Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ; 10 ;ㅡ

“Jadi acaranya malam ini?” tanya Daniel sembari terus mengemudi.

“Hyung aku sudah dewasa dan aku tidak mau merayakannya.” Guanlin mendecih kesal sembari menatap keluar jendela mobil.

Bulan ini adalah bulan ulang tahun Guanlin yang ke 21, kedua orang tuanya ingin melakukan acara besar-besaran di mansion keluarga Wu malam ini untuk merayakan terlebih dahulu ulang tahun sang putra karena esok kedua orang tuanya hendak bepergian menuju Beijing. Sebenarnya Guanlin tidak mau melakukan perayaan seperti ini mengingat usianya sudah meninggalkan angka 20 yang berarti sudah selangkah menuju kematangan bagi seorang pria, namun Zitao bersikeras untuk merayakannya karena ia dan Yifan sangat jarang berada di korea bahkan untuk sekedar merayakan acara keluarga bersama.

“Turuti saja, jarang juga kau bisa melakukan perayaan bersama kedua orang tuamu. Kau menyayangi Ayah dan Ibumu kan?” Daniel melirik sedikit kearah Guanlin yang sedang merapikan tatanan rambutnya.

“Ayah saja.”

“Cih anak tidak tahu diri.” Daniel mendecih kemudian terkekeh pelan, ia terus memfokuskan pandangannya pada jalan.

“Diam kau atau aku akan memenggalmu.”

Daniel kembali tertawa pelan mendengar ucapan Guanlin. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju kantor klien untuk mengadakan pertemuan, sedari tadi Guanlin hanya terdiam dengan memasang wajah angkuhnya yang tidak akan pernah luntur dari wajahnya.

Kecuali jika sedang bersama Jihoon.

“Hey tuan muda.” panggil Daniel.

“Hmmmm.” Guanlin hanya menyahut malas.

Tiba-tiba ponsel Guanlin berdering, ia meraih ponselnya dari saku jasnya kemudian tersenyum singkat sebelum menggeser opsion hijau pada layar itu.

“Ya sayang?”

Oh, Jihoon?

“Pulang nanti aku akan menjemputmu.”

“Ya, kita malam ini ke tempat Ayah bukan?”

“Aku pulang awal kemudian kita akan membeli pakaian.”

“Katakan pada supir Ahn untuk hati-hati.” Guanlin tertawa sejenak, Daniel memasang wajah kecutnya.

“Hm. Aku mencintaimu, sayang. Sampaikan salam pada Hyungseob dan Woojin, jaga dirimu.”

Pip.

Guanlin tersenyum kemudian kembali menyimpan ponselnya, ia mengarahkan pandangan pada Daniel yang ia rasa sedang meledeknya saat ia melakukan panggilan dengan Jihoon.

“Apa kau?” tanya Guanlin ketus.

“Haha, tidak. Tadi aku ingin bicara soal Jihoon tetapi istrimu itu lebih dulu menarik perhatianmu.”

“Kenapa?”

“Tidak.. yah.. aku hanya bingung.”

“Bertele-tele sekali, seperti kartun anak kecil bertubuh gendut berkulit hitam dan memakai baju pink.” Guanlin mulai menggaruk lehernya yang terasa gatal.

“Tidakkah itu seperti Jihoon?” ledek Daniel.

“Tidak, tubuh Jihoon mulus.”

Guanlin berucap datar dan cuek sedangkan Daniel tertawa mendengar ucapan tuan muda itu. Daniel menghentikan kemudinya saat lampu lalu lintas berwarna merah.

“Dimana tuan muda Lai Guanlin yang dulu seringkali menyiksa si manis Park Jihoon yang malang?” Daniel tak melirik sedetikpun kearah Guanlin.

“Tidak tahu.” Guanlin berujar cuek.

“Sudah melupakan tamparan yang menginjak harga dirimu? Haha.”

“Sudah berlalu.”

“Aku tidak percaya kau seperti ini, apa ada yang kau rencanakan setelah bertemu dengan Ayahmu?”

“Tidak, kuda nil hutan amazon, bisakah kau diam? Lagipula kalimatmu waktu itu sudah cukup menyadarkanku, aku nyaris gila memikirkannya bodoh.”

“Hey sopan sedikit.” Daniel tersenyum remeh kemudian menginjak pedal gas saat lampu lalu lintas berubah hijau.

“Tidak mau sopan. Aku bisa sesuka hati untuk memberhentikanmu.” kelihatannya tuan muda sedang membahas mengenai kedudukan.

“Kau tidak akan melakukannya.”

“Sayangnya kau benar.”

“Well.. tidak heran, tuan besar memang hebat dan kau menyayangi Beliau.”




–Flashback On–

Jihoon tertidur pulas dalam dekapan Guanlin. Setelah memakan cheesecake dan meminum banana milkshake kesukaannya, ia meminta untuk tidur namun Guanlin harus menemaninya dan memeluknya, pada akhirnya dituruti oleh sang suami.

Guanlin sedang mengusap-usap kepala Jihoon sembari memandangi wajah tentramnya yang sedang tertidur. Guanlin memandangi bulu matanya yang lentik, nafasnya yang teratur, dan bibir pucatnya yang berwarna pink pudar itu memaju. Dengan gerakan ragu namun pasti, Guanlin mencoba untuk mengecup lembut bibir Jihoon, kemudian terasa dihipnotis setelahnya. Guanlin terburu-buru menjauhkan wajahnya dan mengalihkan pandangannya sembari mengumpat ‘sial’ ke lain arah.

Tiba-tiba saja ponsel Guanlin berbunyi, ia meraih ponsel dari saku celananya kemudian melihat nama yang tertera pada layar ponselnya kemudian mengangkat panggilan tersebut secepat mungkin.

“Ya, Ayah?”

-----

BUAGH!

“Yifan, sudah!”

“Anak kurang ajar!”

BUAGH! PLAK!

“Yifan!” Zitao meraih lengan suaminya yang sedang dikuasai amarah itu, sedari tadi tuan besar secara membabi buta memukuli anak tirinya. Zitao memeluk lengan Yifan kemudian mengusap pelan bahu suaminya, kemudian melirik kearah putra satu-satunya yang tersungkur di lantai sembari mengusap pelan darah di sudut bibirnya kemudian meringis pelan, “Guanlin, Ibu kecewa.”

“Diam kau.” Guanlin berujar sinis pada Zitao kemudian melirik kearah Yifan yang mengepalkan tangannya dan bersiap untuk kembali melayangkan tinju jika saja Daniel tidak membungkuk hormat sebelum membantu Guanlin untuk berdiri dan menarik tuan muda untuk mundur sedikit, mencapai zona aman untuk tidak berada di dekat tuan besar.

“Kau menyiksa Jihoon selama ini, kau menikahinya karena ingin membalaskan dendam hah?! Apa otakmu sudah tidak bisa berfikir jernih bocah keparat?! Setelah hampir satu tahun kalian menikah, selama itu kau terus menyiksanya hingga saat ini?! BAJINGAN!!” bentak Yifan, Zitao yang berada di sisinya sudah tak kuasa untuk menahan tangisnya.

“Guanlin, Jihoon lelaki yang tidak bersalah, nak,” ucap Zitao di sela isak tangisnya, “Ia anak yang baik, kenapa kau–”

“AKU MEMBENCINYA KARENA SUDAH MEMPERMALUKANKU, AKU TAHU SAAT ITU ADALAH SALAHKU! IA MENAMPARKU, MENJATUHKAN HARGA DIRIKU, MEMBUAT AYAH SEMAKIN MEMBENCIKU! TIDAK BISAKAH KALIAN FIKIRKAN PERASAANKU JUGA HAH?! AKU BISA SAJA MEMBERSIHKAN NAMAKU SENDIRI SAAT ITU JIKA SAJA IA TIDAK MEMBOCORKAN MENGENAI PLAT MOBILKU! AKU GILA DENGAN PEKERJAAN, KECELAKAAN ITU TERJADI KARENA AKU MEMIKIRKAN PEKERJAAN, AKU INGIN MEMBUAT AYAH BANGGA PADAKU, BANGGA KARENA PEKERJAANKU! MEMANDANGKU SEBAGAI SEORANG ANAK YANG HEBAT! BISAKAH AYAH UNTUK BERHENTI MEMBENCIKU?! BAHKAN SAAT AKU MENIKAHI JIHOON PUN AYAH TERLIHAT LEBIH MENYAYANGINYA DAN AKU SEMAKIN MEMBENCINYA SAAT ITU!”

Ucapan itu secara beruntun keluar dari belah bibir Guanlin, membuat Yifan dan Zitao terkesiap kemudian terdiam di posisinya. Daniel masih terus menahan kedua bahu Guanlin agar tuannya itu tidak lepas kendali, Guanlin terlihat hancur saat ini.

“Kau mengambil cara yang salah nak, untuk apa kau melibatkan Jihoon dalam semua ini?” Yifan berucap tenang namun masih dikuasai aura emosi dari deru nafasnya.

“Karena aku membencinya.”

“Berpisah saja.” Yifan menggeram, “KALAU KAU MEMBENCINYA, BERPISAH SAJA!” bentaknya.

“Tidak, Ayah.”

“Kenapa? Kau bilang kau membencinya? Ayah tidak mengerti jalan fikirmu anak sialan.”

“Aku mencintainya.”

“Guanlin jangan main-main.” kini Zitao mulai diliputi rasa amarah.

“Aku menggunakan satu detik untuk mengatakan bahwa aku membencinya, namun aku bisa menggunakan seluruh waktuku untuk mengatakan aku mencintainya, mulai hari ini.”

“Kau gila.” Yifan mengepalkan tangannya.

“Hari ini aku tersadar.” Guanlin sedikit meringis kemudian mengusap pelan sudut bibirnya, “Aku bodoh dan aku gila, Daniel hyung menyadarkanku.” Guanlin menunduk kemudian menahan rasa panas yang menjalar di kedua pelupuk matanya, “Melihat Ayah dan Ibu yang begitu menyayangi Jihoon, dan ya, aku sadar ia memang sosok yang sangat manis dan baik hati, hatiku buta Ayah, Ibu.”

Zitao menangis di bahu Yifan sembari memeluk erat lengan suaminya, sudah berapa lama Guanlin tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ . Daniel sedari tadi hanya diam, ia mengusap pelan dibalik punggung Guanlin yang bergetar.

“Aku sadar, aku salah menyiksanya, membalaskan dendamku, padahal semua itu hanya sia-sia. Seisi negara ini menghormatiku, mereka tak banyak bicara mengenai tragedi waktu itu, mereka maklum karena alasanku yang mengutamakan pekerjaan, akupun sudah rela bertanggung jawab dan ditahan bahkan oleh Ayahku sendiri. Aku merasa malu karena menyakiti Jihoon sejauh ini, sedangkan negara ini tidak banyak bicara karena kelakuanku.”

Guanlin mengusap kasar kedua matanya, “Aku sedikit teriris melihatnya menderita, sungguh, mengingat bagaimana kasarnya sifatku padanya selama hampir setahun ini, aku membiarkannya tidur di sofa, mengurungnya di dalam penthouseku, memperlakukannya dengan tidak tahu diri padahal ia melakukan kewajiban sebagai seorang istri, ia tak pernah melawanku.” lanjutnya.

Guanlin menarik nafasnya kemudian kembali berucap, “Aku tersadar, aku meneliti wajahnya, melihat matanya yang kini terpejam dengan nyaman, sedangkan mata itu selalu membengkak dan bergerak gelisah karenaku, memandangi wajah mulusnya yang selalu dipenuhi luka lembam karena kelakuanku, melihat bibirnya yang memerah bahkan tak jarang ada luka terhias di sudutnya, aku mengaku salah, sangat salah.”

“Aku akan mengulang semuanya dari awal bersama Jihoon, aku tahu ini sudah kewajibanku sejak lama namun aku malah menyakitinya. Ayah dan Ibu menyayangi Jihoon, maka aku pun akan melakukan hal yang sama, jangan paksa aku untuk berpisah dengan Jihoon, aku ingin memperbaiki semuanya dahulu.” Guanlin mengangkat wajahnya dan menatap kearah manik Ayahnya yang tajam.

“Jangan kecewakan Ayah.” Yifan berucap final kemudian membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan ruang keluarga itu. Zitao diam di tempatnya kemudian menyusul langkah Yifan, ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik memandang kearah Guanlin.

“Terima kasih sudah kembali memanggilku Ibu, Guanlin. Ibu berharap kau benar-benar berubah, Ibu yakin Ayah menyayangimu makanya seperti ini.” Zitao tersenyum kemudian beralih memandang kearah Daniel, “Terima kasih sudah setia menjaga anakku, Daniel.”

Daniel membungkuk kearah Zitao kemudian wanita itu kembali meneruskan langkahnya menyusul sang suami.

–End Of Flashback–




“Hyung.” Guanlin memanggil Daniel.

“Apa?”

“Kau tidak mau menikah?”

“Apa-apaan. Kau sakit?”

“Tidak.”

“Jangan urusi aku, berikan aku keponakan. Kudengar Jihoon itu ‘istimewa’, benar?”

“Lalu kenapa? Kau saja yang menikah lalu menciptakan anakmu sendiri!”

“Hey kau sudah hampir satu tahun menikah, berikan aku keponakan!”

“Aku 21 dan memiliki anak?! Kau mengajakku berkelahi?!”

•°•°•°•°•

“Hyung, waktu itu ada yang ingin aku dan Woojin tanyakan namun tidak sempat.”

“Kenapa?”

“Kita saat itu asik berkisah dan melepas rindu hyung~”

“Maksudku apa yang ingin kalian tanyakan Hyungseob yang manis~”

Hyungseob merengut kemudian Jihoon tertawa gemas. Keduanya sedang berada di meja bundar di sudut ruangan toko sembari duduk berhadapan dan menyesap coklat hangat yang tadi Jihoon belikan. Hyungseob sedang menjaga toko seorang diri, sedangkan Woojin sedang ada kuliah pagi hari ini dan nanti siang baru akan bekerja.

“Kau benar-benar sudah berbaikan? Dengan Tuan Lai?” Hyungseob sedikit memelankan suaranya.

“Seperti yang kau lihat.” Jihoon tersenyum tipis dan memainkan jemarinya di sekitar tutup cup coklat panasnya, “Terasa seperti mimpi, bukan?” Jihoon menatap Hyungseob.

“Ya, mengingat bagaimana kau seringkali menghubungiku sembari menangis menceritakan kelakuan tuan muda, masa-masa kelammu di penthouse itu, sudah berakhir?” Hyungseob bernada khawatir.

“Aku juga tidak tahu.”

“Hyung sudah menanyakan mengenai.. Jinyoung hyung?” Hyungseob berucap ragu kemudian Jihoon mengangguk pelan.

“Guanlin tidak menjawabnya.” Jihoon menghembuskan nafas panjang, “Ia hanya diam dan menyuruhku untuk segera tidur, aku tidak berani memaksanya, takut seakan-akan ia mengamuk lagi.”

“Jadi bagaimana.” Hyungseob mengigit bibir bawahnya cemas dan Jihoon hanya tersenyum simpul.

“Mungkin Jinyoung memang  bukan untukku.” Jihoon menghembuskan lagi nafasnya dengan gusar, “Aku akan mencoba mencintai Guanlin, atau.. mungkin aku sudah mencintainya? A-aku tidak tahu, tapi..”

“Perasaanmu yang sebenarnya, hyung. Percaya pada hatimu.”

“Aku mencintai Guanlin, ia jahat namun sisi manisnya membuatku.. aku.. entahlah tapi.. aku masih belum bisa melepas Jinyoung.”

“Hm.. kau yakin dengan tuan Guanlin, hyung?”

“Aku istrinya, Hyungseob. Aku harus mempercayai suamiku, benar kan?”

•°•°•°•°•

“Guan, aku pulang lebih dulu.”

“M-hm.. aku makan siang di rumah saja.”

“Iya iya kita beli pakaian bersama, aku di rumah.”

“Kalau sudah dijalan pulang hubungi aku agar aku bersiap-siap.”

Pip.

Jihoon mengakhiri panggilannya dengan Guanlin, suaminya itu mengotot menyuruhnya untuk menunggu saja di toko bunganya namun Jihoon beralasan sedang malas dan lelah maka dari itu ia memutuskan untuk pulang, lagipula Guanlin baru akan pulang sore hari. Lagipula Woojin juga sudah selesai dengan kuliahnya dan saat Woojin tiba di toko tadi, tidak lama kemudian Jihoon memutuskan untuk pulang ke rumah.

Siapa yang bilang bahwa Jihoon akan langsung pulang? Ia mengajak supir Ahn untuk singgah di Bakery Shop sebelum kembali ke penthouse. Jihoon turun dari mobil kemudian melangkah ke dalam toko kue tersebut. Memandang kearah lemari yang berisikan cake ataupun tart dengan beragam ukuran, warna, dan bentuk. Mata Jihoon terfokus pada kue tart berukuran sedang dipolesi krim berwarna pink dengan hiasan buah strawberry juga cherry.

Warna itu terlalu girly, bukan?

Jihoon meraih kotak yang sudah disodorkan kearahnya oleh penjaga kasir, kemudian memegang simpul pita pada atas kotak kue itu untuk menentengnya. Ia berpapasan dengan seseorang sebelum ia keluar dari toko, sesuatu terjatuh saat orang itu melewatinya. Jihoon meraih amplop kecil yang terjatuh itu kemudian berbalik memandang lelaki yang sedang memilih-milih kue berjarak tidak jauh darinya, Jihoon pun tergerak untuk menghampiri lelaki itu.

“Maaf, ini milikmu?” sapa Jihoon, lelaki itu berbalik dan memasang wajah terkejut kemudian meraih amplop yang Jihoon berikan.

“Astaga aku menjatuhkannya, untung saja kau mengembalikannya, terima kasih!” ia tersenyum sembari membungkuk hormat kearah Jihoon.

“Sama-sama.” Jihoon tersenyum kemudian balas membungkukkan tubuhnya untuk kemudian berpamitan pergi.

•°•°•°•°•

Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan kemudian duduk di kursi penumpang, membukakan tutup botol air mineral dan memberikan botol itu kepada lelaki yang berada dibalik kursi kemudi.

“Aku nyaris saja ceroboh.” ucap lelaki yang berada di kursi penumpang.

“Ada apa?”

“Amplopku tadi terjatuh.”

“Kau memang ceroboh.” lelaki dibalik kemudi itu bersuara dan tersenyum ringan, kemudian ia menyalakan mesin mobilnya lalu melaju melintasi ibu kota.

“Aku tadi bertemu seseorang.”

“Siapa?”

“Menantu Konglomerat Wu,” ia terdiam kemudian mengambil alih botol mineral yang berada di pangkuan lawan bicaranya, “Park Jihoon, istri Lai Guanlin.” lelaki itu tertawa renyah kemudian memandang lurus kearah jalanan.

“Ah.. begitu.”

•°•°•°•°•

Jihoon mengeluarkan kue yang ia beli dari kotaknya kemudian menyimpannya di dalam lemari pendingin. Ia melirik kearah jam dinding yang mengatakan bahwa tidak lama lagi Guanlin akan pulang. Jihoon masuk ke ‘kamar mereka’ kemudian melesat menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Jihoon mengeringkan rambutnya dengan handuk, kemudian membuka pintu kamar mandi dan melirik kearah ranjang dimana Guanlin sedang bersandar pada kepala ranjang, dengan jasnya yang sudah ia tanggalkan, kemeja biru dengan dua kancing teratasnya yang terbuka, masih mengenakan celana kerja dan memakai kaus kaki.

“Sudah sejam lebih sejak aku pulang dan kau baru selesai mandi?” Guanlin tertawa pelan kemudian bangkit dari posisinya dan melepas kaus kaki juga satu persatu kancing kemejanya, menanggalkannya dan menaruh pada keranjang pakaian kotor, sedangkan Jihoon hanya terpaku sembari mengusap rambutnya dengan gerakan lambat.

Guanlin mendekatkan tubuhnya kearah Jihoon dan mencuri satu kecupan pada bibir manis istrinya. Jihoon merasakan jantungnya berdegup kencang ketika dihadapkan dengan leher jenjang dada bidang Guanlin yang berada tepat didepan wajahnya, seketika ia merona dan Guanlin tertawa pelan karenanya kemudian mengambil alih untuk mengeringkan rambut Jihoon.

“Kalau begitu selagi aku mandi, bersiap-siaplah, kita langsung pergi.” Guanlin mengambil handuk yang tadi ia gunakan mengeringkan rambut Jihoon kemudian melangkah masuk kedalam kamar mandi. Jihoon memegangi dan menekan kedua pipinya yang merona hingga bibirnya terjepit menjadi seperti wajah ikan, kemudian ia bergegas untuk bersiap-siap sekaligus menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Guanlin.

•°•°•°•°•

Guanlin memarkirkan mobilnya di area parkiran bangunan bertingkat tiga bertuliskan “Tuxedo-House” yang besar di atas ambang pintunya. Kemudian ia membukakan seatbeltnya dan juga untuk Jihoon, sembari mencuri-curi kecupan pada pipi gembul istrinya.

“Guanlin!” Jihoon merengut namun ada senyum dibaliknya, membuat Guanlin gemas dan mencubit ujung hidung Jihoon kemudian melesat keluar dari mobil, mengitari mobilnya kemudian membukakan pintu untuk istrinya.

Keduanya melangkah bergandengan tangan memasuki gedung bernuansa putih itu, beberapa pelayan dan karyawan membungkuk melihat kehadiran Guanlin dan Jihoon.

“Selamat datang, tuan.” ucap mereka sembari membungkuk hormat, Guanlin masih terus menggenggam tangan Jihoon dan mengangguk-angguk saja sebagai jawaban.

Guanlin melangkahkan kakinya dan menuntun Jihoon memasuki sebuah ruangan besar dipenuhi sederetan tuxedo ternama rancangan kelas dunia didalamnya. Dilihatnya seorang wanita sedang duduk di sofa tengah ruangan itu kemudian wanita itu berdiri saat menyadari kedatangan Guanlin dan Jihoon.

“Guanlin!” wanita bermata sipit, bertubuh molek, dan berambut merah itu menghampiri Guanlin dan memeluk erat lelaki itu seolah sudah lama tidak bertemu, kemudian ia melirik kearah Jihoon yang memandanginya bingung, “Jihoon kan? Astaga kau manis sekali!” kini ia beralih memeluk Jihoon dan kemudian mencubiti pipi gembulnya.

“Meiqi jie, jangan begitu nanti pipinya meledak.” Guanlin meledek kemudian Jihoon merengut kearahnya.

“Jiejie gemas melihatnya, jadi kalian mau apa kesini?” tanya wanita yang disapa dengan nama Meiqi itu.

“Mau membeli peralatan memasak.”

“Guanlin humorku sedang bernilai euro.”

“Memangnya jiejie menjual apa selain tuxedo disini? Aku ingin marah saja.”

“Galak sekali.” Meiqi merengut kemudian mengapit lengan Jihoon dan menggandengnya menjauhi Guanlin. “Jihoon, aku punya banyak koleksi tuxedo yang cantik untukmu, mau lihat?” Meiqi berujar ramah, Jihoon tersenyum mengangguk, sedangkan Guanlin hanya menggeleng pelan dan membuntuti kedua orang berbeda gender dihadapannya itu.

“Jie, beri kami koleksi yang terbaru.” perintah Guanlin.

“Memangnya ada apa?”

“Malam ini ada acara di mansion Ayah, kau tidak tahu?”

“Ah itu, sudah diberi tahu Wooseok.” Meiqi melepaskan apitannya pada lengan Jihoon dan menekan tombol lift kemudian mengajak sepasang suami istri itu untuk ikut bersamanya.

“Kau datang bersama hyung?” tanya Guanlin lagi.

“Untuk apa?!” Meiqi menyahut dengan sewot, Guanlin hanya mengerutkan dahinya dan saling tatap dengan Jihoon.

Setelah pintu lift terbuka, mereka bertiga masuk ke ruangan yang megah dan terdapat jejeran lemari kaca besar berisikan banyak tuxedo yang indah dan berkualitas tinggi di dalamnya. Jihoon membuka mulutnya kemudian mengatupkannya lagi, lalu sepasang maniknya memandang ke sekeliling. Guanlin meraih pinggang Jihoon untuk ia rangkul kemudian melirik kearah istrinya.

“Pilih yang kau suka sayang.” Guanlin berucap demikian kemudian mengecup pipi Jihoon.

“Jiejie berkelahi dengan Wooseok hyung?” tanya Guanlin pada Meiqi yang kembali mengapit lengan Jihoon dan membawa istrinya itu berkeliling untuk memilih pakaian.

“Saat aku kembali dari Amsterdam ia bilang mau menjemputku di bandara, tapi ia tidak jadi menjemput, belakangan ini ia sibuk sekali dengan pekerjaannya.” Meiqi mengomel kemudian memajukan bibirnya.

“Noona kekasih Wooseok hyung?” kini Jihoon bersuara, dibalas anggukan pelan oleh Meiqi.

“Kau mau yang mana?” tanya Meiqi pada Jihoon.

“Apa noona punya tuxedo warna pink?” tanya Jihoon.

“Astaga Tuhan.” itu Guanlin.

Setelah memilih-milih tuxedo mereka, Guanlin dan Jihoon menuju ruang rias diikuti dua orang asisten Meiqi yang membawakan tuxedo pilihan keduanya. Jihoon memilih sepasang tuxedo berwarna soft pink dengan kemeja putih sebagai dasarnya, sedangkan Guanlin memilih sepasang tuxedo berwarna putih dan kemeja hitam sebagai dasarnya, perbedaan yang sangat mencolok.

Meiqi mengambil alih untuk merias Jihoon, sedangkan Guanlin berada di fitting-room untuk mengenakan tuxedonya, ia tidak mau dirias, hanya ingin rambutnya ditata saja.

“Kudengar kalian ada masalah.” ucap Meiqi sembari memoles wajah Jihoon.

“Sudah berlalu, noona.” jawab Jihoon diiringi senyum.

“Guanlin sebenarnya baik, hanya saja tertimbun oleh aura jahatnya.” Meiqi tersenyum dan memoleskan liptint berwarna raspberry pada bibir Jihoon. “Jihoon, kenapa aku merasa gagal menjadi seorang wanita? Coba kau tersenyum untukku!” pinta Meiqi sembari tersenyum semangat, Jihoon pun tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya hingga matanya pun ikut tersenyum. “Aaaa~ kau sangat menggemaskan! Kalau begitu sekarang pakailah tuxedomu, di kamar ganti satunya, aku akan menunggu.” Meiqi menuntun Jihoon menuju fitting-room kemudian tersenyum saat melihat Guanlin keluar dari bilik satunya.

“Kau terlihat jelek, kemari, biar ku tata rambutmu.”

“Lebih baik jiejie ucapkan kalimat barusan pada Wooseok hyung, kau tidak lihat rambutnya seperti sarang burung?”

“Guanlin!”

Guanlin hanya tertawa kemudian duduk di kursi rias dan memandang pantulan wajahnya di cermin. Meiqi menata rambut coklat Guanlin dan menampilkan dahinya yang tampan, sedikit memberikan polesan pada wajah Guanlin meskipun lelaki itu awalnya berontak. Usai mengurus Guanlin, Meiqi menghampiri bilik Jihoon dan mengetuk pelan lalu menanyakan apakah Jihoon perlu bantuan namun Jihoon hanya menjawab ‘Sebentar lagi’.

Guanlin duduk di sofa sembari memainkan ponselnya, ia membalas pesan dari Daniel yang sudah berada di mansion Ayahnya. Guanlin melirik jam yang menunjukkan pukul lima sore, kemudian menyimpan kembali ponselnya pada saku dibalik jasnya kemudian berdiri bersamaan dengan Jihoon yang keluar dari fitting-room.

Guanlin terdiam dan menatap Jihoon dari atas hingga ke bawah hingga ke atas lagi dan tersenyum lebar lalu mendekati Jihoon yang menunduk malu. Guanlin gemas melihat tubuh mungil berisi Jihoon yang dibalut sepasang tuxedo berwarna soft pink, terlihat seperti kue mochi. Bibir merahnya, pipi tembamnya, dan kelipan dari manik matanya.

Guanlin menggerakkan tangannya untuk menggaruk lehernya yang mulai terasa gatal.

“Baguskah?” tanya Jihoon gugup, kemudian menatap Guanlin yang berdiri dihadapannya.

Guanlin meraih pinggang Jihoon kemudian mendaratkan kecupan ringan pada bibir istrinya, “Kau terlihat sempurna sayangku.” ucapnya.

“Dunia ini terasa seperti kontrakan saja, aku ingin pulang.” Meiqi, 24 tahun, kekasih Wooseok, perusak suasana.

Jihoon hanya mengulum senyumnya, malu, kemudian memukul pelan dada Guanlin. Guanlin meraih jemari Jihoon dan menggenggamnya erat, memberikan kecupan pada punggung tangan itu.

“Sepatu kalian ada di meja, Jihoon kau terlihat sangat manis!” Meiqi melupakan posisi ‘sedang mengontrak di dunia’ nya kemudian beralih mendekati Jihoon dan mencium pipi gembul itu.

“Jie itu milikku.” Guanlin berujar santai sembari memasang sepatu pantofelnya.

“Berbagi, Jihoon adikku!”

Jihoon tertawa pelan lalu menurut saat Guanlin menyuruhnya untuk duduk disisinya kemudian Guanlin memasangkan sepatu pantofel berwarna putih untuk Jihoon.

“Jiejie jangan lupa datang, besok Ayah dan Ibu mau ke Beijing.” tutur Guanlin kemudian menyerahkan kartu debitnya, “Aku buru-buru, bawa ini nanti malam, passwordnya 2033.” Guanlin kemudian merangkul pinggang Jihoon dan keduanya berpamitan untuk pergi.

•°•°•°•°•

“Jihon sayang~ kemari menantuku yang manis, astaga kau cantik sekali!” Zitao meraih Jihoon dalam pelukannya, ia gemas melihat penampilan Jihoon malam ini.

“Ibu, aku tampan bukan cantik.” Jihoon merengut pelan dan mendongak sembari memeluk pinggang Zitao.

“Yasudah keduanya saja.” Zitao mencubit gemas pipi Jihoon kemudian merangkul bahu menantu kesayangannya itu.

Acara pun digelar dengan meriah malam itu, semua kerabat dekat bahkan sampai rekan kerja pun diundang. Tamu yang berdatangan seluruhnya dari kalangan atas, sama seperti resepsi pernikahan Guanlin dan Jihoon setahun yang lalu.

Jihoon berdiam di sisi Zitao dan memandangi Guanlin yang sedang berada bersama dengan Ayahnya dan beberapa rekan kerja, tidak lupa Daniel juga berada disana, Guanlin terlihat sangat berwibawa dan berkharisma terlebih lagi saat bersama dengan Ayahnya. Keduanya terlihat sangat tampan dan sempurna, sampai akhirnya suara Zitao membuyarkan lamunan Jihoon.

“Guanlin tidak menyakitimu lagi kan?”

“A-apa?”

“Ibu dan Ayah sudah tahu semuanya.” Zitao tidak bertele-tele, ia mengusap bahu Jihoon dan menatap menantunya itu dengan tatapan tenang.

“Guanlin baik, Ibu.” Jihoon memandang Zitao dengan gusar.

“Kau ingat saat Guanlin pulang dengan lebam di sekujur wajahnya?”

“Dia bilang dipukuli Daniel hyung.”

“Itu kelakuan Ayahmu sayang.”

Jihoon terdiam kemudian meremat bagian bawah jasnya, ia menggigit pelan bibir bawahnya lalu menatap Zitao yang tersenyum.

“Ibu sangat bersyukur Guanlin mau berubah, dan lebih bersyukur lagi saat kau masih mau menerimanya setelah semua yang terjadi.” Zitao mengusap pelan pipi Jihoon.

Momen keduanya berakhir saat Guanlin mendekat kemudian merangkul pinggang Jihoon lalu mengecup pelan pelipisnya.

“Sedang menggosipi ketampananku?” tanya Guanlin dengan percaya dirinya.

Zitao hanya tertawa saat Jihoon mencubit pelan perut Guanlin dan dihadiahi kecupan manis pada bibirnya dari Guanlin. Kemudian Yifan datang dan melakukan hal yang sama yakni merangkul pinggang sang istri dan memandangi sepasang suami istri muda yang berada di hadapannya dan tersenyum tipis.

“Tuan, kuenya sudah datang.” Daniel menghampiri dua pasangan berbeda usia itu dan dari pintu masuk terlihat kue tart yang menjulang tinggi dilapisi krim berwarna putih dan coklat di setiap sisinya.

“Astaga Ayah, Ibu, jangan buat aku memotong kue! Memalukan sekali.” Guanlin berdecak kesal.

“Guanlin.” Yifan bersuara.

Guanlin hanya menghela nafasnya dan menurut jika sudah mendengar ucapan Ayahnya.

Meja beroda itu dihentikan tepat dihadapan Guanlin dan keluarganya, seluruh tamu undangan memusatkan perhatian dan Guanlin sedikit merunduk malu kemudian menggenggam jemari Jihoon. Sebelah tangan Jihoon tergerak untuk mengusap bahu hingga turun ke lengan Guanlin sembari memberikan senyum manisnya, Guanlin balas tersenyum kemudian mengecup pelan dahi Jihoon dan setelahnya meniup lilin yang berada pada kuenya.

Guanlin membungkuk pada tamu undangan yang bertepuk tangan kearahnya, Ayah dan Ibunya bergantian memeluk Guanlin dan Zitao mengecup pipi putranya itu.

“Semoga kau menjadi pemimpin yang terbaik untuk perusahaan nak.” –Yifan.

“Jangan lupa berikan Ibu cucu.” –Zitao.

“Aku mau keponakan.” –Daniel.

“….” Merona, –Jihoon.

“Tidak mau bilang sesuatu?” tanya Guanlin pada Jihoon setelah ia menyuapkan suapan pertama kuenya pada istrinya.

“Nanti saja.” jawab Jihoon.

Guanlin mengecup dahi Jihoon kemudian memotong kuenya dan membagikannya pada orang-orang terdekat, dibantu oleh Jihoon.

Jihoon mengambil dua lembar tisu lalu melipatnya bersamaan kemudian mengelap sedikit bulir keringat yang berada di sudut dahi dan leher Guanlin dengan tepukan pelan, lelakinya itu terlihat lelah, sesekali Jihoon menyuapi kue kearah Guanlin dan menyebabkan sisa krim berada di sudut bibir Guanlin. Guanlin memajukan wajahnya kearah Jihoon dan memberikan isyarat pada Jihoon untuk menghapus krim kue di sudut bibirnya lalu Jihoon mengusap sudut bibir Guanlin dengan jemarinya.

•°•°•°•°•

Acara selesai sekitar pukul setengah dua belas malam, Guanlin dan Jihoon sedang berada di perjalanan pulang menuju penthouse.

Sesampainya di basement dan memarkirkan mobil, keduanya bergandengan beriringan lalu masuk kedalam lift. Jihoon memandangi kearah jemarinya yang digenggam erat oleh Guanlin, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Guanlin yang ternyata sudah lebih dulu memandang kearahnya lalu memberi kecupan singkat pada bibir Jihoon sebelum pintu lift terbuka.

Jihoon pergi mandi lebih dulu, sedangkan Guanlin menunggu diatas ranjangnya dan nyaris saja tertidur jika Jihoon tidak menyuruhnya untuk mandi. Guanlin melangkahkan kakinya dengan gontai dan melesat menuju kamar mandi.

Jihoon berlari kecil menuju pantry dan membuka lemari es, mengeluarkan kue yang tadi ia beli dan menaruhnya diatas meja, memasangkan lilin dan membakar lilin yang menancap diatasnya, meraih pisau kue dan garpu lalu melangkah pelan menuju kamar. Dipastikannya Guanlin belum selesai dengan acara mandinya, lalu Jihoon duduk diatas ranjangnya sembari memangku kue tart untuk Guanlin.

Cklek.

Guanlin keluar dari kamar mandi sembari mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang berada di genggamannya. Kamar hanya dipenuhi cahaya dari lampu tidur dan ia melihat Jihoon yang sedang duduk manis diatas ranjang sembari memangku kue berwarna pink dengan beberapa batang lilin yang menyala. Guanlin tertawa pelan kemudian menaiki ranjang dan duduk di hadapan Jihoon.

“Katakan ini apa sayangku.” ucap Guanlin, ia menggaruk lehernya melihat kue berlapiskan krim berwarna pink dihadapannya lalu menatap kearah Jihoon.

“Dariku.” Jihoon tersenyum manis, lihatlah wajah lucunya yang diterangi cahaya yang terpancar dari lilin. “Aku tidak tahu beli hadiah apa, aku hanya bisa membelikan ini.”

Guanlin mengusak pucuk kepala Jihoon lalu meniup lilin pada kue itu.

“Selamat ulang tahun Guanlin, aku mencintaimu.” Jihoon berucap kemudian tersenyum menggemaskan, mengarahkan pisau kue dan garpu pada Guanlin, kemudian Guanlin memotong kue itu dan menyuapkannya pada Jihoon juga dirinya.

“Aku mau hadiah.” ucap Guanlin sembari menatap Jihoon.

“Tidak ada.” Jihoon merengut dan ia merasa kecewa pada dirinya, Guanlin tertawa gemas dan mengecup pipi Jihoon.

“Bercanda, kau berada disisiku saja aku sudah sangat bahagia.”

“Aku tidak tahu ingin membelikan apa, kau suka apa.” Jihoon memajukan bibirnya menatap Guanlin.

“Sayang, dengar aku.” Guanlin meraih pipi Jihoon dan mengangkat wajahnya, ia mengecup dahi, hidung, pipi, hingga bibir Jihoon, dan memberikan lumatan singkat dalam ciuman itu. “Aku tidak memintamu membelikanku ini dan itu, bahkan kue ini pun, namun aku senang kau melakukan hal semanis ini.” Guanlin mengusap pelan pipi Jihoon yang merona, dan menatap senyum manis yang terpancar dari wajah Jihoon. “Aku akan mengatakannya.”

“Mengatakan apa?” Jihoon memasang wajah bingung.

“Aku mencintaimu, sayangku.” ucap Guanlin sembari mengecup ujung hidung Jihoon.

“Aku juga.” Jihoon berujar malu-malu dan mencubit hidung Guanlin.

Guanlin balas mencubit pelan hidung Jihoon lalu membawa kue mereka kembali ke pantry dan menyimpannya kedalam lemari es. Guanlin kembali menuju kamar dan mengunci pintunya, memberikan sebotol air pada Jihoon untuk ia minum dan disambut oleh Jihoon.

“Sayang.” panggil Guanlin.

“Hng?” sahut Jihoon sembari menutup tutup botol air, pipinya menggembung dan bibirnya mengatup mengulum air. Kemudian Jihoon menaruh botol itu pada nakas dan menelan airnya, kemudian menatap Guanlin.

Guanlin meraih punggung tangan Jihoon, diusapnya pelan, kemudian mencium punggung tangan itu dengan lembut.

“Aku tidak butuh hadiah material, dirimu, dan cintamu saja sudah cukup.” ucap Guanlin sembari tersenyum manis, Jihoon kembali merona dan tersenyum lebar.

“Aku selalu berada disisimu, Guan.”

Guanlin meraih dagu Jihoon kemudian mengecup pelan bibir manis itu, sudah seperti narkoba untuknya. Guanlin dan Jihoon saling memejamkan matanya lalu berbagi kecupan yang manis dan lumatan lembut pada bibir pasangan masing-masing. Guanlin menggerakkan tubuhnya untuk berada diatas Jihoon dan menidurkan tubuh Jihoon perlahan hingga ia berada sepenuhnya diatas tubuh Jihoon. Jihoon mengalungkan tangannya pada leher Guanlin sembari terus menikmati ciuman memabukkan yang diberikan oleh Guanlin.

Jihoon mengusap dada telanjang Guanlin secara abstrak kemudian kembali mengalungkan tangannya, meremas pelan rambut belakang Guanlin, ia melenguh dalam ciuman itu. Guanlin melepaskan ciumannya dan memandangi bibir Jihoon yang merah membengkak karena ciuman mereka, Guanlin mengusap sudut bibir Jihoon dan mengecup pelan bibir itu.

“Sayang.” panggil Guanlin lagi, suaranya rendah, dalam, berat, dan serak, begitu seksi sehingga menciptakan rasa desiran yang menggelitik di seluruh tubuh Jihoon.

“Ya.” jawab Jihoon pelan sembari terus memainkan jarinya pada helai rambut Guanlin.

“Aku menginginkanmu.” Guanlin berucap parau, suaranya serak, ia dipenuhi nafsu melihat raut wajah Jihoon. Jihoon hanya diam, tak menjawab, Guanlin tahu apa yang difikirkan lelaki itu saat ini. “Aku akan bermain lembut sayang, bolehkah?” Guanlin menyapukan bibirnya dengan lembut diatas bibir Jihoon.

Jihoon mengecup pelan bibir Guanlin yang bermain di atas bibirnya.

Kemudian ia mengangguk pelan.




“Aku milikmu, Guanlin.”









TBC








-

---------------------------------------------------------------

A/N : Antara satu chapter dengan chapter yang lain ada kalimat atau dialog (bahkan cuma satu kata kalau kalian bener-bener teliti) yang bakal menjelaskan kejadian berikutnya bakal gimana, so daebak kalau kalian bisa nebak karena disini bunda dan aku mengajak kalian untuk bermain(?) wdyt about this chapter gaez, hehe mereka mau ngapain ya, hehe, guanlin lagi war of hormone tuh garagara si gendut, ehe, chap berikut privat bole lahya? Ehe, ketawa jaad dulu ah. HAHAHAHA. Maafkan segala kekurangan dalam penulisanku sa(m)yangie, dadah.
- picipingkeu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro