[dsb · 03] - babak ketiga
desember — BABAK KETIGA ]
[ menampung kepemilikan ]
***
Langkah-langkah kaki yang agak diseret menimbulkan suara renyah di salah satu lorong panjang Laboratorium Teknik. Lelaki berkacamata itu membuka satu-satunya ruangan yang terletak di ujung lorong. Kanan-kiri dari pintunya diletakkan dua buah pot hitam besar yang ditanami kaktus yang masih berukuran sekepal tangannya. Sampai sekarang, Devan masih tidak mengerti mengapa untuk ukuran tanaman yang terbilang kecil, mereka menggunakan pot berukuran jumbo.
Ruangan 22.51.23 sudah ditempatinya hampir tiga bulan ini bersama salah satu rekannya dari angkatan setahun di atasnya. Sebenarnya, ruangan tersebut adalah ruang kelas yang digunakan para mahasiswa untuk mendapatkan penyuluhan sebelum melakukan praktikum lapangan atau praktikum dalam ruangan. Tampak dari kursi-kursi perkuliahan yang masih tertata rapi.
Namun, ruangan itu hanya digunakan beberapa kali dalam sebulan yang membuatnya lebih sering kosong. Devan dan beberapa rekan asisten yang lain kompak menyetujui untuk menempati kelas itu sebagai tempat kalau mereka harus memeriksa laporan praktikum mahasiswa di kampus.
Devan bahkan baru saja meletakkan ranselnya di meja paling sudut dari ruangan—jauh dari pintu masuk, tetapi ia sudah mendengar seseorang mengetuk pintu ruangan tersebut. Begitu ia menghampiri, seorang lelaki jangkung dengan poni menutupi dahi dan tentu saja makalah laporan praktikum di genggamannya. Sang asisten laboratorium melirik arloji di pergelangan tangannya, jam menunjukkan pukul 7:35.
"Kamu nggak tidur, ya, tadi malem sampai datengnya jam segini, Rian?" Sambil menerima laporan tersebut, Devan mengulum senyumnya. "Tapi baguslah. Lain kali ngumpulnya kayak gini aja biar kamu dapet plus terus."
Namun Rian hanya membalas dengan gumaman panjang. Tidak seperti biasanya yang suka mengeluh ini-itu. Hal lainnya yang membuat Devan mengerutkan dahinya adalah kalau Rian datang lebih awal dari biasanya. Bahkan lebih cepat daripada asisten laboratorium dan mahasiswa lainnya. Kalau Devan menebak, pasti hanya mereka berdua yang ada di laboratorium itu terlepas dari beberapa pelayanan kebersihan di sana.
Devan membolak-balik laporan milik mahasiswa tahun kedua itu. sesekali ia melirik Rian yang tampak lesu dan tak bertenaga. "Muka kamu kayak orang yang abis putus aja."
Sayangnya, Rian masih betah memangku kebisuan. Lelaki itu mengembuskan napas panjang lalu memandang sang asisten laboratorium melalui sudut matanya.
Lelaki berkacamata itu membelalak sedikit, perhatiannya pada laporan praktikum itu teralihkan. "Jangan bilang beneran baru putus."
"Enggaklah!" tampik Rian tidak terima, suara pertamanya yang keluar hari itu terdengar sangat tidak bersahabat. "Jadian aja belum."
Letak kacamatanya diperbaiki. "Oh," katanya dengan tidak berminat, kembali lagi memeriksa pekerjaan mahasiswa tahun kedua itu. mencari-cari kekurangannya sehingga Rian bisa memperbaikinya saat itu juga sebelum diberikan nilai akhir. "Semoga kalian nggak jadian."
Rian terdengar mendengkus keras, tetapi tidak membalas sama sekali. Devan meliriknya saja sebentar dan mendapati lelaki itu mendelik tak suka padanya. Namun, menit berikutnya ia berucap cukup rendah, mungkin berharap juga kalau Devan tidak mendengarnya, padahal yang terjadi malah sebaliknya.
"Semoga aslab ini jomlo terus."
Memang, permasalahan para mahasiswa tidak akan jauh-jauh dari keluhan mengenai tugas-tugas yang menumpuk atau permasalahan cintanya. Kalau Devan, tentu bukan kelompok yang kedua.
Si asisten laboratorium baru saja selesai memeriksa milik Rian saat sekelompok mahasiswa lainnya terdengar memasuki gedung laboratorium. Mahasiswa tahun kedua itu berderap pergi setelah Devan mengatakan bahwa laporannya tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Baru setelahnya, sekelompok mahasiswa datang menghampirinya dan tampak seperti teman sekelas Rian karena berinteraksi dengan lelaki itu.
[Devan, tolong bawa semua laporan praktikum mahasiswa yang sudah dinilai ke ruangan saya sekarang, ya. Saya mau merekap nilai sementara sebelum UTS. Terima kasih.]
Pesan dari dosennya membuat kepada Devan mendadak pening. Pasalnya ia mengira kalau dosen hanya membutuhkan rangkuman nilainya saja, bukan dengan seluruh laporannya. Proses pengumpulan laporan praktikum sudah selesai dua setengah jam yang lalu. Seluruh laporan yang ia terima hari itu juga sudah selesai diperiksa dan nilainya pun sudah dirangkum ke dalam satu soft file.
Ia sebenarnya tidak masalah dengan seluruh laporannya, karena memang seluruh laporan praktikum masih tersimpan rapi di laci-laci meja ruangan itu. Namun, ia hanya bingung bagaimana cara membawanya ke ruangan sang dosen yang letaknya berada di gedung utama Fakultas Teknik yang jaraknya terbilang cukup jauh kalau harus membawa tumpukan laporan praktikum mahasiswa.
Devan keluar dari ruangan itu, hendak mencari siapa saja yang bisa dimintai tolong. Rekannya tidak bisa membantunya dengan alasan masih ada kelas hingga pukul satu. Seluruh lorong laboratorium sepi meskipun di dalam ruangannya masih terdapat banyak mahasiswa yang melakukan pratikum bersama para asisten laboratorium.
Ia tidak bisa mengganggu mereka, tetapi tidak bisa pula menunggu hingga mereka semua selesai atau menunggu rekannya hingga pukul satu sementara sekarang sudah pukul sebelas kurang lima belas. Dosen itu, kata rekannya adalah tipikal orang yang sulit. Dalam artian, kalau kita bergerak lambat sedikit saja dosen tersebut akan merajuk, tidak mau menerima, dan kita sendiri yang harus membujuknya hingga nilainya mau diterima—dan proses membujuk itu bisa berhari-hari.
Oh, tentu saja Devan tidak mau menanggungnya, apalagi sendirian. Meskipun nilai ini bukan miliknya, tetapi ia tetap punya tanggungjawab.
Sang asisten laboratorium mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk mengantarkan seluruh laporan praktikum itu sendirian. Ia melihat sebentar tumpukan laporan yang sudah ia kerjakan ditambah dengan milik rekannya di atas meja. Tingginya mungkin sama dengan panjang dari ujung jari ke sikunya.
Beberapa langkah baru dilalui keluar dari ruangannya, tetapi Devan sudah akan merasa kalau beberapa makalah di bagian akan akan meluncur jatuh ke lantai. Ia terpaksa harus berderap pelan sekali agar seluruh laporan di pelukannya tidak berserakan. Devan baru mencapai pintu utama laboratorium setelah perjuangan cukup keras.
Sayang sekali perjalannya masih cukup panjang mengingat gedung fakultas jaraknya bukan dari ruangan 22.51.23 ke pintu utama gedung laboratorium.
Saat akan menuruni anak tangga, kakinya sedikit menjejak tidak pas. Keseimbangan Devan agak goyah sehingga beberapa laporan meluncur dari tumpukannya. Lelaki hampir pasrah saat laporannya akan jatuh, tetapi seorang gadis memekik panjang sebelum akhirnya menangkap beberapa laporannya yang akan jatuh itu tepat waktu.
"Oh my God!"
"Untung aja," sambung gadis itu sembari bernapas lega. Devan melihat wajah familir sang gadis dari balik tumpukan laporan yang ia peluk. Si gadis kemudian mengambil setumpuk laporan dari tangannya bahkan tanpa perlu persetujuan dari Devan. "Let me help you. Harusnya kalau sebanyak ini kakak ngajak orang lain, nggak, sih?"
Gadis itu adalah Raya, gadis yang beberapa hari lalu mengembalikan jaketnya di laboratorium yang sama. ia tampak kesal melihat tumpukan setinggi itu dibawa sendirian.
"Kayaknya nggak ada yang free, so I took it all." Devan lanjut merajut langkah keluar dari pelataran gedung laboratorium. Raya berusaha menyamakan langkah di sampingnya. Lelaki itu merasa bersyukur sekali ada yang membantunya mebawa beban seberat itu sendirian. Langkahnya terasa lebih ringan dari beberapa waktu yang lalu.
"Nggak bisa nunggu orang lain dulu?" Raya bertanya kembali.
"The lecturer, I guess you know how they are." Sang asisten laboratorium melirik gadis di sebelahnya sebentar. Mereka melewati kumpulan mahasiswa yang berdiskusi di kursi-kursi taman kampus.
"Ah, I see." Raya mengangguk-angguk paham, lalu menatap tumpukkan laporan praktikum di tangannya. "Ini mau dibawa ke ruangannya semua?"
"Yeah, right."
"What a burden," ujarnya mahasiswi Kimia itu dengan nada rendah.
"You don't need to help me if you're grumbling like that."
"I'm not grumbling, I'm just ...."
Devan menaikkan sebelah alisnya sembari tersenyum kecil, menatap Raya yang tampak berpikir keras. "What?"
Raya balas menatap, menampilkan jejeran gigi-giginya. "I can't find the right words."
"Even in our language?" Rasa-rasanya, Devan hampir saja tertawa.
Mereka sudah sampai di pelataran gedung utama Fakultas Teknik. Sepasang muda-mudi itu serempak melangkah masuk dan seketika pendingin ruangan menusuk-nusuk kulit. Devan dan Raya berderap lebih dalam di antara para mahasiswa menuju salah satu ruangan yang sudah diberitahu oleh sang dosen.
"Even in our language," sahut Raya dengan cengiran yang bertambah lebar.
"How poor you." Lelaki berkacamata itu sukses mengeluarkan tawa rendahnya.
Mereka sampai begitu cepat. Devan lebih dulu mengetuk pintu dan mengatakan alasan kedatangan pada satu-satunya dosen yang duduk berhadapan dengan laptop terbuka. Setelah diizinkan, sang asisten laboratorium menaruh seluruh laporan itu di atas meja, berlanjut dengan laporan yang dipegang oleh Raya.
"Thanks for help me," kata Devan setelah keluar dari ruangan dosen. Ia tersenyum hangat pada gadis yang sudah membantunya membawa laporan hingga ke gedung yang pendingin ruangannya bukan main dinginnya.
"Anytime!" Raya menyahut dengan semangat. Jemarinya membentuk OK di udara. "But ... I think it's not free at all." Mahasiswi Kimia itu mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum jahil.
***
[ BABAK KETIGA — selesai ][ next » BABAK KEEMPAT ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro