Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2b

Tiga bulan berlalu, dan menginjak bulan keempat terjadi hal yang mengejutkan. Juan yang saat itu sedang membaca buku dengan jemari berada di atas tangan Dara, merasakan pergerakan. Awalnya hanya satu gerakan lemah, sampai akhirnya ia menyadari kalau Dara benar-benar sudah tersadar. Ia memanggil dokter Lou dan laki-laki tua berkacamata itu bergegas membawa peralatan medis beserta seorang perawat wanita untuk membantunya.

"Gerakannya lemah, Dok. Tapi aku yakin dia menggenggam telunjukku."

Dokter memeriksa mata Dara dan mengangguk. "Kamu tunggu di luar, Juan. Biar aku yang memeriksa."

Tanpa bantahan Juan keluar dari ruangan. Tidak tahan menunggu, ia menyibukkan diri dengan membuat kopi dan roti lapis isi tuna. Berpikir barangkali dokter Lou dan suster ingin makan cemilan saat pekerjaan mereka sudah selesai. Setelah menunggu satu jam lamanya, pintu kamar rawat terbuka dan dokter Lou memanggilnya.

"Kemari, ada yang harus kamu lihat."

Juan menanggalkan apronnya, mencuci tangan dan bergegas ke pintu. Ia masuk tanpa permisi dan berdiri kaku di samping ranjang menatap mata Dara yang terbuka.

"Dara siuman."

Kelegaan membanjirinya seketika, Juan mengedip dan menyapa lembut. "Hallo, Dara."

**

Dani menatap wanita setengah telanjang di depannya. Hanya memakai pakaian dalam dengan jubah menerawang. Tubuhnya yang molek dengan dada yang membusung, membuatnya meneguk ludah.

"Kemari, Sayang. Kamu jangan menggodaku."

Wanita itu memutar tubuhnya, menari mengikuti irama musik lembut yang mengalun dari stereo. Ia menyukai reakasi Dani yang terpesona padanya. Ia mendekat, duduk di pangkuan Dani dan membiarkan laki-laki itu melumat bibir.

"Bibirmu ranum."

"Kamu suka?"

"Sangat."

"Apa lagi yang kamu suka?"

"Ini." Dani membuka pengait bra dan membebaskan dada itu dari kukungan kain hitam berenda. Tangannya meremas lembut, membuat putting menjadi tegang dan mulutnya meraup dengan panas. "Aku suka juga dadamu."

Wanita itu mendesah, membiar Dani bermain-main dengan dadanya. Ia meremas rambut Dani dan membenamkan mulut laki-laki itu lebih dalam untuk mengisap dan menjilati dadanya. Musik berganti, dalam satu kali sentakan, wanita itu melepaskan diri dari Dani dan kembali menari. Kali ini, tanpa bra dan hanya memakai celana dalam yang minim.

Dani melepas kaos dan celana pendeknya, kejantanannya menegang di balik celana dalam. Ia mengikuti gerakan wanita itu dengan mata sayu karena hasrat.

"Ayolah, Sayang. Berhenti bermain-main, aku sudah tidak tahan."

Wanita itu mendekat, membiarkan Dani membelai area intimnya. "Dasar mesum! Istrimu belum setengah tahun mati, dan kamu sudah tidak bisa menahan diri."

Dani melepas celana dalam wanita di depannya dengan tidak sabar. "Seandainya istriku masih ada sekalipun, kita akan tetap melakukan ini." Ia membelai lembut area intim si wanita dan tersenyum saat merasakan area itu basah. "Siapa yang bisa bercinta dengan wanita kaku yang hidup tak ubahnya boneka. Sama sekali tidak menarik."

"Benarkah?" Wanita itu mendesah saat gerakan tangan Dani makin cepat.

"Dara, tak ubahnya manekin. Kaku, dingin, dan patuh. Dia melakukan semua yang aku minta, asalkan tetap membiarkannya sendiri. Hal paling mesra yang pernah kami lakukan adalah berciuman."

"Kalian tidak bernah bersetubuh?" Kali ini, jari Dani meremas pinggulnya.

Dani tersenyum, menatap si wanita. "Kamu ingin tahu? Tidak takut gairah kita mendingin karena menceritakan soal Dara?"

Wanita itu mendengkus. "Dara sudah mati, tidak ada gunanya cemburu. Jadi, apakah kalian pernah bercinta selama setahun menikah?"

Dani menyentakkan tubuh kekasihnya dan membaringkannya di ranjang. Ia mencopot celana dan membuka paha sang kekasih lebar-lebar, memosisikan diri di tengah sebelum menyatukan diri.

"Pernah, hanya sekali. Saat itu dia menangis ketakutan karena merasa sakit. Aku yakin, kalau Dara masih perawan karena setelah itu, kami tidur terpisah."

**

Dua Minggu berlalu setelah Dara tersadar dari koma. Wanita itu belum meninggalkan tempat tidur dan dirawat sepenuhnya oleh Juan. Tiap sore, dokter Lou datang bersama seorang perawat untuk memantau keadaan Dara yang semakin hari semakin menunjukkan peningkatan.

Meski belum pernah bicara tapi Juan yakin kalau Dara mengerti apa yang ia katakan. Ia membuat bubur dan makanan sehat lainnya untuk Dara. Wanita itu awalnya menolak untuk disuapi tapi ia memaksa.

"Tidak ada gunannya kamu malu. Selama kamu berbaring, aku yang merawatmu."

Dara mengedip, menunjukkan ia tahu.

"Berbulan-bulan kamu terbaring, aku bahkan tidak yakin kamu bisa sadar."

Juan menyuap bubur kacang ijo yang diblender halus dengan susu ke mulut Dara.

"Sekarang, yang kamu bisa lakukan adalah makan yang banyak. Minum obat teratur, agar kondisimu pulih."

Setelah sadar dari koma, Dara hanya mengamati semua yang dilakukan dokter, susterm dan Juan untuk merawatnya. Ia hanya berbaring diam, menatap langit-langit kamar dengan kipas besar tergantung di sana dan tidak pernah menyala. Ia juga tidak membantah, apa pun yang dilakukan Juan padanya, termasuk menyupai semua makanan yang dianggap laki-laki itu bergizi untuknya. Ia tahu, di sini bukan rumahnya. Kenapa Juan yang merawat dan bukan keluarganya, ia masih menjadin misteri untuknya.

Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Dara, setelah tersadar dari koma lebih dari sebulan lamanya, membuat Juan tertegun.

"Kenapa aku masih hidup?"

Menatap wanita yang berbaring dengan wajah diperban, Juan menjawab datar. "Aku tidak tahu. Tanya saja pada Tuhan, kenapa dia membiarkanmu hidup."

Garis bibir Dara melengkung, menatap Juan. "Apakah kamu menolongku?"

Juan menggeleng. "Bukan."

"Di mana ini?"

"Di rumahku."

"Kamu siapa?"

"Juan!"

Pertanyaan pendek-pendek yang dilontarkan Dara untuknya dijawab dengan kalimat pendek pula. Juan tahu, Dara sedang bingung dan ia tidak ingin menambahkan kebingungan lain di pikiran wanita itu.

"Apakah jarimu bisa digerakkan?"

Dara mengikuti ucapan Juan, menggerakkan tangannya. Terangkat naik dan terdiam di udara untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjatuh dengan lemah.

"Bagus, sudah ada tenaga. Bagaimana kakimu? Bisakah kamu menggoyangkannya?"

Kali ini, Dara berusaha menggerakkan kedua kakinya. Meski awalnya terasa berat, akhinya ia berhasil.

"Pintar. Apakah kamu merasa sesak?"

Dara menggeleng. "Kalau begitu, harusnya mulai besok kita bisa melepas alat bantu pernapasan. Aku akan bertanya pada dokter Lou."

Seolah mereka sudah lama mengenal, Juan merawat dan memperlakukannya dengan baik. Meski begitu, laki-laki itu tidak banyak bicara. Hanya menjawab seperlunya saat ia bertanya. Dara berusaha mengorek ingatannya tentang Juan, barangkali memang mengenal laki-laki itu tapi sayangnya, ia sama sekali tidak ingat. Yang ada di pikirannya justru Dani, dan keluarganya yang lain.

Ia tidak tahu, apa yang terjadi selama koma. Setahunya, Juan mengatakan kalau ia berbaring sudah lebih dari enam bulan. Bukan waktu yang sebentar. Apakah keluarganya tahu kalau ia ada di sini dan Juan adalah orang yang dibayar untuk merawatanya? Berbagai pertanyaan bergolak di pikiran Dara.

"Juan mengatakan hari ini kamu bisa berbaring miring. Ada yang nyeri?" Dokter Luo bertanya dengan lembut.

Dara mengangguk. "Wajah nyeri, dan seluruh tubuh."

Tersenyum penuh pengertian, dokter itu mulai memeriksa. "Itu karena kamu menderita luka bakar. Setelah suster selesai membersihkan tubuhmu, kita akan mengganti perban."

Dara terdiam, membiarkan suster membasuh tubuhnya. Secara perlahan, perban mulai dibuka. Diawali denggan tangan lalu berlanjut ke kaki. Dara menatap tubunya yang penuh luka dengan ngeri. Tanpa sadar ia menangis dan itu membuat emosinya tidak stabil.

Suster berlari memanggil Juan dan laki-laki berambut panjang itu mendekat ke arah Dara yang menangis. "Ada apa? Bagian mana yang sakit?"

Dara mengangkat tangan dan berucap tergagap. "Ta-tanganku, hancur."

Juan mendesah, merasakan tusukan rasa iba saat melihat Dara menangisi tubuhnya. Susah sewajarnya dia shock.

"Itu hanya luka luar, dokter Lou yang mengatakan. Akan sembuh seiring berjalannya waktu."

Dara menatap Juan, mencari pembenaran. "Benarkah?"

"Iya, itulah gunanya obat-obatan dan salep. Rata-rata luka di tubuhmu hanya luka luar, tidak usah kuatir."

Entah kenapa Dara merasa lega saat mendengar ucapan Juan. Ia sepenuhnya percaya pada laki-laki itu. Juan tidak mungkin berbohong, terlebih ada dokter juga.

"Bagaimana dengan wajahku?" Dara mengusap wajahnya yang masih diperban. "Kapan ini dilepas."

Juan menggeleng. "Itu, harus menunggu saat yang tepat."

Dara mendesah. "Apakah parah?"

Tidak ingin berbohong, Juan mengangguk. "Iya, wajahmu terbentur."

Memejam, Dara merasakan rasa nyeri sekaligus ngeri. Ia kembali teringat akan kecelakan itu dan tanpa sadar air matanya menetes. Sampai sekarang, tiap malam ia dihantui mimpi buruk. Tentang rem yang blong, tubuhnya yang membentur keras dan mobilnya yang hilang kendali. Ia masih sadar saat mobil terguling ke jurang dan tidak inga tapa apa lagi setelahnya. Hingga sekarang, berbaring di ranjang tempat Juan yang tidak ia kenal.

"Dara, jangan menangis."

"Maaf."

"Tidak ada yang harus dimaafkan."

"Juan."

"Ya."

"Bagiamana keluargaku?"

"Mereka tidak tahu kamu di sini."

"Mereka tidak mencariku?"

Juan tidak menjawab, menatap Dara tak berkedip. Ia menimbang-nimbang apakah harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Dara atau tidak. Ia takut, kalau sekarang berkata jujur akan mempengaruhi pemulihan wanita itu.

Kecelakaan Dara menjadi berita di seluruh negeri. Tidak ada yang tidak tahu tentang hal itu. Seorang pewaris perusahaan yang jatuh ke jurang. Setelahnya, banyak gosip timbul di media massa dan media sosial, semua tentang Dara dan tidak ada satu pun yang bagus. Rata-rata menulis tentang Dara yang suka keluar malam sambil mabuk. Tidak heran kalau bisa kecelakaan. Tidak ada keluarga yang membantah gosip itu dan membuat Juan marah saat membacanya. Itulah kenapa, ia memilih untuk berdiam dan merahasiakannya.

"Dara, aku akan mengatakan yang sebenarnya kalau nanti perban di wajahmu sudah bisa dibuka."

Dara menghela napas dan mengangguk. Ia tidak tahu kenapa Juan menolak membicarakan tentang keluarganya tapi ia yakin, laki-laki itu punya alasan tersendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro