Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5b

Flora muncul dari dapur dengan wajah bersimbah peluh. Wanita itu terlihat kaget saat mendapati suaminya di meja makan. Dengan kikuk ia tersenyum lalu bertanya basa-basi.

"Sudah kenyang atau belum, Kak? Masih ada makanan kalau mau."

Dewa tidak menjawab, hanya menggeleng kecil. Matanya terpancang pada bagian depan tubuh Flora yang tertutup celemek basah. Rambut wanita itu berantakan dengan keringat membanjiri wajah Flora. Ia tidak, apakah pandangannya yang kabur atau memang benar demikian, tapi ia merasa kalau Flora sangat pucat.

"Kamu sakit?" Tanpa sadar, Dewa bertanya.

Flora menggeleng. "Nggak, Kak. Eh, kalau nggak mau makan, aku tinggal dulu."

Tanpa menunggu jawaban Dewa, wanita itu melesat ke arah lantai dua. Meninggalkan Dewa sendirian termenung di ruang makan. Samar-samar terdengar suara bentakan Risti dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena sama sepertinya, sang mama juga merasa terluka dengan kematian Satria. Mereka berdua punya pemikiran sama kalau Flora yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi.

Setelah mencuci gelas bekas pakainya, ia beranjak ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Setengah kemudian, keluar kamar berniat untuk mengunci pintu dan mendapati lampu ruang tengah masih menyala.

Ia mengamati Flora yang sibuk mengelap permukaan meja dalam posisu berjongkok. Saat berdiri, tubuh wanita itu sedikit oleng dan tanpa Dewa yang melihatnya, berlari menghampiri.

"Kamu kenapa?" tanya Dewa sambil memegang bahu Flora.

Mengerjap bingung, Flora menggeleng lemah. "Nggak kenapa-napa, Kak."

"Yakin? Barusan kayak kamu mau ambruk."

"Oh, mungkin tekanan darah rendah."

Flora mengangkat wajah dan menatap mata Dewa. Untuk sesaat keduanya berpandangan sebelum akhirnya Flora tersadar ada tangan Dewa di bahunya. Ia menggeliat dan beranjak dengan malu.

"Maaf, Kak. Aku ke dapur dulu."

Dewa termenung di tempatnya berdiri, menatap ke arah Flora menghilang. Ia tidak salah lihat, Flora memang kelelahan dan wanita itu berusaha menyembunyikannya. Terheran dengan sikapnya yang lembek terhadap wanita itu, Dewa mengutuk diri sendiri.

"Ingat, dia itu pembunuh. Jangan tertipu wajah polosnya," gumam Dewa kesal.

Pukul satu dini hari, pekerjaan Flora selesai. Dari mulai membersihkan lantai dua sampai mencuci peralatan makan. Pinggangnya terasa sakit, dan kakinya kram. Melangkah tersaruk menuju kamar, ia berbaring di atas ranjang dan meringis saat merasakan nyeri di sekujur tubuh.

Hari ini sangat melelahkan. Risti membawa teman-temannya datang dan seharian mereka merepotkannya. Ia curiga, sang mertua sengaja melakukan itu untuk menghukumnya. Tidak aneh jika itu benar, mengingat bagaimana sikap Risti selama ini padanya.

Ia merasa lelah, dan ingin tidur tapi ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan. Akhirnya, setelah berbaring lima belas menit, ia bangkit dan tertatih menuju meja. Membuka laptop dan mulai tenggelam dalam aktivitas yang menyenankan. Saat berada di depan laptop, ia lupa segalanya. Termasuk kesedihannya di rumah ini. Baginya, dunia yang baru saja ia buat lebih menarik dari kehidupannya sendiri.

**

Keesokan paginya, Risti mengomel panjang lebar saat mendapati Flora belum bangun sedangkan dirinya dan Dewa sudah berpakaian rapi. Ia berniat menbangunkan menantunya tapi dilarang oleh Dewa.

"Kenapa nggak boleh? Sudah tugas dia untuk menyiapkan sarapan tiap pagi. Lagi pula, aku ada urusan penting, bisa telat kalau dia nggak bangun sekarang!"

"Ma, mau aku buatin roti panggang?" Dewa menawarkan diri.

Risti menggeleng, menatap anak laki-lakinya. "Kenapa kamu yang menyiapkan. Biar saja wanita itu."

"Bisa jadi dia capek, Ma. Semalam itu, pukul satu sepertinya kerjaan dia baru selesai. Mama duduk saja, biar aku buatkan roti panggang. Mau selai apa, Ma?" Dewa menawarkan sambil menunjuk botol-botol selai di atas meja.

Risti mendengkus sebal, menatap anaknya dengan mata menyipit. "Jangan lembek, Dewa. Kamu harus ingat siapa wanita itu."

Dewa bangkit dari kursi dan mengangguk. "Iya, Ma. Aku ingat siapa dia."

"Bagus, jangan sampai kamu benar-benar jatuh cinta sama dia."

"Nggak, Ma. Ini hanya perkara kemanusiaan."

Risti mengibaskan tangannya. Menunjuk anak bungsunya dengan telunjuk berkutek putih. "Jangan bicara soal perasaan padaku. Wanita itu juga tidak ada kemanusiaan saat membunuh anakku!"

Mendesis marah, Risti meninggalkan Dewa di meja makan. Setelah sosok mamanya tak terlihat, Dewa kembali melanjutkan minum kopi. Matanya menatap ke arah ruang tengah dan tidak ada tanda-tanda kalau Flora sudah bangun. Ia berpikir untuk membiarkan Flora tertidur hingga siang tapi, tidak mungkin meninggalkan rumah tanpa dikunci.

Akhirnya, dengan enggan ia bangkit untuk mengetuk pintu kamar wanita itu.

"Floraa! Bangun!"

Lama tidak terdengar jawaban, hingga ia menggedor cukup keras.

"Floraaa! Bangun!"

Tetap tidak ada jawaban. Tidak sabar, ia membuka pintu dan mendapati tidak terkunci. Ia mengerjap, untuk menyesuaikan diri dengan penerangan yang remang-remang dan mendapati Flora berbaring di ranjang. Tangannya menjangkau sakral di dindind dan seketika kamar terang benderang.

Dewa mengamati Flora yang tertidur dalam posisi telentang. Wanita itu pucat pasi dan ia memberanikan diri meraba dahinya. Ia kaget saat merasakan panas di telapak tangannya.

"Flora, bangun. Ayo, ke dokter."

Ia mengguncang bahu Flora lembut dan mendengar wanita itu mengerang. Ia berusaha membantunya duduk tapi Flora menolak dan kini bahkan berbaring menyamping dan memunggunginya.

"Flora, kamu sakit. Ayo, ke dokter."

Flora bergeming, sama sekali tidak tergerak oleh panggilan Dewa. Untuk sesaat Dewa kebingungan, sebelum bergegas ke dapur untuk mengambil ember kecil berusi air hangat dan handuk untuk mengompres.

Dengan kikuk, ia membasahi handuk lalu memeraskanya dan mengubah posisi Flora hingga telentang lalu mengompres dahi wanita itu. Ia tidak cukup melakukannya sekali tapi berkali-kali. Hingga terdengar erangan Flora.

"Aku tidak sakiit, aku sehaaat."

"Badanmu panas," ucap Dewa menimpali ucapan wanita itu.

"Nggak, aku sehat, aku kuat."

Flora menepiskan handuk di dahinya dan Dewa terpaksa memegang kedua tangannya. "Jangan bergerak. Kamu harus dikompres."

"Aah, biar saja aku sakit." Flora kali ini mengerang lebih keras. Entah bagaiman kini air mata berjatuhan di pipinya. "Biar aku sakit, biar mati sekalian. Aaah, kamu pasti senang kalau aku mati bukan? Di dunia ini, semua orang mengharapkan aku mati, jadi untuk apa aku hiduuup."

Erangan disertai tangisan, kini terdengar dari mulut Flora. Dewa hanya mendengarkan tanpa membantah. Ia berusaha mengompres wanita itu meski tangan Flora terus menerus menepis handuk hingga jatuh.

"Kita ke dokter nanti, tunggu setelah panasmu agak reda."

"Uhm, aku nggak mau ke dokter. Aku maunya mati saja."

"Jangn begitu, ingat anakmu."

"Hahaha." Kali ini Flora tertawa, meski dengan wajah berlinang air mata dengan kelopak yang memejam. "Anak yang membuatku sengsara. Karena anak ini, aku tertekan. Ya Tuhan, rasanya menyakitkan. Rasanya ingin mati sajaaa. Tuhaaan, di mana kamu Tuhaaan. Aku ingin mati saja."

Flora terus menerus mengerang, menangis, lain waktu bergumam pelan. Dewa mengganti air beberapa kali, hingga lambat laut panas Flora menurun dan wanita itu kembali terlelap.

Berdiri mematung di ujung ranjang, Dewa menatap Flora tak berkedip. Keinginan tanpa sadar yang tercetus dari mulut wanita itu tentang keinginan untuk mati, membuat hatinya sedikit banyak tersentuh. Membuatnya sedikit banyak mempertanyakan apakah yang ia lakukan selama ini sudah benar ? Mendesah resah, ia meninggalkan kamar Flora dengan hati tak menentu.

Cerita lengkap tersedia di playbook, dan juga buku yang beredar di olshop.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro