” Jihoon terus menangis, dadanya benar-benar sesak, ia tak bisa menahan tangisnya.
Jihoon menggerakkan tubuhnya dengan lemah, bangkit dari posisinya, lalu ia melangkah gontai menuju ruang ganti di kamar itu, ia membuka lemari pakaian kerja Guanlin. Dimana ada kemeja, dasi, celana, sepatu, dan lainnya. Jihoon membekap mulutnya, memejamkan kuat matanya dan menangis sekeras mungkin, sebelah tangannya ia tumpukan pada meja di ruangan itu.
Jihoon sakit membayangkan, mengingat ialah orang yang menyiapkan pakaian kerja Guanlin, memakaikan dasi sebelum suaminya pergi bekerja, memilihkan kemeja dan dasi yang cocok untuk Guanlin, mengancingkan kemeja untuk suaminya. Namun sekarang, hatinya kembali tersayat, bagaimana ia tahu bahwa sekarang ia tak akan bisa lagi memilihkan pakaian kerja yang akan dikenakan Guanlin, ia sudah tak bisa lagi memilihkan dasi dan memakaikannya pada Guanlin, menepuk pelan dada dan bahu Guanlin sembari mengucapkan ‘Suamiku sangat tampan!’ seperti biasanya.
Ia ingat bagaimana Guanlin selalu memeluk pinggangnya kala ia memakaikan dasi untuk Guanlin, sembari menghujani kecupan bertubi-tubi pada dahi Jihoon, menampilkan senyum tampannya dan terus menggoda Jihoon saat menyimpul dasi pada kerah kemeja Guanlin.
Jihoon menutup lemari itu, tangannya beralih untuk membuka lemari pakaian tidur Guanlin, ia memandang kearah piyama hot pink bermotif polkadot milik Guanlin, terlipat dengan rapi disana. Jihoon semakin sakit membayangkannya, bagaimana Guanlin menahan alerginya dan terus menggunakan piyama itu karena ia senang melihat Jihoon senang.
Jihoon menutup lemari itu dan kembali memukul-mukul dadanya, sesak. Ia ingin bernafas lega kali ini saja, namun tangis itu terus menyiksanya. Ia ingi berhenti menangis, kali ini saja, ia memohon pada dirinya sendiri, namun tak bisa.
Ia jatuh, jatuh sangat dalam pada diri Guanlin, masih terasa sakit membayangkan bahwa semua perlakuan manis Guanlin hanyalah sebuah drama, semata hanya sebagai pelengkap dendamnya, Guanlin tidak pernah setulus dan semanis itu Park Jihoon, sungguh, Jihoon merasa manusia yang sangat bodoh.
Guanlin yang membelikannya strawberry cheesecake, Guanlin yang membelikannya es krim, banana milkshake favoritnya, Guanlin yang rela mengenakan pakaian warna pink karenanya, Guanlin yang menuruti semua kemauannya, Guanlin yang bersikap manis padanya, Guanlin yang selalu mengecup lembut dirinya, Guanlin yang selalu mengucap kata ‘Aku mencintaimu, sayangku’, Guanlin seperti itu.. tidaklah pernah ada.
“Tuhan.. sakit..” Jihoon meremas kuat rambutnya, berulang kali menampar wajahnya sendiri, ia sungguh diluar kendali, Jihoon hanya ingin mengalihkan rasa sakit ini, sungguh, demi apapun ia tidak sanggup lagi menahan sakit ini.
Park Jihoon yang malang ini, terlalu jatuh cinta pada Tuan Muda Lai Guanlin yang kejam.
Jihoon menyeret langkahnya keluar dari ruang itu, ia membuka kenop pintu kamar mandi dan masuk ke dalam, tidak lupa sebelumnya ia meraih pakaian gantinya yang tadi ia tinggalkan di atas ranjang Guanlin.
Jihoon meletakkan pakaian gantinya dan berpegangan lalu menumpukan gengamannya pada keramik pinggiran wastafel. Ia mengangkat wajahnya untuk menatap lurus pada pantulan dirinya di cermin, sungguh ia terlihat sangat tidak baik-baik saja. Jihoon membasuh wajahnya dan menepuk pelan matanya yang perih dengan handuk kecil yang digantungkan di dinding.
Saat ingin kembali menumpukan tangannya, Jihoon tak sengaja menyenggol gelas kaca hingga terjatuh ke lantai, gelas itupun pecah, Jihoon menatap kosong pada serpihan kaca yang berada di dekat kakinya. Jihoon menjongkokkan tubuhnya, tangannya tergerak untuk mengumpulkan serpihan kaca yang berhamburan, ia takut Guanlin akan marah jika melihat ini dan ia pun juga takut jika tanpa sengaja Guanlin akan terluka menginjak bekas pecahan kaca ini.
Jihoon merasa seperti dejavu, mengingat Guanlin yang pernah menginjakkan tangannya pada pecahan kaca dari gelas, Jihoon perih mengingatnya. Entah setan apa yang merasuki dirinya, Jihoon menggenggam erat kepingan beling yang berada di tangannya, hingga banyak darah menetes keluar dari sana.
“Guanlin.. kenapa ini tidak sakit..” Jihoon berdialog seorang diri, ia terus meremas kuat kepingan beling itu, tidak ada sakit yang ia rasa, tatapannya datar dan kosong, di fikirannya kali ini hanyalah Guanlin, Guanlin sang tuan, dan Guanlin sang suami, kedua sosok yang berbeda dalam satu wujudnya. “Hatiku lebih sakit dari ini..” Jihoon kembali meneteskan air matanya, ia melemahkan genggamannya pada kepingan beling itu, telapak tangannya kini dipenuhi darah.
“Guanlin.. kau bilang.. tidak akan membiarkan tanganku terluka lagi, kau akan menggenggam jemariku.. sekarang aku terluka Guanlin.. k-kau.. hiks.. kau dimana..”
•°•°•°•°•
Daniel terus memandangi Jihoon yang sedang duduk di seberangnya, keduanya kini sedang berada di meja makan. Jihoon hanya diam menatap genangan coklat panas di dalam mugnya, sesekali memainkan jemarinya pada gagang mug tersebut. Daniel menyesap kopinya kemudian membuka keheningan diantara keduanya.
“Kemana tujuanmu besok?” tanya Daniel. Jihoon hanya melamun, melirik kearah Daniel lalu menunduk, kembali memandangi genangan coklat panasnya yang sedari tadi tidak ia minum.
“Pulang.” Jihoon berujar pelan.
“Kau melukai dirimu?” Daniel mencondongkan tubuhnya lalu meraih tangan Jihoon dan memandangi telapak tangannya yang terluka dan bersisakan jejak darah disana. Sebenarnya Daniel sudah melihat luka itu semenjak Jihoon keluar dari kamar Guanlin dan berjalan pelan menuju pantry, melihat bagaimana tangan kanan Jihoon terkulai lemas dan tidak banyak bergerak, ia hanya menggerakkan tangan kirinya.
“Tidak sengaja.” ucap Jihoon.
Daniel menghela nafasnya kasar, ia bangkit dari duduknya dan memanggilkan salah satu pelayan untuk mengobati tangan Jihoon. Sesudahnya pelayan itu datang dan mengambil posisi berdiri di dekat Jihoon sembari mengobati tangannya, sedangkan Jihoon hanya diam memandang kearah Daniel.
“Hyung..” panggil Jihoon.
“Ya? Tanyakan saja.”
Daniel benar-benar peka.
“Kenapa Guanlin menceraikanku?” Jihoon langsung pada poinnya, pelayan pun sudah mengobati dan memberi perban pada tangannya lalu pamit undur diri.
Daniel diam, ia menghela nafas kemudian memandang kearah lain dan kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, ia sangat gelisah, namun pada akhirnya ia bisa menormalkan fikirannya dan memberanikan diri untuk menatap Jihoon.
“Aku tidak tahu.”
“Kau dekat dengannya, hyung.”
“Ya, dan aku yang mengurus surat perceraian itu. Maafkan aku.”
“Guanlin tidak mencintaiku?” suara Jihoon bergetar, ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
“Aku juga tertipu olehnya, Jihoon. Kufikir ia benar-benar sadar setelah apa yang terjadi di mansion tuan besar waktu itu.”
“Hyung, aku jatuh pada Guanlin.”
Daniel diam.
“Aku.. aku sangat mencintainya.”
“Dia tak pernah mencintaimu, Jihoon, sadarlah.”
Air mata itu kembali lolos, Jihoon menundukkan wajahnya, mengepalkan tangannya hingga luka dibalik perbannya kembali tertekan dan mengeluarkan darah. Jihoon menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya yang ia tumpukan pada meja. Jihoon kembali mengangkat wajahnya dan bersandar pada sandaran kursi, menundukkan wajahnya dan memainkan bagian bawah bajunya.
“Aku.. sungguh awalnya aku memang benar membenci Guanlin, terlebih lagi apa yang terjadi setahun lalu saat ia mengusir Jinyoung entah kemana dan menikahiku. Saat itu aku berfikir bahwa Guanlin lah orang yang paling kubenci, ia menyakiti Jinyoung saat hari dimana Jinyoung ingin melamarku, dan ia kembali menyakiti kami berdua pada saat hari menjelang pernikahan kami.”
Daniel terus menunggu kelanjutan kalimat dari Jihoon, meskipun hatinya kini tak kuasa melihat Jihoon yang menangis sesenggukan, berkali-kali mengusap air matanya, dan terus menyampaikan argumen di sela isak tangisnya.
“Saat itu aku benar-benar sangat membenci Guanlin, tetapi aku mencoba memendamnya sedalam mungkin dalam hatiku. Aku.. aku taat pada Tuhanku, aku sudah mengucapkan bahwa aku berjanji akan menyayangi Guanlin, menerimanya sebagai suamiku, memenuhi seluruh kebutuhannya lahir maupun batin, aku sangat mengingat sumpah itu. Dan aku.. aku berharap suatu saat aku akan bertemu dengan Jinyoung, dari segala penyiksaan yang Guanlin lakukan padaku, aku berharap suatu saat akan bertemu lagi dengan Jinyoung meski aku tahu itu dosa, karena aku memiliki suami dan masih mengharapkan orang lain.”
“Jihoon, bernafas.” Daniel sedikit khawatir.
“Sepanjang waktu yang kulalui bersama Guanlin, aku pelan-pelan mulai lupa pada Jinyoung dan aku berfikir bahwa Jinyoung bukanlah takdirku. Meskipun Guanlin kejam padaku, aku tetap memerankan diriku sebagai seorang istri yang baik untuknya, aku selalu berdoa pada Tuhan agar Guanlin mau berubah, memandangku sebagai istrinya, memperlakukanku dengan baik, bahkan aku hanya berharap satu detik senyuman dari Guanlin untukku, hyung.” Jihoon semakin terisak dan meremat kuat bajunya yang mulai membasah karena air mata, “Sampai tiba saat dimana kufikir Tuhan sudah mengabulkan doaku, saat dimana aku terbangun di sisi Guanlin, memandang wajahnya di pagi hari, melihat senyumnya yang lebih dari satu detik, melihat sosok Guanlin yang beperawakkan sebagai suami yang sesungguhnya, hatiku begitu melemah dan berharap itu bukanlah mimpi.”
Jihoon menggigit kuat bibirnya dan terus menumpahkan isi hatinya, ia ingin mengungkapkan semuanya saat ini juga.
“Demi apapun aku benar-benar menikmati saat-saat paling membahagiakan antara aku dan Guanlin.” Jihoon tersenyum, memorinya berputar kembali, “Aku sangat senang mengingat Guanlin pernah dan mau memelukku, memberikanku kecupan lembut di dahi, membuatku merasa nyaman dalam dekapan dan genggaman tangannya, aku sungguh sangat bahagia ketika ia pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku meskipun sekarang aku tahu itu hanya pura-pura, aku sangat senang ketika ia membelikanku cemilan dan minuman kesukaanku, membelikanku liptint, ahahah.. aku sangat senang ketika melihat ia mau mengenakan pakaian berwarna pink meskipun berujung ia akan menggaruk lehernya yang terasa gatal, terlebih lagi apa yang terjadi hari ini..”
Jihoon menggantungkan kalimatnya, Daniel sudah duduk tepat disampingnya dan mengusap pelan kepalanya. Daniel sudah menganggap Jihoon seperti adik sendiri, Jihoon orang yang baik dan sangat-sangat baik, ia heran mengapa Guanlin tidak pernah sedikit saja membuka hatinya untuk melihat Jihoon, apakah kedekatan mereka beberapa bulan ini masih belum bisa dilirik oleh Guanlin? Daniel ingin saja kembali memberikan pukulan bertubi-tubi pada Guanlin tapi ia sudah terlalu lelah, berbicara dengan Guanlin percuma, Guanlin hanya mengikuti kemauan dan egoisnya sendiri, Daniel benar-benar tidak tahu harus seperti apa lagi menangani tuan muda satu itu.
“Kau tahu hyung, hari ini hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama bukan?” Jihoon masih meremas bajunya, masih menunduk, tak mau menatap Daniel. “Ia mengenakan jaket berwarna pink, sangat tampan, aku bersyukur.. p-pernah dipinang olehnya, sungguh.” Jihoon memaksakan suaranya keluar saat mengucapkan kata ‘pernah’, hatinya benar-benar sakit membayangkan bahwa kini ia sudah tidak bersama Guanlin lagi. “Guanlin menjemputku di toko bunga, ia mengajakku ke taman hiburan, ia mau memakai bando karakter hewan yang kuberikan, kami melakukan photobox, ia mau bermain game memanah agar bisa mendapatkan boneka beruang untukku, ia membelikanku eskrim, ia tidak menolak saat aku menyuapinya lebih banyak daripada saat aku menyuapi diriku sendiri, ia membelikanku cheesecake, ia tidak terlalu suka manis tetapi ia terus menerima makanan manis yang kuberikan padanya, kufikir aku berlebihan, tapi aku senang..”
“Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama Guanlin, selama delapan bulan aku tersiksa dan selama empat bulan aku merasakan rasanya dikasihi dan disayangi meskipun hanya pura-pura. Aku menyayangi Guanlin, aku menerima semua perlakuan manisnya yang singkat, aku tulus mengatakan aku bersyukur pernah dipinang olehnya meskipun tak pernah berjalan seindah harapanku. Aku tidak menyesal, sungguh, meskipun pada akhirnya aku berpisah dengan Guanlin, tetapi aku tidak akan melupakan semuanya.”
“Jihoon, sudah, dengar aku.” Daniel memegang kedua bahu Jihoon dan menggerakkan tubuh itu agar menghadap kearahnya.
Daniel mengusak rambut Jihoon dan mengusapi pipi gembul yang memerah itu, menghapuskan sisa jejak air mata yang membekas disana. Jihoon mengangkat wajahnya dan menatap kearah dua manik Daniel.
“Mau belajar melupakan Guanlin?” tanya Daniel, Jihoon terdiam.
“Aku tidak tahu.”
“Jinyoung..”
“Jinyoung? Ada apa dengan Jinyoung?”
“Dia ada disini.”
•°•°•°•°•
Guanlin mengarahkan kemudi mobilnya kearah basement, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan ia hanya punya waktu setengah jam untuk bersiap-siap sebelum berangkat menuju kantor.
Baru saja memarkirkan mobilnya, satu mobil lain sudah melesat melewatinya, sebelumnya mobil itu sempat membunyikan klakson saat melihat Guanlin. Guanlin tahu, itu Daniel yang sudah membawa pergi Jihoon dari penthousenya.
Guanlin turun dari mobilnya kemudian melangkahkan kaki menuju lift sampai akhirnya ia tiba di ambang penthousenya. Para bodyguard dan pelayan membungkuk hormat melihat kedatangan tuannya. Guanlin hanya berjalan angkuh dan masuk ke kamarnya.
Cklek.
Hening.
Sepi.
Itu yang Guanlin rasakan.
Guanlin mencoba mengabaikan situasi kemudian melesat menuju kamar mandinya untuk membersihkan diri. Setelahnya ia pergi menuju ruang berpakaian dan memilih-milih kemeja yang akan ia kenakan.
Guanlin melirik kearah gantungan di dekat lemarinya, disana sudah ada sepasang jas dan celana kerja berwarna abu-abu gelap, juga kemeja berwarna merah hati dan dasi berwarna senada dengan jasnya. Guanlin menutup lemari pakaiannya kemudian meraih set pakaian kerja itu dan memakaikannya pada tubuhnya. Guanlin tidak terlalu pandai dalam bermain warna untuk pakaiannya terlebih lagi memilihkan dasi yang cocok untuk ia kenakan, karena biasanya Jihoon yang memilihkan dasi untuknya, dan Guanlin pun yakin ini sudah disiapkan oleh Jihoon sebelum lelaki itu pergi bersama Daniel.
Tunggu sebentar, Jihoon?
Guanlin baru saja memikirkan Jihoon?
Guanlin memasang wajah ketusnya dan menyimpulkan dasi pada kerah kemejanya. Setelahnya mengancingkan pergelangan kemejanya dan memasangkan salah satu arloji dari seluruh arloji koleksinya pada pergelangan tangannya, lalu Guanlin mengenakan jasnya dan keluar dari ruang berpakaian itu.
Guanlin merasa asing dan sedikit aneh, rasanya sepi.
Guanlin pergi ke pantry dan melihat beberapa roti panggang dan kopi yang sudah disajikan diatas meja, Guanlin hanya melirik kearah roti yang terlihat beroleskan selai cokelat itu, ia hanya memilih untuk meminum kopinya dan bergegas meninggalkan penthouse.
“Dia sudah pergi?” tanya Guanlin pada salah satu pelayan.
“Sudah, tuan.” jawab pelayan itu.
“Dengan Daniel?”
“Ya, tuan, dengan tuan Daniel.”
Guanlin hanya mengangguk dan meraih kunci mobilnya di meja sofa lalu menuju lift dan bergegas menuju ke kantor.
•°•°•°•°•
Jihoon membuka kenop pintu setelah ia memastikan Daniel sudah melesat dari halaman rumahnya. Jihoon menekan saklar lampu dan memandangi seisi rumahnya yang sudah cukup lama ia tinggalkan.
Lagi, Jihoon kembali seorang diri di rumah ini, rumah yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuknya. Jihoon menyeret kopernya ke dalam rumah minimalis itu, meletakkan kopernya pada sisi sofa ruang tamu, lalu ia mendudukkan dirinya pada sofa tunggal.
Jihoon menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan menatap langit-langit rumahnya. Menghela pelan nafasnya dan memejamkan matanya sejenak.
Jihoon sempat berfikir atas apa yang dikatakan Daniel, benarkah Jinyoung berada disini? Kalau begitu dimana ia sekarang? Sungguh banyak hal yang ingin Jihoon tanyakan pada Jinyoung. Daniel pun tak banyak bicara saat Jihoon menanyakan, Daniel hanya sempat berkata bahwa ia tidak tahu pasti dimana keberadaan Jinyoung namun ia yakin lelaki itu pasti berada di sini.
Jihoon memainkan jemarinya pada saku jaketnya, memegang sesuatu dan mengeluarkan benda itu dari saku jaketnya dan Jihoon tersenyum pahit memandangi benda yang menjadi bukti bahwa Guanlin pernah memilikinya dan ia pernah dimiliki Guanlin. Hati Jihoon terasa sakit kala ia mengingat saat itu, dimana Guanlin memasangkan cincin pada jemarinya dan mengatakan ‘Sampai jumpa di altar sayangku’ dan.. tidak, Jihoon tidak mau lagi, ia tidak mau menangisi Guanlin lagi, ia mengusap kasar air matanya yang tak sempat terjatuh lalu beranjak dari duduknya.
Jihoon mengemas pakaiannya kedalam lemari di kamarnya, ia menyimpan benda-benda berharganya pada laci nakas disamping tempat tidurnya. Jihoon berganti pakaian dan menelfon Hyungseob.
Mengingat Hyungseob dan Woojin, sepertinya Jihoon akan kembali bekerja di toko bunganya, dan ia akan menceritakan semua yang terjadi pada Hyungseob dan Woojin jika sudah saatnya.
“Aku akan kesana, tolong siapkan aku dua buket lili putih? Bisakah?”
“Terima kasih, Hyungseob, lain kali aku akan bermain.”
Pip.
•°•°•°•°•
“Hyung..” panggil Hyungseob.
“Ada apa? Rindu padaku?” Jihoon tersenyum lebar dan tertawa kecil.
Hyungseob tahu, Jihoon sedang berpura-pura. Pagi tadi sebelum Jihoon menuju ke toko bunga, headline news di televisi banyak menampilkan berita mengenai perceraian presdir muda Lai Guanlin dan istrinya Park Jihoon, Hyungseob yakin Jihoon belum tahu bahwa dirinya kini tengah diobrak abrik oleh media. Berita itu tersebar sangat luas bahkan wartawan pun banyak yang berkumpul di gerbang utama gedung La-Ji Corporation.
“Hyung kau tidak lihat berita?” tanya Woojin, ia memberikan dua buket lili putih pada Jihoon.
“Beginilah resikonya, tidak apa-apa.” Jihoon tersenyum, berpamitan kepada kedua anak buahnya lalu bergegas menghentikan taksi yang lewat depan toko bunganya.
Jihoon menitikkan air matanya, langit terlihat sangat mendung dan angin pun berhembus dengan sangat kencang. Jihoon memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya, ia tahu, pasti berita perceraian keduanya menggegerkan publik, mengingat betapa terkenalnya sosok konglomerat Wu dan istrinya, juga Lai Guanlin, dan bahkan Jihoon sempat memikirkan bagaimana keadaan ‘mantan’ mertuanya sekarang.
•°•°•°•°•
“Sayang sekali mereka bercerai, padahal kemarin aku baru saja melihat mereka sedang berkencan di taman hiburan. Bukankah itu hari pernikahan mereka?”
“Mereka sangat romantis bahkan di hadapan publik, aku sangat suka melihat mereka.”
“Ya, tidakkah kau fikir tuan Lai itu tampan? Dan tuan Jihoon itu sangat cantik, mereka serasi dan saling melengkapi.”
Lelaki itu menyesap kopinya, langit terlihat mendung dan hujan akan segera turun. Telinganya berkutik mendengar percakapan sekumpulan wanita yang sedang menggosip di seberang mejanya. Membahas mengenai perceraian Lai Guanlin dan Park Jihoon yang ditayangkan di televise café yang ia duduki saat ini.
Ia mengancingkan jasnya kemudian berlalu meninggalkan café itu, menuju mobilnya dan melesat membelah jalanan ibu kota.
•°•°•°•°•
Rintik mulai membasahi muka bumi, Jihoon terus berjalan melewati gundukan tanah yang diselimuti rerumputan hijau dan berhiaskan nisan pada kepalanya. Rerumputan yang mulai basah pun terus ia tapaki, sampai akhirnya ia tiba pada sepasang gundukan tanah bernisan yang bertuliskan nama sepasang suami istri bermarga ‘Park’
“Ayah.. Ibu.. maafkan aku lama tidak mengunjungi kalian.”
Suara Guntur mulai membelah langit, hujan pun turun dengan derasnya. Namun Jihoon tetap tidak perduli, ia terdiam di posisinya kemudian menjongkokkan tubuhnya menghadap nisan Ayah dan Ibunya, meletakkan satu buket lili putih di masing-masing nisannya.
“Ayah.. Ibu.. anak kalian ini baru saja bercerai..”
“Aku sangat mencintainya.”
“Ayah.. Ibu.. aku kini sendiri lagi.”
“Kufikir Guanlin mencintaiku, empat bulan terakhir ini ia menunjukkan seolah ia benar-benar mencintaiku. Ia baik, ia memperlakukanku dengan manis, ia memanjaiku seperti kalian memanjakanku dulu. Aku senang Yah, Bu.”
“Kenapa takdirku seperti ini?”
Jihoon menangis, air matanya pun tersamarkan karena air hujan yang juga membasahinya. Jihoon sudah tidak perduli, ia menangis sekeras mungkin, terus menangis dibawah langit yang juga bersedih karenanya. Jihoon terduduk di sisi nisan Ayahnya, memeluk kedua kakinya dan membenamkan wajahnya pada lututnya sembari terus terisak, ia sudah tidak perduli akan apa-apa lagi. Ia hanya ingin menangis.
Jihoon menghentikan isakannya saat merasa tubuhnya tak lagi dihujani oleh derasnya air hujan, Jihoon mengangkat wajahnya dan melirik kearah kanan dan melihat sepasang kaki seseorang yang sedang berdiri di sisinya.
Tidak, ini mimpi, bukan, ini dejavu?
Jantung Jihoon berdegup kencang, ia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan melihat sosok yang kini sedang menatapinya sembari memegangi payung.
Oh Tuhan..
“J-Jinyoung?!”
TBC
-----------------------------------------------------------------
A/N :
Disini aku mau bocorin beberapa hint dari beberapa chapter sebelumnya, dan jawaban dari hint itu sepenuhnya ada di chapter ini. Terlebih lagi di chapter ini juga ada hint yang lainnya hehe cuma satu kalimat aja sih. Iniya, biar pada paham, jangan bunuh aku! Panwink gaakan karam, mereka cuma abis bensin di tengah laut. Chapternya panjang ea gaes? Yha ini chapter extra, wordsnya almost 5k hehe jangan bosen yha. Cekidot :
1. Ada di chapter gatau berapa disitu guanlin lagi nemuin yifan dan dia bilang ‘mau memperbaiki semua dahulu’ nah disitu ada kata ‘dahulu’ dan itu udah jelas banget kalo guan bakal ninggalin jihun setelah dia ngebaik2in si jihun, saha waktu itu yang peka sama kata dahulu? Sini aku kecop hehe .g
2. Ada pas jihun lagi traumanya abis dikasarin sama guanlin, disitu dia bilang mau bikin guanlin bertekuk lutut kan? Nah pas abis jihun diperiksa oleh bunda jisung, ada narasi yang bilang kalo bunda jisung itu tau si guanlin lagi mikirin sesuatu, nah disitu si guanlin lagi mikirin masalah dendamnya ke jihun, jihun lagi otw gila gini gamungkin dia makin nyiksa, jadi setelah itu ada dialog dia sama Daniel, si guanlin bilang ‘aku tahu’ tapi pas ditanya sama Daniel ‘apa?’ guanlin malah bilang ‘tidak ada’ yakan? Nah itutuh guanlin udah ngerencanain balas dendam berikutnya karena jihun bilang soal bertekuk lutut, jadi guanlin memanfaatkan kalimat jihun buat main main di dendamnya(?) atuhla gimanasi, ngerti ga? :( yaudah iyak.
3. Yang cepuin guanlin ke yifan itu bunda jisung, ahelah ia udah tidak tahan dengan kekerasan kan kasian jihunnya jadi dia cepuin ajadeh ehe ehe yaudah gitu heuheuheu
4. Disini yang kena dramanya guanlin ga cuma jihun tapi semuanya kena, mulai dari Daniel sampe kedua orang tuanya, dia Cuma manfaatin keadaan supaya orang orang semuanya percaya sama dia, woah ektingnya guan waktu itu bagus yha sampe ayah yipan berenti nabok dia, eh disini ditaboq lagi muehehe kasian sekali bayi q
5. Dan ada juga chapter kemarin pas Daniel udah lagi stress banget gara2 guanlin dan dia keliatan ‘so done’ banget sama guanlin, dan berkas yang dia kasih ke guanlin itu bener gaes, surat cerai. Tau kan gimana keselnya Daniel pas liat guanlin terlalu mempermainkan jihun? Disini dia udah gatau lagi udah makanya nurut aja pas guanlin suruh urusin surat cerai, gimanapun juga dia udah mengabdi(?) banget sama si guanlin dan orang tuanya juga. mana pasukan penebak ‘surat cerai’ ? sini aku ciyom hehe kalian hebad
6. Jinyoung is back, okede
Sekian terima wusok, tapi kalo rambutnya masih kaya sarang burung aku gamau, hehe lofeyu, jangan serang aku yha serang bunda aja. Mwah!
Tjukup! Bunda ga cuap cuap apa apa kok, intinya juga udah disampein sama peachypinkeu💕
Jebal jangan serang kami jebal ╥﹏╥
Votement yang banyak aja buat ngisi bensin nya agar uri kapal berlayar lagi ƪ(˘⌣˘)ʃ
Next? Votement juseyo🙆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro