Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5a

Mereka berpindah ke teras, duduk bersebelahan menatap kelam malam yang menyelimuti bumi. Suara binatang berbaur dengan desir angin, menambah kesan sendu dan misterius. Rumah dikelilingi pepohonan yang berdiri angkuh dan kokoh melawan malam. Suasana sendu tercipta dan seolah-olah tidak ada manusia lain di bumi selain mereka berdua.

Dara menghela napas, mengisi paru-paru dengan udara segar untuk menghilangkan rasa sesak. Tangannya terkepal di atas pangkuan dengan mata berkabut. Ia berusaha menahan isak yang mendesak keluar. Merasakan takut sekaligus geram pada berita yang baru ia baca.

Kecelakaan, menantang maut, dan keluarganya bukan datang mencari untuk menolongnya malah kini sedang berebut harta dan tahta yang kosong karena kepergiannya. Keluarga macam apa mereka, lebih mementingkan harta dari pada dirinya.

"Kamu menangis?"

Teguran Juan membuat Dara menggeleng. "Nggak."

"Menangis saja kalau mau, nggak masalah. Kalau aku jadi kamu, mungkin sudah meraung."

Bisa jadi suara Juan yang terdengar penuh pengertian atau mungkin perasaan Dara yang penuh sesak, akhirnya ia menangis tersedu-sedu dengan bahu terguncang. Juan meninggalkannya sesaat lalu kembali dengan sekotak tisu dan meletakkan di atas pangkuan Dara.

"Me-mereka bersuka cita. Aku se-sendiri menanggung luka." Dara berucap di sela tangisan. "Dani bahkan sudah pu-punya wanita lain. Bisa ja-jadi dia berselingkuh dari dulu."

Juan terdiam, membiarkan Dara menumpahkan isi hatinya. Ia mengerti perasaan wanita itu, dan berharap dengan tangis mampu meredakan kekecewaan.

"A-aku tidak mengerti, siapa yang harus kupercaya. Mereka se-semua sama saja."

Setelah menangis beberapa saat dan menghabiskan banyak tisu, kini tersisa isakan lirih. Dara mendongak saat Juan mengulurkan air minum hangat dan ia menerimanya dengan penuh terima kasih. Saat air menyentuh tenggorokannya, ia merasa ironis pada hidupnya sendiri. Selama ini diperlakukan bagaikan tuan putri yang dilindungi, entah di rumah atau di kantor, nyatanya itu adalah bentuk lain dari pengekangan dirinya. Semenjak sang kakek meninggal, para kerabatnya berebut harta dan tahta yang ia miliki. Ia kini curiga kalau kecelakaannya adalah hal yang disengaja. Saat kemarin Juan memiliki dugaan yang sama, ia masih menyimpan ragu. Tidak peduli bagaimana pun jahatnya keluarganya, mereka tidak akan berani mencelakainya. Kini, ia meragukan sendiri pendapatnya.

"Sudah tenang?"

Dara mengangguk, menyerahkan gelas kosong pada Juan yang membantunya meletakkan di atas meja.

"Aku yakin, kecelakaanku disengaja," ucap Dara dengan suara serak.

"Bukankah aku pernah mengatakan ini sebelumnya?"

"Iya, tapi saat itu aku berpikiran naif dan kini—"

"Berubah. Karena berita-berita itu?"

Dara mengangguk.

"Apa karena suamimu berselingkuh?"

Memejam dan meraba dadanya yang sakit, Dara lagi-lagi mengangguk. "Dani, selama ini aku merasa bersalah padanya. Sebagai istri tidak benar-benar melayani sebagaimana mestinya. Aku lebih banyak menahan diri, bersikap dingin, dan acuh. Aku berusaha mengubah sikapku, demi keutuhan rumah tangga kami. Tapi, ternyata—"

Hening, Dara membiarkan kata-katanya menggantung di udara dan tertelan malam. Ia sudah cukup banyak menangis malam ini, dan tidak ingin tidur dalam keadaan mata bengkak. Sudah sering ia menangisi keadaan tubuhnya, kini ditambah memikirkan tentang keluarganya, ia sudah tidak sanggup.

"Juan, bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke kota?"

Juan menatap Dara, menjawab tanpa senyum. "Kamu harus sembuh dulu."

"Tapi, berapa lama? Mereka sekarang sudah tidak sabar untuk menyingkirkanku!"

"Kalau kamu kembali dalam keadaan begini, sama saja seperti menyerahkan nyawa. Kamu harus sehat dan pulih, baru menyerang mereka."

Dara menunduk, mengutuk keadaannya yang tidak berdaya. Bagaimana pun, apa yang dikatakan Juan memang benar. Dalam keadaan sekarang, tidak mungkin ia pulang. Orang-orang itu akan tetap meremehkannya, bisa jadi malah akan mengurungnya demi alasan kesehatan. Kalau sampai itu terjadi, yang rugi adalah dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu caranya untuk sembuh dengan cepat."

Juan mendesah, mengulurkan tangan dan mengusap lembut pundak Dara. Sangat berhati-hati untuk tidak menyakiti karena ia tahu kalau tubuh Dara belum sepenuhnya sembuh.

"Besok dokter Lou datang, kita akan bertanya padanya."

Sisa malam itu, mereka habiskan dengan merenung di teras. Mereka terdiam, menatap gelap dan masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Saat berbaring di ranjang, Dara tidak dapat memicingkan matanya sepanjang malam. Berbagai rencana dan berjuta masalah berkecamuk di pikirannya. Bayangan Lewis, Sandi, dan Dani, terus berkelebat dalam otaknya. Ia tidak tahu bagaimana menghentikannya, dan akhirnya menyerah pada rasa lelah saat matahari mulai menyelusup masuk ke kamar melalui celah gorden yang terbuka.

Keesokan harinya, Juan bangun lebih dulu seperti biasanya. Ia menatap Dara yang masih tergolek di atas ranjang dan melihat betapa pucat wajah wanita itu. Ia mendesah, menduga kalau Dara sepanjang malam pasti tidak tidur. Siapa pun akan seperti itu kalau mengalami masalah besar dalam hidup. Memutuskan untuk tidak mengganggu tidur Dara, ia ke dapur dan berencana memasak makan siang. Sepertinya hari ini mereka akan melewatkan sarapan.

Dokter Lou datang pukul sebelas pagi. Dara dibangunkan oleh suster yang akan membantunya mengganti baju dan mandi. Saat terbangun, Dara menyadari tidur lebih lama dari seharusnya.

"Dokter, apa aku bisa sembuh?" Dara bertanya lirih pada dokter yang sedang memeriksa luka di kakinya.

"Kamu sudah pulih, Dara. Lebih cepat dari perkiraanku."

Dara tersenyum kecil. "Bagaimana caranya agar lebih cepat lagi? Makdsudku bisa berdiri seperti semula."

Dokter Lou mengangkat wajah. "Kamu mau terapi? Kalau mau, aku akan mendatangkan terapis untukmu. Mungkin untuk membantu Latihan selama satu sampai dua jam, selanjutnya, Juan yang akan melanjutkan."

Mata Dara melebar. "Juan bisa terapi?"

"Juan bisa melakukan apa pun, yang bahkan tidak bisa dilakukan orang lain." Dokter Lou tersenyum, mengerling ke arah Juan yang sedang bersandar pada jendela, mendengarkan percakapan mereka.

Dara mengikuti arah pandangan sang dokter dan merasa kalau ucapan pria tua itu tidak berlebihan. Tingga bersama Juan selama beberapa bulan, ia mengetahui kalau Juan memang bisa melakukan segala hal. Tanpa kata Dara mengangguk setuju. "Baik, Dok. Aku mau."

"Bagus, mulai Minggu depan terapis akan datang ke sini setiap hari."

"Bagaimana dengan kulitnya?" Kali ini Juan yang bertanya.

"Iya, bagaimana dengan kulitku, Dok?" Dara menatap sang dokter.

Dokter Lou menghela napas. "Hanya ada satu cara dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit."

"Apa?"

"Operasi plastik dan tidak dilakukan di sini tapi ke luar negeri."

"Apakah itu berarti mengubah seluruh wajahku?"

"Tidak, tapi semua tergantung kamu, Dara. Apakah kamu ingin wajah aslimu diubah atau dikembalikan seperti semula, itu tergantung kamu."

Pukulan kecil menghantam ulu hati Dara. Ia menyadari kalau operasi plastik memang satu-satunya cara untuk keluar dari masalah bekas luka di wajah dan tubuhnya. Masalahnya, dokter mengatakan kalau biayanya sang mahal dan ia tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana.

"Apa kamu memikirkan masalah biaya?" Juan bertanya, menghentikan lamunan Dara.

"Iya, pasti tidak sedikit. Belum lagi kita harus ke luar negeri. Bagaimana dengan pasporku?"

Juan tersenyum, menghampiri Dara. "Urusan dokumen, biar aku yang mengaturnya."

"Benarkah?" tanya Dara penuh harap.

"Tentu saja. Hal mudah itu. Soal biaya ... berarti kamu harus melepaskan benda berhargamu."

Untuk sesaat Dara terdiam, bingung dengan perkataan Juan. Lalu, ia teringat sesuatu dan tersenyum. "Kalung berlian, apakah itu cukup, Dok?"

"Berapa kisaran harga kalungmu?"

"Dua miliar, bisa jadi berkurang sedikit tanpa sertifikat."

Dokter Lou tersenyum. "Lebih dari cukup, untuk biaya hidup selama di sana dan juga biaya operasi. Sebelum melakukan itu, kamu harus bisa berjalan lebih dulu."

Bukan hal mudah bagi Dara untuk bangkit seperti dulu dalam kondisi tubuhnya yang lemah karena luka. Yang membuat tekadnya kuat ingin sehat dan bisa berjalan lagi aadalah merebut kembali apa yang menjadi miliknya.

Ia berlatih dengan sepenuh hati, dibantu oleh seorang terapis yang datang setiap hari dan dibimbing Juan yang tidak lelah memberinya semangat. Pada awalnya, Dara merasakan kakinya lemah dan tak bertenaga tanpa kursi roda yang menopangnya. Perlahan, ia berlatih dan berlatih, hingga satu bulan kemudian, ia mampu berdiri dan berjalan pelan dengan kakinya sendiri.

"Rasanya menyenangkan, bisa menginjak rumpu-rumput ini," ucap Dara saat berjalan-jalan sore mengitari halaman dengan Juan di sampingnya. "Aku mau makan mangga lagi, jangan lupa petikan untukku."

Juan mengangguk. Ia tidak membantah kegemaran Dara akan makanan asam. Selalu ada cuka lemon di meja makan sekarang.

"Kamu hebat, bisa mengalahkan ketakutan dan kemalasanmu," ucap Juan.

"Semuanya tidak lepas dari peranan Dokter Lou dan juga kamu." Dara menghentikan langkah, menatap Juan yang berdiri di sampingnya. "Kita tidak ada hubungan keluarga. Tidak mengenal dengan baik sebelumnya, tapi kamu menolongku dan memberikan dorongan untuk hidup. Juan, terima kasih."

Diucapkan dengan lirih, tanpa sadar Juan merasa tersentuh. Ia menatap Dara dan memiringkan kepala, berusaha menahan kata-kata yang hendak menyembur keluar. Dara, mungkin tidak ingat dirinya di masa lalu, tapi ia tidak pernah melupakan wanita itu.

"Dara, kamu harus sembuh."

Dara mengangguk penuh keyakinan. "Pasti, aku akan sembuh."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro