1| First Meet
Setelah memastikan kedua adiknya terlelap dan mematikan lampu kamar, Mitsuya mengendap menuruni tangga. Meskipun tahu kedua gadis mungil di balik selimut merah muda itu tidak akan terbangun sampai fajar, ia tetap berusaha berjalan sepelan mungkin seolah-olah sedang menghindari bom tak terlihat. Mitsuya tentunya tidak mau jatah istirahatnya yang sudah sedikit harus terpotong lagi, walau barang lima menit, untuk
membacakan cerita membosankan yang sama demi menidurkan Luna dan Mana.
Begitu sampai di ujung tangga, Mitsuya mengembuskan napas panjang dan dengan cekatan menuju dapur. Ia mengecek jendela dan kompor kemudian menuju pintu belakang, memastikannya terkunci. Terakhir, ia berjalan ke ruang tengah dan menurunkan volume televisi. Setelah memastikan jam pada dinding dan meyakinkan diri sendiri, bahwa ibunya akan pulang paling lambat tepat tengah malam, laki-laki berambut lilac itu merebahkan tubuh di sofa.
Kendati mata terasa berat, jam biologis mengatakan bahwa Mitsuya belum boleh tidur. Secangkir kopi yang diminum sejam lalu juga masih berefek kuat. Ia meraih ponsel dari saku celana, sedikit mengangkat bokong untuk menarik benda pipih itu dari lipatan saku. Cahaya ponsel membuat Mitsuya sedikit mengernyit. Ada beberapa pesan masuk dari anggota Touman dan teman-teman di sekolahan. Setelah membalas pesan—sedikit terlambat—gadis-gadis penghuni klub jahit yang meminta saran, juga membuat janji temu untuk sepiring makan siang bersama Draken dan Mikey sepulang sekolah, Mitsuya membuka pesan dari Baji Keisuke.
Baji: masih bangun?
: ya? Baru habis menidurkan Luna dan Mana.
Mengejutkannya, pesan itu dibalas cepat.
Baji: sepupuku akan datang akhir minggu ini. Hanazawa Keira.
: Masih ingat?
: Yang kau bilang cengeng itu?
Baji: tepat.
: Sekarang dia sudah tidak cengeng lagi, sih.
: Jadi, aku akan menjemputnya di stasiun. Tapi, Mikey dan Emma mau ikut.
: Aku akan membonceng Mikey, Draken dengan Emma. Bagaimana kalau kau membonceng Keira?
: Kenapa bukan aku yang bersama Mikey?
: Memang motornya Mikey kenapa?
Baji: Motor malang itu masuk bengkel. Lagi. Bukan kerusakan parah, katanya.
: Ah, biar aku yang bersama Mikey. Kau tahu, dia suka tiba-tiba tertidur di motor.
: Khawatir jika dia tidak di motormu lagi dan kau tidak sadar.
: Oke.
Baji: Bagus. Aku akan mentraktirmu Peyoung Yakisoba besok.
: Bawa helm tambahan. Aku tidak bisa meminjam punya ibuku.
: Hanya ada helm milik Luna dan Mana.
Baji: Itu juga tidak masalah, lol.
: Omong-omong, sepupuku tidak jelek-jelek amat. Dia model. Kau tidak akan malu membawanya di jok belakang.
: Mungkin bisa mengajaknya kolaborasi, lol.
: Aku sedang mempromosikan adikku sendiri. Rasanya aneh, tapi sungguh, dia bagus. Agensi di sini menawarinya pekerjaan, karena itu dia akan pindah.
: Sebenarnya, aku tidak terlalu senang. Katanya dia mau daftar di sekolah yang sama denganku 🙃
: Dia bekerja sampingan?
Mitsuya tidak lagi merasa ngantuk. Tahu-tahu, ia sudah bersandar nyaman di sofa dengan tubuh agak tegak. Pikirannya sibuk, berusaha membuka laci-laci penyimpan memori lama dan mencari-cari ingatan tentang Hanazawa Keira. Satu, dua memori muncul sekejap dan hilang, sebelum Mitsuya sempat mendapat gambaran jelas. Entah kenapa, ia menanti balasan Baji dengan tidak sabar setelah mengetik pesan balasan.
Baji: yep. Seorang fotografer memotretnya saat sedang olahraga—creepy—tapi, gara-gara itu dia ditawari pekerjaan. Lol.
: Oke.
Mitsuya yakin sudah mengunci pintu masuk, jadi ketika bunyi kunci terdengar disusul suara alas kaki menyentuh lantai. Ia cepat-cepat melepas ponsel dan berlari menghampiri wanita paruh baya di ambang pintu depan. Membantunya membawa tas kerja dan melepas coat panjang warna cokelat pudar.
"Aku akan panaskan makan malam." Tangan Mitsuya dengan terampil melipat kain panjang yang tadi memeluk bahu ringkih ibunya, sementara wanita pekerja keras itu menggeleng.
"Ibu sudah makan di luar." Ia mengibaskan tangan, seulas senyum di kerutan wajah tuanya membuat Mitsuya diam-diam membuang napas lega. Baguslah, itu berarti mereka bisa tidur 20 menit lebih cepat.
"Syukurlah."
"Terima kasih sudah bekerja keras, Takashi." Ibu Mitsuya, wanita paruh baya berambut hitam lusuh dengan beberapa helai putih. Tangannya terangkat dan berakhir mengusap-usap kepala putra sulungnya lembut. "Terima kasih."
Mitsuya mengangguk-angguk, menikmati sensasi hangat di bekas tangan ibunya. "Ibu juga."
Keduanya tidak bicara apa-apa lagi. Setelah menambahkan mental note untuk menyeterika setelan panjang milik ibunya besok pagi—sebelum wanita itu berangkat kerja—Mitsuya mematikan televisi, mengunci pintu depan lagi, dan beranjak ke kamar dengan ponsel di genggaman. Ia merebahkan tubuh dan berputar-putar seperti seekor kucing sambil memeluk bantal. Besok akan jadi hari yang panjang, seperti biasa. Setelah menyeterika, ia akan menyiapkan sarapan, membantu kedua adiknya mandi dan menyiapkan diri menuju tempat penitipan, lalu sekeluarga akan sarapan bersama. Ibunya menjemur baju yang dicuci tadi, baru berangkat kerja sekaligus mengantar Luna dan Mana. Ia akan menjemput gadis-gadis cilik itu ketika petang, menemani sampai mereka lelah dan tertidur. Belum termasuk kegiatan lain-lain, seperti pertemuan Touman, kegiatan klub, atau mengerjakan PR.
Semenjak ayah tidak lagi tinggal bersama mereka, Mitsuya merasa hidupnya berat. Dahulu, ketika belum terbiasa, ia suka diam-diam meninggalkan rumah—meninggalkan Luna dan Mana—yang membatasi ruang geraknya. Mitsuya juga pernah membentak ibu, karena kelelahan. Harusnya ia bermain di taman seperti anak-anak lain. Bukan menggendong adik kecilnya di dada, sambil menggandeng yang satu lagi. Namun, lama-kelamaan ia terbiasa juga. Kalau bukan Mitsuya, siapa lagi tempat keluarga ini akan bertopang? Lagipula, ia satu-satunya lelaki yang bisa menjaga wanita sekuat ibunya.
Mitsuya menggeliat sekali, akhirnya menemukan posisi nyaman yang akan membawanya tertidur pulas. Ponsel berdering sekali, cahayanya membuat Mitsuya mengerang. Ia meraih benda pipih itu dan membuka pesan gambar dari Baji. Setelah menekan asal gambar di bawah pesan bertuliskan: ini Kei, wajah gadis itu menjadi pemandangan terakhir yang Mitsuya lihat sebelum terlelap.
Dan, sepertinya, malam itu dia bermimpi indah.
Hari berganti dengan cepat, tahu-tahu jadwal kedatangan Hanazawa Keira yang namanya belakangan diributkan terus-menerus oleh Baji Keisuke tiba. Kapten divisi satu itu rutin mengingatkan formasi menjemput sepupunya. Ia juga meminta Chifuyu Matsuno dan beberapa anggota Touman divisi satu untuk 'membersihkan' beberapa titik lokasi yang masuk dalam list 'Rencana Main Kita'. Nahoya 'Smiley' Kawata meminta Baji membawa saudarinya itu untuk menemui mereka sewaktu-waktu yang langsung diacungi jempol.
"Belum apa-apa dan semua orang sudah mengenal gadis itu." Mitsuya duduk di sebelah Mikey, memperhatikan Baji yang sedang memastikan perintahnya dijalani dengan baik. "Dia pasti terkejut, kalau tahu bahwa kita sudah mengenalnya, sementara dia tidak mengenal kita."
Mikey tersenyum lebar. "Yahhh, keluarga Baji adalah keluarga kita juga," katanya. Sepintas melirik Emma Sano yang berdiri di sebelah Kapten Divisi Satu.
"Emma juga kelihatan senang." Kali ini Draken yang bicara. Membuat dua laki-laki yang duduk di tangga kuil menatapnya dengan tatapan: kau-senang-melihat-gebetanmu-senang-ya. Mikey berusaha bersiul, gagal. Ujung-ujungnya, ia hanya buang-buang ludah yang membuat Mitsuya menjauh.
"Jorok sekali." Draken bergidik, ekspresi jijiknya kentara tidak dibuat-buat.
"Aku berusaha!" Mikey tampak berkonsentrasi. Keningnya berkerut, pipinya menggelembung, dan bibir mengerucut. Masih berusaha bersiul.
"Cobalah, untuk tidak terlalu menyembur," saran Mitsuya.
Satu kata yang terlintas di kepala Mitsuya ketika melihat Hanazawa Keira. Tinggi. Gadis ini lebih tinggi dari Baji, walau hanya sedikit, dan jelas lebih tinggi dari Mitsuya sendiri. Ia meledek Baji sambil mengusap-usap kepalanya, sementara Emma melompat dan memeluk leher Keira. Gadis bertopi hitam itu memeluk pinggang Emma dan memutar tubuhnya di udara sebentar, ia membungkuk hormat pada Mikey dan Draken.
"Ayo, makan parfait lagi!" Mikey menepuk punggungnya dengan senyum lebar.
Keira mengangguk. "Ya, ayo! Habis itu kita main basket, ya." Tangannya bergerak untuk memperbaiki letak tas basket warna merah yang disandang pada bahu.
"Draken-kun, kau tinggi sekali. Masa baru SMP, tapi sudah setinggi ayahku." Gadis berambut cokelat itu menendang-nendang tulang kering Draken pelan sambil tertawa.
"Kau juga raksasa untuk ukuran perempuan," balas Draken sambil menangkis tendangannya dengan kaki.
"Seragam kalian bagus, ya." Keira mencubit lengan baju Mikey dan menggeseknya dengan ibu jari. "Buatan sendiri?"
Baji berdeham, kemudian memberi kode agar Mitsuya mendekat. "Hoi, Kei! Kau akan dibonceng oleh Mitsuya, seperti kataku. Dia yang membuat seragam kami. Keren, 'kan?" Laki-laki itu tersenyum bangga, taringnya terlihat di sudut bibir.
Keira menoleh, netra cokelatnya bertatapan dengan sepasang iris lavender milik Mitsuya. Gadis itu kentara sekali terpana, senyumnya merekah.
"Hanazawa Keira. Yoroshiku onegaishimasu." Ia membungkuk sebentar. "Keisuke banyak bercerita soalmu."
Mitsuya mendesah kecil. "Mitsuya Takashi." Diam-diam berharap bahwa cerita-cerita dari Baji bagus, ia merasa sedikit dicurangi karena kawannya itu tidak menceritakan apa pun tentang Keira secara personal. Mitsuya membungkuk rendah sebentar.
“Kau punya warna mata dan rambut yang bagus, Mitsuya-kun."
"T-terima kasih." Sejujurnya, Mitsuya sedikit bingung karena ini kali pertama ada seseorang yang memuji warna mata dan rambutnya. Ia merasa warna itu terlalu mencolok. Laki-laki itu menyentuh ujung rambutnya, tidak bisa menyembunyikan seulas senyum kecil.
Baji kemudian memberitahu rencana jalan-jalan mereka dan masing-masing orang menaiki motor. Mitsuya menyerahkan helm milik Mana dan Luna pada Keira, sedikit resah.
"Aku takut itu kekecilan."
Keira memasangnya di kepala. "Sedikit. Ini bukan punyamu, ya?"
"Adikku."
"Aku takut ini rusak." Keira memasang pengait helmnya. "Akan kuganti kalau rusak."
"Kepalamu sakit?"
"Tidak apa-apa, besok aku akan membeli helm sendiri."
"Beli sekarang saja. Aku tahu tempat yang bagus." Mitsuya menyalakan motornya dan memasang helm. "Pegangan!" Ia merasakan seseorang meremat seragamnya di bahu. Mesin motor berdesing, setelah motor Draken dan Baji melintas barulah Mitsuya mengikuti dari belakang.
Selama beberapa menit, tidak ada seorang pun yang berbicara di atas motor. Mitsuya yang merasa canggung memutuskan untuk bicara duluan.
"Kudengar kau bekerja sampingan."
Tidak ada jawaban.
"Hanazawa-san?"
Masih tidak ada jawaban.
Jangan-jangan dia tidur.
Mitsuya menoleh, helmnya menabrak milik Keira.
"Ada apa, Mitsuya-san?"
"Kukira kau tidur." Mitsuya kembali menatap jalan. "Kau tidak menjawab panggilanku."
"Maaf, sedikit tuli karena suara angin." Keira tertawa renyah. "Kau bilang apa tadi?"
Mitsuya tidak langsung menjawab. Ia berhenti di depan lampu merah dan menurunkan kaki. Draken dan Baji berada di sebelah kanannya. "Kau bekerja sampingan?"
Keira memajukan wajah sampai ke samping telinga Mitsuya. "Iya."
"Usiamu masih 14, 'kan? Apa boleh?" Mitsuya melirik Keira, sebenarnya ia sudah memikirkan pertanyaan ini sedari awal Baji berkata bahwa sepupunya bekerja sampingan sebagai model.
Keira mengangguk, matanya lekat menatap pejalan kaki. "Tidak masalah. Orang tuaku sudah tahu dan menandatangani surat izin. Lagipula, aku hanya bekerja sewaktu akhir pekan atau ketika ada panggilan tertentu; seperti permintaan klien."
Mitsuya melajukan motornya ketika warna lampu lalulintas berganti warna.
"Banyak model yang memulai karir dari usia muda," Keira mulai bercerita, sementara Mitsuya menyimak, "biasanya mereka mengikuti sekolah model—mirip tempat pelatihan khusus gitu—kemudian baru akan mulai debut di usia 15 tahun ke atas. Sekitar usia 17 tahun, mereka sudah bisa punya album sendiri."
"Namun, dalam beberapa kasus, ada model yang direkrut oleh fotografer saat usianya baru 14 tahun. Bisa juga mengajukan diri, cuma ada yang direkrut sepertiku. Model terkenal saat ini, yang baru-baru saja debut, Harume Komiami memulai karirnya di usia 14 tahun juga. Foto pertamanya diambil saat sedang makan hamburger. Dia direkrut karena selembar kertas itu. Usianya 17 tahun sekarang. Sepertiku, dia juga mendapatkan pekerjaan dengan porsi kecil dahulu—pada akhir pekan dan mungkin liburan—sambil belajar. Agensi yang merekrutku bukan agensi terkenal. Masih tergolong baru, jadi model mereka juga masih sedikit."
"Kenapa kau tidak ikut sekolah model saja?" Dalam benak Mitsuya, ia bertanya-tanya apakah Mana atau Luna bisa menjadi model juga saat sesuainya nanti. "Bukankah karirmu akan lebih bagus, kalau disekolahkan sejak dini?"
Keira meringis. "Aku ingin jadi atlit basket," katanya dengan senyum kecil. "Aku bahkan tidak terpikir ingin jadi model. Ini hanya alasan agar bisa pindah ke Tokyo dan punya tambahan uang jajan, anggap saja sekaligus cari pengalaman. Kalau nanti memang jalanku di dunia model, aku pasti akan mengupayakannya. Model bagus tidak semuanya terlahir dari sekolah, ada juga yang memulai karir gemilang setelah mengikuti kompetisi."
Mitsuya mengangguk-angguk, merasa aneh dengan topik obrolan mereka yang agaknya terlalu berat untuk ukuran anak 14 tahun. Mendengar pemaparan Keira, membuat Mitsuya menyadari betapa detail gadis di balik punggungnya ini dalam menggali sesuatu. Mereka tidak mengobrol lagi, sampai motor melambat dan terparkir di halaman sebuah kafe.
Keira turun lebih dulu sambil melepaskan pengait helm. Mitsuya mematikan motor dan mengantongi kunci, kemudian membantu Keira menarik helm kekecilan dari kepalanya. Rambut cokelat gadis itu berantakan, keluar tak beraturan dari ikatan rambut dan bergelombang tak karuan.
"Kalau kau, apa yang senang kau lakukan?" Baru saja Mitsuya hendak meminta maaf, ia terdiam mendengar pertanyaannya itu, sementara tangannya ikut membantu Keira merapikan rambut.
"Aku suka menjahit."
"Keren." Keira merapikan ikat rambut, binar kagum timbul di kedua matanya. "Baru ingat, tadi Keisuke bilang kau yang membuatkan seragam Touman, ya? Hebat. Bisa buat baju sendiri. Keren!" Keira cekikikan sambil meletakkan helmnya di jok belakang.
Mitsuya mengusap tengkuk. "Terima kasih."
Entah kenapa, ia merasa bangga dan sangat keren karena dipuji-puji begini. Padahal, bukan kali pertama orang-orang mengagumi tangannya yang terampil, bagaimana jari panjang itu meniti kain bersama mesin jahit dan meteran dengan teliti. Mitsuya tidak munafik, ia senang dipuji. Namun, pujian dari Keira membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Mungkin karena mereka baru kenal. Pujian dari orang asing memang memiliki sesuatu. Rasanya seperti tersetrum perasaan asing yang menyenangkan. Mitsuya tersenyum.
Keira mengulurkan ponsel hijau toska dari dalam tas merahnya.
"Mitsuya-san, boleh minta nomormu?"
Omake;
K: Keisukeee, aku dapat nomor cowok Tokyo~! Sudah kubilang, aku akan langsung dapat nomor cowok Tokyo begitu tiba di sini ƪ(˘⌣˘)ʃ
B: Oh, kau bayar berapa?
K: Sialan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro