Bab 4b
Hari berganti hari, tidak terasa sudah dua bulan Flora menjadi istri Dewa. Tidak ada perubahan selama mereka bersama di bawah satu atap. Laki-laki itu masih sama dingin dan cuek seperti sebelumnya. Pernikahan mereka benar-benar hanya sebuah perjanjian di atas kertas. Tanpa cinta, tanpa komitmen untuk bersama. Entah apa yang ada di pikiran Dewa tentang mereka selama ini, bisa jadi karena dendam yang kelewat besar pada Flora yang membuat laki-laki itu bertahan.
"Seandainya dia tahu yang sebenarnya, bagaimana perasaannya?" gumam Flora saat suatu pagi melihat Dewa dan mamanya bicara penuh pemujaan tentang almarhum Satria. Namun, apa pun yang terjadi, tidak peduli bagaimana pun juga, ia akan tetap menjaga rahasia keluarga ini.
Ia sedang berusaha untuk menaikkan derajatnya, agar tidak lagi dipandang rendah di keluarga ini. Meski sekarang sedang berada dalam titik terendah dalam hidup, ia yakin akan mampu mengatasi semua keadaan jika mau berusaha.
"Memangnya tiap malam kamu ngapain aja? Tiap pagi kelihatan ngantuk dan kurang semangat. Sering telat bangun pula!" bentak Risti saat mendapatinya telat bangun 15 menit dari waktu biasanya.
"Nggak ada, Ma. Hanya capek saja."
Risrti berkacak pinggang, memandang menantunya dari atas ke bawah dengan tatapan sinis. "Kamu, di sini hanya menantu. Itu juga bukan menantu sesungguhnya, hanya di atas kertas sampai bayi itu lahir. Entah kenapa sikapmu makin lama makin tidak tahu malu."
Flora menghela napas, menyembunyikan rasa sesak dan malu. Tidak mengindahkan ibu mertuanya yang mengomel-ngomel, ia bersiap-siap membuat sarapan. Ia akan bertahan, hanya beberapa bulan. Setelah anak ini lahir, dia akan bebas. Ia juga menyiapkan mental dan batin, kalau nanti bayi yang dikandungnya tidak bisa diasuh olehnya. Itu bukan karena ia tidak menginginkan bayi ini, tapi lebih peka dengan kenyataan.
Seperti biasa, ketenangan didapat di rumah ini saat semua orang sudah pergi. Dewa ke kantor dan entah apa yang dilakukan Risti karena wanita itu pergi setiap hari. Ia pun tidak ada keinginan untuk bertanya. Dulu, saat masih menjadi istri Satria, mereka tinggal terpisah. Jadi, ia tidak tahu banyak seluk beluk ibu mertuanya.
Menjelang sore, ada tamu datang ke rumah. Flora mengernyit, menatap pemuda tampan dengan tubuh tinggi dan memakai pakaian kasual berupa celana dan jaket jin. Pemuda itu menatapnya sambil nyengir dan memperlihatan deretan gigi putih.
"Kakak Ipar?" sapanya riang.
Flora mengernyit. "Cari siapa?"
"Cari Kak Flora, kamu bukan?"
Flora mengangguk. "Iya, kamu siapa?"
"Ah, benar ini kakak iparku." Tanpa diduga, pemuda itu memeluknya dengan erat dan hampir membuat Flora menjerit kaget. Saat ia siap untuk memaki, pemuda itu berucap riang. "Namaku Ryan, apa kakakku nggak pernah cerita soal aku?"
Lagi-lagi Flora menggeleng dan tawa pemuda di depannya makin nyaring. "Aku adiknya Dewa. Waktu kalian menikah, tidak bisa datang. Apa Dewa juga nggak cerita kalau dia punya adik setampan ini?"
Menghela napas panjang, Flora menggeleng. Ia sedikit bingung dengan kedatangan Ryan yang tiba-tiba. Ia hanya tahu dari cerita Satria, kalau Dewa punya dua adik tiri tapi sama sekali belum pernah melihat mereka. Kini, seseorang mengaku senagai adiknya, entah ia harus percaya atau tidak.
"Maaf, rumah sedang sepi. Nggak ada orang di sini. Sebelum aku tahu, kamu adik Kak Dewa atau bukan, aku nggak bisa kasih kamu masuk rumah."
Ryan mengangkat sebelah alis, menatap wanita yang berucap tenang di depannya. Ia merogoh ponsel, lalu memencet nomor dan membuka speakernya. Dalam dering ketiga, terdengar suara Dewa.
"Ehm, ada apa?"
"Kak, aku ada di rumahmu. Tapi, istrimu nggak kasih aku masuk."
"Apa? Rumah yang mana?"
"Rumah yang mana? Emangnya istrimu ada berapa, sih?"
Hening sesaat lalu terdengar helaan napas panjang. "Maksudku, kamu di rumah Flora?"
"Iya, itu maksudku. Aku sengaja telepon untuk membuktikan kalau aku benar-benar adikmu. Jadi, kakaka iparku bisa menyajikan minuman dingin untukku."
Terdengar berbagai gumaman yang kurang jelas dari mulut Dewa. Sepertinya laki-laki itu marah karena diganggu saat bekerja. Flora yang sedari tadi terdiam, kini menatap Ryan dengan pandangan ngeri. Bagiamana mungkin, adik iparnya bertindak semau sendiri.
"Gimana, Kak? Udah yakin sekarang?" tanyanya dengan senyum tak berdosa.
Flora mengangguk. "Eh, kamu nggak perlu sampai begitu."
"Oh, nggak masalah. Biar kamu puas saja."
Setelah itu, tanpa permisi Ryan menyelonong masuk. Memperhatikan sekeliling rumah yang rapi dan bersih lalu berdecak kagum. "Wow, rumah yang indah."
"Kamu mau minum apa?" tanya Flora setelah pulih dari rasa kaget.
"Apa saja yang dingin."
Mengenyakkan diri di sofa, Ryan menatap punggung Flora yang menjauh. Ia merasa takjub dengan sosok Flora yang ia nilai jauh dari perkiraan sebelumnya. Flora memang cantik tapi terlalu rapuh dan sendu untuk Dewa. Ada semacam kesedihan tersirat di wajah dan binar mata wanita itu. Ryan berharap jika itu hanya dugaannya.
Flora menghidangkan es kopi dengan cemilan yang dibuat sendiri. Dalam beberapa kali teguk, es kopi tandas sampai ke dasar gelas dan membuat Flora tercengang.
"Kamu haus banget, ya?" tanyanya heran.
Ryan mengangguk semangat. "Iya, aku nggak cuma haus akan air. Tapi, juga haus kasih sayang, haus cinta, dan perhatian."
Ucapan Ryan membuat Flora terkikik. Ia merasa pemuda di depannya sungguh lucu. "Baiklah, aku buatkan lagi."
Setelah gelas kopi keduanya dihidangkan, keduanya mengobrol panjang lebar di ruang tamu. Tidak ada maksud khusus dari kedatangan Ryan ke rumah. Pemuda itu hanya ingin berkenalan dengan Flora.
Keadaan yang tidak mengenakan terjadi saat Risti pulang dan mendapati ada Ryan di rumahnya. Wanita itu secara terang-terangann menunjukkan ketidaksukaannya. Ia bahkan memalingkan wajah saat Ryan menyapa hormat. Menatap tajam bergantian ke arah Flora dan pemuda itu, Risti berujar dingin.
"Sudah waktunya masak makan malam. Suamimu sebentar lagi pulang."
"Iya, Ma," jawab Flora lembut.
"Jangan hanya iya, kerjakan sekarang."
Menghela napas panjang, Flora menatap punggung mertuanya yang menjauh. Risti naik ke lantai dua dan biasanya muncul kalau makan malam sudah siap. Flora menatap Ryan dengan pandangan malu lalu berpamitan/
"Maaf, aku harus masak."
Ryan mengangkat bahu. "Silakan, aku tetap di sini. Mau nunggu Kak Dewa datang."
Nyatanya, keadaan tidak seperti yang dikatakan Ryan. Pemuda itu menunggu Dewa pulang bukan duduk di ruang tamu melainkan membuntuti ke mana pun Flora pergi. Tanpa sungkan dan kikuk membantu Flora mengiris sayuran dan menggoreng daging. Flora yang awalnya canggung berubah rileks karena sikap bersahabat Ryan.
"Kamu kok bisa masak?" tanya Flora heran saat melihat Ryan menggoreng daging tanpa takut.
"Saat kuliah di Malaysia, aku terbiasa mandiri dan masak sendiri."
"Oh, pantas. Biasanya cowok takut minyak yang meletup."
"Aku nggaklah, jangankan minyak yang meletup. Hati para cewek yang meletup saja siap aku dinginkan."
Keduanya bertatapan lalu bertukar tawa. Sungguh, kedatangan Ryan menjadi penghibur sendiri bagi Flora. Beberapa bulan terkungkung di rumah ini, ia nyaris jadi patung karena tidak ada satu orang pun bisa diajak bicara. Baik Dewa maupun Risti menjauhinya. Kini, ada Ryan yang ceria dan ia merasa senang bisa tertawa dan becanda tentang hal-hal kecil.
Keduanya terus mengobrol dan tertawa, hingga tak sadar ada sepasang mata menatap tajam dari pintu. Mereka menata lauk pauk di atas piring dan yang pertama menyadari kehadiran Dewa adalah Ryan.
"Kak, diam-diam aja pulang," sapa pemuda itu tak berdosa. Melewati Dewa, ia melangkah dengan dua piring berisi lauk pauk dan meletakkannya ke atas meja. "Aku dan Kakak Ipar memasak. Kami berdua sama sama jago."
Flora menunduk, mencuci peralatan memasak di westafel. Dari punggungnya terdengar percakapn suami dan adik iparnya.
"Kenapa kamu lama sekali di sini. Kupikir hanya sebentar saja berkunjung."
"Awalnya, sih, gitu. Tapi, aku merasa ada kecocokan dalam mengobrol dengan Kak Flora."
"Lalu?"
"Nggak ada lalu, asyik aja ngomong sama dia."
Dewa berdecak tidak puas, menatap adik laki-lakinya yang bolak balik ke ruang makan dan dapur. Pemuda itu dengan ceria melakukan pekerjaan yang selama ini dilakukan Flora. Sesekali terdengar tawa Flora yang teredam. Jujur, ia merasa aneh mendengarnya karena selama beberapa bulan tinggal bersama, ia belum pernah mendengar Flora tertawa.
"Apa dia akan makan bareng kita?" Risti mendadak muncul di belakang Dewa dan bertanya ketus menunjuk Ryan yang sedang menatap sendok.
Ryan mengangkat wajah. "Hai, Tante. Masakan ini aku dan Kak Flora yang memasak. Sudah seharusnya kalau aku ikut makan."
Ryan menghampiri Dewa dan membisikkan sesuatu di telinga kakaknya. Sementara Risti dengan wajah menggelap mendatangi Flora yang berada di dapur. Tanpa basa basi, memaki pelan pada menantunya.
"Dasar wanita ganjen nggak tahu malu!"
Flora terdiam, menatap panci kosong di depannya. Dari arah ruang makan, tawa Ryan terdengar menggelegar. Kedatangan pemuda itu membawa masalah baru untuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro