Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2a


Ruangan sepi, angin menerpa jendela yang terbuka dan membuat gorden berkibar pelan. Rasa dingin menerpa bahkan tanpa pendingin ruangan karena letak rumah di kaki gunung dan tepat berada di pinggir danau. Pohon-pohon lebat mengelilingi rumah seperti pagar yang dipasang rapat. Tidak ada tetangga atau rumah lain yang dekat, sepanjang mata memandang hanya ada hamparan pepohonan hijau.

Sekilas, rumah itu terlihat seperti rumah kuno dengan dinding batu dan bentuk atap meruncing di tengah dan tinggi. Ada undakan dari batu, sebelum menginjak teras yang berlantai marmer hitam. Bentuk bangunan yang sederhana, tidak sesuai dengan interior ruangan yang elegan. Ada sofa kulit, televisi layar lebar, dan dapur kecil yang rapi tepat di samping ruang tamu.

Si pemilik rumah berdiri di pintu ruangan yang paling belakang, menatap sesosok tubuh yang terbaring di ranjang. Perban menutup dari ujung kepala hingga kaki, dan sedikit pun tidak terlihat wajah si pasien. Ventilator berdengung pelan, bersebelahan dengan mesin infus. Sama sekali tidak ada pergerakan dari sosok di atas ranjang.

"Bagaimana, Dok?" tanya laki-laki berambut panjang sebahu yang dikuncir ekor kuda. Wajahnya penuh cambang panjang dan menyamarkan ketampanan. "Sudah hampir tiga bulan seperti ini."

"Kamu tidak sabar, Juan. Dia sedang berusaha untuk bertahan hidup." Seorang laki-laki awal lima puluhan mendekati ranjang dan mulai memeriksa. "Kita sudah mengobati yang luka, menyambung kembali tulang retak dan mengoperasi kepalanya. Sekarang yang kita tunggu adalah kesadaran dia untuk hidup kembali."

"Apa menurutmu dia ada kemauan untuk itu?"

Si dokter menatap laki-laki gondrong itu dan mengangkat sebelah alis. "Tergantung kamu."

Juan ternganga. "Aku?"

"Iya, karena di sini teman dia satu-satunya adalah kamu. Jadi, harus kamu yang memberinya semangat."

Sepeninggal si dokter, Juan meraih kursi di pojok ruangan dan membawanya mendekati ranjang. Ia menatap seraut wajah yang tertutup perban dan alat bantu pernapasan. Tangannya mengusap pelan dahi wanita itu dan berbisik lembut.

"Kamu harus sembuh, dan kembali hidup. Sudah lama kamu tertidur."

Hening, tidak ada reaksi. Jemari Juan meninggalkan wajah dan kali ini meremas tangan si wanita.

"Apa kamu tahu kekacauan yang terjadi setelah kamu pergi? Dara, harusnya kamu bangkit sekarang dan melihat betapa orang-orang itu sangat mengerikan. Ayo, bangun!"

Mengikuti anjuran si dokter, setiap hari Juan mengajak Dara yang sedang koma untuk bicara. Bukan hanya itu, terkadang ia memutar lagu-lagu lembut untuk wanita itu atau membacakan cerita dari buku yang ia baca. Semua hal ia lakukan demi agar wanita itu cepat siuman. Hampir tiga bulan berlalu, meski tidak mati tapi Dara juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Juan menolak untuk menyerah dan meyakinkan diri kalau wanita itu akan bangun.

Juan bergeser, meraih buku yang ia letakkan di kaki ranjang dan mulai membacanya. Ia bisa bertahan, duduk berjam-jam membaca buku di samping Dara. Suara yang terdengar hanya dengung alat medis dan dengkus napasnya. Selain itu, sunyi. Di luar, suara burung pun terdengar jauh.

Membaca buku di samping orang yang sedang koma, bukan hal yang berat. Tak lebih dari hiburan untuknya dibandingkan dengan kegiatan yang selama ini ia lakukan. Ia terus membaca hingga hari terang secara perlahan berubah gelap. Satu hari lagi terlewati dan Dara tidak juga terbangun.

**

Lewis mengisap cerutu dan menatap anak laki-lakinya. Rasa kesal terlihat jelas dengan kening berkerut. Ia menunjuk si anak dengan jarinya yang panjang dan kurus.

"Bisa-bisanya kamu melakukan itu? Otakmu ada di mana? Sebuah kebodohan, Andreas!"

"Pa, apa yang salah, sih?"

"Banyak! Pertama, kamu bukan pimpinan di perusahaan ini. Seenaknya saja kamu merombak pegawai dan menetapkan aturan baru!"

Andreas mendengkus, dengan tangan terlipat. "Kalau bukan aku yang harus melakukannnya siapa lagi? Dara sudah mati, tidak mungkin dia datang dan melakukan tugasnya sebagai seorang pewaris sah!"

"Ini tidak ada hubungannya dengan Dara!"

"Kalau begitu apa, Papa? Bukankah kita sudah berbagi tugas? Papa sibuk menangani para direksi, sedangkan aku yang mengatur para bawahan kita!"

"Tapi tidak dengan merombak besar-besaran. Kamu bahkan memecat para pegawai lama dan menggantinya dengan orang yang tidak kompeten!"

"Pasti para orang tua itu mengadu!" gerutu Andreas sebal. Ia bekerja di perusahaan ini mengalami banyak penolakan dari para pegawai lama karena menganganggapnya tak lebih dari anak yang mendompleng orang tuanya. Mereka bahkan mengadu pada Dara dan sepupunya yang sok pintar itu menegur. Saat itu, ia mengalah tapi kini setelah Dara tidak ada, ia bebas melakukan apa pun yang ia suka, termasuk memecat orang-orang yang menghalanginya.

Lewis mematikan cerutu dan meletakkan di atas asbak. Ia menunduk, menatap anaknya. "Para dewan direksi tidak semua mendukungku, kamu tahu itu. Ada Sandi, yang setiap saat ingin menjegalku. Belum lagi, mereka bersikukuh soal Dara. Selama mayat tidak ditemukan, mereka menolak untuk percaya kalau Dara sudah mati."

"Apa?!" Andreas bangkit dari kursi dan menatap papanya dengan pandangan tak percaya. "Mereka semua sudah gila? Jelas-jelas ada kecelakaan, mobil terbakar di dasar jurang tapi masih tidak percaya Dara mati?"

"Tidak ada bukti mayat!"

"Tetap saja, Pa. Dara sudah mati. Apa mereka berharap Dara masuk dengan penampilan segar bugar dari pintu dan menyapa riang? Tidak masuk akal!"

Lewis juga merasa kalau pendapat para dewan direksi memang tidak masuk akal. Mobil yang terbakar tanpa sisa di dasar jurang harusnya sudah menjadi bukti kuat tentang matinya Dara. Namun, semua orang menolak dan menyangkal, padahal ia tahu persis kalau mereka enggan menyerahkan tumpuk pimpinan padanya.

Bertahun-tahun ia mengabdikan diri membangun perusahaan ini. Di mulai hanya sebuah kontraktor kecil dan berkembang saat kakaknya mulai merambah dunia pertambangan. Ia mendampingi sang kakak, ke mana pun pergi dan membangun bisnis berdua. Meski begitu, selalu saja yang dipuji oleh orang tua mereka adalah sang kakak bukan dirinya.

"Kamu harus banyak belajar dari kakakmu, Lewis. Tidak bisa selamanya kamu bertumpu pada dia. Suatu saat kamu harus membangun usaha sendiri."

Jhon, sang kakak selalu membelanya. "Biarkan Lewis membantuku, Papa. Itu menambah pengalaman untuknya."

"Tidak! Dia sudah punya keluarga, saatnya untuk bertanggung jawab sendiri!"

Karena sering diprovokasi, membuat Lewis akhirnya memutuskan keluar dari perusahaan sang kakak dan mendirikan bisnis sendiri. Awalnya restoran waralaba, bangkrut dalam dua tahun karena manajemn yang buruk. Setelah mendapat suntikan modal, ia beralih ke pengalengan ikan dan lagi-lagi gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan brand besar. Sampai akhirnya, Jhon memintanya kembali ke perusahaan yang kini telah berkembang pesat. Ia selalu suka di sini dan merasa kalau memang sudah takdirnya memimpin perusahaan ini.

Saat Jhon meninggal karena kecelakaan pesawat dengan istrinya, ia berharap saat itu bisa memimpin perusahaan. Siapa sangka, papanya kembali ke kantor dan membuatnya mau tidak mau tetap di posisi semula. Semua bertahan hingga lima tahun lamanya, sampai akhirnya sang papa lelah pada usia dan meninggal karena sakit.

Nasib dan takdir seolah mempermainkan Lewis, lagi-lagi ia gagal memperebutkan puncak pimpinan dan kali ini bersaing dengan Dara yang tidak becus melakukan apa pun. Ia menahan diri untuk tidak menyumpahi almarhum kakak dan papanya. Menganggap mereka berbuat sewenang-wenang padanya.

"Pa, bagaimana dengan Dani?"

Pertanyaan Andreas membuat Lewis tersadar dari lamunan. Ia mengernyit jijik. "Laki-laki tidak tahu malu. Baru tiga bulan istrinya mati sudah sibuk memacari wanita lain."

Andreas tertawa lirih. "Paa, dia memang bajingan dari awal. Mana pernah dia peduli tentang istrinya?"

"Dia memang brengsek!"

"Bukan salah Dara sebenarnya kalau punya suami seperti Dani. Bukankah dulu Papa yang menjodohkan mereka?"

"Memang, bahkan aku harus bertengkar dengan adikmu itu. Karena dia juga jatuh cinta dengan Dani. Lihat bukan sekarang? Dani bahkan sama tak berharganya dengan sampah!"

"Hahaha. Lavina tidak pernah menyukai Dani, Papa. Dia hanya ingin mendapatkan apa pun yang dimiliki Dara."

Kali ini Lewis setuju dengan ucapan Andreas. Memang harus diakui kalau anak perempuannya berusaha mendapatkan apa pun yang dimiliki Dara. Sebuah persaingan yang aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro