Bab 7a
Dewa menatap foto-foto di tangannya sambil mengernyit. Foto-foto lama, dilihat dari orang-orang yang ada di dalam foto sangat berbeda. Penggambaran sempurna sebuah persahabatan, dengan jalinan kisah di dalamnya. Ada sekita sepuluh orang, di mana ada sepasang kekasih yang berpelukan berada di pinggir barisan. Sang wanita berambut pendek, dengan anting-anting besar di telinga, sementara laki-laki yang memeluknya memakai jin belel dengan rambut dipotong rapi. Tubuh keduanya menempel satu sama lain, dan berpelukan erat. Meski hanya dalam foto, dari gaya tubuh mereka terlihat kalau keduanya ada hubungan cinta.
"Namanya Kaivan, mantan kekasih Flora. Keduanya menjalin hubungan saat masih sama-sama bekerja di perusahaan yang sama. Dua tahun kemudian, Flora menikah dengan Satria dan Kaivan yang patah hati, pergi ke Dubai untuk bekerja. Dua tahun lalu dia pulang, merintis usaha mebel dan peralatan rumah tangga dari besi. Usahanya lumayan melesat, dengan omset fantastis. Toko onlinenya bisa dibilang besar."
Dewa meletakkan foto-foto di tangan, lalu beralih pada map satu lagi dan kali ini melihat foto dalam versi yang lebih baru. Seorang wanita yang ia tahu adalah istrinya, sedang berbicara dengan seorang laki-laki yang ia kenali sebagai Kaivan. Mereka duduk berhadapan di sebuah restoran dan terlihat serius bicara.
"Kenapa penyelidikan bisa mengarah padanya?" tanya Dewa pada Bram.
Bram menoleh, menatap sahabatnya dengan tajam. "Dari orang yang aku sewa untuk membantu penyelidikan, diketahui kalau Flora bertemu Kaivan sebulan sebelum kakakmu terbunuh."
"Shit!" Dewa mengumpat tajam. "Benarkah? Apa laki-laki itu belum bersuami?"
"Sejauh yang aku tahu, belum. Bisa jadi masih cinta dengan Flora. Buktinya, mereka ketemu dan bisa kuyakinkan, tanpa sepengetahuan Satria."
Dewa memijat pelipisnya dengan pusing, ia makin bingung sekarang. Setelah sosoh bertudung, Flora yang sering dalam keadaan luka-luka, lalu kini muncul laki-laki dari masa lalu. Lingkaran misteri kematian Satria, makin lama makin membuatnya pusing.
Perut Flora makin hari makin membesar, niatnya yang semula akan menceraikan wanita itu begitu pembunuh Satria diketahui, kini makin sulit. Ia masih percaya kalau Flora yang membunuh kakaknya, hanya saja apa motif dan bagaimana ia mendapatkan pengakuan itu, yang masih sulit dilakukan.
Terkadang, timbul sedikit rasa kasihan di hatinya saat melihat Flora kelelahn karena melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, perasaan itu ia tepiskan karena menganggap Flora sedang melakukan penebusan dosa. Perbuatan wanita itu membuat Satria terbunuh, melakukan pekerjaan rumah tangga, tidak sepadan dengan nyawa yang hilang.
"Dewa, kamu mau aku menyelidiki lagi?"
Dewa tersadar dari lamunannya dan mengangguk. "Iya, kalau perlu kita akan datangi sang manta kekasih."
Bram mengangguk, mengenyakkan diri di depan Dewa. "Aku ada minuman baru, biar bartender yang buat."
Bram meninggalkan Dewa sendirian di ruangannya. Menuju bagian depan bar dan meminta bartender meracik minuman. Bar kecil ini, baru dibuka tapi pengunjung lumayan banyak. Bram merasa bangga dengan hasil kerjanya. Ia kembali ke tempat Dewa setelah memberi intruksi agar minuman dibawa ke ruangannya.
**
Flora menatap layar ponsel dengan senyum terkulum. Membaca apa yang tertera di layar dengan mata berbinar. Akhirnya, usahanya selama berbulan-bulan membuahkan hasil. Setelah sempat terhenti karena kematian Satria, ia meneruskan kembali apa yang telah dirintis dan kini menuai hasil.
Dulu, saat masih menjadi istri Satria, ia memang sepenuhnya jadi ibu rumah tangga. Karena sang suami tidak mengizinkannya bekerja. Padahal, ia berniat mencari penghasilan sendiri agar utang-utang keluarganya pada Satria lunas. Namun, Satria menentangnya.
"Kamu cukup di rumah, jadilah ratuku. Kamu bisa kursus memasak, menjahit, atau merangkai bunga. Apapun boleh kamu lakukan asal jangan bekerja di luar rumah."
Ucapan Satria terngiang kembali. Terdengar amat manis dan penuh perasaan. Siapa sangka, justru itu belenggu untuknya. Satria memang terlihat sangat memanjakannya, tapi di satu sisi juga mengurungnya di rumah. Semenjak itulah, ia merintis apa yang menjadi kegemarannya sekarang.
"Wah, enak sekali kamu. Jam segini udah leha-leha!" Risti membentak dari pintu yang terbuka, menatap sambil melotot ke arah Flora yang duduk di tepi ranjang.
Flora mendongak ke arah ibu mertuanya lalu menatap jam dinding. "Udah jam delapan, Ma. Lagi pula, makan malam juga sudah selesai. Apa lagi?"
Risti menyipit tidak suka, berdecak keras sambil berkacak pinggang. "Enak saja kamu bilang mau apa lagi? Jam delapan itu masih sore! Sana, buatin aku kopi dan bawa ke lantai dua. Jangan lupa iris buah! Pemalas!"
Sepeninggal Risti, Flora menarik napas panjang. Meletakkan ponsel ke atas bantal dan bangkit dari ranjang. Sepanjang menyeduh kopi, ia masih tak habis pikir dengan perubahan drastis Risti. Setelah kematian Satria, wanita itu amat sangat membencinya. Padahal, dulunya lumayan bersikap baik padanya. Terlebih saat tahu dirinya hamil, Ristilah yang berteriak pertama kali.
Wanita itu juga bukan menganggapnya menantu bayaran utang. Tidak pernah mengungkit-ungkit tentang status keluarganya yang banyak berutang pada Satria. Tapi, kini semua berubah. Risti yang ia kenal sekarang bagaikan wanita pemarah yang setiap saat bisa melahapnya.
Dengan nampan di tangan berisi satu cangkir kopi dan piring datar berisi potongan kiwi dan apel, ia menaiki tangga menuju lantai dua. Ristri sedang duduk berhadapan dengan Nabila di sofa bulat. Keduanya tidak menoleh saat melihat kedatangannya, tetap asyik bercakap.
"Kok kopinya satu?" tegur Risti.
Flora menatapnya bingung. "Memangnya mau berapa, Ma?"
Risti mendengkus jengkel. "Kamu itu bloon atau bodoh, jelas-jelas di lantai ini ada dua orang. Memangnya Nabila kamu nggak kasih minum juga?"
"Oh, gitu. Mama harusnya bilang."
"Jadi, aku yang salah Flora? Nggak mau mengakui kalau kamu itu bodoh!"
Ucapan Risti membuat Flora terdiam. Ia mengalihkan pandangan pada Nabila dan bertanya pelan. "Kamu mau kopi?"
Nabila tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Menghela napas panjang, Flora turun dan kembali menyeduh kopi lalu membawa ke atas. Lagi-lagi apa yang dilakukannya salah karena Nabila protes kalau kopinya terlalu pahit. Ia minta dibuat es dengan campuran susu.
"Kamu ini, nggak becus ngapa-ngapain!" tegur Risti setelah Flora berhasil membuat es kopi susu dengan wip krim sesuai permintaan Nabila.
"Lain kali, aku minumnya gini. Bukan kopi hitam," sahut Nabila. Gadis itu bersikap seolah-olah dialah menantu di rumah ini dan Flora hanya pembantu.
Tidak ingin berdebat, Flora turun dengan mulut terkatup dan napas berat karena kelelahan naik turun tangga. Sesampainya di sofa bawah, ia terkulai lemas dan berusaha menenangkan tubuhnya yang gemetar.
Menatap jendela dengan gorden terbuka dan menampakkan cahaya rembulan, Flora tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan di rumah ini. Segalanya makin hari makin sulit untuknya. Ia mencoba tegar demi anak dalam kandungan. Kelelahan membuatnya tanpa sadar tertidur di sofa. Gedoran di pintu membangunkannya dan Floar terjaga dengan linglung.
"Floraaa, buka pintuuu!"
Mengenali itu adalah suara suaminya, Flora bangkit dari sofa dan membuka pintu. Dewa bersandar pada kusen dengan rambut panjangnya acak-acakan. Dasi dan jas tersampir di lengannya. Flora menduga, Dewa sedang mabuk.
"Kak, sini aku bawa tas-nya," ucapnya menawarkan diri.
Dewa menggeleng, menatapnya tajam. Tangan laki-laki itu terulur untuk meraih wajahnya. Flora mundur ketakutan tapi Dewa terus mendesaknya hingga tubuhnya terhimpit ke dinding.
"Kak, ada apa?" tanyanya gugup.
Dewa tidak menjawab, makin mendekatkan dirinya hingga tubuhnya dan tubuh Flora saling menempel satu sama lain. Tas, jas, dan dasinya berserak di lantai. Napasnya yang beraroma alkohol menerpa wajah Flora yang memucat. Dewa meraih dagu Flora dan tanpa diduga melayangkan kecupan di bibir wanita itu. Tindakannya membuat sang istri terlihat ketakutan.
"Kak ...." Flora berucap lirih, dengan mulut suaminya kini bergerilya di pipi dan ceruk lehernya. "Sadar, Kak."
"Sadar kenapa? Aku nggak mabuk?" bisik Dewa kini sambil menggigiti telinga istrinya.
Menahan geli, Flora mendorong tubuh Dewa sekuat tenaga dan membuat laki-laki itu terjungkal hingga mengenail sofa. Flora menggeleng dengan bibir gemetar.
"Kendalikan dirimu, Kak."
Dewa menegakkan tubuh, menatap Flora yang ketakutan dengan senyum sinis lalu membuka kancing kemejanya satu per satu.
"Kamu istriku, sudah seharusnya melayaniku."
Flora ketakutan sekarang, ia beringsut pergi tapi Dewa berhasil meraih lengannya. Saat ia mencoba kabur, Dewa menciumnya. Sekuat tenaga, ia berkelit bahkan berani menggigit bibir suaminya dan membuat Dewa berteriak sambil melepaskan pelukannya.
"Dewa, ada apa?"
Teguran dari lantai dua, membuat keduanya berdiri berhadapan dengan napas tersengal. Tidak ingin memperpanjang masalah, Flora berlari ke kamar dan menutup pintu lalu menguncinya. Terduduk di ranjang, ia menangis tersedu. Rasa takut, terhina, tak dihargai, membuat air matanya mengalir bagai tetesan hujan deras.
Dewa berdiri mematung, menatap pintu kamar Flora yang menutup. Menyugar rambut, ia terduduk di lantai dengan kepala bersandar pada dinding.
"Dewaaa! Ada apa?"
Lagi-lagi sang mama berteriak. Berdehem untuk melonggarkan tenggorokan, ia berteriak untuk membalas pertanyaan Risti.
"Nggak ada apa-apa, Maaa!"
Menunduk dengan kepala berada di antara lutut, ia mendesah. Menyesali sikapnya yang bodoh. Ia tidak bisa menyalahkan alkohol yang diminum. Karena itu hanya sebuah pembenaran yang bodoh. Ia tidak begitu mabuk sampai tidak bisa menyadari tindakannya terhadap Flora.
Meraba bibirnya yang perih, Dewa memaki diri sendiri. Harusnya ia tidak terpancing dengan sikap polos Flora. Harusnya, ia lebih bisa menjaga diri.
Bangkit dengan tertatih, ia menuju kamar dan tanpa mandi serta berganti baju, ia merebahkan diri ke ranjang dan terlelap.
.
.
Tersedia di playbook dan buku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro