Page 1
"Menyebalkan, selalu dia yang ada di matanya."
.
Beberapa hari lagi pekan olahraga akan dilaksanakan, namun dirimu tak kunjung juga pulih dari kejadian yang menimpa Yuuji. Meskipun Gojo telah berusaha menghiburmu dengan tingkah laku konyolnya sebagai guru, kau tetap saja masih merasa sedih.
Helaan napas kau keluarkan, berandai-andai mengapa masuk ke sekolah ini. Seharusnya kau tidak boleh bersikap seperti ini, namun bayangan memori mengenai kematian temanmu tersebut selalu saja menghantui. Gumaman kata sontak saja lepas dari bibirmu, "Maaf karena aku tidak bisa membantu apa pun saat itu ... Itadori-kun."
Sebuah hantaman buku melayang di atas kepalamu, menampakkan seorang pemuda berambut hitam yang familiar. Iris biru tua kehijauannya tersebut menatap kesal ke arahmu.
"Cih, kau masih saja kepikiran hal itu? Sudah kubilang 'kan kalau itu bukan salahmu?"
"Kalau itu bukan salahku, berarti itu salahmu? Tidak, Megumi, ini salahku karena aku belum cukup kuat untuk menghentikannya."
Megumi mendengkus kasar, lantas mendorongmu untuk berjalan ke luar dari koridor dorm. Matanya melirik malas, namun ada sirat penuh rasa bersalah di dalamnya. Ia pun berujar, "Kita bertigalah yang bersalah karena tidak bisa menyelamatkannya, puas? Jangan mendorong dirimu sendiri untuk menanggung semuanya. Kugisaki bahkan mengomeliku karena kau terus-terusan sedih. Kau yang sedih, kenapa aku yang diomeli?"
Kau mengerjapkan mata, baru kali ini Megumi mengungkapkan apa yang ia pikirkan, meskipun kau yakin bahwa pemuda itu kepikiran akan kakaknya karena kejadian kali ini. Senyum manis pun kau ulas, lalu melepaskan diri dari dorongan dan berjalan balik.
"Kalau begitu, selamat berusaha menjadi kuat, Megumi. Kita teman masa kecil, jadi aku yakin kau bisa. Aku ... ingin berdiam diri di kamar dulu," ucapmu seraya berjalan meninggalkan Megumi yang menatap punggungmu dalam diam.
Pemuda bermarga Fushiguro itu memukul dinding, cukup frustasi dengan keadaan sekarang ini. Terkadang, ia merutuki sang guru yang memaksanya untuk menghibur dirimu sebelum pekan olahraga tiba. Suara menyebalkan itu terngiang-ngiang di kepalanya.
'Fushiguro, [Last Name], maaf ... ya.'
Megumi sangat tahu kalau sejak awal bertemu dengannya sewaktu mengincar jari Sukuna, kau suka pada sosok Itadori Yuuji. Apakah ia tidak memiliki kesempatan? Bukan itu, Megumi hanya ingin mendukungmu untuk mendapatkan kebahagiaan setelah dirimu bertahun-tahun tidak percaya dengan hubungan romantis. Trauma masa kecil yang kau alami mengenai keluarga, dapat ia mengerti.
Tapi, perasaan kesal tak dapat dipungkiri ketika mendapati dirimu yang berlarut-larut dalam masa lalu dan tak memutuskan untuk maju. Setidaknya, Megumi tak ingin hal yang sama terjadi pada orang sekitarnya terutama dirimu, lagi.
Pemuda itu mengacak helaian rambut hitamnya seraya bangkit dan menuju kamarmu. Ia membanting pintu, lalu menatap penuh emosi pada dirimu yang berada di atas kasur. Ia mengambil jaket abu-abu yang tergantung di stand hanger dekat pintu, lantas melemparkannya secara sembarangan hingga mendarat di atas wajahmu.
"Tunggu, Megumiーapa-apaan?!" serumu kesal, menarik jaket itu ke bawah dan bangkit dari kasur.
Jempol milik Megumi mengarah ke arah pintu ke luar, sementara tatapannya menajam padamu, "Kita jalan-jalan. Ayo cepat ke luar kalau kau tidak mau dibawa paksa oleh Gyokuken."
"Akan kulaporkan kau ke Nobara dan Sensei kalau kau menyeretku ke luar dari kamar menggunakan anjing," ketusmu dengan senyuman penuh kekesalan. Meskipun rasa kebingungan dan emosi mulai menghampirimu, namun kau hanya mengikuti titahnya yang tidak biasa ini. Di saat kau telah selesai mengunci pintu kamar, sontak saja pemuda itu menggenggam pelan lengan bajumu.
"Gojo-sensei menyuruh kita untuk pergi ke cafe dan aku tidak ingin kau tersesat. Kau dan kebiasaan buta arahmu itu menyebalkan, jadi jangan sampai lepas dariku," ujarnya, beralasan dengan wajah datar.
Ia tidak sepenuhnya bohong. Gojo memang menyuruh ia agar membuatmu ceria kembali. Secara waktu, ialah yang paling dekat denganmu dari masa dini.
Kau menghela napas kasar. Pemuda di hadapanmu ini cukup keras kepala. Lantas, kau pun membalasnya dengan senyuman pasrah, "Terserah kau sajalah."
Teman masa kecil itu memang merepotkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro