Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4a

Mereka terdiam, dengan mata saling menatap. Juan menghela napas, memandang wajah Dara yang penuh luka. Ada luka merah di kedua pipi, dan guratan panjang di dahi serta memar pada area bawah mulut. Dilihat lebih lama, Juan makin merasa kasihan padanya. Tubuhnya kurus sekali, hingga nyaris tinggal tulang.

"Juan, kenapa diam?"

Juan mengangkat bahu. "Motor itu memang milikku."

"Lalu?"

"Yah, begitu."

"Berarti kamu mengakui?"

"Soal apa? Eh, kamu mau makan mangga? Ada yang sudah matang." Menghindari dari topik soal motor, Juan melangkah ke pohon mangga yang berada di samping garasi. Pohonnya tidak terlalu tinggi dengan buah menggantung di hampir semua cabang pohon. Ia memetik beberapa mangga yang sudah setengah matang dan meletakkan di belakang kursi roda. Dara pernah mengatakan, kalau menyukai mangga setengah matang yang dicocol dengan garam. Menurutnya itu makanan enak.

"Juan."

"Ya."

"Jangan menghindar. Jawab saja!"

Dara yang tidak bisa dialihkan perhatiannya, mendongak dan menatap Juan yang berjalan di belakangnya.

Juan mendesah lalu mengangguk. "Iya, itu aku."

Mata Dara melebar. "Kalau begitu, kamu mengenalku?"

"Tentu saja."

"Lalu, memang bukan kebetulan kamu menolongku. Apakah kamu membuntutiku?"

Lagi-lagi Juan mengangguk. "Iya, dan sepertinya kamu tidak sadar."

Dara menggigit bibir bawah, mengingat kembali momen mengerikan malam itu. Sampai sekarang ia masih bergidik ngeri saat teringat dan mimpi buruk menerpanya hampir setiap malam. Ia mimpi terjatuh dan bangun dalam keadaan napas tersengal.

"Bagaimana aku bisa memperhatikanmu kalau aku panik."

"Ada apa dengan mobilnya? Bukankah itu keluaran terbaru?"

Dara menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Tapi, remnya blong. Aku bahkan berniat untuk melompat dari jendela, sampai akhirnya berpapasan dengan bus dan membuatku terguling."

Juan terdiam, mendengarkan cerita Dara. Ia melihat dengan mata kepala sendiri saat Dara terjatuh. Ia mencari cara untuk menyelamatkan wanita itu, sesaat sebelum mobil jatuh ke tempat yang lebih dalam dan terbakar. Untuk melakukan itu, ia menempuh banyak bahaya dan hampir kehilangan nyawanya sendiri. Malam itu, ia tidak peduli karena yang terpenting Dara selamat.

"Siapa yang merawat mobilmu."

"Salah seorang pegawai dan dia sudah lama ikut aku."

"Kamu tidak curiga padanya?"

Dara menggeleng. "Tidak. Sudah tua dan orang itu bekerja dari semenjak orang tuaku masih hidup."

"Kalau begitu, kita tidak usah mencurigainya. Lalu, siapa menurutmu yang melakukan? Suami, paman, atau kerabat barangkali."

Menatap heran pada Juan, Dara menyeletuk. "Kamu merasa kalau aku disabotase?"

Juan mengangguk. "Tentu saja. Bukankah itu terlihat jelas?"

Dara ternganga. "Si-siapa?"

"Bukan siapa, Dara. Lebih tepatnya, kenapa! Apa motifnya."

Sore berlalu tanpa ada jawaban. Dara masih tidak percaya dengan teori yang diungkapkan Juan tentang orang yang menyabotase mobilnya. Siapa? Jelas ia tidak punya bayangan. Paman berserta anak dan istrinya, adalah musuh bebuyutannya. Mereka selalu mencari kesempatan untuk berdebat dan membuatnya marah tapi, ia tidak pernah berpikir kalau mereka akan membunuhnya. Bagaimanapun juga, mereka keluarga dan ada hubungan darah.

Lalu, siapa lagi yang bisa dicurigai? Dani? Ia tahu kalau Dani tidak mencintainya. Bukankah lebih mudah berterus terang dan bercerai secara baik-baik dari pada harus seperti ini? Kalau memang harta yang diminta Dani, dengan senang hati ia berikana asalkan nyawanya tidak terancam. Dipikir-pikir lagi, sepertinya itu bukan perbuatan Dani yang orangnya berjiwa pengecut dan selalu menghindari masalah untuk diselesaikan orang lain. Tipe laki-laki seperti suaminya, tidak akan berbuat licik untuk menghilangkan nyawanya. Namun, semua tidak bisa ditebak, masih misteri.

Berikutnya Sandi, yang jelas-jelas menginginkan jabatan itu. Meski begitu, ia tidak terlalu yakin tentang Sandi, karena laki-laki itu terlihat tidak ambisius. Bekerja sesuai porsinya dan tidak banyak menuntut seperti halnya Lewis. Bisa dikatakan, dibandingkan kerabatnya yang lain, Sandi jauh lebih ramah dan pengertian. Tidak pernah berkata kasar padanya dan enak diajak bicara. Salah satu orang yang ia hormati.

Tersadar dari lamunan, Dara berucap pelan. "Aku tidak tahu, karena selama ini tidak banyak bergaul dengan banyak orang. Yang aku lakukan hanya bekerja, lalu pulang. Itu saja."

"Tidak ada yang aneh dengan orang-orang di sekitarmu?"

"Tidak ada. Semua baik-baik saja."

Juan mengangguk. "Bagaimana dengan suamimu?"

Dara tersenyum. "Entahlah, aku tidak tahu Juan. Banyak hal terjadi dan jujur saja aku tidak tahu siapa orang yang ingin mencelakankanku. Banyak yang tidak menyukaiku, karena kedudukanku."

"Mereka menganggapmu tidak becus."

Dara mengangguk. "Iya. Begitulah. Hanya anak bawang yang beruntung karena orang tua kaya." Sesaat ia terdiam lalu tersenyum, menatap laki-laki gondrong. "Kenapa kamu banyak tahu soal aku? Maksudku, soal keluargaku?"

Juan mengangkat bahu. "Aku mengamati."

"Bagaimana?"

"Dengan segar acara. Ngomong-ngomong, mulai gelap. Ayo, masuk. Aku buatkan makan malam."

Banyak pertanyaan di kepala Dara tentang Juan yang menurutnya misterius. Laki-laki itu tahu banyak tentang dirinya dan juga kondisi keluarga. Kenapa Juan menolongnya? Kenapa laki-laki itu memperhatikannya? Dara tidak menemukan jawaban.

**

"Kamu keluar dari rumah Dara?"

"Iya, Pa."

"Kenapa?"

"Rumah itu terlalu besar untukku dan aku merasa tidak bebas."

"Goblok!"

"Paaa!"

"Anak tidak tahu diuntung. Apa kamu tahu kalau namamu masuk dalam daftar utama orang yang akan memimpin perusahaan Lotus? Sekarang kamu pergi, sama saja seperti membuang peluang emas!"

Kata-kata sang papa membuat Dani melotot. "Be-benarkah, Pa? Aku masuk dalam daftar?"

"Iya, Lewis memberitahuku." Wiryawan menatap anak laki-lakinya dengan kesal. Saat ia tahu kalau Dani keluar dari rumah Dara, membuat kemarahannya memuncak. "Harusnya, kamu tetap di sana. Rumah itu bukan sekadar rumah tapi ibarat benteng untukmu."

Dani menghempaskan diri di sofa dan duduk terpekur. Ia mengerti maksud papanya tapi memang ia merasa rumah itu bukan tempat tinggalnya.

"Pa, biarpun aku tidak di sana. Harusnya tidak masalah dengan posisiku sebagai kandidat."

Wiryawan mendengkus keras. Menggelengkan kepala, menatap anaknya dengan jengkel. Sepertinya percuma ia bicara panjang lebar karena Dani tidak juga mengerti. Ia bersusah payah menjadikan Dani seperti sekarang, dan sekarang posisi yang ia idamkan nyaris di tangan tapi anaknya yang bodoh justru menghancurkan rencananya.

"Sebaiknya kamu duduk yang tenang dan dengarkan aku bicara. Bagaimana mungkin orang masih menganggapmu layak menerima pimpinan kalau kamu tidak lagi diakui sebagai suami Dara? Memang, saat ini masih banyak yang meragukan kematian Dara karena mayatnya tidak ditemukan. Itulah yang membuat orang-orang masih menaruh harapan kalau istrimu masih hidup. Dengan tetap tinggal di rumah itu, orang-orang akan menganggap kamu suami setia dan menghormati mendiang istrimu. Apa kamu paham?"

Dani menekuk kepala lalu mengangguk. "Paham, Pa."

"Kalau memang paham, kenapa bebal sekali otakmu? Jangan sampai karena wanita itu, membuatmu lupa tujuan. Kamu pikir aku tidak tahu kamu berselingkuh?"

"Aku tidak berselingkuh, Pa. Aku mencintainya."

"Cinta omong kosong! Saat ini, jabatan jauh lebih penting dari pada wanita itu! Paham kamu Dani!"

Bentakan sang papa membuat Dani tersadar kalau ia tidak punya pilihan lain selalin harus kembali ke rumah Dara. Jujur saja, ia enggan melihat wajah penuh selidik milik Atifah. Wanita itu, ibarat ular yang diam mengamati dan akan mematuk saat ia lengah. Demi jabatan, ia harus menahan diri dan egonya.

Saat kembali ke apartemen, ia melihat kekasihnya tergolek di atas ranjang dalam keadaan tertidur. Sepertinya sedang kelelahan. Tidak tahan untuk membelai, ia menyingkap gaun tidur wanita itu dan membelai tubuhnya.

Wanita itu menggeliat, menatap matanya dengan sayu. "Kamu pulang cepat."

Dani mengangguk. "Hari ini tidak ada rapat." Tangannya melepas celana dalam si wanita dan membelai lembut area di bawah perut. Ia menyukai reaksi kekasihnya yang menggeliat dengan napas terengah. "Kamu gampang sekali basah, Sayang."

"Itu karena kamu nakal."

"Benarkah? Padahal aku datang untuk berpamitan. Bukan untuk membuatmu basah."

Tubuh si wanita menegang. "Berpamitan? Mau ke mana?"

"Pulang ke rumah besar itu. Aku tidak bisa tinggal di sini."

Wanita itu menyingkirkan tangan Dani dari area intimnya dan duduk dengan heran. "Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat akan tinggal bersama?"

Dengan wajah menyesal Dani mengangguk. "Memang, tapi papaku melarang."

"Papamu? Apa hubungan antara kita dan papamu?"

"Maaf, Sayang. Tadi Papa mengatakan kalau aku dipromosikan untuk menduduki jabatan direktu di Lotus. Karena itu, aku tidak boleh keluar dari rumah Dara."

"Wanita itu terberlalak tak percaya, menatap Dani dari ujung rambut hingga kepala. Ia merasa Dani tidak bersikap layaknya laki-laki.

"Kamu aneh. Terlalu takut dengan papamu!"

"Bukan takut, tapi ini demi masa depan kita berdua. Kalau aku jadi direktur, kamu juga yang akan senang."

Wanita itu menggeleng dan tanpa kata masuk ke kamar mandi. Ia membuka pakaian dan membasuh tubuhnya dengan air hangat. Sengaja membiarkan pintu kamar mandi setengah terbuka yang merupakan undangan tidak langsung untuk Dani. Ia tahu, laki-laki itu akan tergoda. Namun, kali ini perhitungannya salah. Saat ia keluar dari kamar mandi, Dani sudah pergi termasuk koper hitam besar yang semula ada di pojok ruangan. Menahan geram, ia terduduk di ranjang dengan tubuh setengah basah.

**

Tersedia di google playbook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro