Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7b

"Untuk orang yang ingin balas dendam, kamu terhitung sangat santai."

Juan yang baru saja datang, menggoda Dara yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan setumpuk dokumen. Wanita itu tersenyum.

"Benarkah aku santai? Kamu nggak lihat betapa banyak yang harus aku pelajari?" Ia menunjuk tumpukan dokumen. "Nggak pernah sebelumnya, aku belajar begini banyak. Bahkan saat Kakek masih hidup."

"Semua kamu perlukan nanti. Setidaknya, kalau kita mau berperang, harus tahu apa yang akan kita hadapi."

"Memang, karena itu aku nggak komplen. Bagaimana? Berhasil?"

Juan membuka topi dan kacamatanya, berikut sarung tangan. Dari dalam jaketnya ia mengeluarkan bungkusan dan menyerahkannya pada Dara.

"Aku harus berhati-hati saat menyamar masuk ke rumah itu. Untunglah, tukang sayur tidak banyak bicara saat aku ikut mereka masuk ke dalam."

Dara menimbang benda di tangannya dan terasa berat. "Mungkin karena Bu Atifah memberitahunya?"

Juan mengangguk. "Bisa jadi. Aku mengangkut banyak sayuran dan daging, Bu Atifah menungguku sambil mencatat. Setelah itu kami mencari tempat di luar jangkaun CCTV dan dia memberiku itu diam-diam. Untung saja, dibungkus dengan kantor keresek jadi tidak terlalu mencurigakan."

Membuka bungkusan di tangan, Dara menggelar isinya di atas meja. Semuanya berupa perhiasan mahal baik berlian maupun batu permata. Juan menatap barang-barang itu dan mendesah. "Wow, banyak sekali."

"Apakah kita akan menggunakan semuanya?" tanya Dara.

Juan menggeleng. "Tidak perlu. Aku hanya ingin kamu menjual dan kita bisa pindah ke apartemen yang bagus, berikut menyewa ruangan untuk kantor mungkin selama enam bulan. Jangan lupa merekrut beberapa pegawai magang."

Dara terbelalak. "Kita akan punya pegawai sungguhan?"

"Nggak, mereka dibutuhkan saat Lewis atau Dani ingin ke kantormu. Selebihnya, cukup kita berdua di sana."

Dara tersenyum, mulai mengerti dengan jalan rencana Juan. Ia menatap laki-laki itu dan bertanya. "Apa kamu melihat Dani?"

"Ada, sekilas melihatnya sedang minum kopi di balkon lantai dua."

"Tumben, biasanya dia belum bangun. Apa karena isu yang beredar tadi malam?"

"Isu apa?"

Dara menyorongkan ponselnya dan menyerahkan pada Juan. "Dani kepergok keluar dari apartemen Tanya. Mereka bahkan terlihat berciuman di lobi."

"Kenapa bisa masuk kolom gosip?" tanya Juan.

"Karena Tanya orang terkenal."

Mengembalikan ponsel pada Dara, Juan berdehem. "Kamu nggak apa-apa?"

Menghela napas panjang, Dara menyandarkan tubuh ke punggung kursi. Setiap kali Juan bertanya apakah dia baik-baik saja? Ia tidak tahu jawabannya. Yang jelas, ia merasa marah dan dendam pada Dani. Karena laki-laki itu telah memanfaatkannya. Ia juga punya kecurigaan kalau Dani-lah yang membuatnya celaka. Meski belum bisa dibuktikan sekarang, tapi ia akan mencari tahu.

"Aku merasa kesal. Bukan karena dia mengkhianatiku tapi karena dia bermain-main saat sudah punya kedudukan."

"Salahkan pamanmu yang mendukungnya."

"Ehm, mereka sama saja."

Juan bangkit dari kursi, menuju dapur. "Aku akan masak makan siang. Kamu lanjutkan saja membaca. Kita makan mi pangsit. Mau?"

Dara mengangguk, matanya mengikuti punggung Juan yang menghilang ke arah dapur. Ia meraih kalung berlian dan menimangnya di tangan. Besok, kalung ini akan berpindah pemilik. Semua ia lakukan demi mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya.

Cuping hidungnya bergerak saat mencium aroma bawang putih yang ditumis, tanpa sadar ia tersenyum. Juan laki-laki hebat, tidak hanya memasak tapi juga menguasai banyak kemampuan lain. Laki-laki itu bisa merapikan taman, membuat pagar dari kayu, dan memperbaiki bagian rumah yang rusak seperti jendela yang tidak bisa ditutup. Kemampuan laki-laki yang membuatnya takjub.

Juan terhitung laki-laki tampan dengan pembawaan yang menawan, banyak wanita yang memandangnya dua kali saat berpapasan. Dara memperhatikan itu saat keluar bersama ke supermarket untuk belanja. Bahkan tetangga sekitar pun menaruh perhatian padanya. Namun, mereka tahu diri untuk tidak lebih dari sekadar menyapa, sikap Juan yang dingin dan angkuh membuat mereka takut. Berbanding terbalik dengan Dani yang sangat bersahabat dengan siapa pun, terutama wanita.

Meraih dokumen di atas meja, Dara kembali memfokuskan diri pada pekerjaan, hingga satu jam kemudian Juan memanggilnya untuk makan.

Selesai bersantap, mereka bergegas pergi ke beberapa toko perhiasan yang diketahui Dara. Membandingkan harga dari satu tempat ke tempat lain, dan akhirnya memutuskan untuk menjual satu set perhiasan seharga hampir satu miliar.

"Apa suami dan pamanmu tidak tahu kalau kamu punya simpanan perhiasan begitu banyak?" tanya Juan saat mereka melangkah bersisihan meninggalkan toko.

Dara menggeleng. "Nggak tahu. Karena perhiasan itu selain warisan juga aku membelinya sendiri. Kedua orang tuaku menyiapkan begitu banyak dana pendidikan, dana ini dan itu, begitu juga Kakek. Saat itu, aku belum tahu ingin digunakan untuk apa dan aku memilih membeli perhiasan. Sekarang, ternyata berguna."

Juan tersenyum. Ia meraih pundak Dara secara otomatis saat wanita itu nyaris bertabrakan dengan orang.

"Kita ke butik, membeli pakaianmu. Minggu depan rencana mulai dijalankan dan pakaian yang kamu bawa dari Korea tidak akan cocok."

"Baiklah, kita belanja hari ini."

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di butik untuk memilih pakaian bagi Dara. Juan bersikap layaknya suami yang baik. Menimbang apakah pakaian yang diajukan cocok atau tidak untuk dipakai Dara. Begitu pula sepatu dan tas. Saat Dara ke kasir untuk membayar. Petugasnya bahkan mengucapkan sesuatu yang membuatnya tersenyum.

"Nyonya, suaminya tampan sekali. Pintar juga memilih pakaian."

Dara tidak mengoreksi panggilan itu, karena menurutnya merepotkan kalau harus menjelaskan pada orang lain. Mereka meminta butik mengirim langsung ke rumah dan keduanya memutuskan untuk makan di sebuah restoran China.

"Aku lapar, seharian jalan terus." Dara mengeluh saat keduanya memasuki restoran.

"Makan yang banyak kalau begitu."

Seorang pelayan menyambut mereka dan mengarahkan ke bagian dalam restoran. Dara mengedarkan pandangan dan matanya tertumbuk pada meja di sudut, di mana ada Dani, Tanya, dan beberapa orang di sana. Mereka makan sambil mengobrol ramai. Dara merasa kakinya lemas seketika. Ia meraih tangan Juan dan menariknya.

"Kenapa?" tanya Juan.

Dara berdehem, lalu berbisik. "Lihat meja di sudut."

Juan mengikuti arah pandang Dara dan melihat Dani berserta teman-temannya. Ia menatap Dara lalu bertanya serius. "Mau mencari tempat lain?"

Untuk sesaat Dara berpikir mencari tempat lain. Ia tergoda untuk menghindari Dani, tapi dipikir lagi itu hal yang tidak perlu. Bukankah dengan penampilannya yang sekarang tidak ada orang yang mengenalinya? Jadi, untuk apa ia takut.

"Dara."

"Nggak, kita tetap di sini."

"Kamu yakin?"

Dara mengangguk, mengikuti langkah si pelayan dengan tangan masih berada di dalam genggaman Juan. Meja mereka berada tidak jauh dari tempat Dani. Dara duduk dengan wajah menunduk dan mencoba menahan debar.

"Santai, Dara. Kamu mau makan apa?"

"Apa saja. Terserah kamu."

"Bagaimana kalau bebek peking, sup asparagus, dan dua macam sayur?"

Dara menyetujui apa pun yang dikatakan Juan. Tanpa sadar ia terus melirik ke arah meja Dani. Suaminya itu, terlihat sedang memeluk Tanya dengan mesra. Saling menyuapi dan bertukar tawa. Hati Dara perih seketika. Dulu, saat mereka masih berstatus suami istripun, Dani tidak pernah semesra itu dengannya.

Juan yang menatap Dara dan melihat bagaimana air muka wanita itu mengeruh. Ia menuang teh panas dan menyuguhkan depan Dara. "Minum."

Dara meraih gelas kecil dan meniupnya sesaat sebelum meneguk perlahan. Dani kini berdiri, memeluk Tanya dan mengecup pipinya dengan mesra, diiringi suaranya yang menggelegar.

"Terima kasih atas dukungan kalian!"

Teman-temannya bersorak. "Kami menunggu kabar baik."

"Undangannya segera!"

Dara tercengang, tanpa sadar mendongak. Saat itulah, pandangan matanya bertemu dengan Dani dan terlambat untuk menunduk. Dani menatapnya sesaat lalu kembali bicara dengan orang-orang di mejanya. Perasaan lega membanjiri Dara.

"Dia tidak mengenaliku," ucapnya pelan.

Juan tersenyum. "Tentu saja, Dara. Dia tidak sepintar itu."

Dara tidak dapat menahan tawa. Saat pesanan mulai dihidangkan, ia berusaha memusatkan perhatian pada makanan di atas meja dan mengunyah apa pun yang diberikan Juan padanya. Sesekali ia melirik Dani dan mendapati laki-laki itu sedang membayar tagihan dan bersiap pergi.

Mereka membubarkan diri. Dani merangkul Tanya dan berjalan ke arah pintu diikuti teman-temannya, sama sekali tidak melirik ke arah Dara.

Apakah aku berubah begitu banyak sampai kamu tidak mengenaliku, atau memang selama ini kamu tidak memperhatikanku?

Dara mengikuti langkah Dani dengan pikiran tak menentu dan hati yang berdenyut sakit. Ia sudah tahu kelakuan suaminya, tapi entah kenapa tetap saja merasa sakit karena dikhianati. Suami yang berfoya-foya dengan perempuan lain saat dirinya terkapar di dasar jurang. Dendam di hati Dara, menguar lembut dan menjalar di nadinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro