Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1b


Suara dengkusan kasar membuat Dani dan Tanya menoleh. Mereka terkesiap kaget saat melihat Dara berdiri kaku.

"Sayang, kamu sedang apa di situ?" Dani melepaskan pelukannya pada tubuh Tanya dan menghampiri Dara. "Kamu mencariku?"

Tanya mengikuti langkah Dani, berdiri menghadap Dara. "Kamu istri Dani? Kenalkan aku Tanya, sahabat suamimu dari kecil. Kami berteman, jangan berpikiran aneh-aneh, ya?"

"Kamu pasti berasumsi yang berlebihan. Tidak ada apa apa antara aku dan Tanya, tadi kami mengobrol karena sudah lama tidak bertemu."

"Berapa tahun, Dani?"

"Sekitar tiga tahun."

"Waktu yang lama."

"Itulah kenapa kita bicara berdua di tempat seperti ini, karena rindu sebagai sahabat."

Dara tidak mengatakan apa pun, menatap dua orang di depannya dengan bergantian. Semakin banyak alasan yang tercetus dari mulut mereka, semakin ia tidak percaya. Dani, boleh jadi sahabat Tanya tapi tetap saja berbicara berdua di tempat sepi dan gelap sangat mencurigakan.

"Kamu baik-baik saja, Dara?" Wanita itu bertanya dengan lembut.

"Tenang, Dara memang ada gangguan kecemasan atau panik berlebihan. Tapi, aku rasa dia sudah membaik. Ayo, Sayang. Kita temui tamu-tamu lain."

Dani meraih tangan Dara dan menggenggamnya, mengabaikan fakta betapa dingin telapak tangan itu. Istrinya tentu saja shock melihatnya berduaan dengan Tanya, tapi seharusnya penjelasan yang ia berikan sudah cukup untuk mengusir rasa curiga. Mereka baru menikah satu tahun, banyak hal yang harus dipelajari satu sama lain. Dani mengerti ketakutan istrinya yang tidak pernah bergaul dan meninggalkan rumah besar itu. Dara hidup dalam cangkang kaca bagaikan boneka, tidak heran kalau tidak punya teman.

"Dani, kamu ke mana saja?" Teguran dari Lewis membuat langkah mereka terhenti.

"Ada apa, Paman?" jawab Dani dengan nada tidak suka.

Lewis menatap Dani tajam, lalu beralih pada Dara dan Tanya. "Banyak orang penting di sini, kalian malah menghilang! Tidak tahu sopan santun!"

"Jangan mengatur-aturku!" sentak Dani.

"Kalian memang harus diatur, karena tidak becus melakukan apa pun, terutama kamu, Dani!" Lewis menunjuk dada Dani dan mendesis. "Cepat, temui para tamu. Jangan membuat kami malu."

Dani menyentakkan tangan Dara lalu melangkah dengan wajah kaku. Kemarahan terlihat jelas bahkan di malam yang temaram. Tanya mengikuti Dani dan keduanya menghilang di keramaian.

Lewis menatap Dara dari ujung rambut sampai kaki. Berdecak pelan seolah tidak puas dengan sesuatu. "Kamu, nyonya rumah tapi seperti patung yang tidak bernyawa. Apa kamu tidak bisa berbaur dan menyapa para tamu?"

Dana menelan ludah. "Paman tahu, aku tidak bisa."

"Panik? Alasan konyol!"

"Bu-bukan begitu, Paman. Tapi—"

"Dengar Dara." Lewis menatap tajam mata ponakannya. "Di vila ini, kamu yang berkuasa, bukan suamimu. Di perusahaan pun sama. Aku sudah banyak membantumu, bukankha seharusnya kamu juga berusaha untuk belajar mengelola perusahaan?"

Dara menggeleng. "Paman tahu, aku tidak bisa."

"Kamu kuliah di jurusan bisnis! Apa yang tidak bisa kalau dipelajari!"

"Paman ...."

"Dia pemalas, percuma juga Papa mengajarinya." Seorang laki-laki muda berkacamata dengan jas merah marun mendatangi mereka. Laki-laki itu tersenyum penuh ejekan pada Dara. "Dia harusnya di rumah, main masak-masakan, dan menunggu suaminya pulang kerja. Itu juga kalau Dani langsung pulang dan bukannya meniduri wanita lain."

"Andreas! Tutup mulutmu!"

Dara merasa makin tertekan. Tidak cukup mendengar omelan Lewis, kini ditambah oleh perkataan kasar dari Andreas. Mereka adalah saudara sepupu, yang tidak pernah akur sama sekali. Andreas selalu beranggapan, Dara adalah wanita malas dan lemah. Rasa bencinya meningkat saat sang kakek sebelum meninggal justru mewariskan perusahan pada Dara yang tidak tahu menahu soal bisnis.

Andreas tersenyum tipis. "Aku mengatakan yang sebenarnya, Pa. Lihat saja Dani, berbaur dengan para tamu ditemani oleh kekasih gelapnya, bukan dengan istrinya. Karena apa? Dani tahu kalau istrinya memalukan!"

Tidak tahan lagi, Dara menyingkir dan meninggalkan Lewis berdebat dengan Andreas. Ia merasa muak di pesta ini. Tidak ada satu orang pun yang bisa diajak bicara. Ia mendekati pagar dan berdiam diri membelakangi keramaian. Sebenarnya, pesta ini ia buat dengan terpaksa. Ia lebih suka kalau merayakan ulang tahun Dani hanya berdua di restoran, tanpa banyak orang yang membuatnya panik tapi suaminya bersikukuh.

"Sesekali kita undang teman dan kerabat, Sayang. Biar mereka melihat vila kita yang besar. Pesta kebun yang nyaman, sekaligus pembuktian kalau kamu hebat jadi nyonya rumah."

"Aku tidak bisa, Dani."

"Bisaa, kamu pasti bisa. Minta bantuan saja pada sepupumu, atau pada Atifah."

"Tapi, kenapa harus di vila?"

"Kamu membutuhkan udara segar. Bukankah kamu suka berjalan-jalan mengendarai mobil dan melihat pemandangan? Lagi pula, akhir-akhir ini sepertinya kamu kurang bersemangat. Siapa tahu, udara vila yang segar akan membantumu menemukan gairah hidup."

Semakin banyak penolakan terlontar dari mulut Dara, suaminya makin gencar membujuk. Pada akhirnya, ia menyerah dan setuju untuk mengadakan pesta di vila. Ia mencoba meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan suaminya benar, semua demi kebaikannya.

Ia datang ke vila, seminggu lebih cepat dari semua orang. Menyiapkan pesta bersama Atifah. Dari mulai mencari vendor, hingga prasmana. Harusnya ini jadi pesta yang berkesan, kalau saja tidak banyak cibiran yang ia terima. Dari mulai keluarganya, hingga soal Dani dan Tanya.

"Dara, kenapa sendirian di sini? Suamimu malah berdansa dengan orang lain."

Dara menatap laki-laki umur empat puluhan dalam balutan kemeja putih. Namanya Sandi, adik dari mamanya. Kalau Lewis adalah kakak dari papanya. Lewis dan Sandi tidak pernah akur dan mereka bertikai demi menjadi pengasuh Dara.

"Om, ada apa?" tanya Dara pelan.

"Menemanimu," jawab Sandi lugas.

Dara tersenyum. "Terima kasih, tapi aku mau sendirian."

"Melamun tentang betapa bajingan suamimu? Kenapa kamu tidak menceraikannya?"

"Aku—"

"Takut sendirian? Kesepian? Ada aku, Dara."

Semua orang berkata hal yang sama, kalau mereka akan selalu ada untukku tapi nyatanya, hartakulah yang membuat mereka bertahan di sisiku. Dara berucap miris dalam hati.

"Om, sendirian ke pesta? Nggak bawa pasangan?" Dara mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sandi meneguk minuman, melirik keponakannya. "Wanita? Kenapa memperumit diri sendiri dalam hubungan kalau menikmati kesendirian lebih nyaman?"

Dara tersenyum. "Seperti kata-kata orang yang sedang patah hati."

"Well, anggap saja begitu. Karena jujur saja, bekerja menyita waktu dan sebagain besar hidupku. Takutnya, nanti punya pasangan seperti suamimu," bisik Sandi sengit.

Sandi tidak pernah menyukai Dani. Entah apa alasannya Dara tidak tahu. Bisa jadi, suaminya memang benar-benar brengsek seperti sangkaan orang-orang dan ia tidak punya bukti untuk itu selain memergokinya malam ini.

Sandi meninggalkannya dengan seseorang yang datang menyapa. Ia berbalik saat musik berganti lembut dan orang-orang mulai berdansa. Dania tertawa dengan Tanya di sampingnya. Suaminya, seolah melupakan dirinya. Menahan sesak di dada, ia melangkah meninggalkan hingar bingar pesta menuju garasi yang berada di bangunan samping.

Ia tersenyum, melihat mobil sedan putih yang sengaja dibawa dari kota. Membuka pintu, ia masuk dan menyalakan mesin. Dengan perlahan, ia mengeluarkan mobil melalui pintu belakang. Dua penjaga tidak berusaha menghentikannya.

Di jalanan berbukit yang meliuk-liuk, Dara membuka jendela dan membiarkan angin malam menerpa rambut dan wajahnya. Ia menyalakan musik dan tak lama terdengar alunan suara yang membius.

Genggam tanganku, Sayang.

Dekat denganku, peluk diriku.

Berdiri tegak di depan aku.

Cium keningku 'tuk yang terakhir.

Dara merasa lirik-lirik dalam lagu begitu menyentuh perasaan. Ia tersenyum kecil, menyadari kalau makna lagu itu begitu menyakitkan, seperti yang ia rasakan tentang hubungannya dengan Dani. Selama setahun menikah, ia sama sekali tidak merasa kalau laki-laki itu mencintainya.

Satu tangan memegang setir, tangan yang lain ia keluarkan. Jalanan sepi dan gelap, tapi Dara sama sekali tidak merasa takut. Ia menyukai saat-saat seperti ini. Berkendara di jalan yang berkelok-kelok dan seolah menyatu oleh alam.

Di beberapa tikungan, ia berpapasan dengan mobil lain. Lalu, beberapa mobil menyalipnya dari belakang. Ia mendiamkan mereka, merasa asyik sendiri dengan dunianya saat ini. Tidak menyadari sebuahn motor yang melaju tenang, mengikutinya.

Hingga di sebuah turunan yang cukup curam, Dara merasa ada yang aneh. Remnya sama sekali tidak berfungsi. Padahal, tadinya baik-baik saja.

"Ya Tuhan, ada apa ini?" Ia berbisik panik. Berusaha menekan rem sekeras yang ia bisa. Sementara mobil melaju kencang menuruni perbukitan. Ia mencoba segala cara untuk menghentikan mobil tapi tidak mengerti caranya.

Di tikungan, tanpa diduga sebuah bus datang dan melaju cepat ke arahnya. Dara yang ketakutan dan panik, takut terjadi tabrakan, akhirnya membanting stir ke kiri. Tak ayal lagi, mobil meluncur turun ke jurang dan Dara berteriak lalu terdiam saat kepalanya membentur stir. Ia pingsan dan tidak menyadari mobil yang terguling hingga ke dasar jurang.

Tidak ada bantuan, karena memang tempat itu sangat sepi dan kebetulan tengah malam jadi tidak ada orang yang lewat. Api menyala dari mobil tanpa pemiliknya menyadari. Terbaring sendiri dalam kegelapan, Dara tergeletak tak sadarkan diri. Sekitar dua jam berikutnya terdengar ledakan dan mobil hangus terbakar.

Membutuhkan waktu beberapa jam hingga Dani menyadari keberadaan istrinya yang menghilang. Selesai pesta, semua orang mencari Dara dan menyadari kalau mobilnya juga menghilang. Dani merasa lega, karena istrinya hanya berjalan-jalan. Namun, hingga pukul tujuh pagi, Dara tak juga kembali. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Pukul 12 siang, Lewis berinisiatif meminta bantuan petugas kepolisian untuk mencari keberadaan ponakannya. Pencarian besar-besaran dikerahkan. Semua memantau CCTV dan mendapati, kalau Dara kecelakaan dan mobilnya jatuh ke jurang. Tidak dapat diselamatkan, karena mobilnya hancur dan meledak.

Pesta ulang tahun berubah menjadi upacara duka. Dani meraung dan meratap, di depan foto besar sang istri. Tidak ada pemakaman, karena tubuh Dara tidak pernah ditemukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro