Bab 1a
Seorang wanita menatap keramaian di bawahnya melalui jendela kaca. Pesta sudah berlangsung dari satu jam lalu dan ia masih tidak yakin apakah ingin turun atau tidak. Rasanya sungguh memalukan tapi memang diakui tidak ada yang menanyakan keberadaannya. Mereka sibuk menikmati pesta tanpa bertanya di mana Dara Lembayung, sang nyonya rumah berada. Mereka tidak penah menganggapnya ada. Kalau pun tampak secara fisik, bagi mereka tak ubahnya hanya boneka. Untuk disapa bukan untuk diajak berteman.
Menyedihkan, kalau bukan karena aku kaya, tidak akan ada yang melihatku, pikir Dara pahit. Tidak juga sang suami yang sudah satu tahun ini ia nikahi atau pun juga sang paman dan anak istrinya yang merupakan keluarganya yang tertinggal. Tidak ada satu pun yang menganggapnya benar-benar ada. Dari semenjak orang tuanya meninggal, lalu disusul sang kakek, ia sendirian di dunia ini. Dengan kekayaan melimpah yang ia punya, semua orang menghormatinya tapi, semua juga mencemooh secara diam-diam maupun terang-terangan di belakangnya karena menganggapnya tidak becus bekerja.
Matanya menyipit saat melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah motor berhenti tepat di seberang vilanya. Wajah pengemudinya tidak terlihat karena helm yang menutupi. Laki-laki itu-Dara menyimpulkan dari postur tubuhnya yang tegap dan tinggi meski dari kejauhan-sekarang menyeberangi jalan sepi menuju ke dua penjaga gerbang. Mungkin sedang menanyakan jalan atau suatu tempat, Dara tidak tahu karena tak lama kemudian, laki-laki kembali menuju motornya. Seperti sebuah adegan film yang diperlambat, laki-laki itu mengangkat wajah dan dalam temaram malam, mereka berpandangan. Dara berjengit dan secara otomatis berlindung di balik gorden. Setelah beberapa saat ia tersadar dan keluar dari gorden dan mendapati motor serta pengemudinya sudah pergi.
Menghela napas panjang, Dara merasa jantungnya berdetak tak karuan. Ia tidak tahu kenapa tubuhnya gemetar ketakutan hanya karena bertatapan dengan seorang laki-laki dari jarak yang jauh. Laki-laki itu hanya orang asing yang kebetulan lewat, wajahnya pun tak terlihat tapi sanggup membuatnya takut.
"Nona, boleh saya masuk?"
Ketukan di pintu membuat Dara tersadar. Ia berteriak dan muncul seorang wanita berumur awal lima puluhan dengan rambut pendek setengkuk dan tubuh ramping.
"Nyonya, tidak ingin turun? Para tamu sudah menunggu."
Dara menatap kepala pelayan yang sengaja ia bawa jauh-jauh dari kota, ke vila tempat mereka menginap malam ini. Bisa jadi, Atifah adalah satu-satunya orang yang ia bisa percaya di keluarga ini. Wanita itu, lebih dari seorang kepala pelayan untuknya tapi juga pengganti ibu yang sudah lama meninggal.
"Bu Atifah, rasanya aku enggan turun."
Atifah mendekat, tersenyum pada Dara. "Nona, gaunmu cantik sekali. Riasannya juga begitu, kenapa malu untuk turun?"
"Gaun ini memang cantik." Dara menjauh dari jendela, menatap bayangannya di cermin dalam balutan gaun paste panjang semata kaki dengan lengan panjang yang membuat tubuhnya tertutup sempurna. Permukaan kain yang lentur dan mengkilat, membut wajahnya bercahaya. Ia memakai satu set perhiasan dari berlian yang harganya mencapai miliaran rupiah. Sengaja ingin pamer pada tamu-tamu yang datang, siapa sangka malah nyalinya menciut sebelum berperang.
"Anda cantik, Nona. Pasti akan jadi bintang di pesta malam ini."
"Terima kasih, Bu. Apakah menurutmu aku sanggup bertahan sepanjang pesta?"
Atifah mendekat, mengelus lembut bahu Dara. Ia sudah mengasuh wanita di depannya dari semenjak Dara berusia 10 tahun. Ia mengerti persis bagaimana ketakutan, rasa tidak percaya diri, dan kekuatiran yang berlebihan selalu menghantui wanita itu. Tadinya ia berrpikir, menikah akan nmembuat Dara menjadi lebih baik tapi ternyata dugaannya salah.
"Nona, kenapa tidak turun dan sekadar menyapa mereka?"
Dara menggigit bibir. "Hanya menyapa?"
"Iya, hanya menyapa. Bukankah Nona sudah meminta sopir menyiapkan mobil? Ingin berjalan-jalan saat malam berkeliling bukit?"
Kali ini Dara tersenyum, meraih tangan Atifah dan meremasnya. "Iya, Bu. Sudah lama tidak datang ke vila ini. Dari kemarin aku ingin berjalan-jalan tapi urusan pesta membuatku sibuk."
"Kalau begitu, saat nanti menemukan hal yang tidak menyenangkan, pikirkan saja soal berjalan-jalan."
"Baiklah, aku akan turun. Apakah semua sudah datang?"
"Sudah Nona. Suamimu sibuk menerima tamu, bagaimana pun ini hari ulang tahunnya. Pertama kalinya semenjak kalian menikah merayakan sebuah pesta ulang tahun bukan?"
Dara menggeleng, membiarkan Atifah menuntunnya menuruni tangga. "Sebenarnya bukan, saat baru menikah kami pernah merayakan di sebuah hotel. Sekaligus berbulan madu."
Atifah tersenyum. "Ah, benar. Saya ingat itu."
Dara sudah mengenal Dani selama dua tahun sebelum akhirnya menikah dengan laki-laki itu. Sebuah pernikahan megah yang menyita banyak perhatian khalayak umum karena bersatunya dua keluarga pengusaha besar. Dara, adalah ahli waris tunggal perusahaan Buana Jaya, yang merupakan induk dari banyak perusahaan tambang mineral dan batu bara, serta perkebunan kepala sawit. Sedangkan Dani, adalah anak pengusaha perikanan yang cukup terpandang. Tidka heran kalau pernikahan mereka dianggap sebagai salah satu wedding dream, meski tidak begitu kenyataannya.
"Ini pestamu, Nona. Harus tampil sebaik mungkin."
"Iya, Bu. Semoga aku bisa." Langkah Dara terhenti di ambang pintu saat menatap keramaian di depannya. Dadanya sesak seketika dan ia meremas tangan Atifah tanpa sadar. "Bu, rasanya sesak."
Atifah meraih kedua tangan Dara dan meremasnya. Tersenyum lembut dan berucap tegas. "Tarik napas panjang, embuskan perlahan. Tenangkan dirimu. Ingat, ini di rumahmu."
Dara berusaha mengatasi rasa panik yang mendadak datang. Atifah memanggil seorang pelayan dan memintanya membawa segelas air lalu memberikannya pada Dara. "Minum, dan tenangkan dirimu."
Setelah minum beberapa teguk, Dara merasa mulai tenang. Ia melangkah perlahan melewati pintu dengan Atifah di belakangnya. Ia melangkah, menyibak kerumunan. Beberapa orang menyapa saat melihatnya. Banyak di antara mereka yang tidak ia kenal karena rata-rata yang datang adalah tamu dan undangan suaminya.
"Dara, kenapa lama sekali baru turun?" Seorang wanita sebaya dengan Atifah, memakai gaun batik panjang menegurnya.
"Baru selesai dadan, Tante," jawab Dara.
Wanita itu mendekat, mengamati penampilan Dara dan mencibir terang-terangan. "Kamu bilang berdandan? Apa tidak salah?" Si Tante tertawa lirih. "Jelas-jelas kamu hanya memakai bedak dan lipstick. Tidak ada yang istimewa."
"Aku nyaman seperti ini."
"Kampungan, tidak terlihat seperti seorang nyonya pesta. Kamu lihat tamu-tamu undangan Dani malam ini, semuanya dari kalangan atas dengan pakaian glamour mereka.
Dara terdiam, mengamati suasana pesta. Yang dikatakan si tante, Helen, memang ada benarnya. Semua wanita yang hadir di tempat ini terlihat memukau dengan gaun indah dan tata rias wajah sempurna. Seorang wanita bergaun merah terang, bahkan terlihat mencolok dan menjadi pusat perhatian saat melangkah untuk menyapa para tamu. Kalau saja orang-orang tidak mengenalnya, pasti wanita itu yang dikira adalah nyonya rumah.
"Kamu kenal Tanya bukan? Artis besar yang juga sahabat suamimu. Apa kamu tidak malu kalau bersama mereka? Seorang nyonya rumah yang bahkan kelihatan kampungan dari pada tamunya.
Dari dulu perkataan Helen memang selalu kejam. Tidak berubah sedikitpun saat Dara sudah menikah bahkan cenderung menjadi-jadi saat ia menikah dengan Dani. Bukan rahasia lagi, para Dani yang tampan dan statusnya dari keluarga terpandang, memikat hati Helen. Wanita itu berniat menjodohkannya dengan Lavina, anak perempuan mereka. Sayangnya, Dani memilih Dara dan menambahk kebencian Helen.
Memejam, Dara berusaha menghilangkan gugup. Ucapan demi ucapan dari sang tante membuatnya makin panik. Membutuhkan banyak usaha untuk turun ke pesta dan Helen membuatnya kacau. Saat ia membuka mata, Helen menghilang. Wanita itu terlihat menghampiri beberapa tamu.
Dara celingak-celinguk mencari sosok suaminya yang tidak terlihat sedari tadi. Ia melangkah ke arah gazebo bunga, berusaha menyingkirkan rasa panik. Mengangguk sekilas pada para tamu yang berpapasan dengannya.
Di sudut dekat kolam, Dara melihat Lavina sedang menari mesra dengan seorang laki-laki bule. Keduanya tanpa malu saling menempel satu sama lain, seakan ada lem yang merekatnya. Pakaian Lavina yang berupa mini dress di atas dengkul, nyaris tersingkap hingga ke paha. Tak lama, bule berambut pirang itu mencium Lavina dengan penuh gairah dan keduanya menghilang di sudut taman yang gelap. Dara berdecak dan menggelengkan kepala, lalu meneruskan langkahnya.
Dari sudut mata, ia melihat sang paman. Terlihat gagah dalam balutan jas, dan sepertinya tidak melihat tinggal Lavina. Barangkali melihat tapi berusaha untuk tidak peduli. Berbicara dengan para relasi yang datang malam ini, bagi Lewis lebih penting dari pada mengurusi tingkah liar anaknya.
"Apa kamu melihat Pak Dani?" tanya Dara pada pelayan laki-laki yang sedang melintas.
"Ada di ujung sana, Nyonya." Pelayan itu menunjuk ujung taman yang merupakan kebun anggrek.
Dara mengangguk, mengikuti arah petunjuk pelayan itu. Ia berdiri di tengah jalanan kecil berbatu, menghirup udara segar yang agak jauh dari keramaian pesta. Ia tidak tahu, kenapa suaminya justru menyepi sedangkan di taman, banyak tamu yang menunggu.
Samar, ia mendengar suara orang bercakap. Ia mengikuti asal suara dan tertegun saat melihat sepasang manusia sedang berpelukan di bawah rangkain anggrek gantung. Dani dan Tanya, tubuh keduanya menempel erat satu sama lain dengan wajah saling mendekat seolah hendak berciuman. Dara merasa tubuhnya gemetar dan tanah yang dipijaknya bergoyang. Dadanya sesak, napasnya tersengal, dan ia bertahan untuk tidak ambruk.
***
Hai, datang dengan cerita baru. Update setiap Sabtu dan Rabu.
Bianca setiap hari selasa
Sugar Duda setiap hari Minggu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro